Minggu, 03 November 2013

DISKURSUS BERSAMA USKUP BELO, SDB: SEBUAH TEOLOGI TERLIBAT DALAM MEMAKNAI KEMERDEKAAN DAN DEMOKRASI DI TIMOR LESTE

DISKURSUS BERSAMA USKUP BELO, SDB: SEBUAH TEOLOGI TERLIBAT DALAM MEMAKNAI KEMERDEKAAN DAN DEMOKRASI DI TIMOR LESTE

***Carlito Costa Araujo, O.Carm
Penulis Adalah Mahasiswa Pada STFK Ledalero Maumere-Flores



         Sebuah pepatah puitis berbunyi, “usia adalah waktu, waktu adalah peristiwa, dan peristiwa adalah sejarah yang terdiri dari kejayaan dan tragedi”. Demikianlah, kalau menyebut nama Uskup Belo, SDB maka sekiranya ungkapan puitis ini lebih cocok dialamatkan kepada beliau. Secara struktural, ungkapan ini merupakan hal kunci untuk memahami perjalanan panjang seorang tokoh mondial yang namanya tidak lagi asing bagi seantero dunia. Kesohoran nama Uskup Belo menjadi mendunia ketika hadiah Nobel Perdamaian dialamatkan kepada beliau pada tanggal 10 Oktober 1996 di Genewa - Swiss, bersama dengan rekan seperjuangannya Dr. Jose Ramos Horta. Untuk memahami sepak terjang Uskup Belo tidaklah cukup menyimaknya dalam salah satu bingkai kehidupan saja, melainkan seribu bingkai yang menghiasi panorama perjalanannya sebagai seorang gembala umat, yang sekaligus sebagai pejuang kebenaran, Keadilan dan perdamaian serta Hak Asasi Manusia, bukan saja hanya sebatas untuk masyarakat di bumi Timor Loro Sa’e melainkan perdamaian bagi seluruh jagat semesta.
           Mengupas kembali sepak terjang perjuangan Timor Loro Sa’e menuju kemerdekaannya, tidak bisa dilepas-pisahkan dengan keterlibatan Gereja Katolik pada saat itu. Bukan dalam arti bahwa, di dalam perjuangan menuju kemerdekaan yang terealisir pada 30 September 1999, gereja menjadi dalang dan promotor kemerdekaan itu, tetapi peran serta Gereja Katolik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan penegakan kebenaran, keadilan, perdamaian dan Hak Asasi Manusia menjadi salah satu agenda prinsipiil. Sebagaimana Gereja dipanggil untuk menyuarakan kebenaran, keadilan dan perdamaian maka sudah semestinya Gereja bertindak dan terlibat secara praksis pastoral dalam membahasakan serta menyuarakan kaum tertindas yang dibungkam dan dikekang hak-hak politisnya. Menengok sekilas perjalanan bangsa ini menuju kemerdekaannya, begitu banyak tragedi suram yang telah menggores dan kini masih membekas dalam diri masyarakat Timor Leste. Untuk menyongsong terbitnya matahari kemerdekaan maka, rentetan pengalaman suram dan kelam begitu panjang turut mengiringi terbitnya fajar kemerdekaan di bumi Matahari Terbit ini. Ternyata benar bahwa, untuk mencapai suatu kebebasan berpolitik  yang lebih bermartabat dan otonom dibutuhkan suatu perjuangan, dan dalam perjuangan itu pengorbanan tidak bisa dihindari.
       Sepak terjang Gereja dalam memperjuangkan nilai-nilai humanitas, kebenaran, keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan dengan keterlibatan para aktivis dan tokoh-tokoh Gereja Katolik maupun Protestan pada saat itu, salah satu aktivis sekaligus tokoh gereja yang sampai saat ini tidak bisa dilupakan begitu saja dalam memori masyarakat luas di Timor Leste adalah uskup Mgr. Don Carlos Filipe X. Belo, SDB atau yang biasa disapa dengan amo Bispo Belo. Keterlibatan beliau dalam menyuarakan suara umatnya yang redup-samar terdengar dan tak terdengarkan tidak hanya sebatas wacana dan seruan pastoral semata tanpa sebuah konkritisasi di atas mimbar gereja, tetapi keterlibatan beliau menyata terutama melalui aksi dan tindakan. Suatu model pastoral terlibat. Keterlibatan responsif, dedikatif, dialogal dan komunikatif. Pastoral uskup Belo merupakan sebuah “teologi terlibat”, dimana keberpihakan dalam menyuarakan suara kaum tertindas menjadi lebih nyaring bergema keluar, dan gaungnya bisa terdengar di seluruh pelosok mondial. Meskipun keterlibatan beliau dalam memperjuangkan nilai-nilai prinsipiil Gereja telah menuai beragam polemik sekaligus kontradiktif, tetapi karena penyelenggaran Roh Kudus yang hidup telah membimbing beliau kepada suatu harapan baru, suatu fajar matahari baru bagi tanah tercinta ini. Suatu harapan yang telah membimbing dan menghantar seluruh masyarakat Timor Leste dalam menghirup fajar kebebasan, matahari kemerdekaan untuk bumi pertiwi Timor Leste.

·         Timor Leste dan realitas Politik
           Satu dekade sudah Timor Leste telah memproklamirkan diri kepada seantero dunia sebagai sebuah negara yang merdeka (independen) di dalam deretan peta bangsa-bangsa dunia. Sebagai sebuah negara baru apakah panorama perpolitikan di negara matahari Terbit ini telah menjawabi amanat para founders fathers bangsa ini dalam menciptakan summum bonum dan bonum commune? Untuk menciptakan sebuah polis walfare state tidaklah sedemikian mudahnya seumpama membalikan telapak tangan. Negara Republik Demokratik Timor Leste terbentuk dengan suatu cita-cita luhur para founding fathers yakni mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera atau dengan kata lain menciptakan negara demokratis yang menjamin kesejahteraan masyarakat (Welfare State) dalam arti pendirian negara Lorosa’e ini dengan dasar filosofis mewujudkan prinsip Summum Bonum dan Bonum Commune. Jaminan akan kesejahteraan warga masyarakat harus menjadi prioritas dalam pengembangan sistem politik oleh para elite politik.
       Realitas panggung politik yang terjadi sampai dengan saat ini dapat dikatakan bahwa, kemerdekaan Timor Leste bukanlah sebagai sebuah titik finalitas, melainkan sebuah proses. Dalam arti bahwa, kemerdekaan yang telah diperjuangkan selama ini belum menjawabi aspirasi universal masyarakat Timor Leste. Pembenahan dalam setiap aspek kehidupan perlu diperhatikan bahkan harus menjadi agenda utama perpolitikan para elitis dan politisi di bumi Loro Saa’e ini. Realitas perpolitikan telah membawa masyarakat Timor Leste menghirup udara kemerdekaan, tetapi realitas itu belum sepenuhnya memberikan titik cerah dalam wajah masyarakat Timor Leste. Tidak dapat dipungkiri bahwa, untuk mengisi kemerdekaan dari sebuah kehancuran adalah suatu proses dalam kurungan perputaran waktu. Pengalaman sejarah politik dunia menunjukan bahwa untuk membangun sebuah tatanan politis yang bonum commune dibutuhkan komitmen  yang kuat dalam rentetan waktu dalam diri para elitis, para politisi maupun warga masyarakat di negara ini yang memegang tanggungjawab untuk membangun bumi Timor Leste.
          Secara antropologis sosial sistem politik maupun sistem tata pemerintahan yang sedang berjalan merupakan tanggungjawab dua pihak yang berperan penting dalam perhelatan politik di negara ini. Pihak pertama adalah masyarakat secara umum dan para elitis khususnya yang berperan sebagai penggerak serta pengendali roda pemerintahan, dan pihak yang kedua adalah agama, secara khusus disinggung disini adalah agama (Gereja) Kristen-Katolik yang menjadi agama mayoritas di bumi Loro sa’e. Sebagai sebuah negara yang bermayoritaskan penduduk beragama Kristen-Katolik tidak dapat dipungkiri bahwa, yang menduduki tampuk pemerintahan dan menjadi kaum politisi serta elitis adalah orang-orang yang menyandang status sebagai orang Katolik. Di samping agama Katolik sebagai agama mayoritas terdapat pula agama-agama lainnya, tetapi kenyataan mayoritas elitis dan politisi di dalam pemerintah saat ini adalah yang menyebut diri sebagai penganut Gereja (dibaca iman) Katolik. Sehingga dalam realitas panggung perpolitikan saat ini adanya kerja sama yang kuat antara pihak pemerintahan dan pihak Gereja Katolik, kerja sama yang dimaksudkan di sini adalah kerjasama dalam membangun tatanan hidup yang aman, kondusif serta bermoril. Menciptakan elektabilitas dan akuntabilitas sebuah negara merupakan tatangan bagi pemerintah dan Gereja saat ini. Secara struktural kedua sistem ini (Negara dan Agama) adalah otonom antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi dalam hal memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, kebenaran dan penegakan HAM merupakan tujuan bersama, sehingga dalam arti tertentu peran Pemerintah tidak bisa dilepaspisahkan dari peran serta Gereja, demikian pun sebaliknya Gereja bisa tetap mempertahankan essensi religiusnya oleh karena adanya negara.

·         Politik Timor Leste: Gereja versus Negara?
          Sekilas kita mencoba menyimak perjalanan pemerintah dan Gereja dalam memperjuangkan humanitas manusia Timor Leste yang beradab, damai, bermoril dan sejahtera. Tujuan pembentukan sebuah negara dan lahirnya sebuah agama adalah untuk menciptakan sebuah tatanan hidup yang rukun aman dan damai, serta menumbuhkembangkan kepercayaan iman (agama), religiusitas dan keyakinan dari setiap pribadi untuk membangun suatu dinamika hidup yang selaras dan sesuai dengan realitas hidup yang bermartabat dan bermoril. Sebagai sebuah negara baru, terdapat banyak tantangan yang menjadi perhatian pemerintah Timor Leste. Tantangan dalam arti di sini ialah bagaimana mewujudnyatakan cita-cita luhur para founders fathers bangsa ini dalam segala aspek kehidupannya. Agenda demi agenda telah dicanangkan oleh pemerintah sampai dengan saat ini tetapi realitas perpolitikan belum sepenuhnya menjawabi aspirasi masyarakat secara global. Terdapat banyak pembenahan yang harus dilakukan. Perlu adanya sebuah refleksi filosofis kritis yang cermat untuk mencermati panggung politik pemerintah saat ini sehingga dalam proses jalannya politik di negara ini mampu melahirkan suatu mekanisme politik yang mampu menciptakan tatanan hidup yang sejahtera dan bermartabat.
          Di tanyai pendapatnya tentang kiprah perpolitikan di Timor Leste dewasa ini, Uskup Belo, SDB berpendapat bahwa, harapan dan cita-cita perjuangan bangsa Timor Leste ialah untuk bebas dari penjajahan dan pelanggaran HAM di bumi Loro Sa’e dari kaum penjajah. Dan perjuangan tersebut telah mencapai titik kulminasi pada september 1999, dimana mayoritas penduduk Timor Leste dengan tekad yang bulat memilih untuk berdiri sendiri sebagai sebuah negara yang baru, walaupun kemerdekaan tersebut dibaluti dengan pembumihangusan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak menerima keputusan mayoritas tersebut. Cita-cita perjuangan itu telah kita peroleh, tetapi bagaimana mengisi kemerdekaan itu yang menjadi tantangan bagi para elitis dan para politisi yang memegang tampuk kekuasaan saat ini. Terdapat sederetan peristiwa kelam yang turut mengiringi perjalanan bangsa ini. Beragam kompleksitas problematika yang terjadi secara eksplisit mengemukakan bahwa, sesungguhnya bangsa Timor Leste telah merdeka secara yuridis, tetapi kemerdekaan tersebut masih diliputi oleh ketidakmerdekaan yang sengaja diciptakan oleh oknum-oknum yang tidak mencintai kemerdekaan tersebut. Kenapa destabilitas dan polemik-polemik sosial itu terjadi semakin gencar ketika Tmor Leste telah meraih matahari kemerdekaan. Uskup Belo secara lebih rinci mengemukakan bahwa, kemungkinan peristiwa-peristiwa destabilitasi tersebut terjadi karena adanya sistem yang dianut oleh bangsa ini. Sistem demokrasi bisa saja disalahtafsirkan oleh sebagian pihak, sebagai paham kebebasan yang absolut, sehingga setiap pribadi secara bebas menggunakan hak-haknya untuk menciptakan beragam problematika yang mengancam ketentraman dan stabilitas bangsa ini.

