“ETIKA
POLITIK SEBAGAI SEBUAH “CONVIVUM” MENUJU JATI DIRI
BANGSA TIMOR LESTE YANG BARU”
(Sebuah
Refleksi Filosofis Dalam Ranah Filsafat Politik)
Jati diri pada umumnya adalah penunjukan pada identitas diri. Jati diri berkorelasi
langsung dengan pribadi individu, dalam arti lebih luas
jati diri lebih terarah kepada nasionalisme bangsa atau harga diri bangsa. Sebagai bangsa pluralistik dalam aneka bidang kehidupan
dengan berlandaskan falsafah dan ideologi politik yang demokratik, Timor Leste
mengusung sistem politik demokrasi dalam ranah praksis politiknya dalam
menjawabi realitas kemendesakkan yang mengharuskan penerapan sistem demokrasi
ini. Dalam menelusuri jejak-jejak perjuangannya
menuju kemerdekaannya, bangsa ini dihiasi dengan beragam kompleksitas
problematika yang turut mengiringi roda perpolitikan di bumi Lorosa’e ini.
Selama kurang lebih satu dekade Timor Leste
telah menunjukkan jati dirinya di tengah-tengah realitas mundial sebagai bangsa
yang mengasaskan diri pada politik demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sebuah
sistem yang mampu menjadi wadah bagi seluruh aspirasi dan kebijakan-kebijakan
politis warga Timor Leste dalam menemukan dan merealisasikan idealismenya dalam
menciptakan suatu bangsa yang bonum
commune. Meskipun demokrasi telah menghiasi panorama perpolitikan Timor
Leste, tetapi tak dapat disangkal pula bahwa selama perjalanannya bumi Lorosa’e
selalu dihiasi dengan beragam peristiwa yang turut mencoreng identitas Lorosa’e
sebagai sebuah bangsa yang berlandaskan pada demokrasi yang berdaulatkan pada kekuatan
hukum-konstitusi RDTL sebagai cermin dalam menjalankan tampuk kekuasaan negara
ini menuju idealisme para founder fathers
bangsa ini.
·
Timor
Leste dan Realitas-Praksis Politik
Prinsip Politik adalah menempatkan
kekuasaan di bawah kontrol hukum dan dengan demikian menata penggunaannya
secara bermakna agar aturan (hukum-konstitusi) itu ditaati, sehingga tidak
terjadi kesewenangan dan ketimpangan politik dari para elitis, politikus maupun
warga masyarakat Timor Leste sendiri. Norma ini diperlukan dalam percaturan
politik bumi Lorosa’e, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan
dalam dunia perpolitikan. Realitas perpolitikan di negara “muda” ini bahwa, para elite politik sering menggunakan
panggung politik untuk memperjuangankan intensitas pribadi maupun kelompok
tertentu dengan mengabaikan prinsip-prinsip fundamental politik yang bertujuan
demi tercapainya Bonum Commune. Dengan
demikian politik perlu dipandu dan diarahkan demi tercapainya keadilan sosial
yang menyejahterakan masyarakat. Sumber dari prinsip politik itu sendiri tidak
lain adalah dari martabat luhur manusia itu sendiri sebagai makhluk politis: zoon politikon.
Negara Republik Demokratik Timor Leste terbentuk
dengan suatu cita-cita luhur para founding
fathers yakni mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera atau dengan
kata lain menciptakan negara demokratis yang menjamin kesejahteraan masyarakat
(Welfare State) dalam arti pendirian negara
Lorosa’e ini dengan dasar filosofis mewujudkan prinsip Summum Bonum dan Bonum
Commune. Jaminan akan kesejahteraan warga masyarakat harus menjadi
prioritas dalam pengembangan sistem politik para elite politik. Karena sistem demokrasi itu sendiri merupakan sebuah
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan
demikian warga masyarakat juga memegang andil penting dalam menentukan
kebijakan-kebijakan politik. Selain itu, negara juga mempunyai tanggungjawab
dalam memperhatikan kesejahteraan warga masyarakat dengan menciptakan iklim
yang kondusif dalam segala bidang kehidupan. Dengan demikian akan terciptanya
suatu korelasi yang harmonis antara negara (pemerintah) dengan masyarakat
maupun sebaliknya, antara masyarakat dengan negara (pemerintah). Realitas
prinsip politik ini belum mampu menjawabi aspirasi masyarakat Timor Leste,
karena panorama politik bangsa ini masih dililiti dengan konpleksitas
ketimpangan politik, seperti korupsi, deskriminasi, malpolitik, money politics, dan beragam problematika
sosial dan politik lainnya yang turut menghiasi kancah politik bumi Lorosa’e
ini.
·
Etika
Politik dan Politik Hati Nurani
Kebutuhan akan etika politik
muncul ketika ada penyelesaian masalah-konflik yang bermunculan, yang dirasa
tidak mencerminkan cita rasa etis dan moral sesuai dengan norma-norma sosial
yang berlaku dalam suatu masyarakat maupun negara yang dapat diterima secara
publik. Etika politik dibutuhkan sebagai rambu untuk mempertemukan jalan-jalan
yang berseberangan demi sebuah “convivum”,
sebuah kehidupan bersama dalam keberagaman. Di sini etika dipandang sebagai
sebuah konsensus dalam ranah ruang publik, di mana etika berperan sebagai jalan
penengah untuk menemukan solusi yang tepat dalam pemecahan suatu masalah dalam
suatu dinamika politik terutama pada kehidupan praksis dalam lingkup masyarakat
atau negara. Etika tidak dipandang sebagai pusat, selera dan kepentingan umum
masyarakat yang menjadi prinsip fundamental dalam memecahkan dan menemukan
solusi dalam konflik, tetapi peran etika politik berperan hanya sebagai sarana
penyalur dan rambu lalu lintas untuk memperlancar lajunya percaturan politik
dalam suatu negara. prinsip etika politik seperti inilah yang dibutuhkan oleh
negara Lorosa’e ini. etika diperlukan sebagai “marcusuar” dalam meneropong dan menentukan arah kiblat politik
kemana politik hendak diarahkan oleh kaum leaders
di negara ini.
Pada tataran ini “Etika politik” bergumul
dengan persoalan etis penentuan tujuan politis dan metode yang digunakan dalam
tujuan itu. Etika di sini lebih menyangkut pengaturan persoalan praksis dalam
masyarakat politik; etika politik bukan baru menjadi relevan ketika manusia
berhadapan dengan konflik atau suatu persoalan politik. Pertimbangan etis etika
politik ini muncul ketika orang mulai berpikir tentang realitas hidup dan
kenyataan riil yang mulai digelutinya dalam civil
society. Prinsip utama yang dipakai adalah otonomi diri atau manusia
sebagai makhluk persona. Pribadi manusia Timor Leste yang otonom itulah yang
menjadi penentu terakhir etis tidaknya suatu perilaku politik, baik itu sebagai
pribadi maupun sebagai komunitas dalam suatu
masyarakat di bumi Timor Leste ini.
Etika politik mengkaji tentang pertautan antara legitimasi
kekuasaan dan aktus moral seseorang maupun kelompok tertentu. Bentuk pertautan
yang dimaksud merujuk pada kenyataan bahwa kekuasaan harus berpijak pada suatu
landasan moralitas dengan maksud untuk stabilitas dari kekuasaan itu sendiri.
Kenyataan membuktikan bahwa kekuasaan tanpa adanya pertimbangan legitimasi
moral akan rapuh dan tidak berakar dalam dirinya sendiri. Jika percaturan dunia
perpolitikan tanpa etika maka pengarahan diskursus politik akan mengalami degradasi
dan akan memunculkan sistem monopoli politik dalam diri politik itu sendiri.
Dengan demikian politik mengarah pada kejatuhannya sendiri. Oleh karena itu,
setiap pemimpin atau penguasa masyarakat di Timor Leste harus berpijak pada
prinsip etika politik. Lebih dari itu, politik harus berpijak pada rasionalitas
dan moralitas karena kedua prinsip etika politik ini menjadi dasar kepemimpinan
dan keterarahan perjalanan bumi Lorosa’e demi tercapainya masyarakat yang adil
dan sejahtera; Bonum Commune. Politik
yang bertanggungjawab dan yang berlandaskan pada kebenaran dan nilai-nilai
kemanusiaan tidak mengangkangi moralitas sehingga percaturan dunia politik yang
baik dan benar haruslah berakar pada moralitas. Di sini etika (moralitas)
politik tampil sebagai jembatan demi terciptanya jalannya sistem politik yang
adil dan fair dalam negara negara
Timor Leste yang berpahamkan pada demokrasi dan hukum (konstitusi) sebegai
patokan/ dan pijakan kepemimpinan di negara “Matahari Terbit” ini.
·
Dimensi Violatif Dari Politik
Sudah menjadi hal yang lumrah
bahwa kancah perpolitikan bangsa ini selalu dihiasi dengan beragam peristiwa
yang mengganggu stabilitas tanah air, masih terekam dengan segar dalam memori
kita beberapa masalah nasional yang dihadapi oleh negara kita ini. tetapi,
realitas permasalahan yang dihadapi bangsa ini hendaklah menjadi permenungan
dan refleksi bagi warga bangsa ini untuk dapat bercermin lebih jauh ke dalam
demi menemukan solusi yang tepat guna dalam membebaskan nasionalisme bangsa ini
demi mencapai bangsa yang adil, makmur dan tenteram. Pergunjingan seputar demokrasi menggugah
hati setiap orang untuk meneropongnya dari dekat dan mencoba mencari
mutiara-mutiara indah di balik lautan demokrasi itu. Ada apa dengan demokrasi di bumi Lorosa’e? Ini sebuah pertanyaan yang melintas dalam benak kalangan elite politik maupun masyarakat
proletar (marginal) yang menceburkan dirinya dalam lautan demokrasi dan
berusaha menemukan butir-butir nilai demokrasi serta peredaran demokrasi
sepanjang perjalanan sejarahnya, masa kini maupun di masa depan. Hanya atas dasar prinsip-prinsip moral dalam etika politik maka upaya ke arah
pembentukan masyarakat Timor Leste demokratis dapat terwujud. Artinya,
masyarakat yang memandang dirinya sebagai subjek sekaligus pemegang kedaulatan kekuasaan negara
dan menghargai pluralitas tanpa sikap deskriminatif serta berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Kondisi yang demikian merupakan sebuah
ironi besar dalam dinamika politik demokrasi di tanah air ini. Sistem
pemerintahan negara yang berjalan saat ini masih jauh dari bobot responsif dan representatif. Para wakil
rakyat yang mengambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan masih mementingkan
kepentingan individual atau kelompok-kelompok tertentu. Penerapan sistem
kedaulatan yang tidak demokratis ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk
kegagalan pemerintahan Timor Leste yang menyebut
diri demokratik. Kegagalan
politik para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat mendatangkan
sikap pesimisme dalam diri masyarakat; rakyat masih berada dalam genggaman
kegelisahan dan penderitaan. Pada taraf ini, kebebasan telah dipasung oleh
segelintir orang (penguasa) yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat
hanya mengunyah dampak dari berbagai kebijakan politik yang mendatangkan
penderitaan dan kemiskinan. Munculnya kebijakan yang mendistorsi harapan dan
cita-cita rakyat, membuat rakyat menjadi semakin teralienasi dari
kebebasan demokratis itu sendiri. Di sini kehidupan praksis
politik hanya menimbulkan berbagai bentuk kontroversi. Hal ini
dikarenakan percaturan politik yang sedang dianut oleh Timor Leste terlalu jauh dari intensionalitas politik itu sendiri. Politik yang bertujuan demi kesejahteraan menampilkan sisi
violatifnya dengan praktek-praktek malpolitik, seperti kasus korupsi, politik
suap, isu politik, saling mengkambinghitamkan, dan beragam masalah politik
lainnya masih menghiasi perhelatan politik di bumi Lorosa’e ini.
Dewasa ini percaturan politik bangsa ini dilihat sebagai
suatu aktivitas politik yang kotor, tidak sehat dan penuh dengan motivasi
monopoli dan sejumlah litani malpolitik yang dijalankan oleh beberapa politisi
maupun elitis di bumi Lorosa’e ini. Sebagai Negara yang mengklaim diri sebagai
menganut paham demokrasi dipanggil untuk turut memerankan aktivitas monopoli
politik yang menyetir alur perjalanan politik kepada kehendak pribadi maupun
kelompok yang diperjuangkan oleh para leader
tertentu. Maka, benarlah apa yang dicemaskan oleh Karl Marx dan F. Engel
bahwa, kekuasaan politik adalah suatu kekuatan yang terorganisasi untuk
menindas orang lain, sebagaimana dijelaskan Marx dalam bukunya ‘Das Kapital’,
di mana adanya monopoli politik yang tidak sehat antara kaum proletar dan para
kapitalis. Di sini alat bantu penerapan sistem monopoli politik ini adalah
tindak kekerasan. Kekerasan menjadi sarana yang paling ampuh; kekerasan telah
menampakkan sosoknya yang paling nyata sebagai suatu gejala munculnya
ketimpangan dunia politik.
Ketimpangan politik Timor Leste juga sering menampakkan momok
kejahatannya dalam rupa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), deskriminasi dan
pembedaan golongan dan etnis serta beberapa ketimpangan politik lainnya yang
sering kita jumpai dalam panorama perpolitikan negara ini. dinamika politik
belakangan ini, ialah bagaimana adanya persaingan yang ketat antara para
politisi dan elitis di negara ini, persaingan politik antara partai politik
dengan calon pemimpin yang diusung setiap partai politik dipentaskan secara
gamblang di hadapan publik. Wacana dan tawaran-tawaran politis dikumandangkan
dengan tujuan mendapat dukungan penuh dari warga bumi Lorosa’e ini; meskipun tawaran-tawaran
dan janji-janji kampanye tersebut hanyalah obrolan hampa yang sering tidak
dikonkritisasikan ketika kaum elitis sudah memperoleh apa yang telah
diperjuangkan dengan kekayaan janji-janji hampa yang takterealisasikan. Selain
itu, politik juga sering berujung pada tindak kekerasan, ancaman, teror dan
membungkam kebebasan dan lain sebagainya, politik menampilkan momok negatifnya;
dimensi violatif politik mengangkangi realitas politik yang pada dasarnya
bertujuan demi tercapainya masyarakat Lorosa’e yang Bonum Commune. Dengan demikian cita-cita Summum Bonum di Negara ini hendaknya menjadi prinsip utama dalam
menjalankan roda perpolitikan negara ini.
·
Membangun Jati Diri Bangsa : Sebuah
Tantangan Kreatif
Tidak dapat dipungkiri bahwa politik merupakan satu dimensi
hakiki hidup manusia di dalam kehidupan masyarakat. Politik mencakup
keterlibatan keseluruhan individu dalam suatu komunitas masyarakat. Dengan
demikian politik hendak menggambarkan adanya pastisipasi aktif dan responsif
masyarakat dalam menentukan kebijakan dan jalannya roda pemerintahan negara.
Dalam negara yang menganut sistem politik demokrasi, politik menjadi suatu
media di mana masyarakat dapat menentukan sikap secara sadar dan bebas serta
bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani dalam kehidupan publik karena
realitas politik merupakan persoalan publik yang menyangkut keterlibatan
seluruh warga masyarakat. Kuantum rasio manusia juga turut berpengaruh dalam
menentukan kebijakan-kebijakan politik suatu negara. Dengan kemampuan rasio
yang memadai seorang pemimpin mampu menentukan sikap dan keputusan yang tepat,
yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapan suatu bangsa (negara).
Membangun dan menanamkan jati diri bangsa merupakan cita-cita
luhur perjuangan kemerdekaan Timor Leste yang terus mendarahdaging dalam diri
putera-puteri Negara ini. Realitas politik Timor Leste dewasa ini mengalami
banyak perkembangan dalam hal penerapan sistem pemerintahan yang dapat
menjawabi seluruh realitas masyarakat secara global dan menjadi wadah cita-cita
masyarakat Timor Leste menuju Bonum
Commune. Tidak heran bahwa, dengan mengusung sistem politik demokrasi
sebagai model dalam pemerintahan negara ini, sistem demokrasi ditantang oleh
realitas dan arus perpolitikan yang melanda negara “Matahari Terbit” ini agar
mampu menjawabi realitas kemendesakkan warga negara bumi Lorosa’e menuju
cita-cita para founder fathers Timor
Leste. Dengan menengok kembali ke historisitas perjuangannya, para leaders
ditantang untuk memperjuangan kehendak bersama dengan menomorduakan kehendak
pribadi maupun kelompok sendiri. Memperjuangan kepentingan bangsa merupakan
jati diri dari negara yang mengusung sistem pemerintahan demokrasi dengan berlandaskan
pada legitimasi hukum (Konstitusi) RDTL. Pada tataran ini semua warga
masyarakat ditantang untuk menegakkan prinsip bonum commune dan summum
bonum di bumi Lorosa’e.
·
Membangun
Bangsa Timor
Leste yang Majemuk
Dinamika
politik dunia dewasa ini membutuhkan campurtangan yang lebih serius dari para elite politik yang benar-benar berjuang
demi tercapainya cita-cita masyarakat madani yang sejahtera dan makmur (Bonum Commune). Dalam hal ini,
keberadaan warga negara merupakan suatu unsur konstitutif bagi eksistensi suatu
negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa hakikat negara adalah jawaban pada
tingkatan tertentu atas tuntutan kodrati manusia sebagai makhluk sosial (Ens Sociale) yang mendapat hak
eksistensinya dalam suatu negara. Dengan demikian penekanan pada keseimbangan
antara kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan religius perlu dijaga.
Maka, etika politik mendapat posisi penting dalam menentukan jalannya roda
pemerintahan terutama dalam meminimalisir segala bentuk ketimpangan-ketimpangan
yang akan muncul. Sebagaimana ditandaskan Hegel bahwa, “pada dasarnya hidup
suatu bangsa merdeka merupakan suatu moralitas yang riil, suatu moralitas dalam
suatu wujud tertentu dan dengan demikian roh yang absolut tampak dalam suatu
yang konkrit seperti nyata dalam keseluruhan adat, undang-undang, hukum,
norma-norma moral dengan identitas yang khas”.
Pluralitas
bangsa Timor Leste mencakup segala aspek kehidupan: multietnis, multikultur,
multilinguis, dan beragam aneka kehidupan lainnya. Realitas demikian menghatar
bangsa ini menuju suatu pola kehidupan yang unitas
multiplex (kesatuan dalam keanekaragaman). Tidak jarang prinsip unitas multiplex ini memunculkan dua
paham pemikiran yang sangat
berseberangan, perjuangan untuk menjunjung tinggi nilai pluralitas bangsa Timor
Leste dan di lain pihak perjuangan untuk memantapkan nilai-nilai persatuan dan
keutuhan yang selaras dalam panggung perpolitikan Timor Leste. Tidak jarang,
kedua pemahaman yang bersinggungan ini menghantar bangsa ini kepada aneka ragam
problematika yang berujung pada konflik-konflik pemahaman dan ide sampai pada
perbenturan fisik. Dalam menjembatani kedua pemahaman ide ini maka, Sistem pemerintahan demokratis Timor Leste hendaknya menekankan
peran penting warga (rakyat), karena partisipasi merupakan suatu nilai yang
mutlak dalam negara demokrasi. Partisipatif warga negara yang dimaksud di sini
adalah suatu bentuk keterlibatan yang responsif dan edukatif. Melalui
keterlibatan partisipatif, masyarakat diberi ruang untuk menunjukkan
kontribusinya dalam kehidupan bersama sebagai warga negara, sebab bentuk
partisipsi-responsif macam ini tidak dapat tidak bertujuan demi pencapaian
prinsip Bonum Commune. Dengan adanya
partisipatif-responsif dan kebebasan berpolitik maka, persatuan menuju kesatuan
(unitas complex) bumi Lorosa’e dapat
menampilkan sosoknya sebagai negara yang berdaulatkan pada legitimasi hukum dan
konstitusi.
·
Cita-cita
Menuju Timor Leste yang Demokratik
Dalam
sistem pemerintahan yang demokratis, kebebasan dilihat sebagai suatu kebutuhan
(necessity) yang mutlak. Namun,
kebebasan demikian harus didasarkan pada sikap tanggungjawab yang dijamin
inteligibilitasnya. Kebebasan seperti ini memungkinkan rakyat untuk bersikap
profetis. Oleh karena itu, setiap kebebasan harus diakomodir oleh/ dan sesuai
dengan hukum dan konstitusi (undang-undang) agar masyarakat Timor Leste dapat
memaknai kebebasannya secara partisipatif-responsif. Kebebasan dalam tataran
ini mesti dilegitimasi oleh hukum yang berlaku secara yuridis di Negara ini dengan
tujuan demi tercapainya cita-cita Bonum
Commune. Dengan demikian, etika politik memainkan
peran penting dalam menjamin terciptanya masyarakat dan negara yang rukun dan
harmonis. Peran etika politik (moral politik) diperlukan untuk memberi
sumbangsih dalam membentuk watak dan intensi setiap pribadi politisi, demi tercapainya
negara yang makmur, aman dan sejahtera. Di sini mau ditandaskan bahwa
penciptaan dan pembuatan hukum (konstitusi) bukannya tanpa tujuan hakiki. Pada
tataran formal dan prosedural hukum mempunyai tugas menertibkan dan mengamankan
negara (politik) demi terealisasinya keadilan sosial secara menyeluruh. Perlu
disadari bahwa, negara tidak punya wewenang untuk mengharuskan para warganya
agar bermoral, sebab jika terjadi demikian maka, para leader politik berusaha menanamkan
kesombongan ideologi dan moralis secara otoriter kepada rakyatnya. Di sini
etika politik berperan sebagai pengingat bagi para politisi dan leaders agar tidak memegang tampuk
kekuasaannya secara otoriter.
Panggung
dunia politik di era-postmodernisme dewasa ini lebih dilihat sebagai sarana dan
peluang untuk memperoleh dan memperebutkan kekuasaan, terutama ini terdapat
dalam kalangan para elite politik,
baik itu di negara-negara yang menganut paham demokrasi liberal (demokrasi
deliberatif) maupun negara-negara yang menganut paham desentralisasi atau
kapital komunis. Negara demokrasi merupakan komunitas politik yang berlandaskan
pada prinsip kebebasan, kesamaan dan kedaulatan. Sebagai sebuah komunitas,
negara demokrasi dengan prinsip-prinsipnya membuka jalan yang lebar bagi
keterlibatan secara aktif warga masyarakat dalam menentukan kebijakan-kebijakan
dalam sistem politik dan pemerintahan. Negara demokrasi yang tidak menjamin
aspek partisipatoris kolektivitas masyarakat merupakan sebuah sistem yang
pincang, sebab pada prinsipnya politik itu bersifat universal dan terbuka bagi
siapa saja, tanpa dipengaruhi oleh status-status sosial tertentu.
Percaturan dunia politik bersifat
terbuka dan universal, dalam arti partisipasi aktif-efektif setiap individu
sangat dijunjung tinggi. Yang dimaksudkan adalah suatu bentuk partisipasi yang
bersifat responsif-rasional, terutama demi terciptanya masyarakat politik yang
matang dan dewasa dalam dunia politik. Gerald E. Caiden menyebutkan tiga
istilah kunci dalam kaitan dengan kebebasan demokratis yang bersifat
partisipatif dan universal. Tiga kunci ini adalah responsabilitas, libialitas dan akuntabilitas.
Responsabilitas merujuk pada otoritas
untuk bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan. Sedangkan libialitas diasumsikan sebagai tugas
untuk memperbaiki, menjaga dan mengorganisir jalannya sistem politik dan akuntabilitas merupakan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan pola partisipasi dalam kebijakan-kebijakan negara yang
telah dibuat secara terbuka dan bebas serta responsif.
******
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar