Minggu, 03 November 2013

DISKURSUS BERSAMA USKUP BELO, SDB: SEBUAH TEOLOGI TERLIBAT DALAM MEMAKNAI KEMERDEKAAN DAN DEMOKRASI DI TIMOR LESTE

DISKURSUS BERSAMA USKUP BELO, SDB: SEBUAH TEOLOGI TERLIBAT DALAM MEMAKNAI KEMERDEKAAN DAN DEMOKRASI DI TIMOR LESTE

***Carlito Costa Araujo, O.Carm
Penulis Adalah Mahasiswa Pada STFK Ledalero Maumere-Flores



         Sebuah pepatah puitis berbunyi, “usia adalah waktu, waktu adalah peristiwa, dan peristiwa adalah sejarah yang terdiri dari kejayaan dan tragedi”. Demikianlah, kalau menyebut nama Uskup Belo, SDB maka sekiranya ungkapan puitis ini lebih cocok dialamatkan kepada beliau. Secara struktural, ungkapan ini merupakan hal kunci untuk memahami perjalanan panjang seorang tokoh mondial yang namanya tidak lagi asing bagi seantero dunia. Kesohoran nama Uskup Belo menjadi mendunia ketika hadiah Nobel Perdamaian dialamatkan kepada beliau pada tanggal 10 Oktober 1996 di Genewa - Swiss, bersama dengan rekan seperjuangannya Dr. Jose Ramos Horta. Untuk memahami sepak terjang Uskup Belo tidaklah cukup menyimaknya dalam salah satu bingkai kehidupan saja, melainkan seribu bingkai yang menghiasi panorama perjalanannya sebagai seorang gembala umat, yang sekaligus sebagai pejuang kebenaran, Keadilan dan perdamaian serta Hak Asasi Manusia, bukan saja hanya sebatas untuk masyarakat di bumi Timor Loro Sa’e melainkan perdamaian bagi seluruh jagat semesta.
           Mengupas kembali sepak terjang perjuangan Timor Loro Sa’e menuju kemerdekaannya, tidak bisa dilepas-pisahkan dengan keterlibatan Gereja Katolik pada saat itu. Bukan dalam arti bahwa, di dalam perjuangan menuju kemerdekaan yang terealisir pada 30 September 1999, gereja menjadi dalang dan promotor kemerdekaan itu, tetapi peran serta Gereja Katolik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan penegakan kebenaran, keadilan, perdamaian dan Hak Asasi Manusia menjadi salah satu agenda prinsipiil. Sebagaimana Gereja dipanggil untuk menyuarakan kebenaran, keadilan dan perdamaian maka sudah semestinya Gereja bertindak dan terlibat secara praksis pastoral dalam membahasakan serta menyuarakan kaum tertindas yang dibungkam dan dikekang hak-hak politisnya. Menengok sekilas perjalanan bangsa ini menuju kemerdekaannya, begitu banyak tragedi suram yang telah menggores dan kini masih membekas dalam diri masyarakat Timor Leste. Untuk menyongsong terbitnya matahari kemerdekaan maka, rentetan pengalaman suram dan kelam begitu panjang turut mengiringi terbitnya fajar kemerdekaan di bumi Matahari Terbit ini. Ternyata benar bahwa, untuk mencapai suatu kebebasan berpolitik  yang lebih bermartabat dan otonom dibutuhkan suatu perjuangan, dan dalam perjuangan itu pengorbanan tidak bisa dihindari.
       Sepak terjang Gereja dalam memperjuangkan nilai-nilai humanitas, kebenaran, keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan dengan keterlibatan para aktivis dan tokoh-tokoh Gereja Katolik maupun Protestan pada saat itu, salah satu aktivis sekaligus tokoh gereja yang sampai saat ini tidak bisa dilupakan begitu saja dalam memori masyarakat luas di Timor Leste adalah uskup Mgr. Don Carlos Filipe X. Belo, SDB atau yang biasa disapa dengan amo Bispo Belo. Keterlibatan beliau dalam menyuarakan suara umatnya yang redup-samar terdengar dan tak terdengarkan tidak hanya sebatas wacana dan seruan pastoral semata tanpa sebuah konkritisasi di atas mimbar gereja, tetapi keterlibatan beliau menyata terutama melalui aksi dan tindakan. Suatu model pastoral terlibat. Keterlibatan responsif, dedikatif, dialogal dan komunikatif. Pastoral uskup Belo merupakan sebuah “teologi terlibat”, dimana keberpihakan dalam menyuarakan suara kaum tertindas menjadi lebih nyaring bergema keluar, dan gaungnya bisa terdengar di seluruh pelosok mondial. Meskipun keterlibatan beliau dalam memperjuangkan nilai-nilai prinsipiil Gereja telah menuai beragam polemik sekaligus kontradiktif, tetapi karena penyelenggaran Roh Kudus yang hidup telah membimbing beliau kepada suatu harapan baru, suatu fajar matahari baru bagi tanah tercinta ini. Suatu harapan yang telah membimbing dan menghantar seluruh masyarakat Timor Leste dalam menghirup fajar kebebasan, matahari kemerdekaan untuk bumi pertiwi Timor Leste.

·         Timor Leste dan realitas Politik
           Satu dekade sudah Timor Leste telah memproklamirkan diri kepada seantero dunia sebagai sebuah negara yang merdeka (independen) di dalam deretan peta bangsa-bangsa dunia. Sebagai sebuah negara baru apakah panorama perpolitikan di negara matahari Terbit ini telah menjawabi amanat para founders fathers bangsa ini dalam menciptakan summum bonum dan bonum commune? Untuk menciptakan sebuah polis walfare state tidaklah sedemikian mudahnya seumpama membalikan telapak tangan. Negara Republik Demokratik Timor Leste terbentuk dengan suatu cita-cita luhur para founding fathers yakni mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera atau dengan kata lain menciptakan negara demokratis yang menjamin kesejahteraan masyarakat (Welfare State) dalam arti pendirian negara Lorosa’e ini dengan dasar filosofis mewujudkan prinsip Summum Bonum dan Bonum Commune. Jaminan akan kesejahteraan warga masyarakat harus menjadi prioritas dalam pengembangan sistem politik oleh para elite politik.
       Realitas panggung politik yang terjadi sampai dengan saat ini dapat dikatakan bahwa, kemerdekaan Timor Leste bukanlah sebagai sebuah titik finalitas, melainkan sebuah proses. Dalam arti bahwa, kemerdekaan yang telah diperjuangkan selama ini belum menjawabi aspirasi universal masyarakat Timor Leste. Pembenahan dalam setiap aspek kehidupan perlu diperhatikan bahkan harus menjadi agenda utama perpolitikan para elitis dan politisi di bumi Loro Saa’e ini. Realitas perpolitikan telah membawa masyarakat Timor Leste menghirup udara kemerdekaan, tetapi realitas itu belum sepenuhnya memberikan titik cerah dalam wajah masyarakat Timor Leste. Tidak dapat dipungkiri bahwa, untuk mengisi kemerdekaan dari sebuah kehancuran adalah suatu proses dalam kurungan perputaran waktu. Pengalaman sejarah politik dunia menunjukan bahwa untuk membangun sebuah tatanan politis yang bonum commune dibutuhkan komitmen  yang kuat dalam rentetan waktu dalam diri para elitis, para politisi maupun warga masyarakat di negara ini yang memegang tanggungjawab untuk membangun bumi Timor Leste.
          Secara antropologis sosial sistem politik maupun sistem tata pemerintahan yang sedang berjalan merupakan tanggungjawab dua pihak yang berperan penting dalam perhelatan politik di negara ini. Pihak pertama adalah masyarakat secara umum dan para elitis khususnya yang berperan sebagai penggerak serta pengendali roda pemerintahan, dan pihak yang kedua adalah agama, secara khusus disinggung disini adalah agama (Gereja) Kristen-Katolik yang menjadi agama mayoritas di bumi Loro sa’e. Sebagai sebuah negara yang bermayoritaskan penduduk beragama Kristen-Katolik tidak dapat dipungkiri bahwa, yang menduduki tampuk pemerintahan dan menjadi kaum politisi serta elitis adalah orang-orang yang menyandang status sebagai orang Katolik. Di samping agama Katolik sebagai agama mayoritas terdapat pula agama-agama lainnya, tetapi kenyataan mayoritas elitis dan politisi di dalam pemerintah saat ini adalah yang menyebut diri sebagai penganut Gereja (dibaca iman) Katolik. Sehingga dalam realitas panggung perpolitikan saat ini adanya kerja sama yang kuat antara pihak pemerintahan dan pihak Gereja Katolik, kerja sama yang dimaksudkan di sini adalah kerjasama dalam membangun tatanan hidup yang aman, kondusif serta bermoril. Menciptakan elektabilitas dan akuntabilitas sebuah negara merupakan tatangan bagi pemerintah dan Gereja saat ini. Secara struktural kedua sistem ini (Negara dan Agama) adalah otonom antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi dalam hal memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, kebenaran dan penegakan HAM merupakan tujuan bersama, sehingga dalam arti tertentu peran Pemerintah tidak bisa dilepaspisahkan dari peran serta Gereja, demikian pun sebaliknya Gereja bisa tetap mempertahankan essensi religiusnya oleh karena adanya negara.