·         Gereja dan Politik: Sebuah Pertautan Sintesis
         Bagaimana kiprah Gereja Katolik untuk mengisi kemerdekaan ini? Ketika ditanyai pertanyaan ini, uskup Belo menandaskan bahwa, tidak dapat dipungkiri bahwa, Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam realitas perpolitikan di bumi Loro Sa’e ini, tetapi model politik yang dimaksudkan di sini ialah, bahwa Gereja tidak secara aktif mengambil bagian dalam kiprah politik, tetapi tanggungjawab dan keterlibatan Gereja dalam arti disini ialah menjadi agen politik yang menyuarakan prinsip pembelaan terhadap kebenaran, perdamaian, keadilan, serta penegakan HAM dan membangun martabat manusia Timor Leste yang lebih berwawasan, bermartabat serta lebih beriman kepada Kristus dan Gereja. Gereja terpanggil untuk secara terus-menerus menyuarakan prinsip keselamatan dan kesejahteraan hidup warga masyarakat. Gereja terpanggil untuk menjadi penuntun jalan bagi domba-dombanya menuju keselamatan dan kejahteraan hidup sebagai warga negara.
      Maka, uskup Belo, SDB seturut pengalaman selama masa perjuangannya ketika memimpin Gereja Katolik Timor Leste pada saat masa penjajahan secara tegas menegaskan bahwa, panggilan Gereja adalah suatu Teologi Terlibat. Suatu keterlibatan untuk menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan perdamaian, dan ini adalah panggilan dasariah bagi Gereja. Gereja harus terus bersuara sehingga seruan tersebut  menjadi “nyala api” yang membawa perdamaian dan keharmonisan hidup. Ketika dalam kunjungan ke Maumere Flores-NTT (14-19 Oktober 2013) untuk tatap muka dengan para biarawan/ti asal Timor Leste, Uskup Belo menekankan bahwa, panggilan Gereja bagaikan seorang gembala yang terus menerus bersuara untuk domba-dombanya untuk membawa mereka keluar kepada sumber yang menghidupan dan menyelamatkan. “Ketika seorang gembala umat, sudah berani bersuara dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, penegakan hukum dan pembelaan Hak-hak Asasi Manusia, maka ia tidak boleh mundur kembali dan bungkam, melainkan terus bersuara agar kebenaran itu bergema dan bergaung di seluruh seantero dunia”.
       Keterlibatan Gereja, diartikan sebagai sebuah Teologi Terlibat karena Gereja sejak awalnya senantiasa ada dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan yang disebut Gereja adalah semua orang beriman yang ada dan hidup di bumi Lorosa’e. Tugas perutusan dan panggilan Gereja adalah pelayanan. Pelayanan yang dimaksud tidak hanya sebatas pelayanan kategorial semata melainkan keterlibatan secara aktif dalam seluruh dimensi hidup manusia, sampai terciptanya warga negara yang bermartabat, bermoril serta takwa beriman. Ketiga dimensi ini jika dihidupi oleh masyarakat niscaya bahwa Timor Leste dapat menjadi sebuah negara yang aman dan kondusif dalam realitas panggung perpolitikan bangsa ini. Sangat disayangkan bahwa, sebagai sebuah negara yang bermayoritas agama Kristen Katolik, masyarakat bangsa ini belum hidup sebagai seorang pribadi yang sungguh-sungguh beriman Katolik, kenapa demikian? Hal ini dikarenakan bahwa selama satu dekade ini, Timor Leste masih dililiti oleh beragam kompleksitas problem yang tidak pernah mencapai finalitas penyelesaiannya. Setiap problematika selalu menimbulkan problematika yang lainnya, sehingga muncul suatu sikap ambigu dalam menemukan solusi yang tepat sasar. Hal ini dikarenakan selain menjalankan prisip bonum commune, para elitis maupun para politisi selalu memainkan peran ganda. Peran ganda disini adalah, di lain pihak para elitis dan politisi dipanggil untuk menyuarakan prinsip bonum commune, di pihak lain mereka memperjuangkan kepentingan pribadi maupun kelompok-kelompoknya semata tanpa mengutamakan prinsip kesejahteraan universal masyarakat Timor Leste.

