DISKURSUS BERSAMA USKUP BELO, SDB: SEBUAH
TEOLOGI TERLIBAT DALAM MEMAKNAI KEMERDEKAAN DAN DEMOKRASI DI TIMOR LESTE
***Carlito Costa Araujo, O.Carm
Penulis Adalah Mahasiswa Pada STFK Ledalero
Maumere-Flores
Sebuah pepatah puitis berbunyi, “usia
adalah waktu, waktu adalah peristiwa, dan peristiwa adalah sejarah yang terdiri
dari kejayaan dan tragedi”. Demikianlah, kalau menyebut nama Uskup Belo, SDB
maka sekiranya ungkapan puitis ini lebih cocok dialamatkan kepada beliau.
Secara struktural, ungkapan ini merupakan hal kunci untuk memahami perjalanan
panjang seorang tokoh mondial yang namanya tidak lagi asing bagi seantero
dunia. Kesohoran nama Uskup Belo menjadi mendunia ketika hadiah Nobel
Perdamaian dialamatkan kepada beliau pada tanggal 10 Oktober 1996 di Genewa - Swiss, bersama dengan rekan
seperjuangannya Dr. Jose Ramos Horta. Untuk memahami sepak terjang Uskup Belo
tidaklah cukup menyimaknya dalam salah satu bingkai kehidupan saja, melainkan
seribu bingkai yang menghiasi panorama perjalanannya sebagai seorang gembala umat, yang sekaligus sebagai pejuang
kebenaran, Keadilan dan perdamaian serta Hak Asasi Manusia, bukan saja hanya
sebatas untuk masyarakat di bumi Timor Loro Sa’e melainkan perdamaian bagi
seluruh jagat semesta.
Mengupas kembali sepak terjang
perjuangan Timor Loro Sa’e menuju kemerdekaannya, tidak bisa dilepas-pisahkan
dengan keterlibatan Gereja Katolik pada saat itu. Bukan dalam arti bahwa, di dalam
perjuangan menuju kemerdekaan yang terealisir pada 30 September 1999, gereja
menjadi dalang dan promotor kemerdekaan itu, tetapi peran serta Gereja Katolik dalam memperjuangkan
aspirasi masyarakat dan penegakan kebenaran, keadilan, perdamaian dan Hak Asasi
Manusia menjadi
salah satu agenda prinsipiil. Sebagaimana Gereja dipanggil untuk menyuarakan
kebenaran, keadilan dan perdamaian maka sudah semestinya Gereja bertindak dan
terlibat secara praksis pastoral dalam membahasakan serta menyuarakan kaum
tertindas yang dibungkam dan dikekang hak-hak politisnya. Menengok sekilas perjalanan bangsa ini
menuju kemerdekaannya, begitu banyak
tragedi suram yang telah menggores dan kini masih membekas dalam diri
masyarakat Timor Leste. Untuk menyongsong terbitnya matahari kemerdekaan maka,
rentetan pengalaman suram dan kelam begitu panjang turut mengiringi terbitnya
fajar kemerdekaan di bumi Matahari Terbit ini. Ternyata benar bahwa, untuk
mencapai suatu kebebasan berpolitik yang
lebih bermartabat dan otonom dibutuhkan suatu perjuangan, dan dalam perjuangan
itu pengorbanan tidak bisa dihindari.
Sepak terjang Gereja dalam memperjuangkan nilai-nilai
humanitas, kebenaran, keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan dengan
keterlibatan para aktivis dan tokoh-tokoh Gereja Katolik maupun Protestan pada saat itu, salah satu
aktivis sekaligus tokoh gereja yang sampai saat ini tidak bisa dilupakan begitu
saja dalam memori masyarakat luas di Timor Leste adalah uskup Mgr. Don Carlos Filipe X. Belo, SDB atau yang
biasa disapa dengan amo Bispo Belo. Keterlibatan beliau dalam menyuarakan suara
umatnya yang redup-samar terdengar dan tak terdengarkan tidak hanya sebatas
wacana dan seruan pastoral semata tanpa sebuah konkritisasi di atas mimbar
gereja, tetapi keterlibatan beliau menyata terutama melalui aksi dan tindakan.
Suatu model pastoral terlibat. Keterlibatan responsif, dedikatif, dialogal dan
komunikatif. Pastoral uskup Belo merupakan sebuah “teologi terlibat”, dimana
keberpihakan dalam menyuarakan suara kaum tertindas menjadi lebih nyaring bergema
keluar, dan gaungnya
bisa terdengar di seluruh pelosok mondial. Meskipun keterlibatan beliau dalam
memperjuangkan nilai-nilai prinsipiil Gereja telah menuai beragam polemik
sekaligus kontradiktif, tetapi karena penyelenggaran Roh Kudus yang hidup telah
membimbing beliau kepada suatu harapan baru, suatu fajar matahari baru bagi
tanah tercinta ini. Suatu harapan yang telah membimbing dan menghantar seluruh
masyarakat Timor Leste dalam
menghirup fajar kebebasan, matahari kemerdekaan untuk bumi pertiwi Timor Leste.
·
Timor Leste dan realitas Politik
Satu dekade sudah Timor Leste telah memproklamirkan
diri kepada seantero dunia sebagai sebuah negara yang merdeka (independen) di
dalam deretan peta bangsa-bangsa dunia. Sebagai sebuah negara baru apakah
panorama perpolitikan di negara matahari Terbit ini telah menjawabi amanat para
founders fathers bangsa ini dalam
menciptakan summum bonum dan bonum commune? Untuk menciptakan sebuah
polis walfare state tidaklah
sedemikian mudahnya seumpama membalikan telapak tangan. Negara
Republik Demokratik Timor Leste terbentuk dengan suatu cita-cita luhur para founding fathers yakni mewujudkan
masyarakat adil, makmur dan sejahtera atau dengan kata lain menciptakan negara
demokratis yang menjamin kesejahteraan masyarakat (Welfare State) dalam arti pendirian negara Lorosa’e ini dengan
dasar filosofis mewujudkan prinsip Summum
Bonum dan Bonum Commune. Jaminan
akan kesejahteraan warga masyarakat harus menjadi prioritas dalam pengembangan
sistem politik oleh
para elite
politik.
Realitas panggung politik yang terjadi
sampai dengan saat ini dapat dikatakan bahwa, kemerdekaan Timor Leste bukanlah
sebagai sebuah titik finalitas, melainkan sebuah proses. Dalam arti bahwa,
kemerdekaan yang telah diperjuangkan selama ini belum menjawabi aspirasi
universal masyarakat Timor Leste. Pembenahan dalam setiap aspek kehidupan perlu
diperhatikan bahkan harus menjadi agenda utama perpolitikan para elitis dan
politisi di bumi Loro Saa’e ini. Realitas perpolitikan telah membawa masyarakat
Timor Leste menghirup udara kemerdekaan, tetapi realitas itu belum sepenuhnya
memberikan titik cerah dalam wajah masyarakat Timor Leste. Tidak dapat
dipungkiri bahwa, untuk mengisi kemerdekaan dari sebuah kehancuran adalah suatu proses dalam kurungan perputaran waktu.
Pengalaman sejarah politik dunia menunjukan bahwa untuk membangun sebuah
tatanan politis yang bonum commune dibutuhkan komitmen yang kuat dalam rentetan waktu dalam diri para
elitis, para politisi maupun warga masyarakat di negara ini yang memegang tanggungjawab untuk membangun bumi Timor Leste.
Secara antropologis sosial sistem
politik maupun sistem tata pemerintahan yang sedang berjalan merupakan
tanggungjawab dua pihak yang berperan penting dalam perhelatan politik di
negara ini. Pihak pertama adalah masyarakat secara umum dan para elitis
khususnya yang berperan sebagai penggerak serta pengendali roda pemerintahan,
dan pihak yang kedua adalah agama, secara khusus disinggung
disini adalah agama (Gereja)
Kristen-Katolik yang menjadi agama mayoritas di bumi Loro sa’e. Sebagai sebuah
negara yang bermayoritaskan penduduk beragama Kristen-Katolik tidak dapat dipungkiri
bahwa, yang menduduki tampuk pemerintahan dan menjadi kaum politisi serta
elitis adalah orang-orang yang menyandang status sebagai orang Katolik. Di samping agama Katolik sebagai
agama mayoritas terdapat pula agama-agama lainnya, tetapi kenyataan mayoritas
elitis dan politisi di dalam pemerintah saat ini adalah yang menyebut diri
sebagai penganut Gereja (dibaca iman) Katolik.
Sehingga dalam realitas panggung perpolitikan saat ini adanya kerja sama yang
kuat antara pihak pemerintahan dan pihak Gereja Katolik, kerja sama yang
dimaksudkan di sini adalah kerjasama dalam membangun tatanan hidup yang aman,
kondusif serta bermoril. Menciptakan elektabilitas dan akuntabilitas sebuah
negara merupakan tatangan bagi pemerintah dan Gereja saat ini. Secara
struktural kedua sistem ini (Negara dan Agama) adalah
otonom antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi dalam hal memperjuangkan
nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, kebenaran dan penegakan HAM merupakan
tujuan bersama, sehingga dalam arti tertentu peran Pemerintah tidak bisa
dilepaspisahkan dari peran serta Gereja, demikian pun sebaliknya Gereja bisa
tetap mempertahankan essensi religiusnya oleh karena adanya negara.
·
Politik Timor Leste: Gereja versus
Negara?
Sekilas kita mencoba menyimak perjalanan
pemerintah dan Gereja dalam
memperjuangkan humanitas manusia Timor Leste yang beradab, damai, bermoril dan
sejahtera. Tujuan pembentukan sebuah negara dan lahirnya sebuah agama adalah
untuk menciptakan sebuah tatanan hidup yang rukun aman dan damai, serta
menumbuhkembangkan kepercayaan iman (agama), religiusitas dan keyakinan dari setiap
pribadi untuk membangun suatu dinamika hidup yang selaras dan sesuai dengan
realitas hidup yang bermartabat dan bermoril. Sebagai sebuah negara baru,
terdapat banyak tantangan yang menjadi perhatian pemerintah Timor Leste. Tantangan
dalam arti di sini ialah bagaimana mewujudnyatakan cita-cita luhur para founders
fathers bangsa ini dalam segala aspek kehidupannya. Agenda demi agenda
telah dicanangkan oleh pemerintah sampai dengan saat ini tetapi realitas
perpolitikan belum sepenuhnya menjawabi aspirasi masyarakat secara global.
Terdapat banyak pembenahan yang harus dilakukan. Perlu adanya sebuah refleksi
filosofis kritis yang cermat untuk mencermati panggung politik pemerintah saat
ini sehingga dalam proses jalannya politik di negara ini mampu melahirkan suatu mekanisme politik yang
mampu menciptakan tatanan hidup yang sejahtera dan bermartabat.
Di tanyai pendapatnya tentang kiprah
perpolitikan di Timor Leste dewasa ini, Uskup Belo, SDB berpendapat bahwa, harapan dan
cita-cita perjuangan bangsa Timor Leste ialah untuk bebas dari penjajahan dan
pelanggaran HAM di bumi Loro Sa’e dari kaum penjajah. Dan perjuangan tersebut
telah mencapai titik kulminasi pada september 1999, dimana mayoritas penduduk
Timor Leste dengan tekad yang bulat memilih untuk berdiri sendiri sebagai
sebuah negara yang baru, walaupun kemerdekaan tersebut dibaluti dengan
pembumihangusan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak menerima keputusan
mayoritas tersebut. Cita-cita perjuangan itu telah kita peroleh, tetapi
bagaimana mengisi kemerdekaan itu yang menjadi tantangan bagi para elitis dan
para politisi yang memegang tampuk kekuasaan saat ini. Terdapat sederetan
peristiwa kelam yang turut mengiringi perjalanan bangsa ini. Beragam
kompleksitas problematika yang terjadi secara eksplisit mengemukakan bahwa,
sesungguhnya bangsa Timor Leste telah merdeka secara yuridis, tetapi
kemerdekaan tersebut masih diliputi oleh ketidakmerdekaan yang sengaja
diciptakan oleh oknum-oknum yang tidak mencintai kemerdekaan tersebut. Kenapa
destabilitas dan polemik-polemik sosial itu terjadi semakin gencar ketika Tmor
Leste telah meraih matahari kemerdekaan. Uskup Belo secara lebih rinci
mengemukakan bahwa, kemungkinan peristiwa-peristiwa destabilitasi tersebut
terjadi karena adanya sistem yang dianut oleh bangsa ini. Sistem demokrasi bisa
saja disalahtafsirkan oleh sebagian pihak, sebagai paham kebebasan yang
absolut, sehingga setiap pribadi secara bebas menggunakan hak-haknya untuk
menciptakan beragam problematika yang mengancam ketentraman dan stabilitas
bangsa ini.
·
Gereja dan Politik: Sebuah Pertautan
Sintesis
Bagaimana kiprah Gereja Katolik untuk mengisi kemerdekaan ini?
Ketika ditanyai pertanyaan ini, uskup Belo menandaskan bahwa, tidak dapat
dipungkiri bahwa, Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam realitas
perpolitikan di bumi Loro Sa’e ini, tetapi model politik yang dimaksudkan di
sini ialah, bahwa Gereja tidak secara aktif mengambil bagian dalam kiprah
politik, tetapi tanggungjawab dan
keterlibatan Gereja dalam arti disini ialah menjadi agen politik yang
menyuarakan prinsip pembelaan terhadap kebenaran, perdamaian, keadilan, serta
penegakan HAM dan membangun martabat manusia Timor Leste yang lebih berwawasan,
bermartabat serta lebih beriman
kepada Kristus dan Gereja. Gereja terpanggil untuk secara terus-menerus
menyuarakan prinsip keselamatan dan kesejahteraan hidup warga masyarakat.
Gereja terpanggil untuk menjadi penuntun jalan bagi domba-dombanya menuju
keselamatan dan kejahteraan hidup sebagai warga negara.
Maka, uskup Belo, SDB seturut pengalaman
selama masa perjuangannya ketika memimpin Gereja Katolik Timor Leste pada saat
masa penjajahan secara tegas menegaskan bahwa, panggilan Gereja adalah suatu Teologi
Terlibat. Suatu keterlibatan untuk menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan
perdamaian, dan ini adalah panggilan dasariah bagi Gereja. Gereja harus terus
bersuara sehingga seruan tersebut menjadi
“nyala api”
yang membawa perdamaian dan keharmonisan hidup. Ketika dalam
kunjungan ke Maumere Flores-NTT (14-19 Oktober 2013) untuk tatap muka dengan
para biarawan/ti asal Timor Leste, Uskup
Belo menekankan bahwa, panggilan Gereja bagaikan seorang gembala yang terus
menerus bersuara untuk domba-dombanya untuk membawa mereka keluar kepada sumber
yang menghidupan dan menyelamatkan. “Ketika seorang gembala umat, sudah berani
bersuara dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, penegakan hukum dan pembelaan
Hak-hak Asasi Manusia, maka ia tidak boleh mundur kembali dan bungkam,
melainkan terus bersuara agar kebenaran itu bergema dan bergaung di seluruh
seantero dunia”.
Keterlibatan Gereja, diartikan sebagai sebuah Teologi
Terlibat karena Gereja sejak awalnya senantiasa ada dan hadir di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini dikarenakan yang disebut Gereja adalah semua orang beriman yang
ada dan hidup di bumi Lorosa’e. Tugas perutusan dan panggilan Gereja adalah pelayanan.
Pelayanan yang dimaksud tidak hanya sebatas pelayanan kategorial semata
melainkan keterlibatan secara aktif dalam seluruh dimensi hidup manusia, sampai
terciptanya warga negara yang bermartabat, bermoril serta takwa beriman. Ketiga
dimensi ini jika dihidupi oleh masyarakat niscaya bahwa Timor Leste dapat
menjadi sebuah negara yang aman dan kondusif dalam realitas panggung
perpolitikan bangsa ini. Sangat disayangkan bahwa, sebagai sebuah negara yang
bermayoritas agama Kristen Katolik, masyarakat bangsa ini belum hidup sebagai seorang pribadi
yang sungguh-sungguh beriman Katolik, kenapa demikian? Hal ini dikarenakan
bahwa selama satu dekade ini, Timor Leste masih dililiti oleh beragam
kompleksitas problem yang tidak pernah mencapai finalitas penyelesaiannya.
Setiap problematika selalu menimbulkan problematika yang lainnya, sehingga
muncul suatu sikap ambigu dalam menemukan solusi yang tepat sasar. Hal ini
dikarenakan selain menjalankan prisip bonum
commune, para elitis maupun para politisi selalu memainkan peran ganda.
Peran ganda disini adalah, di lain pihak para elitis dan politisi dipanggil
untuk menyuarakan prinsip bonum commune,
di pihak lain mereka memperjuangkan kepentingan pribadi maupun
kelompok-kelompoknya semata tanpa mengutamakan prinsip kesejahteraan universal
masyarakat Timor Leste.
·
Demokrasi Timor Leste: Apakah Hanya
Sebuah Narasi?
Perhelatan politik Timor Leste setelah
kemerdekaannya tidak dapat dipungkiri telah menghantar negara ini menuju suatu
tranformasi di dalam kehidupan perpolitikan bangsa ini. Sistem demokrasi yang diusung
untuk negara ini telah memberikan peluang kepada warga masyarakat untuk
terlibat secara aktif dalam menyuarakan aspirasi, hak-hak dan tuntutannya
sebagai pribadi yang independen dengan seperangkat hak dan nilai kemanusiaan
yang dimilikinya. Apakah dengan demikian demokrasi telah mendapat tempat yang
istimewa dalam panggung politik di negara Matahari Terbit ini? Menengok kembali
ke masa lalu Negara ini sejak berdirinya, terdapat beragam sekelumit peristiwa
yang mengiringi perjalanan demokrasi di Negara ini. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam 10 tahun terakhir setelah kemerdekaannya menghantar wajah
demokrasi bumi Loro Sa’e ini kehadapan dunia Internasional bahwa, sesungguhnya
sistem pemerintahan yang dianut oleh negara ini sesungguhnya belum menemukan
perwajahan yang tepat untuk membangun tatanan hidup dan sistem pemerintahan
negara Timor Leste. Demokrasi masih terbatas pada narasi yang diperguncingkan
oleh para elitis, politisi maupun oleh warga masyarakat tanpa
pengkonkritisasian dari demokrasi itu sendiri di dalam negara ini. Demokrasi
hanya sebatas narasi yang akhirnya menimbulkan beragam isu sosial yang merebak
keluar menjadi masalah sosial yang tidak pernah mendapat solusi yang riil dalam
penyelesaiannya.
Mgr. Belo, SDB melihat secara jeli
sistem perpolitikan Timor Leste yang sedang berjalan bahwa, sistem demokrasi
yang diusung untuk Negara ini sangatlah ideal, tetapi karena terlalu ideal maka
sebagian besar orang menerjemahkan demokrasi ini secara terbalik (keliru,
salah). Sebagian orang melihat demokrasi sebagai ajang persaingan politik,
sementara sebagiannya lagi menerjemahkan demokrasi sebagai sebuah paham
kebebasan yang absolut dalam berpolitik tanpa adanya sikap responsalitas dan
intelligibilitas, sehingga demokrasi dimanfaatkan sebagai ajang kompetetif
mulai dari para elitis sampai pada warga masyarakat. Terdapat adanya persaingan
dalam bidang sosial, ekonomi dan politik yang tidak fair (ness) antara
para elitis, perbenturan politik warga masyarakat karena salah kaprah dalam
menanggapi isu politik yang terjadi di Negara ini, sehingga menimbulkan
beberapa masalah sosial yang mencoreng sistem demokrasi itu sendiri, khususnya
menimbulkan sebuah noda hitam pada perwajahan demokrasi di bumi Loro Sa’e dalam
beberapa tahun terakhir. Maka tepatlah dapat diambil sebuah simpul bahwa,
sesungguhnya demokrasi di Timor Leste masih dilihat sebagai sebuah “proses” yang mengiringi perpolitikan bangsa ini
untuk menemukan wajahnya dalam tata perpolitikan bangsa ini. Demokrasi belum mendapatkan posisi yang tepat dalam panggung politik
negara ini.
·
Demokrasi, Apakah Masih Mungkin?
Pada dasarnya sebuah sistem
kebijakan publik mesti mengakomodasi seluruh kepentingan komponen masyarakat
yang ada di dalamnya. Advokasi kebijakan politik harus mampu membawa perubahan
dan perbaikan dalam kebijakan politik pemerintah. Maka sangat diharapkan sistem demokra(tisa)si yang
dicanangkan untuk negara ini hendaklah memperhatikan kriteris-kriteria
prinsipiil yang menjadi amandamen dari sistem ini. Demokrasi hendaklah
dijalankan secara responsif dalam dedikasi yang utuh untuk membangun sebuah
tatanan normatif yang mampu mewadahi aspirasi universal masyarakat Timor Leste.
Pada dasarnya demokrasi sebagai sebuah sistem telah memberikan sejumlah
alternatif yang mampu menjawabi tuntutan publik, tetapi karena sikap
individualistis yang kuat, demokrasi dapat dibungkam dan kehilangan gemanya
dalam dunia politik di negara tercinta ini. Seolah-olah demokrasi masih
dipasung demi tercapainya kepentingan-kepentingan para elitis, maupun
kepentingan partai-partai yang memimpin kedaulatan bangsa Matahari Terbit ini,
dan mengabaikan prinsip Bonum Commune
seperti yang menjadi harapan dan cita-cita para founders fathers bangsa ini.
Ketimpangan politik Timor Leste juga
sering menampakkan momok kejahatannya dalam rupa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), deskriminasi dan pembedaan golongan dan etnis serta beberapa ketimpangan
politik lainnya yang sering kita jumpai dalam panorama perpolitikan negara ini.
Dinamika politik belakangan ini, ialah bagaimana adanya persaingan yang ketat
antara para politisi dan elitis di negara ini. Persaingan politik antar partai
politik dengan calon pemimpin yang diusung setiap partai politik dipentaskan
secara gamblang di hadapan publik. Wacana dan tawaran-tawaran politis
dikumandangkan dengan tujuan mendapat dukungan penuh dari warga bumi Lorosa’e
ini; meskipun tawaran-tawaran dan janji-janji kampanye tersebut hanyalah
obrolan hampa yang sering tidak dikonkritisasikan ketika kaum elitis sudah
memperoleh apa yang telah diperjuangkan dengan kekayaan janji-janji hampa yang
takterealisasikan. Selain itu, politik juga sering berujung pada tindak
kekerasan, ancaman, teror dan membungkam kebebasan dan lain sebagainya, politik
menampilkan momok negatifnya; dimensi violatif politik mengangkangi realitas
politik yang pada dasarnya bertujuan demi tercapainya masyarakat Lorosa’e yang Bonum Commune.
Dalam
menutup diskursusnya dengan para pelajar asal Timor Leste yang menekuni
filsafat dan teologi di STFK Ledalero, uskup Belo, SDB berharap bahwa, semoga
sistem demokrasi yang diusung untuk bumi Timor Leste diharapkan dapat menemukan
bentuk (model) yang tepat, sehingga demokrasi di Timor Leste mampu memberikan
titik harapan yang pasti bagi seluruh masyarakat Negara ini. Belajar dari
pengalaman 10 tahun terakhir ini, sangat diharapkan agar para elitis, politisi
maupun warga masyarakat Timor Leste mampu menciptakan suasana yang kondusif
serta aman. Kiranya stabilitas bangsa selalu terjamin agar para penggerak
panggung politik bangsa ini mampu menghasilkan sebuah sistem yang dapat
menjawabi cita-cita dan harapan warga masyarakat bangsa ini. Selain pemerintah
(Negara), diharapkan agar agama (Gereja) juga mampu menciptakan manusia Timor
Leste yang bermoril, bermartabat dan cinta keadilan dan perdamaian. Perlu
adanya korelasi kerjasama antara negara dan agama di Timor Leste untuk
membangun suatu tatanan hidup yang harmonis demi tercapainya kesejahteraan umum
sesuai dengan cita-cita para founders
fathers bangsa ini.
***o0o***