·         Politik Timor Leste: Gereja versus Negara?
          Sekilas kita mencoba menyimak perjalanan pemerintah dan Gereja dalam memperjuangkan humanitas manusia Timor Leste yang beradab, damai, bermoril dan sejahtera. Tujuan pembentukan sebuah negara dan lahirnya sebuah agama adalah untuk menciptakan sebuah tatanan hidup yang rukun aman dan damai, serta menumbuhkembangkan kepercayaan iman (agama), religiusitas dan keyakinan dari setiap pribadi untuk membangun suatu dinamika hidup yang selaras dan sesuai dengan realitas hidup yang bermartabat dan bermoril. Sebagai sebuah negara baru, terdapat banyak tantangan yang menjadi perhatian pemerintah Timor Leste. Tantangan dalam arti di sini ialah bagaimana mewujudnyatakan cita-cita luhur para founders fathers bangsa ini dalam segala aspek kehidupannya. Agenda demi agenda telah dicanangkan oleh pemerintah sampai dengan saat ini tetapi realitas perpolitikan belum sepenuhnya menjawabi aspirasi masyarakat secara global. Terdapat banyak pembenahan yang harus dilakukan. Perlu adanya sebuah refleksi filosofis kritis yang cermat untuk mencermati panggung politik pemerintah saat ini sehingga dalam proses jalannya politik di negara ini mampu melahirkan suatu mekanisme politik yang mampu menciptakan tatanan hidup yang sejahtera dan bermartabat.
          Di tanyai pendapatnya tentang kiprah perpolitikan di Timor Leste dewasa ini, Uskup Belo, SDB berpendapat bahwa, harapan dan cita-cita perjuangan bangsa Timor Leste ialah untuk bebas dari penjajahan dan pelanggaran HAM di bumi Loro Sa’e dari kaum penjajah. Dan perjuangan tersebut telah mencapai titik kulminasi pada september 1999, dimana mayoritas penduduk Timor Leste dengan tekad yang bulat memilih untuk berdiri sendiri sebagai sebuah negara yang baru, walaupun kemerdekaan tersebut dibaluti dengan pembumihangusan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak menerima keputusan mayoritas tersebut. Cita-cita perjuangan itu telah kita peroleh, tetapi bagaimana mengisi kemerdekaan itu yang menjadi tantangan bagi para elitis dan para politisi yang memegang tampuk kekuasaan saat ini. Terdapat sederetan peristiwa kelam yang turut mengiringi perjalanan bangsa ini. Beragam kompleksitas problematika yang terjadi secara eksplisit mengemukakan bahwa, sesungguhnya bangsa Timor Leste telah merdeka secara yuridis, tetapi kemerdekaan tersebut masih diliputi oleh ketidakmerdekaan yang sengaja diciptakan oleh oknum-oknum yang tidak mencintai kemerdekaan tersebut. Kenapa destabilitas dan polemik-polemik sosial itu terjadi semakin gencar ketika Tmor Leste telah meraih matahari kemerdekaan. Uskup Belo secara lebih rinci mengemukakan bahwa, kemungkinan peristiwa-peristiwa destabilitasi tersebut terjadi karena adanya sistem yang dianut oleh bangsa ini. Sistem demokrasi bisa saja disalahtafsirkan oleh sebagian pihak, sebagai paham kebebasan yang absolut, sehingga setiap pribadi secara bebas menggunakan hak-haknya untuk menciptakan beragam problematika yang mengancam ketentraman dan stabilitas bangsa ini.

·         Gereja dan Politik: Sebuah Pertautan Sintesis
         Bagaimana kiprah Gereja Katolik untuk mengisi kemerdekaan ini? Ketika ditanyai pertanyaan ini, uskup Belo menandaskan bahwa, tidak dapat dipungkiri bahwa, Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam realitas perpolitikan di bumi Loro Sa’e ini, tetapi model politik yang dimaksudkan di sini ialah, bahwa Gereja tidak secara aktif mengambil bagian dalam kiprah politik, tetapi tanggungjawab dan keterlibatan Gereja dalam arti disini ialah menjadi agen politik yang menyuarakan prinsip pembelaan terhadap kebenaran, perdamaian, keadilan, serta penegakan HAM dan membangun martabat manusia Timor Leste yang lebih berwawasan, bermartabat serta lebih beriman kepada Kristus dan Gereja. Gereja terpanggil untuk secara terus-menerus menyuarakan prinsip keselamatan dan kesejahteraan hidup warga masyarakat. Gereja terpanggil untuk menjadi penuntun jalan bagi domba-dombanya menuju keselamatan dan kejahteraan hidup sebagai warga negara.
      Maka, uskup Belo, SDB seturut pengalaman selama masa perjuangannya ketika memimpin Gereja Katolik Timor Leste pada saat masa penjajahan secara tegas menegaskan bahwa, panggilan Gereja adalah suatu Teologi Terlibat. Suatu keterlibatan untuk menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan perdamaian, dan ini adalah panggilan dasariah bagi Gereja. Gereja harus terus bersuara sehingga seruan tersebut  menjadi “nyala api” yang membawa perdamaian dan keharmonisan hidup. Ketika dalam kunjungan ke Maumere Flores-NTT (14-19 Oktober 2013) untuk tatap muka dengan para biarawan/ti asal Timor Leste, Uskup Belo menekankan bahwa, panggilan Gereja bagaikan seorang gembala yang terus menerus bersuara untuk domba-dombanya untuk membawa mereka keluar kepada sumber yang menghidupan dan menyelamatkan. “Ketika seorang gembala umat, sudah berani bersuara dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, penegakan hukum dan pembelaan Hak-hak Asasi Manusia, maka ia tidak boleh mundur kembali dan bungkam, melainkan terus bersuara agar kebenaran itu bergema dan bergaung di seluruh seantero dunia”.
       Keterlibatan Gereja, diartikan sebagai sebuah Teologi Terlibat karena Gereja sejak awalnya senantiasa ada dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan yang disebut Gereja adalah semua orang beriman yang ada dan hidup di bumi Lorosa’e. Tugas perutusan dan panggilan Gereja adalah pelayanan. Pelayanan yang dimaksud tidak hanya sebatas pelayanan kategorial semata melainkan keterlibatan secara aktif dalam seluruh dimensi hidup manusia, sampai terciptanya warga negara yang bermartabat, bermoril serta takwa beriman. Ketiga dimensi ini jika dihidupi oleh masyarakat niscaya bahwa Timor Leste dapat menjadi sebuah negara yang aman dan kondusif dalam realitas panggung perpolitikan bangsa ini. Sangat disayangkan bahwa, sebagai sebuah negara yang bermayoritas agama Kristen Katolik, masyarakat bangsa ini belum hidup sebagai seorang pribadi yang sungguh-sungguh beriman Katolik, kenapa demikian? Hal ini dikarenakan bahwa selama satu dekade ini, Timor Leste masih dililiti oleh beragam kompleksitas problem yang tidak pernah mencapai finalitas penyelesaiannya. Setiap problematika selalu menimbulkan problematika yang lainnya, sehingga muncul suatu sikap ambigu dalam menemukan solusi yang tepat sasar. Hal ini dikarenakan selain menjalankan prisip bonum commune, para elitis maupun para politisi selalu memainkan peran ganda. Peran ganda disini adalah, di lain pihak para elitis dan politisi dipanggil untuk menyuarakan prinsip bonum commune, di pihak lain mereka memperjuangkan kepentingan pribadi maupun kelompok-kelompoknya semata tanpa mengutamakan prinsip kesejahteraan universal masyarakat Timor Leste.

·         Demokrasi Timor Leste: Apakah Hanya Sebuah Narasi?
         Perhelatan politik Timor Leste setelah kemerdekaannya tidak dapat dipungkiri telah menghantar negara ini menuju suatu tranformasi di dalam kehidupan perpolitikan bangsa ini. Sistem demokrasi yang diusung untuk negara ini telah memberikan peluang kepada warga masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menyuarakan aspirasi, hak-hak dan tuntutannya sebagai pribadi yang independen dengan seperangkat hak dan nilai kemanusiaan yang dimilikinya. Apakah dengan demikian demokrasi telah mendapat tempat yang istimewa dalam panggung politik di negara Matahari Terbit ini? Menengok kembali ke masa lalu Negara ini sejak berdirinya, terdapat beragam sekelumit peristiwa yang mengiringi perjalanan demokrasi di Negara ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam 10 tahun terakhir setelah kemerdekaannya menghantar wajah demokrasi bumi Loro Sa’e ini kehadapan dunia Internasional bahwa, sesungguhnya sistem pemerintahan yang dianut oleh negara ini sesungguhnya belum menemukan perwajahan yang tepat untuk membangun tatanan hidup dan sistem pemerintahan negara Timor Leste. Demokrasi masih terbatas pada narasi yang diperguncingkan oleh para elitis, politisi maupun oleh warga masyarakat tanpa pengkonkritisasian dari demokrasi itu sendiri di dalam negara ini. Demokrasi hanya sebatas narasi yang akhirnya menimbulkan beragam isu sosial yang merebak keluar menjadi masalah sosial yang tidak pernah mendapat solusi yang riil dalam penyelesaiannya.
        Mgr. Belo, SDB melihat secara jeli sistem perpolitikan Timor Leste yang sedang berjalan bahwa, sistem demokrasi yang diusung untuk Negara ini sangatlah ideal, tetapi karena terlalu ideal maka sebagian besar orang menerjemahkan demokrasi ini secara terbalik (keliru, salah). Sebagian orang melihat demokrasi sebagai ajang persaingan politik, sementara sebagiannya lagi menerjemahkan demokrasi sebagai sebuah paham kebebasan yang absolut dalam berpolitik tanpa adanya sikap responsalitas dan intelligibilitas, sehingga demokrasi dimanfaatkan sebagai ajang kompetetif mulai dari para elitis sampai pada warga masyarakat. Terdapat adanya persaingan dalam bidang sosial, ekonomi dan politik yang tidak fair (ness) antara para elitis, perbenturan politik warga masyarakat karena salah kaprah dalam menanggapi isu politik yang terjadi di Negara ini, sehingga menimbulkan beberapa masalah sosial yang mencoreng sistem demokrasi itu sendiri, khususnya menimbulkan sebuah noda hitam pada perwajahan demokrasi di bumi Loro Sa’e dalam beberapa tahun terakhir. Maka tepatlah dapat diambil sebuah simpul bahwa, sesungguhnya demokrasi di Timor Leste masih dilihat sebagai sebuah proses yang mengiringi perpolitikan bangsa ini untuk menemukan wajahnya dalam tata perpolitikan bangsa ini. Demokrasi belum mendapatkan posisi yang tepat dalam panggung politik negara ini.

·         Demokrasi, Apakah Masih Mungkin?
     Pada dasarnya sebuah sistem kebijakan publik mesti mengakomodasi seluruh kepentingan komponen masyarakat yang ada di dalamnya. Advokasi kebijakan politik harus mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kebijakan politik pemerintah.  Maka sangat diharapkan sistem demokra(tisa)si yang dicanangkan untuk negara ini hendaklah memperhatikan kriteris-kriteria prinsipiil yang menjadi amandamen dari sistem ini. Demokrasi hendaklah dijalankan secara responsif dalam dedikasi yang utuh untuk membangun sebuah tatanan normatif yang mampu mewadahi aspirasi universal masyarakat Timor Leste. Pada dasarnya demokrasi sebagai sebuah sistem telah memberikan sejumlah alternatif yang mampu menjawabi tuntutan publik, tetapi karena sikap individualistis yang kuat, demokrasi dapat dibungkam dan kehilangan gemanya dalam dunia politik di negara tercinta ini. Seolah-olah demokrasi masih dipasung demi tercapainya kepentingan-kepentingan para elitis, maupun kepentingan partai-partai yang memimpin kedaulatan bangsa Matahari Terbit ini, dan mengabaikan prinsip Bonum Commune seperti yang menjadi harapan dan cita-cita para founders fathers bangsa ini.
        Ketimpangan politik Timor Leste juga sering menampakkan momok kejahatannya dalam rupa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), deskriminasi dan pembedaan golongan dan etnis serta beberapa ketimpangan politik lainnya yang sering kita jumpai dalam panorama perpolitikan negara ini. Dinamika politik belakangan ini, ialah bagaimana adanya persaingan yang ketat antara para politisi dan elitis di negara ini. Persaingan politik antar partai politik dengan calon pemimpin yang diusung setiap partai politik dipentaskan secara gamblang di hadapan publik. Wacana dan tawaran-tawaran politis dikumandangkan dengan tujuan mendapat dukungan penuh dari warga bumi Lorosa’e ini; meskipun tawaran-tawaran dan janji-janji kampanye tersebut hanyalah obrolan hampa yang sering tidak dikonkritisasikan ketika kaum elitis sudah memperoleh apa yang telah diperjuangkan dengan kekayaan janji-janji hampa yang takterealisasikan. Selain itu, politik juga sering berujung pada tindak kekerasan, ancaman, teror dan membungkam kebebasan dan lain sebagainya, politik menampilkan momok negatifnya; dimensi violatif politik mengangkangi realitas politik yang pada dasarnya bertujuan demi tercapainya masyarakat Lorosa’e yang Bonum Commune.
           Dalam menutup diskursusnya dengan para pelajar asal Timor Leste yang menekuni filsafat dan teologi di STFK Ledalero, uskup Belo, SDB berharap bahwa, semoga sistem demokrasi yang diusung untuk bumi Timor Leste diharapkan dapat menemukan bentuk (model) yang tepat, sehingga demokrasi di Timor Leste mampu memberikan titik harapan yang pasti bagi seluruh masyarakat Negara ini. Belajar dari pengalaman 10 tahun terakhir ini, sangat diharapkan agar para elitis, politisi maupun warga masyarakat Timor Leste mampu menciptakan suasana yang kondusif serta aman. Kiranya stabilitas bangsa selalu terjamin agar para penggerak panggung politik bangsa ini mampu menghasilkan sebuah sistem yang dapat menjawabi cita-cita dan harapan warga masyarakat bangsa ini. Selain pemerintah (Negara), diharapkan agar agama (Gereja) juga mampu menciptakan manusia Timor Leste yang bermoril, bermartabat dan cinta keadilan dan perdamaian. Perlu adanya korelasi kerjasama antara negara dan agama di Timor Leste untuk membangun suatu tatanan hidup yang harmonis demi tercapainya kesejahteraan umum sesuai dengan cita-cita para founders fathers bangsa ini.


***o0o***



                                                                                                      

Minggu, 29 September 2013

MENUJU KEBIJAKAN POLITIK BERBASIS DEMOKRATIS: Iktisar Partisipasi Rakyat Timor Leste

 MENUJU KEBIJAKAN POLITIK BERBASIS DEMOKRATIS
Sebuah Ikhtisar Partisipasi Rakyat Timor Loro Sa’e di Tengah
Keterpurukan Kebijakan Politik
                                               




         Bumi kebangsaan kita ini, sedang dililiti oleh kompleksitas kegelisahaan dan keterpurukan. Hal yang membuat kita gelisah dan gempar ialah kontinuitas problem-problem yang jarang disentuh oleh solusi-solusi penyelesaian , praktek-objektif. Kita menjadi pesimis dan skeptis akan suatu masa depan Timor Loro Sa’e, yang demokratis dan kualitatif terhadap penghargaan humanitas yang berdaulat demokrasi. Negara tercinta ini, seolah-olah menjadi bangsa yang intransparansi, terpenjara dan terjerat oleh badai keegoisan dan keindividulisasian sekelompok orang. Kita merasa ditantang dan dihadang oleh kejenuhan, keputusasaan, ketakberdayaan, ketiadaan optimisme yang kemudian membuat kita menjadi masyarakat yang terisolir di bumi tanah air kita sendiri. Hal sedemikian membuat kita menjadi enggan untuk memproklamir bahwa kita adalah bangsa yang memprimasikan demokrasi dan mengakui kedaulatan rakyat  sebagai masyarakat yang berdemokratis. Seakan-akan sang ibu pertiwi telah membisu dan berpaling dari kita.
        Di tengah kerapuhan dan ketegangan situasi bangsa, kesadaran kritis seolah-olah turut membisu; padahal kesadaran kritis semacam ini merupakan hal yang sangat urgen, karena menentukan format dan kontruksi politik menuju masa depan kredebelitas bangsa yang berdaulat dan berdemokrasi, karena rakyatlah yang menjadi kiprah dalam menopang keberadaan bangsa ini; yang semakin dilanda pergolakan-pergolakan dan kian maraknya aktus kekerasan serta ketidakadilan. Oleh karena itu, rakyat perlu kritis dalam memperjuangkan hak dan kebebasaanya yang relatif diakomodir oleh hukum. Hal semacam inilah yang membuat rakyat berjuang semaksimal mungkin untuk bebas dalam kebebasannya. Agar bangsa Timor Loro Sa’e tidak selalu hanya berekting semu (bersandiwara) Maka, paradigma baru sangat mengharapkan suatu ekspresivitas kepemimpinan yang tranparan dan realistis sesuai idealisasi yang kita harapkan dan perjuangkan selama ini.
       Kebebasan dilihat sebagai suatu kebutuhan (necessary) karena hanya dengan individu-individu yang bebas proses berdemokratisasi dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat yang adil, tenteram dan damai. Wacana demokratisasi harus sungguh-sungguh dipahami secara baik, baik itu oleh pihak pemerintah, politisi maupun oleh rakyat kecil, agar terbentuk dan tercapailah cita-cita bersama yang selama ini telah diidealkan bersama. Namun kebebasan itu pun harus berdasarkan pada sikap responsabilitas dan dijamin egibilitasnya. Konteks yang dimaksudkan di sini adalah situasi politik publik (masyarakat) yang akrab dengan realitas pergulatan politik praktis. Namun kenyataan yang melanda negara Timor Loro Sa’e adalah suatu kelemahan dan keterpurukan yang diakibatkan oleh kelemahan, kekurangan, dan ketidakmampuan kita (pemerintah) untuk mencari solusi-solusi dan jalan keluar yang baik dalam membendung pergolakan-pergolakan yang menerjang negara tercinta ini.
     Loyalitas terhadap ego dan kepentingan kelompok telah menjadi parameter untuk mengukur kebebasan demokrasi negara, hukum dan rakyat Timor Loro Sa’e. Di sisi lain idealisme, optimisme, obsesi dan intensionalitas komunal rakyat selalu menjadi elemen sekunder (bukan prioritas), seolah-olah bangsa Timor Loro Sa’e ini hanyalah menjadi milik individu-individu yang hanya mementingkan hasrat, keinginan dan nafsu mereka untuk mendapatkan apa yang mereka dambakan tanpa ingin tahu dan sadar bahwa negara Timor Loro Sa’e adalah milik semua orang (masyarakat). Pemerintah seolah-olah menjadi penguasa yang bengis dan otoriter terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan rakyatnya. Padahal kekuasaan adalah suatu yang fundamental bagi eksistensi kebijakan politik dan sangat penting bahkan sebagai tujuan perjuangan politik. Tetapi, sayangnya nafsu kekuasan telah merasuk kalbu politisi sehingga semuanya terperangkap dalam permaianan pilitik berdimensi pendek dan parokial semata. Seolah-alah tujuan politik hanya untuk menggapai dan mendapatkan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan menjadi segala-galanya. Politik pun sekedar dijadikan puritas yang didominasi libido kekuasaan para politisi, hendaknya, para politisi jangan hanya mau berdiri di atas pundak rakyatnya dan para pejuang yang telah menumpahkan jiwa dan raganya demi terciptanya negara yang baru, bebas, aman dan berdaulat.
      Pada dasarnya sebuah sistim kebijakan publik mesti mengakomodasi seluruh kepentingan komponen masyarakat yang ada di dalamnya (Timor Loro sa’e, red) akan tetapi kebijakan publik pada dasarnya berjalan lain sekali dengan apa yang telah diidealkan oleh masyarakat Timor Loro sa’e pada umumnya. Advokasi kebijakan politik ternyata tidak membawa perubahan dan perbaikan dalam kebijakan politik pemerintah. Wacana tentang disintegrasi negara ini sedang ramai dibicarakan tentang berbagai konflik dan problem-problem yang melanda negara tercinta ini, dan memaksa kita untuk memeras otak untuk menemukan akar permasalahan dan proses penyelesaiannya. Dalam era keterpurukan dan kegaduhan yang menimpah bumi Loro Sa’e ini, siapakah yang akan kita tunjuk sebagai yang bertanggungjawab? Ataukah kesalahan semacam ini terletak pada kebijakan politik yang melemah dan ketidakmampuan kita untuk membangun dan menjadikan bumi Loro sa’e ini menuju masa depan yang cerah? Siapa yang akan kita tuduh dan persalahkan?
            Seandainya kita telusuri secara lebih mendalam keterpurukan dan problem-problem yang melanda negara ini, adalah suatu akar permasalahan yang kecil, yang jika diselesaikan secara intellektual sebenarnya dapat teratasi, namun apa yang terjadi? Ternyata kebenaran dan proses penyelesaiaannya tidak berpihak pada kita, kita lebih cenderung untuk menunda-nunda penyelesaian setiap problem yang kita (Timor Loro Sa’e) hadapi, pemerintah lebih cenderung untuk tidak menggubris dan menganggap itu suatu problem yang kecil. Sangat boleh jadi, tendensi terhadap sikap antipati dan kurang merespons problem-problem yang terjadi, maka timbullah suatu sikap memberontak dan melawan, dari pihak yang merasa dirugikan; hal dan kejadian inilah yang saat ini terjadi dan sedang menimpa negara tercinta ini. Pemerintah sering menganggap tidak penting setiap problem yang terjadi dan tidak pernah  berusaha untuk menyelesaikan setiap konflik dan masalah yang terjadi, pemerintah lebih banyak untuk berbicara tanpa adanya praktek-objektif yang pasti dan tepat (no action talk only), akibat dari itu, seperti apa yang sedang terjadi, kita menjadi takut, gelisah, pesimis tak menentu dan kita menjadi terasa asing dan tidak aman di negara kita sendiri, kita tunggang-langgang kesana kemari hanya untuk menyelamatkan diri dari keegoisan dan ketamakan kebijakan politik pemerintah negara ini.
      Bila ditinjau dari letak geografis dan jumlah penduduk Timor Loro Sa’e saat ini, dapat kita katakan bahwa tidak mungkin hal itu akan terjadi tapi realitas mengatakan lain, kenyataannya memang terjadi, negara menjadi terisolir dan tidak mampu untuk menyelesaikan urusan rumah tangganya sendiri, kita mengemis ke negara-negara adikuasa untuk menopang dan melindungi kita terhadap ancaman dan bahaya yang sebenarnya berasal dari kebodohan kita sendiri. Kita telah merdeka tapi kenyataannya kita belum bebas, kita masih terus dihantui rasa ketakutan, kegelisahan, ketakberdayaan dan kecemasan yang berasal dari negara kita sendiri. Di tengah kerapuhan dan kegamangan situasi bangsa saat ini, semua pihak berlomba-lomba untuk menjadi pahlawan  namun hasil akhir tetap menemui jalan buntu.
        Tak terasa sudah dua tahun lebih negara kita masih di bawah kendali pasukan perdamaian PBB, namun toh, pemberontakkan dan pembunuhan tetap saja terjadi di bumi Loro Sa’e, padahal pasukan keamanan Internasional PBB merata di mana-mana, namun mengapa harus terjadi peristiwa 11 February 2008? Yang korbannya adalah Presiden RDTL Dr. Jose Ramos Horta dan Mayor Alfredo Reinado Alves dan seorang Pengawalnya (Leopoldinho,red) yang dianggap Pemerintah Timor Leste sebagai Pemberontak bangsa yang mencoba melakukan pembunuhan dan penculikan terhadap kedua pemimpin tertinggi negara Timor Loro Sa’e dan mencoba melakukan kudeta di bumi bangsa Timor Loro Sa’e? Padahal seperti diketahui bahwa hubungan Mayor Alfredo Reinado dan kedua pemimpin negara itu selama ini berjalan lancar-lancar saja dan sering terjadi baku kontak antara mereka dalam membicarakan agenda dialog yang sedang direncanakan oleh pihak Pemerintah dan Gereja untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam mencari solusi penyelesaian yang baik di antara kedua pihak baik dari Pemerintah sendiri maupun dari pihak Mayor Alfredo Reinado, dkk. Tapi fakta yang terjadi pada tanggal 11 Februari 2008 yang lalu, berbicara lain, tidak sesuai dengan apa yang selama ini diharapkan, yang mana menyebabkan Presiden Timor Leste, Dr. Jose Ramos Horta tertembak dan Mayor Alfredo Reinado dan anak buahnya tewas di tempat, bahkan setelah sejam kemudian Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao pun dikatakan ditembak oleh kelompok Mayor Alfredo, yang dipimpin oleh Letnan I Gestao Salsinha dan kawan-kawannya ketika beliau dalam perjalanan dari kediamannya ke kota Dili, setelah terjadi peristiwa penembakan itu, Perdana Menteri Xanana Gusmao langsung mengatakan bahwa negara Timor Loro Sa’e dalam keadaan darurat dan diberlakukan siaga satu yang dikomandai oleh pasukan keamanan internasional PBB dan FFDTL, dijajaran Timor Loro sa’e khususnya di ibu kota Dili. Setelah itu, pemerintah pun mengeluarkan surat perintah bagi Letnan I Gestao Salsinha dkk, untuk menyerahkan diri kepada pasukan internasional.
        Penulis dengan teliti menyimak kilasan berita yang disiarkan di Metro TV dan beberapa surat kabar (Flores POS, POS Kupang, harian KOMPAS dan majalah lainnya) mengatakan bahwa pemerintah RDTL meminta bantuan penambahan anggota keamanan dari PBB untuk mengamankan situasi negara RDTL yang sedang dalam keadaan kacau, padahal, sejauh yang penulis tahu bahwa, untuk sementara ini, pasukan keamanan internasional PBB masih bereksis di Timor Loro Sa’e, guna memberi keamanan bagi negara dan masyarakat Timor Loro Sa’e, tapi toh, mengapa masih terjadi kerusuhan dan kekacauan di Ibu kota Dili, yang mana menjadi pusat bereksisnya Pasukan Perdamaian Internasional PBB yang lengkap dengan alat-alat berat perangnya seperti; tank-tank, helikopter, senjata-senjata otomatis dan beberapa jenis alat perang lainnya yang serba canggih dan otomatis. Tapi mengapa Mayor Alfredo Reinado dan kawan-kawannya, yang dianggap pemerintah sebagai pemberontak masih berkeliaran sampai terjadinya peristiwa 11 Februari 2008 lalu.Apa sebenarnya fungsi dan tugas utama pasukan perdamaian PBB selama bereksis di Timor Loro Sa’e? Mengapa masih ada kelompok-kelompok yang disebut pemberontak Negara yang terus berkeliaran di mana-mana? Apakah Alm. Mayor Alfredo Reinado, dkk, adalah pemberontak dan penjahat negara? Tapi toh, sebagian orang menyebut dia sebagai pahlawan? Jangan sampai bumi Loro Sa’e ini menjadi lahan bisnis bagi negara-negara asing, karena kenyataannya meskipun pasukan keamanan Internasional semakin banyak dan beberapa waktu ini terjadi penambahan jumlah pasukan perdamaian PBB, apakah Pemerintah sanggup untuk membayar semuanya itu? Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan bahwa, semua problem yang saat ini sedang melanda Timor Loro Sa’e adalah suatu proses ketidakmampuan dan kelemahan dari kebijakan politik pemerintah Timor loro Sa’e sendiri; yang tidak sanggup untuk menyelesaian dan mencari jalan keluar yang baik dan menguntungkan seluruh pihak. Demi membangun dan menyejahterakan bumi Loro Sa’e ini menuju masa depan yang cerah dan gemilang.
        Dalam beberapa hari belakangan ini, telah dikabarkan bahwa pimpinan kelompok pemberontak Letnan I. Gestao Salsinha beserta anak buahnya telah menyerahkan diri kepada pasukan keamanan Internasional PBB dan Pemerintah Timor Leste. Setelah ini ke depan apa yang akan terjadi lagi bagi masa depan bangsa Timor Loro Sa’e yang tak kunjung henti dilanda oleh problem-problem Politik yang terjadi karena kelalaian dan kurang bijaknya intellektual negara kita. Sampai kapan kita terus dililiti oleh kegelisahan, keterpurukan dan kekelaman keamanan negara yang kurang kondisif. Apakah semua ini terjadi akibat dari lemahnya pengetahuan dan intellek kepemimpinan negara? Jika, semuanya itu dipaksakan tanpa mengukur kemampuan kepemimpinan kita, maka politik tidak akan dikelola dan menjadi sosok yang indah dan kekuasaan tidak akan dikemas menjadi suatu yang agung. Praksis politik menjadi permainan kotor, tanpa moralitas dan etiket berpolitik yang sehat. Ujungnya, keindahan keinginan politik berubah menjadi bau amis yang menyengat dan keagungan kekuasaan menjelma menjadi medan yang menakutkan. Gelagat permainan politik para politisi yang berkembang belakangan ini tidak lebih hanya sebuah ambisi untuk mendapatkan kursi kekuasaan tanpa sadar bahwa mereka dipilih oleh rakyat, untuk rakyat dan kepada rakyat. Tetapi, hal yang harus disadari adalah kebijakan politik adalah  orientasi utama seorang pemimpin.

---------------------------------))))))00000((((((-----------------------------


STL (Suara Harian Timor Leste),
23 Maret 2008


ETIKA POLITIK SEBAGAI SEBUAH "CONVIVUM" MENUJU JATI DIRI BANGSA TIMOR LESTE

 “ETIKA POLITIK SEBAGAI SEBUAH “CONVIVUM” MENUJU JATI DIRI
 BANGSA TIMOR LESTE YANG BARU”
(Sebuah Refleksi Filosofis Dalam Ranah Filsafat Politik)


                                       


       Jati diri pada umumnya adalah penunjukan pada identitas diri. Jati diri berkorelasi langsung dengan pribadi individu, dalam arti lebih luas jati diri lebih terarah kepada nasionalisme bangsa atau harga diri bangsa. Sebagai bangsa pluralistik dalam aneka bidang kehidupan dengan berlandaskan falsafah dan ideologi politik yang demokratik, Timor Leste mengusung sistem politik demokrasi dalam ranah praksis politiknya dalam menjawabi realitas kemendesakkan yang mengharuskan penerapan sistem demokrasi ini. Dalam menelusuri jejak-jejak perjuangannya menuju kemerdekaannya, bangsa ini dihiasi dengan beragam kompleksitas problematika yang turut mengiringi roda perpolitikan di bumi Lorosa’e ini.
        Selama kurang lebih satu dekade Timor Leste telah menunjukkan jati dirinya di tengah-tengah realitas mundial sebagai bangsa yang mengasaskan diri pada politik demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem yang mampu menjadi wadah bagi seluruh aspirasi dan kebijakan-kebijakan politis warga Timor Leste dalam menemukan dan merealisasikan idealismenya dalam menciptakan suatu bangsa yang bonum commune. Meskipun demokrasi telah menghiasi panorama perpolitikan Timor Leste, tetapi tak dapat disangkal pula bahwa selama perjalanannya bumi Lorosa’e selalu dihiasi dengan beragam peristiwa yang turut mencoreng identitas Lorosa’e sebagai sebuah bangsa yang berlandaskan pada demokrasi yang berdaulatkan pada kekuatan hukum-konstitusi RDTL sebagai cermin dalam menjalankan tampuk kekuasaan negara ini menuju idealisme para founder fathers bangsa ini.

·         Timor Leste dan Realitas-Praksis Politik
         Prinsip Politik adalah menempatkan kekuasaan di bawah kontrol hukum dan dengan demikian menata penggunaannya secara bermakna agar aturan (hukum-konstitusi) itu ditaati, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan politik dari para elitis, politikus maupun warga masyarakat Timor Leste sendiri. Norma ini diperlukan dalam percaturan politik bumi Lorosa’e, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan dalam dunia perpolitikan. Realitas perpolitikan di negara “muda” ini bahwa, para elite politik sering menggunakan panggung politik untuk memperjuangankan intensitas pribadi maupun kelompok tertentu dengan mengabaikan prinsip-prinsip fundamental politik yang bertujuan demi tercapainya Bonum Commune. Dengan demikian politik perlu dipandu dan diarahkan demi tercapainya keadilan sosial yang menyejahterakan masyarakat. Sumber dari prinsip politik itu sendiri tidak lain adalah dari martabat luhur manusia itu sendiri sebagai makhluk politis: zoon politikon.
        Negara Republik Demokratik Timor Leste terbentuk dengan suatu cita-cita luhur para founding fathers yakni mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera atau dengan kata lain menciptakan negara demokratis yang menjamin kesejahteraan masyarakat (Welfare State) dalam arti pendirian negara Lorosa’e ini dengan dasar filosofis mewujudkan prinsip Summum Bonum dan Bonum Commune. Jaminan akan kesejahteraan warga masyarakat harus menjadi prioritas dalam pengembangan sistem politik para elite politik. Karena sistem demokrasi itu sendiri merupakan sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan demikian warga masyarakat juga memegang andil penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik. Selain itu, negara juga mempunyai tanggungjawab dalam memperhatikan kesejahteraan warga masyarakat dengan menciptakan iklim yang kondusif dalam segala bidang kehidupan. Dengan demikian akan terciptanya suatu korelasi yang harmonis antara negara (pemerintah) dengan masyarakat maupun sebaliknya, antara masyarakat dengan negara (pemerintah). Realitas prinsip politik ini belum mampu menjawabi aspirasi masyarakat Timor Leste, karena panorama politik bangsa ini masih dililiti dengan konpleksitas ketimpangan politik, seperti korupsi, deskriminasi, malpolitik, money politics, dan beragam problematika sosial dan politik lainnya yang turut menghiasi kancah politik bumi Lorosa’e ini.

·         Etika Politik dan Politik Hati Nurani
       Kebutuhan akan etika politik muncul ketika ada penyelesaian masalah-konflik yang bermunculan, yang dirasa tidak mencerminkan cita rasa etis dan moral sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat maupun negara yang dapat diterima secara publik. Etika politik dibutuhkan sebagai rambu untuk mempertemukan jalan-jalan yang berseberangan demi sebuah “convivum”, sebuah kehidupan bersama dalam keberagaman. Di sini etika dipandang sebagai sebuah konsensus dalam ranah ruang publik, di mana etika berperan sebagai jalan penengah untuk menemukan solusi yang tepat dalam pemecahan suatu masalah dalam suatu dinamika politik terutama pada kehidupan praksis dalam lingkup masyarakat atau negara. Etika tidak dipandang sebagai pusat, selera dan kepentingan umum masyarakat yang menjadi prinsip fundamental dalam memecahkan dan menemukan solusi dalam konflik, tetapi peran etika politik berperan hanya sebagai sarana penyalur dan rambu lalu lintas untuk memperlancar lajunya percaturan politik dalam suatu negara. prinsip etika politik seperti inilah yang dibutuhkan oleh negara Lorosa’e ini. etika diperlukan sebagai “marcusuar” dalam meneropong dan menentukan arah kiblat politik kemana politik hendak diarahkan oleh kaum leaders di negara ini.
        Pada tataran ini “Etika politik” bergumul dengan persoalan etis penentuan tujuan politis dan metode yang digunakan dalam tujuan itu. Etika di sini lebih menyangkut pengaturan persoalan praksis dalam masyarakat politik; etika politik bukan baru menjadi relevan ketika manusia berhadapan dengan konflik atau suatu persoalan politik. Pertimbangan etis etika politik ini muncul ketika orang mulai berpikir tentang realitas hidup dan kenyataan riil yang mulai digelutinya dalam civil society. Prinsip utama yang dipakai adalah otonomi diri atau manusia sebagai makhluk persona. Pribadi manusia Timor Leste yang otonom itulah yang menjadi penentu terakhir etis tidaknya suatu perilaku politik, baik itu sebagai pribadi maupun sebagai komunitas dalam suatu masyarakat di bumi Timor Leste ini.
          Etika politik mengkaji tentang pertautan antara legitimasi kekuasaan dan aktus moral seseorang maupun kelompok tertentu. Bentuk pertautan yang dimaksud merujuk pada kenyataan bahwa kekuasaan harus berpijak pada suatu landasan moralitas dengan maksud untuk stabilitas dari kekuasaan itu sendiri. Kenyataan membuktikan bahwa kekuasaan tanpa adanya pertimbangan legitimasi moral akan rapuh dan tidak berakar dalam dirinya sendiri. Jika percaturan dunia perpolitikan tanpa etika maka pengarahan diskursus politik akan mengalami degradasi dan akan memunculkan sistem monopoli politik dalam diri politik itu sendiri. Dengan demikian politik mengarah pada kejatuhannya sendiri. Oleh karena itu, setiap pemimpin atau penguasa masyarakat di Timor Leste harus berpijak pada prinsip etika politik. Lebih dari itu, politik harus berpijak pada rasionalitas dan moralitas karena kedua prinsip etika politik ini menjadi dasar kepemimpinan dan keterarahan perjalanan bumi Lorosa’e demi tercapainya masyarakat yang adil dan sejahtera; Bonum Commune. Politik yang bertanggungjawab dan yang berlandaskan pada kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan tidak mengangkangi moralitas sehingga percaturan dunia politik yang baik dan benar haruslah berakar pada moralitas. Di sini etika (moralitas) politik tampil sebagai jembatan demi terciptanya jalannya sistem politik yang adil dan fair dalam negara negara Timor Leste yang berpahamkan pada demokrasi dan hukum (konstitusi) sebegai patokan/ dan pijakan kepemimpinan di negara “Matahari Terbit” ini.

·         Dimensi Violatif Dari Politik
        Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa kancah perpolitikan bangsa ini selalu dihiasi dengan beragam peristiwa yang mengganggu stabilitas tanah air, masih terekam dengan segar dalam memori kita beberapa masalah nasional yang dihadapi oleh negara kita ini. tetapi, realitas permasalahan yang dihadapi bangsa ini hendaklah menjadi permenungan dan refleksi bagi warga bangsa ini untuk dapat bercermin lebih jauh ke dalam demi menemukan solusi yang tepat guna dalam membebaskan nasionalisme bangsa ini demi mencapai bangsa yang adil, makmur dan tenteram. Pergunjingan seputar demokrasi menggugah hati setiap orang untuk meneropongnya dari dekat dan mencoba mencari mutiara-mutiara indah di balik lautan demokrasi itu. Ada apa dengan demokrasi di bumi Lorosa’e? Ini sebuah pertanyaan yang melintas dalam benak kalangan elite politik maupun masyarakat proletar (marginal) yang menceburkan dirinya dalam lautan demokrasi dan berusaha menemukan butir-butir nilai demokrasi serta peredaran demokrasi sepanjang perjalanan sejarahnya, masa kini maupun di masa depan. Hanya atas dasar prinsip-prinsip moral dalam etika politik maka upaya ke arah pembentukan masyarakat Timor Leste demokratis dapat terwujud. Artinya, masyarakat yang memandang dirinya sebagai subjek sekaligus pemegang kedaulatan kekuasaan negara dan menghargai pluralitas tanpa sikap deskriminatif serta berpartisipasi dalam kehidupan politik.
         Kondisi yang demikian merupakan sebuah ironi besar dalam dinamika politik demokrasi di tanah air ini. Sistem pemerintahan negara yang berjalan saat ini masih jauh dari bobot responsif dan representatif. Para wakil rakyat yang mengambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan masih mementingkan kepentingan individual atau kelompok-kelompok tertentu. Penerapan sistem kedaulatan yang tidak demokratis ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk kegagalan pemerintahan Timor Leste yang menyebut diri demokratik. Kegagalan politik para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat mendatangkan sikap pesimisme dalam diri masyarakat; rakyat masih berada dalam genggaman kegelisahan dan penderitaan. Pada taraf ini, kebebasan telah dipasung oleh segelintir orang (penguasa) yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat hanya mengunyah dampak dari berbagai kebijakan politik yang mendatangkan penderitaan dan kemiskinan. Munculnya kebijakan yang mendistorsi harapan dan cita-cita rakyat, membuat rakyat menjadi semakin teralienasi dari kebebasan demokratis itu sendiri. Di sini kehidupan praksis politik hanya menimbulkan berbagai bentuk kontroversi. Hal ini dikarenakan percaturan politik yang sedang dianut oleh Timor Leste terlalu jauh dari intensionalitas politik itu sendiri. Politik yang bertujuan demi kesejahteraan menampilkan sisi violatifnya dengan praktek-praktek malpolitik, seperti kasus korupsi, politik suap, isu politik, saling mengkambinghitamkan, dan beragam masalah politik lainnya masih menghiasi perhelatan politik di bumi Lorosa’e ini.
            Dewasa ini percaturan politik bangsa ini dilihat sebagai suatu aktivitas politik yang kotor, tidak sehat dan penuh dengan motivasi monopoli dan sejumlah litani malpolitik yang dijalankan oleh beberapa politisi maupun elitis di bumi Lorosa’e ini. Sebagai Negara yang mengklaim diri sebagai menganut paham demokrasi dipanggil untuk turut memerankan aktivitas monopoli politik yang menyetir alur perjalanan politik kepada kehendak pribadi maupun kelompok yang diperjuangkan oleh para leader tertentu. Maka, benarlah apa yang dicemaskan oleh Karl Marx dan F. Engel bahwa, kekuasaan politik adalah suatu kekuatan yang terorganisasi untuk menindas orang lain, sebagaimana dijelaskan Marx dalam bukunya ‘Das Kapital’, di mana adanya monopoli politik yang tidak sehat antara kaum proletar dan para kapitalis. Di sini alat bantu penerapan sistem monopoli politik ini adalah tindak kekerasan. Kekerasan menjadi sarana yang paling ampuh; kekerasan telah menampakkan sosoknya yang paling nyata sebagai suatu gejala munculnya ketimpangan dunia politik.
         Ketimpangan politik Timor Leste juga sering menampakkan momok kejahatannya dalam rupa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), deskriminasi dan pembedaan golongan dan etnis serta beberapa ketimpangan politik lainnya yang sering kita jumpai dalam panorama perpolitikan negara ini. dinamika politik belakangan ini, ialah bagaimana adanya persaingan yang ketat antara para politisi dan elitis di negara ini, persaingan politik antara partai politik dengan calon pemimpin yang diusung setiap partai politik dipentaskan secara gamblang di hadapan publik. Wacana dan tawaran-tawaran politis dikumandangkan dengan tujuan mendapat dukungan penuh dari warga bumi Lorosa’e ini; meskipun tawaran-tawaran dan janji-janji kampanye tersebut hanyalah obrolan hampa yang sering tidak dikonkritisasikan ketika kaum elitis sudah memperoleh apa yang telah diperjuangkan dengan kekayaan janji-janji hampa yang takterealisasikan. Selain itu, politik juga sering berujung pada tindak kekerasan, ancaman, teror dan membungkam kebebasan dan lain sebagainya, politik menampilkan momok negatifnya; dimensi violatif politik mengangkangi realitas politik yang pada dasarnya bertujuan demi tercapainya masyarakat Lorosa’e yang Bonum Commune. Dengan demikian cita-cita Summum Bonum di Negara ini hendaknya menjadi prinsip utama dalam menjalankan roda perpolitikan negara ini.

·         Membangun Jati Diri Bangsa : Sebuah Tantangan Kreatif
        Tidak dapat dipungkiri bahwa politik merupakan satu dimensi hakiki hidup manusia di dalam kehidupan masyarakat. Politik mencakup keterlibatan keseluruhan individu dalam suatu komunitas masyarakat. Dengan demikian politik hendak menggambarkan adanya pastisipasi aktif dan responsif masyarakat dalam menentukan kebijakan dan jalannya roda pemerintahan negara. Dalam negara yang menganut sistem politik demokrasi, politik menjadi suatu media di mana masyarakat dapat menentukan sikap secara sadar dan bebas serta bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani dalam kehidupan publik karena realitas politik merupakan persoalan publik yang menyangkut keterlibatan seluruh warga masyarakat. Kuantum rasio manusia juga turut berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik suatu negara. Dengan kemampuan rasio yang memadai seorang pemimpin mampu menentukan sikap dan keputusan yang tepat, yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapan suatu bangsa (negara).
      Membangun dan menanamkan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur perjuangan kemerdekaan Timor Leste yang terus mendarahdaging dalam diri putera-puteri Negara ini. Realitas politik Timor Leste dewasa ini mengalami banyak perkembangan dalam hal penerapan sistem pemerintahan yang dapat menjawabi seluruh realitas masyarakat secara global dan menjadi wadah cita-cita masyarakat Timor Leste menuju Bonum Commune. Tidak heran bahwa, dengan mengusung sistem politik demokrasi sebagai model dalam pemerintahan negara ini, sistem demokrasi ditantang oleh realitas dan arus perpolitikan yang melanda negara “Matahari Terbit” ini agar mampu menjawabi realitas kemendesakkan warga negara bumi Lorosa’e menuju cita-cita para founder fathers Timor Leste. Dengan menengok kembali ke historisitas perjuangannya, para leaders ditantang untuk memperjuangan kehendak bersama dengan menomorduakan kehendak pribadi maupun kelompok sendiri. Memperjuangan kepentingan bangsa merupakan jati diri dari negara yang mengusung sistem pemerintahan demokrasi dengan berlandaskan pada legitimasi hukum (Konstitusi) RDTL. Pada tataran ini semua warga masyarakat ditantang untuk menegakkan prinsip bonum commune dan summum bonum di bumi Lorosa’e.

·         Membangun Bangsa Timor Leste yang Majemuk
          Dinamika politik dunia dewasa ini membutuhkan campurtangan yang lebih serius dari para elite politik yang benar-benar berjuang demi tercapainya cita-cita masyarakat madani yang sejahtera dan makmur (Bonum Commune). Dalam hal ini, keberadaan warga negara merupakan suatu unsur konstitutif bagi eksistensi suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa hakikat negara adalah jawaban pada tingkatan tertentu atas tuntutan kodrati manusia sebagai makhluk sosial (Ens Sociale) yang mendapat hak eksistensinya dalam suatu negara. Dengan demikian penekanan pada keseimbangan antara kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan religius perlu dijaga. Maka, etika politik mendapat posisi penting dalam menentukan jalannya roda pemerintahan terutama dalam meminimalisir segala bentuk ketimpangan-ketimpangan yang akan muncul. Sebagaimana ditandaskan Hegel bahwa, “pada dasarnya hidup suatu bangsa merdeka merupakan suatu moralitas yang riil, suatu moralitas dalam suatu wujud tertentu dan dengan demikian roh yang absolut tampak dalam suatu yang konkrit seperti nyata dalam keseluruhan adat, undang-undang, hukum, norma-norma moral dengan identitas yang khas”.
      Pluralitas bangsa Timor Leste mencakup segala aspek kehidupan: multietnis, multikultur, multilinguis, dan beragam aneka kehidupan lainnya. Realitas demikian menghatar bangsa ini menuju suatu pola kehidupan yang unitas multiplex (kesatuan dalam keanekaragaman). Tidak jarang prinsip unitas multiplex ini memunculkan dua paham pemikiran yang sangat berseberangan, perjuangan untuk menjunjung tinggi nilai pluralitas bangsa Timor Leste dan di lain pihak perjuangan untuk memantapkan nilai-nilai persatuan dan keutuhan yang selaras dalam panggung perpolitikan Timor Leste. Tidak jarang, kedua pemahaman yang bersinggungan ini menghantar bangsa ini kepada aneka ragam problematika yang berujung pada konflik-konflik pemahaman dan ide sampai pada perbenturan fisik. Dalam menjembatani kedua pemahaman ide ini maka, Sistem pemerintahan demokratis Timor Leste hendaknya menekankan peran penting warga (rakyat), karena partisipasi merupakan suatu nilai yang mutlak dalam negara demokrasi. Partisipatif warga negara yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk keterlibatan yang responsif dan edukatif. Melalui keterlibatan partisipatif, masyarakat diberi ruang untuk menunjukkan kontribusinya dalam kehidupan bersama sebagai warga negara, sebab bentuk partisipsi-responsif macam ini tidak dapat tidak bertujuan demi pencapaian prinsip Bonum Commune. Dengan adanya partisipatif-responsif dan kebebasan berpolitik maka, persatuan menuju kesatuan (unitas complex) bumi Lorosa’e dapat menampilkan sosoknya sebagai negara yang berdaulatkan pada legitimasi hukum dan konstitusi.

·         Cita-cita Menuju Timor Leste yang Demokratik
     Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kebebasan dilihat sebagai suatu kebutuhan (necessity) yang mutlak. Namun, kebebasan demikian harus didasarkan pada sikap tanggungjawab yang dijamin inteligibilitasnya. Kebebasan seperti ini memungkinkan rakyat untuk bersikap profetis. Oleh karena itu, setiap kebebasan harus diakomodir oleh/ dan sesuai dengan hukum dan konstitusi (undang-undang) agar masyarakat Timor Leste dapat memaknai kebebasannya secara partisipatif-responsif. Kebebasan dalam tataran ini mesti dilegitimasi oleh hukum yang berlaku secara yuridis di Negara ini dengan tujuan demi tercapainya cita-cita Bonum Commune. Dengan demikian, etika politik memainkan peran penting dalam menjamin terciptanya masyarakat dan negara yang rukun dan harmonis. Peran etika politik (moral politik) diperlukan untuk memberi sumbangsih dalam membentuk watak dan intensi setiap pribadi politisi, demi tercapainya negara yang makmur, aman dan sejahtera. Di sini mau ditandaskan bahwa penciptaan dan pembuatan hukum (konstitusi) bukannya tanpa tujuan hakiki. Pada tataran formal dan prosedural hukum mempunyai tugas menertibkan dan mengamankan negara (politik) demi terealisasinya keadilan sosial secara menyeluruh. Perlu disadari bahwa, negara tidak punya wewenang untuk mengharuskan para warganya agar bermoral, sebab jika terjadi demikian maka, para leader politik berusaha menanamkan kesombongan ideologi dan moralis secara otoriter kepada rakyatnya. Di sini etika politik berperan sebagai pengingat bagi para politisi dan leaders agar tidak memegang tampuk kekuasaannya secara otoriter.
      Panggung dunia politik di era-postmodernisme dewasa ini lebih dilihat sebagai sarana dan peluang untuk memperoleh dan memperebutkan kekuasaan, terutama ini terdapat dalam kalangan para elite politik, baik itu di negara-negara yang menganut paham demokrasi liberal (demokrasi deliberatif) maupun negara-negara yang menganut paham desentralisasi atau kapital komunis. Negara demokrasi merupakan komunitas politik yang berlandaskan pada prinsip kebebasan, kesamaan dan kedaulatan. Sebagai sebuah komunitas, negara demokrasi dengan prinsip-prinsipnya membuka jalan yang lebar bagi keterlibatan secara aktif warga masyarakat dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam sistem politik dan pemerintahan. Negara demokrasi yang tidak menjamin aspek partisipatoris kolektivitas masyarakat merupakan sebuah sistem yang pincang, sebab pada prinsipnya politik itu bersifat universal dan terbuka bagi siapa saja, tanpa dipengaruhi oleh status-status sosial tertentu.
          Percaturan dunia politik bersifat terbuka dan universal, dalam arti partisipasi aktif-efektif setiap individu sangat dijunjung tinggi. Yang dimaksudkan adalah suatu bentuk partisipasi yang bersifat responsif-rasional, terutama demi terciptanya masyarakat politik yang matang dan dewasa dalam dunia politik. Gerald E. Caiden menyebutkan tiga istilah kunci dalam kaitan dengan kebebasan demokratis yang bersifat partisipatif dan universal. Tiga kunci ini adalah responsabilitas, libialitas dan akuntabilitas. Responsabilitas merujuk pada otoritas untuk bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan. Sedangkan libialitas diasumsikan sebagai tugas untuk memperbaiki, menjaga dan mengorganisir jalannya sistem politik dan akuntabilitas merupakan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pola partisipasi dalam kebijakan-kebijakan negara yang telah dibuat secara terbuka dan bebas serta responsif.

******