·         Demokrasi Timor Leste: Apakah Hanya Sebuah Narasi?
         Perhelatan politik Timor Leste setelah kemerdekaannya tidak dapat dipungkiri telah menghantar negara ini menuju suatu tranformasi di dalam kehidupan perpolitikan bangsa ini. Sistem demokrasi yang diusung untuk negara ini telah memberikan peluang kepada warga masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menyuarakan aspirasi, hak-hak dan tuntutannya sebagai pribadi yang independen dengan seperangkat hak dan nilai kemanusiaan yang dimilikinya. Apakah dengan demikian demokrasi telah mendapat tempat yang istimewa dalam panggung politik di negara Matahari Terbit ini? Menengok kembali ke masa lalu Negara ini sejak berdirinya, terdapat beragam sekelumit peristiwa yang mengiringi perjalanan demokrasi di Negara ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam 10 tahun terakhir setelah kemerdekaannya menghantar wajah demokrasi bumi Loro Sa’e ini kehadapan dunia Internasional bahwa, sesungguhnya sistem pemerintahan yang dianut oleh negara ini sesungguhnya belum menemukan perwajahan yang tepat untuk membangun tatanan hidup dan sistem pemerintahan negara Timor Leste. Demokrasi masih terbatas pada narasi yang diperguncingkan oleh para elitis, politisi maupun oleh warga masyarakat tanpa pengkonkritisasian dari demokrasi itu sendiri di dalam negara ini. Demokrasi hanya sebatas narasi yang akhirnya menimbulkan beragam isu sosial yang merebak keluar menjadi masalah sosial yang tidak pernah mendapat solusi yang riil dalam penyelesaiannya.
        Mgr. Belo, SDB melihat secara jeli sistem perpolitikan Timor Leste yang sedang berjalan bahwa, sistem demokrasi yang diusung untuk Negara ini sangatlah ideal, tetapi karena terlalu ideal maka sebagian besar orang menerjemahkan demokrasi ini secara terbalik (keliru, salah). Sebagian orang melihat demokrasi sebagai ajang persaingan politik, sementara sebagiannya lagi menerjemahkan demokrasi sebagai sebuah paham kebebasan yang absolut dalam berpolitik tanpa adanya sikap responsalitas dan intelligibilitas, sehingga demokrasi dimanfaatkan sebagai ajang kompetetif mulai dari para elitis sampai pada warga masyarakat. Terdapat adanya persaingan dalam bidang sosial, ekonomi dan politik yang tidak fair (ness) antara para elitis, perbenturan politik warga masyarakat karena salah kaprah dalam menanggapi isu politik yang terjadi di Negara ini, sehingga menimbulkan beberapa masalah sosial yang mencoreng sistem demokrasi itu sendiri, khususnya menimbulkan sebuah noda hitam pada perwajahan demokrasi di bumi Loro Sa’e dalam beberapa tahun terakhir. Maka tepatlah dapat diambil sebuah simpul bahwa, sesungguhnya demokrasi di Timor Leste masih dilihat sebagai sebuah proses yang mengiringi perpolitikan bangsa ini untuk menemukan wajahnya dalam tata perpolitikan bangsa ini. Demokrasi belum mendapatkan posisi yang tepat dalam panggung politik negara ini.

·         Demokrasi, Apakah Masih Mungkin?
     Pada dasarnya sebuah sistem kebijakan publik mesti mengakomodasi seluruh kepentingan komponen masyarakat yang ada di dalamnya. Advokasi kebijakan politik harus mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kebijakan politik pemerintah.  Maka sangat diharapkan sistem demokra(tisa)si yang dicanangkan untuk negara ini hendaklah memperhatikan kriteris-kriteria prinsipiil yang menjadi amandamen dari sistem ini. Demokrasi hendaklah dijalankan secara responsif dalam dedikasi yang utuh untuk membangun sebuah tatanan normatif yang mampu mewadahi aspirasi universal masyarakat Timor Leste. Pada dasarnya demokrasi sebagai sebuah sistem telah memberikan sejumlah alternatif yang mampu menjawabi tuntutan publik, tetapi karena sikap individualistis yang kuat, demokrasi dapat dibungkam dan kehilangan gemanya dalam dunia politik di negara tercinta ini. Seolah-olah demokrasi masih dipasung demi tercapainya kepentingan-kepentingan para elitis, maupun kepentingan partai-partai yang memimpin kedaulatan bangsa Matahari Terbit ini, dan mengabaikan prinsip Bonum Commune seperti yang menjadi harapan dan cita-cita para founders fathers bangsa ini.
        Ketimpangan politik Timor Leste juga sering menampakkan momok kejahatannya dalam rupa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), deskriminasi dan pembedaan golongan dan etnis serta beberapa ketimpangan politik lainnya yang sering kita jumpai dalam panorama perpolitikan negara ini. Dinamika politik belakangan ini, ialah bagaimana adanya persaingan yang ketat antara para politisi dan elitis di negara ini. Persaingan politik antar partai politik dengan calon pemimpin yang diusung setiap partai politik dipentaskan secara gamblang di hadapan publik. Wacana dan tawaran-tawaran politis dikumandangkan dengan tujuan mendapat dukungan penuh dari warga bumi Lorosa’e ini; meskipun tawaran-tawaran dan janji-janji kampanye tersebut hanyalah obrolan hampa yang sering tidak dikonkritisasikan ketika kaum elitis sudah memperoleh apa yang telah diperjuangkan dengan kekayaan janji-janji hampa yang takterealisasikan. Selain itu, politik juga sering berujung pada tindak kekerasan, ancaman, teror dan membungkam kebebasan dan lain sebagainya, politik menampilkan momok negatifnya; dimensi violatif politik mengangkangi realitas politik yang pada dasarnya bertujuan demi tercapainya masyarakat Lorosa’e yang Bonum Commune.
           Dalam menutup diskursusnya dengan para pelajar asal Timor Leste yang menekuni filsafat dan teologi di STFK Ledalero, uskup Belo, SDB berharap bahwa, semoga sistem demokrasi yang diusung untuk bumi Timor Leste diharapkan dapat menemukan bentuk (model) yang tepat, sehingga demokrasi di Timor Leste mampu memberikan titik harapan yang pasti bagi seluruh masyarakat Negara ini. Belajar dari pengalaman 10 tahun terakhir ini, sangat diharapkan agar para elitis, politisi maupun warga masyarakat Timor Leste mampu menciptakan suasana yang kondusif serta aman. Kiranya stabilitas bangsa selalu terjamin agar para penggerak panggung politik bangsa ini mampu menghasilkan sebuah sistem yang dapat menjawabi cita-cita dan harapan warga masyarakat bangsa ini. Selain pemerintah (Negara), diharapkan agar agama (Gereja) juga mampu menciptakan manusia Timor Leste yang bermoril, bermartabat dan cinta keadilan dan perdamaian. Perlu adanya korelasi kerjasama antara negara dan agama di Timor Leste untuk membangun suatu tatanan hidup yang harmonis demi tercapainya kesejahteraan umum sesuai dengan cita-cita para founders fathers bangsa ini.


***o0o***



                                                                                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar