MENUJU KEBIJAKAN POLITIK
BERBASIS DEMOKRATIS
Sebuah
Ikhtisar Partisipasi Rakyat Timor Loro Sa’e di Tengah
Keterpurukan
Kebijakan Politik
Bumi kebangsaan kita ini, sedang dililiti oleh
kompleksitas kegelisahaan dan keterpurukan. Hal yang membuat kita gelisah dan
gempar ialah kontinuitas problem-problem yang jarang disentuh oleh
solusi-solusi penyelesaian , praktek-objektif. Kita menjadi pesimis dan skeptis
akan suatu masa depan Timor Loro Sa’e, yang demokratis dan kualitatif terhadap
penghargaan humanitas yang berdaulat demokrasi. Negara tercinta ini,
seolah-olah menjadi bangsa yang intransparansi, terpenjara dan terjerat oleh
badai keegoisan dan keindividulisasian sekelompok orang. Kita merasa ditantang
dan dihadang oleh kejenuhan, keputusasaan, ketakberdayaan, ketiadaan optimisme
yang kemudian membuat kita menjadi masyarakat yang terisolir di bumi tanah air
kita sendiri. Hal sedemikian membuat kita menjadi enggan untuk memproklamir
bahwa kita adalah bangsa yang memprimasikan demokrasi dan mengakui kedaulatan
rakyat sebagai masyarakat yang berdemokratis. Seakan-akan sang ibu
pertiwi telah membisu dan berpaling dari kita.
Di tengah kerapuhan dan ketegangan situasi bangsa,
kesadaran kritis seolah-olah turut membisu; padahal kesadaran kritis semacam
ini merupakan hal yang sangat urgen, karena menentukan format dan kontruksi
politik menuju masa depan kredebelitas bangsa yang berdaulat dan berdemokrasi,
karena rakyatlah yang menjadi kiprah dalam menopang keberadaan bangsa ini; yang
semakin dilanda pergolakan-pergolakan dan kian maraknya aktus kekerasan serta
ketidakadilan. Oleh karena itu, rakyat perlu kritis dalam memperjuangkan hak
dan kebebasaanya yang relatif diakomodir oleh hukum. Hal semacam inilah yang
membuat rakyat berjuang semaksimal mungkin untuk bebas dalam kebebasannya. Agar
bangsa Timor Loro Sa’e tidak selalu hanya berekting semu (bersandiwara) Maka,
paradigma baru sangat mengharapkan suatu ekspresivitas kepemimpinan yang
tranparan dan realistis sesuai idealisasi yang kita harapkan dan perjuangkan
selama ini.
Kebebasan dilihat sebagai suatu kebutuhan (necessary)
karena hanya dengan individu-individu yang bebas proses berdemokratisasi dapat
direalisasikan dalam kehidupan masyarakat yang adil, tenteram dan damai. Wacana
demokratisasi harus sungguh-sungguh dipahami secara baik, baik itu oleh pihak
pemerintah, politisi maupun oleh rakyat kecil, agar terbentuk dan tercapailah
cita-cita bersama yang selama ini telah diidealkan bersama. Namun kebebasan itu
pun harus berdasarkan pada sikap responsabilitas dan dijamin egibilitasnya.
Konteks yang dimaksudkan di sini adalah situasi politik publik (masyarakat)
yang akrab dengan realitas pergulatan politik praktis. Namun kenyataan yang
melanda negara Timor Loro Sa’e adalah suatu kelemahan dan keterpurukan yang
diakibatkan oleh kelemahan, kekurangan, dan ketidakmampuan kita (pemerintah)
untuk mencari solusi-solusi dan jalan keluar yang baik dalam membendung
pergolakan-pergolakan yang menerjang negara tercinta ini.
Loyalitas terhadap ego dan kepentingan kelompok
telah menjadi parameter untuk mengukur kebebasan demokrasi negara, hukum dan
rakyat Timor Loro Sa’e. Di sisi lain idealisme, optimisme, obsesi dan
intensionalitas komunal rakyat selalu menjadi elemen sekunder (bukan
prioritas), seolah-olah bangsa Timor Loro Sa’e ini hanyalah menjadi milik
individu-individu yang hanya mementingkan hasrat, keinginan dan nafsu mereka
untuk mendapatkan apa yang mereka dambakan tanpa ingin tahu dan sadar bahwa
negara Timor Loro Sa’e adalah milik semua orang (masyarakat). Pemerintah
seolah-olah menjadi penguasa yang bengis dan otoriter terhadap hak-hak dan
kebebasan-kebebasan rakyatnya. Padahal kekuasaan adalah suatu yang fundamental
bagi eksistensi kebijakan politik dan sangat penting bahkan sebagai tujuan
perjuangan politik. Tetapi, sayangnya nafsu kekuasan telah merasuk kalbu politisi
sehingga semuanya terperangkap dalam permaianan pilitik berdimensi pendek dan
parokial semata. Seolah-alah tujuan politik hanya untuk menggapai dan
mendapatkan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan menjadi segala-galanya. Politik
pun sekedar dijadikan puritas yang didominasi libido kekuasaan para politisi,
hendaknya, para politisi jangan hanya mau berdiri di atas pundak rakyatnya dan
para pejuang yang telah menumpahkan jiwa dan raganya demi terciptanya negara
yang baru, bebas, aman dan berdaulat.
Pada
dasarnya sebuah sistim kebijakan publik mesti mengakomodasi seluruh kepentingan
komponen masyarakat yang ada di dalamnya (Timor Loro sa’e, red) akan tetapi kebijakan publik pada
dasarnya berjalan lain sekali dengan apa yang telah diidealkan oleh masyarakat
Timor Loro sa’e pada umumnya. Advokasi kebijakan politik ternyata tidak membawa
perubahan dan perbaikan dalam kebijakan politik pemerintah. Wacana tentang
disintegrasi negara ini sedang ramai dibicarakan tentang berbagai konflik dan
problem-problem yang melanda negara tercinta ini, dan memaksa kita untuk
memeras otak untuk menemukan akar permasalahan dan proses penyelesaiannya.
Dalam era keterpurukan dan kegaduhan yang menimpah bumi Loro Sa’e ini, siapakah
yang akan kita tunjuk sebagai yang bertanggungjawab? Ataukah kesalahan semacam
ini terletak pada kebijakan politik yang melemah dan ketidakmampuan kita untuk
membangun dan menjadikan bumi Loro sa’e ini menuju masa depan yang cerah? Siapa
yang akan kita tuduh dan persalahkan?
Seandainya kita telusuri secara lebih mendalam keterpurukan dan problem-problem
yang melanda negara ini, adalah suatu akar permasalahan yang kecil, yang jika
diselesaikan secara intellektual sebenarnya dapat teratasi, namun apa yang
terjadi? Ternyata kebenaran dan proses penyelesaiaannya tidak berpihak pada
kita, kita lebih cenderung untuk menunda-nunda penyelesaian setiap problem yang
kita (Timor Loro Sa’e) hadapi, pemerintah lebih cenderung untuk tidak
menggubris dan menganggap itu suatu problem yang kecil. Sangat boleh jadi,
tendensi terhadap sikap antipati dan kurang merespons problem-problem yang
terjadi, maka timbullah suatu sikap memberontak dan melawan, dari pihak yang
merasa dirugikan; hal dan kejadian inilah yang saat ini terjadi dan sedang
menimpa negara tercinta ini. Pemerintah sering menganggap tidak penting setiap
problem yang terjadi dan tidak pernah berusaha untuk menyelesaikan setiap
konflik dan masalah yang terjadi, pemerintah lebih banyak untuk berbicara tanpa
adanya praktek-objektif yang pasti dan tepat (no action talk only),
akibat dari itu, seperti apa yang sedang terjadi, kita menjadi takut, gelisah,
pesimis tak menentu dan kita menjadi terasa asing dan tidak aman di negara kita
sendiri, kita tunggang-langgang kesana kemari hanya untuk menyelamatkan diri
dari keegoisan dan ketamakan kebijakan politik pemerintah negara ini.
Bila
ditinjau dari letak geografis dan jumlah penduduk Timor Loro Sa’e saat ini,
dapat kita katakan bahwa tidak mungkin hal itu akan terjadi tapi realitas
mengatakan lain, kenyataannya memang terjadi, negara menjadi terisolir dan
tidak mampu untuk menyelesaikan urusan rumah tangganya sendiri, kita mengemis
ke negara-negara adikuasa untuk menopang dan melindungi kita terhadap ancaman
dan bahaya yang sebenarnya berasal dari kebodohan kita sendiri. Kita telah
merdeka tapi kenyataannya kita belum bebas, kita masih terus dihantui rasa
ketakutan, kegelisahan, ketakberdayaan dan kecemasan yang berasal dari negara
kita sendiri. Di tengah kerapuhan dan kegamangan situasi bangsa saat ini, semua
pihak berlomba-lomba untuk menjadi pahlawan namun hasil akhir tetap
menemui jalan buntu.
Tak terasa sudah dua tahun lebih negara kita masih
di bawah kendali pasukan perdamaian PBB, namun toh, pemberontakkan dan
pembunuhan tetap saja terjadi di bumi Loro Sa’e, padahal pasukan keamanan
Internasional PBB merata di mana-mana, namun mengapa harus terjadi peristiwa 11
February 2008? Yang korbannya adalah Presiden RDTL Dr. Jose Ramos Horta dan
Mayor Alfredo Reinado Alves dan seorang Pengawalnya (Leopoldinho,red)
yang dianggap Pemerintah Timor Leste sebagai Pemberontak bangsa yang mencoba
melakukan pembunuhan dan penculikan terhadap kedua pemimpin tertinggi negara
Timor Loro Sa’e dan mencoba melakukan kudeta di bumi bangsa Timor Loro Sa’e?
Padahal seperti diketahui bahwa hubungan Mayor Alfredo Reinado dan kedua
pemimpin negara itu selama ini berjalan lancar-lancar saja dan sering terjadi
baku kontak antara mereka dalam membicarakan agenda dialog yang sedang
direncanakan oleh pihak Pemerintah dan Gereja untuk mencari jalan keluar yang
tepat dalam mencari solusi penyelesaian yang baik di antara kedua pihak baik
dari Pemerintah sendiri maupun dari pihak Mayor Alfredo Reinado, dkk. Tapi
fakta yang terjadi pada tanggal 11 Februari 2008 yang lalu, berbicara lain,
tidak sesuai dengan apa yang selama ini diharapkan, yang mana menyebabkan
Presiden Timor Leste, Dr. Jose Ramos Horta tertembak dan Mayor Alfredo Reinado
dan anak buahnya tewas di tempat, bahkan setelah sejam kemudian Perdana Menteri
Timor Leste, Xanana Gusmao pun dikatakan ditembak oleh kelompok Mayor Alfredo,
yang dipimpin oleh Letnan I Gestao Salsinha dan kawan-kawannya ketika beliau
dalam perjalanan dari kediamannya ke kota Dili, setelah terjadi peristiwa
penembakan itu, Perdana Menteri Xanana Gusmao langsung mengatakan bahwa negara
Timor Loro Sa’e dalam keadaan darurat dan diberlakukan siaga satu yang
dikomandai oleh pasukan keamanan internasional PBB dan FFDTL, dijajaran Timor
Loro sa’e khususnya di ibu kota Dili. Setelah itu, pemerintah pun mengeluarkan
surat perintah bagi Letnan I Gestao Salsinha dkk, untuk menyerahkan diri kepada
pasukan internasional.
Penulis dengan teliti menyimak kilasan berita yang
disiarkan di Metro TV dan beberapa surat kabar (Flores POS, POS Kupang, harian
KOMPAS dan majalah lainnya) mengatakan bahwa pemerintah RDTL meminta bantuan
penambahan anggota keamanan dari PBB untuk mengamankan situasi negara RDTL yang
sedang dalam keadaan kacau, padahal, sejauh yang penulis tahu bahwa, untuk
sementara ini, pasukan keamanan internasional PBB masih bereksis di Timor Loro
Sa’e, guna memberi keamanan bagi negara dan masyarakat Timor Loro Sa’e, tapi
toh, mengapa masih terjadi kerusuhan dan kekacauan di Ibu kota Dili, yang mana
menjadi pusat bereksisnya Pasukan Perdamaian Internasional PBB yang lengkap
dengan alat-alat berat perangnya seperti; tank-tank, helikopter,
senjata-senjata otomatis dan beberapa jenis alat perang lainnya yang serba
canggih dan otomatis. Tapi mengapa Mayor Alfredo Reinado dan kawan-kawannya,
yang dianggap pemerintah sebagai pemberontak masih berkeliaran sampai
terjadinya peristiwa 11 Februari 2008 lalu.Apa sebenarnya fungsi dan tugas
utama pasukan perdamaian PBB selama bereksis di Timor Loro Sa’e? Mengapa masih
ada kelompok-kelompok yang disebut pemberontak Negara yang terus berkeliaran di
mana-mana? Apakah Alm. Mayor Alfredo Reinado, dkk, adalah pemberontak dan
penjahat negara? Tapi toh, sebagian orang menyebut dia sebagai pahlawan? Jangan
sampai bumi Loro Sa’e ini menjadi lahan bisnis bagi negara-negara asing, karena
kenyataannya meskipun pasukan keamanan Internasional semakin banyak dan
beberapa waktu ini terjadi penambahan jumlah pasukan perdamaian PBB, apakah
Pemerintah sanggup untuk membayar semuanya itu? Dengan demikian penulis
mengambil kesimpulan bahwa, semua problem yang saat ini sedang melanda Timor
Loro Sa’e adalah suatu proses ketidakmampuan dan kelemahan dari kebijakan
politik pemerintah Timor loro Sa’e sendiri; yang tidak sanggup untuk
menyelesaian dan mencari jalan keluar yang baik dan menguntungkan seluruh
pihak. Demi membangun dan menyejahterakan bumi Loro Sa’e ini menuju masa depan
yang cerah dan gemilang.
Dalam beberapa hari belakangan ini, telah
dikabarkan bahwa pimpinan kelompok pemberontak Letnan I. Gestao Salsinha
beserta anak buahnya telah menyerahkan diri kepada pasukan keamanan
Internasional PBB dan Pemerintah Timor Leste. Setelah ini ke depan apa yang
akan terjadi lagi bagi masa depan bangsa Timor Loro Sa’e yang tak kunjung henti
dilanda oleh problem-problem Politik yang terjadi karena kelalaian dan kurang
bijaknya intellektual negara kita. Sampai kapan kita terus dililiti oleh
kegelisahan, keterpurukan dan kekelaman keamanan negara yang kurang kondisif.
Apakah semua ini terjadi akibat dari lemahnya pengetahuan dan intellek
kepemimpinan negara? Jika, semuanya itu dipaksakan tanpa mengukur kemampuan
kepemimpinan kita, maka politik tidak akan dikelola dan menjadi sosok yang
indah dan kekuasaan tidak akan dikemas menjadi suatu yang agung. Praksis
politik menjadi permainan kotor, tanpa moralitas dan etiket berpolitik yang
sehat. Ujungnya, keindahan keinginan politik berubah menjadi bau amis yang
menyengat dan keagungan kekuasaan menjelma menjadi medan yang menakutkan.
Gelagat permainan politik para politisi yang berkembang belakangan ini tidak lebih
hanya sebuah ambisi untuk mendapatkan kursi kekuasaan tanpa sadar bahwa mereka
dipilih oleh rakyat, untuk rakyat dan kepada rakyat. Tetapi, hal yang harus
disadari adalah kebijakan politik adalah orientasi utama seorang
pemimpin.
---------------------------------))))))00000((((((-----------------------------
STL (Suara Harian Timor
Leste),
23 Maret 2008