TIMOR LESTE ANTARA DEKONTRUKSI DAN DESTRUKSI:
PERJUANGAN ANTARA POLITIK KEPENTINGAN DAN
POLITIK KESEJAHTERAAN
Sejak 20 Mei 2002 Timor Leste telah menunjukan diri sebagai sebuah Negara merdeka dalam
deretan papan Negara-negara di seantero dunia. Sebagai sebuah Negara yang baru menemukan identitas diri
dan menampilkan eksistensi kebangsaannya sebagai bangsa yang bebas dari
penjajahan, penindasan dan pelanggaran HAM, serta pembumihangusan dari kaum
penjajah. Sistem pemerintahan
yang dianut pun merupakan cita-cita luhur dari para founders fathers
bangsa ini yang menghendaki adanya sebuah sistem yang menjadi wadah bagi seluruh
warga masyarakat. Dimana dengan melalui sistem pemerintahan ini, masyarakat
Timor Leste dapat mengambil bagian dalam pembentukan dan pembangunan bangsa ini
menuju kesejahteraan bersama dan terjaminnya kemakmuran serta kestabilan dalam
seluruh aspek kehidupannya demi terwujudnya idealisme bersama bangsa ini.
Dalam mengisi kemerdekaan ini, bumi Matahari
Terbit ini telah dilanda oleh beragam kompleksitas problematika sosial maupun
politik yang menghiasi panorama perpolitikan bangsa ini. Beragam problematika
yang melanda bangsa ini telah mencoreng nama baik bangsa ini sebagai sebuah
negara yang berdaulatkan demokratisasi parlementer. Sistem demokrasi yang
diusung bangsa ini seolah-olah masih jauh dari idealisme dan cita-cita. Dengan melihat
kembali peziarahan bangsa ini ternyata sistem demokrasi yang dijunjung tinggi
belum sepenuhnya mengantar masyarakat Timor Lorosa’e sebagai sebuah negara yang
menjamin kesejahteraan dan kebebasan berpolitik. Dengan mengusung sistem
pemerintahan demokrasi Timor Leste telah membuka peluang bagi warga masyarakat
untuk terlibat dalam ranah kehidupan politik. Realitas kebebasan yang terbuka terkadang
disalahartikan dengan menyuarakan keterlibatan politis tanpa batasan. Kebebasan
yang seharusnya dianut dalam demokrasi adalah kebebasan yang bukan dalam arti
sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang
bersifat rasional-objektif-responsif. Tetapi, realitas
permasalahan yang terjadi saat ini hendaklah menjadi permenungan dan refleksi
bagi warga bangsa ini untuk dapat bercermin lebih jauh ke dalam demi menemukan
solusi yang tepat guna dalam membebaskan nasionalisme bangsa ini demi mencapai
bangsa yang adil, makmur dan tenteram.
Ada apa dengan demokrasi di
bumi Timor Leste?
Ini sebuah pertanyaan yang melintas dalam benak para pemimpin bangsa maupun
masyarakat yang menceburkan dirinya dalam lautan demokrasi dan berusaha
menemukan butir-butir nilai demokrasi serta peredaran demokrasi sepanjang
perjalanan sejarahnya, masa kini maupun di masa depan. Dapat dikatakan bahwa, masyarakat Timor Leste telah
mengsalahartikan nilai demokrasi yang sesungguhnya. Prinsip-prinsip fundamental
dari demokrasi telah disalahterjemahkan oleh sebagian dari warga bangsa ini.
Demokrasi dianggap sebagai sebuah paham yang memberikan peluang
sebebas-bebasnya untuk menentukan pilihan, pendapat dan kebijakan-kebijakan
tertentu. Sehinga persoalan demi persoalan yang terjadi saat ini adalah sebagai
akibat dari kebebasan setiap warga maupun kelompok untuk berbuat apa saja
termasuk membentuk kelompok-kelompok politisasi tanpa adanya pengontrolan yang
ketat dari negara (pemerintah).
Belakangan ini
bumi Lorosa’e dihentakkan dengan munculnya Mouk Moruk (alias MM) dengan kelompok
bentukannya Konselho Revolusaun Maumbere (KRM). Motivasi apa yang
menjadi latar belakang lahirnya kelompok manifestasi ini? Ideologi apa yang
menjadi langkah untuk melakukan aksi revolusi dari kelompok ini? Ada apa dengan
demokrasi di bumi Lorosa’e sampai munculnya keinginan untuk menggulingkan
pemerintahan negara ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mengganggu pemikiran
penulis dalam menyimak realitas perpolitikan yang dialami RDTL dalam beberapa
kurung waktu terakhir ini. Perjuangan menuju cita-cita bangsa ini telah
mencapai titik kulminasinya pada pasca jajak pendapat pada September 1999. Realitas
politik Negara ini berjalan secara pasti meskipun kerikil-kerikil tajam
senantiasa merongrong pergerakkan bangsa ini dalam membangun tatanannya.
Beragam polemik politik dan sosial telah mengiringi jalannya sistem
pemerintahan negara ini dalam beberapa tahun terakhir ini, mulai dari insiden
kelabu 2006 sampai dengan saat ini, historisitas bangsa ini digerogoti dengan
peristiwa-peristiwa politik yang memperlambat dan menghambat lajunya peredaran
politik di bumi Lorosa’e ini. Dalam kurung waktu terakhir ini masyarakat Timor
Leste digemparkan dengan munculnya Mouk Moruk dan kelompok KRM, dengan tekad
menggulingkan pemerintahan PM Xanana Gusmao. Munculnya Mouk Moruk dengan aksi
manifestinya bersama kelompok KRM dalam beberapa minggu terakhir ini telah
menghiasi media massa dan media elektronik di dalam negeri maupun di luar
negeri.
Kondisi yang demikian merupakan sebuah ironi besar dalam
dinamika politik demokrasi di tanah air ini. Pada taraf ini, demokrasi telah dipasung oleh segelintir orang (penguasa) yang
mengatasnamakan rakyat. Munculnya
kebijakan yang mendistorsi harapan dan cita-cita rakyat, membuat rakyat menjadi semakin teralienasi dari kebebasan demokratis itu sendiri. Di sini kehidupan praksis politik hanya menimbulkan berbagai
bentuk kontroversi. Hal ini dikarenakan percaturan politik
yang sedang dianut oleh Timor Leste terlalu jauh dari intensionalitas
politik itu sendiri. Politik yang bertujuan demi kesejahteraan menampilkan sisi
violatifnya dengan praktek-praktek malpolitik, seperti kasus korupsi, politik
suap, isu politik, saling mengkambinghitamkan, dan beragam masalah politik
lainnya yang masih menghiasi perhelatan politik di bumi Lorosa’e ini. Aksi yang
paling nyata adalah Maouk Moruk dengan kelompok KRM dengan manifestasinya untuk
menggulingkan kepemimpinan Perdana Menteri Xanana Gusmao. Pergunjingan politik yang diciptakan oleh Mouk Moruk dan KRM
menimbulkan suatu yang ironi dan ambigu bagi masyarakat Timor Leste tentang
eksistensi dan kredebilitas pemerintah RDTL saat ini.
Pergunjingan
politik yang kian marak di tanah air ini sering menimbulkan kelompok pro dan
anti. Eksistensi dari kedua kubu ini dilatarbelakangi oleh intensitas dan
ideologi serta kepentingan masing-masing kelompok. Sekiranya hipotesis dasar
ini yang menjadi pemicu lahirnya kelompok anti kemapanan dari masa kepemimpinan
dari PM. Xanana Gusmao. Munculnya kelompok antipati ini karena merasa adanya
ketidakpuasan dari implementasi program pembangunan dan penyejahteraan
masyarakat Timor Leste yang tidak merata. Sebagian besar masyarakat masih belum
tersentuh oleh program pembangunan maupun perekonomian dari rezim kepemimpinan
PM Xanana Gusmao dan para suksesornya. Di samping adanya ketimpangan politik
ini, masa pemerintahan yang sekarang ini dinilai sering menampilkan momok
politik yang busuk; malpolitik masih terjadi di dalam beberapa lini pemerintah.
Kasus korupsi dan money politic kini menghiasi panorama perpolitikan
bangsa Lorosa’e ini. Perburuan status dan kedudukan dalam kabinet dan struktur
pemerintahan bukan demi kesejahteraan dan kemapanan dari masyarakat Timor Leste
tetapi demi kepentingan kelompok maupun perorangan masih terjadi. Politik dan
demokrasi yang dijalankan di bumi matahari terbit ini masih jauh dari cita-cita
perjuangan masyarakat Timor Leste.
Keberpihakkan
terhadap masyarakat kecil masih jauh dari perhatian para elitis maupun para
pemimpin bangsa ini. Persoalan keberpihakan masih jauh dari intensionalitas
para elitis maupun politisi bangsa ini. Perebutan dan persaingan kekuasaan
politis seakan-akan menjadi motivasi personal, tanpa mengindahkan idealisme
prinsipiil dari politik itu sendiri. Ketamakan dan kerakusan karena
materialisme dan konsumerisme telah merasuk para elitis bangsa ini, sehingga
melupakan tujuan dan panggilan mereka dalam memegang tampuk pemerintahan bangsa
ini. Kemerdekaan bangsa tercinta ini sudah berjalan sedekade lamanya, tetapi
realitas perkembangan dan kemajuan serta pembangunan berbagai sektor
infrastruktur masih berjalan secara lamban dan tak terkontrol. Berbagai proyek
dan program perencanaan pembangunan dan pemberdayaan bangsa dicanangkan dan
diwacanakan secara publik, tetapi pengkonkritisasian masih jauh dari implementasi
yang sesungguhnya. Masyarakat hanya mengunyah kehampaan dari wacana-wacana yang
diobralkan oleh para elitis maupun para pemegang tampuk pemerintahan bangsa
tercinta ini. Ke arah manakah demokrasi dan politik bangsa ini diarahkan?
Dalam satu tahun
terakhirnya ini, isu politik dan sosial yang mencuat secara drastis ke
permukaan melalui media massa maupun cetak telah menimbulkan beragam pertanyaan
sekaligus kritikan dari masyarakat bangsa ini. Mulai dari kasus korupsi, kolusi,
nepotisme, politik uang, persaingan
politik, serta beragam isu politik lainnya telah mengganggu stabilitas sekaligus
kredebilitas bangsa ini. Salah satu isu politik yang masih hangat
diperbincangkan adalah gerakan manifestasi yang dilancarkan oleh Mouk Moruk
dengan kelompok KRM di ibu kota dan beberapa distrik lainnya, sampai pada
penangkapan Mouk Moruk, Komandate L-7, Antonio Ai Tahan Matak, dan beberapa
orang lainnya yang dianggap menjadi biang dari kelompok manifestasi ini. Aksi
pengamanan kelompok KRM ini didasari oleh kecemasan akan dampak lebih lanjut
dari gerakan ini yang diisukan mulai menyusun strategi untuk menggulingkan masa
kepemimpinan PM Xanana Gusmao. Yang menjadi persoalan sekarang ialah, apakah
dengan penangkapan oknum-oknum dari KRM dan pembubarannya akan mengakhiri semua
problematika yang terjadi di Bumi Lorasa’e ini? Ini akan menjadi sebuah
pertanyaan besar dalam dinamika perpolitikan bangsa ini ke masa depan.
Sekaligus sebagai sebuah pertanyaan reflektif bagi rezim kepemimpinan PM Xanana
Gusmao beserta para suksesornya dalam membawa bangsa ini menuju masa depan.
Realitas politik yang dihadapi oleh bangsa ini merupakan suatu
problematika yang kompleks. Hal ini dikarenakan perhelatan politik bangsa ini sering memainkan peran ganda dalam realitas
politik. Perjuangan antara mementingkan kesejahteraan bangsa atau mementingkan
kepentingkan pribadi atau kelompok-kelompok kepentingan di mana seseorang
(elitis dan politisi) berafiliasi masih sangat mendominasi panggung politik Negara ini. Ralitas perpolitikan ini
sering membawa wajah bangsa ini menuju kompleksitas problematika yang sering
mengancam kesejahteraan bangsa ini. Maka, perjuangan demi menemukan wajah dan
habitus bangsa Timor Leste yang baru menjadi pergerakkan sekelompok pihak yang
memiliki keperihatinan tersendiri akan situasi bangsa saat ini. Problematika KKN,
malpolitik, money politic, pelecahan harga diri kaum minoritas, penggusuran kaum miskin dan pelanggaran HAM telah merebak dan
menguasai hampir seluruh lini kehidupan
bangsa. Maka, cita-cita perjuangan untuk membebaskan bangsa ini dari
momok-momok kehancuran dan kebobrokan menjadi keprihatinan sebagian warga
masyarakat bangsa ini yang ingin mengembalikan habitus bangsa ini menuju
masyarakat bonum commune.
Untuk mencapai suatu habitus baru bagi
Bumi Lorosa’e tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tetapi butuh suatu
komitmen yang serius dan prinsipiil dari pemerintah bangsa ini. Tidak dapat
dipungkiri bahwa, untuk mencapai habitus baru ini sebagian kelompok kepentingan
akan dirugikan dan tersingkir dari arena perpolitikan, tetapi realitas ini
tidak dapat dihindari karena dalam suatu kepenguasaan suatu rezim setiap
kelompok memperjuangkan politik kepentingan di samping politik kesejahteraan
bersama. Dalam tataran ini
pemerintah dipaksa serta dituntut untuk bertindak secara bijaksana dan adil
sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Dalam filosofi politik menegaskan
bahwa, untuk memajukan kesejahteraan, keadilan, kejujuran dan kebijaksanaan
umum maka kelompok-kelompok kepentingan harus ditangguhkan dan dieliminasi
serta dituntut untuk berafiliasi dalam mementingkan kepentingan bersama bangsa
ini menuju cita-cita perjuangan yang diharapkan oleh para founders fathers
dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Mencermati kembali
realitas perpolitikan yang sedang berjalan di bumi tercinta ini, seakan-akan
menimbulkan suatu yang ironi dan ambigu. Perjuangan demi kepentingan partial
atau kelompok tertentu masih mendominasi perhelatan politik di negara ini.
Seakan-akan perjuangan demi kepentingan bersama didistorsi oleh sekelompok
pihak yang mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu.
Panggung politik dijadikan ladang untuk mengisi dan memenuhi kantong sendiri
tanpa mengindahkan nasib dan kepentingan masyarakat Timor Leste. Sebagai Negara
baru Timor Leste telah masuk ke dalam politik kotor, korupsi, kolusi dan nepotisme
telah menghiasi berbagai areal sistem pemerintahan yang dikomando oleh PM
Xanana Gusmao. Jeritan rakyat jelata, kaum pinggiran dan kaum marginal masih jauh
dari perhatian para elitis. Masyarakat seakan-akan menjadi korban dan obyek
dari politik kepentingan para elitis. Pada tataran ini sistem demokrasi yang
diusung untuk bumi Lorosa’e ini telah dipasung dan hanya dijadikan tameng untuk
kepuasan dan kepentingan kaum elitis dan para politisi.
Atas dasar
kebobrokan dan ketimpangan politik di negara ini maka, tidak dapat dielak lagi
bahwa hampir dalam beberapa tahun terakhir ini sering muncul beragam polemik
dan masalah sosial politik yang merebak ke permukaan. Realitas krisis politik
ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dan kepemimpinan bangsa ini masih
jauh dari harapan dan cita-cita rakyat Timor Leste. Demokrasi seolah-olah
dipasung dan kehilangan makna idealisnya. Idealisme demokratisasi negara ini
begitu suci, tetapi nation-state bernama Republik Demokratik Timor Leste
(RDTL) selalu melewati fase-fase problematik dalam peziarahannya. Rentetan demi
rentetan masalah sosial dan politik yang menghiasi panggung politik negara ini,
dan menunjukkan secara riil bahwa kita belum mampu membawa (memimpin) bangsa
ini menuju bonum commune dan summum bonum yang diidealismekan
para pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste sampai titik darah
penghabisan.
Wacana politik,
dalam kerangka demokratisasi seperti yang disuarakan ternyata sarat keperluan
dan kepentingan para elite politik. Dominasi kepentingan mewajah secara
transparan dalam “tubuh politik” itu sendiri yang mulai mencuat ke permukaan
dimana politik kesejahteraan tidak lagi menjadi prinsip utama tetapi politik
kepentingan partial menjadi prioritas para elitis dan politisi dalam memegang
tampuk pemerintahan bangsa ini. Dalam tataran ini lanskap politik semakin
jelas. Posisi tawar antara rakyat dan penguasa menjadi tidak seimbang.
Kepentingan rakyat menjadi “subordinatif” terhadap kepentingan kaum elite
bangsa ini. Terma-terma politik yang merebak di tengah publik politik terkesan
menyingkirkan rakyat. Rakyat menjadi alat untuk menyukseskan aspirasi
kepentingan para elite politik bangsa ini. Konkritisasi dari program-program
pemerintah masih jauh dari harapan masyarakat bumi Lorosa’e. Terdapat beberapa
bukti fisik yang kelihatan fakum dan bahkan tak tergubris oleh pemerintah,
antara lain infrastruktur jalan raya yang semakin memprihatinkan, pembangunan
sektor ekonomi yang belum menyentuh seluruh areal masyarakat, pembangun
infranstruktur yang belum memadai, sistem pendidikan dan kurikulum yang belum
fleksibel, serta beberapa areal pembangunan yang masih jauh dari harapan dan perjuangan
bangsa ini. Meskipun miliaran dolars di anggarkan untuk semua bidang tetapi
kenyataan belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dan memuaskan
masyarakat Timor Leste.
Beberapa variable
yang dilampirkan di atas pulalah yang menjadi penekanan dari pergerakan Mouk
Moruk beserta kelompok KRM dalam manifestasi mereka untuk menggulingkan
pemerintahan yang sedang eksis di bumi Matahari terbit ini. Di samping itu
krisis yang paling krusial dihadapi oleh negara ini adalah krisis finansial dan perekonomian juga turut mempengaruhi
stabilitas politik negara ini. Jaminan akan kesejahteraan warga masyarakat belum menjadi
prioritas dalam pengembangan sistem politik para politisi maupun para elite politik bangsa ini. Meskipun,
sistem demokrasi itu sendiri merupakan sebuah pemerintahan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi kenyataan tidak seperti makna
prinsipiil dari demokrasi tersebut. Realitas dari prinsip politik ini belum
mampu menjawabi aspirasi masyarakat Timor Leste, karena panorama politik bangsa
ini masih dililiti dengan kompleksitas ketimpangan politik, seperti korupsi,
deskriminasi, malpolitik, money politics,
dan beragam problematika sosial dan politik lainnya yang turut menghiasi kancah
politik bumi Lorosa’e ini. Sistem demokratisasi di Negara ini masih buram dan
belum menemukan perwajahannya karena beragam kebobrokan yang menghiasi penggung
perpolitikan bangsa ini.
Realitas ini
menunjukan demokrasi di Bumi Lorosa’e sedang menghadapi tantangan besar. Ada
kemungkinan bahwa kelompok-kelompok anti-demokrasi menyusup masuk melalui
mekanisme demokrasi ke dalam perangkat-perangkat demokrasi untuk selanjutnya
mendistorsi sistem demokrasi itu dari dalam. Oleh karena, demokrasi adalah
sebuah sistem politik yang terbuka dan tidak mampu hanya memberikan tempat
untuk demokrat sejati ke dalam lembaga kekuasaan. Hematnya, inilah salah satu
jebakan krusial dan paling besar kemungkinan untuk isu-isu dan masalah sosial
politik di tanah air ini. Sebuah pertanyaan kunci pantas ditampilkan
berhubungan dengan realitas politik bangsa ini. Apakah geliat politik yang
sudah semakin menkrusial ini mampu membawa perubahan yang konstruktif bagi masa
depan bangsa Timor Leste? Sampai kapankah perwajahan bangsa ini terus
didestruksi oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang terus memainkan geliat
politiknya di dalam sistem pemerintahan bangsa ini dan terus-menerus
menorengkan kekelaman serta kekejaman politik bagi warga masyarakat Negara ini?
Meskipun realitas
politik Timor Leste dewasa ini sangat memprihatinkan, tetapi sudah waktunya
bagi kita sebagai warga negara yang hidup di sebuah negara yang berlandaskan
demokrasi mulai memprioritaskan sebuah tujuan bersama yang baru. Tujuan bersama
untuk membangun habitus baru bagi bumi tercinta ini. Suatu habitus baru yang
mampu memberikan harapan yang nyata bagi seluruh warga negara bangsa ini.
Bercermin pada problematika politik yang sudah menghiasi panorama perpolitikan
bangsa ini, sudah saatnya para elitis maupun politisi bangsa ini yang sedang
mengendalikan setir pemerintah RDTL berefleksi lebih dalam dan memadukan tekad
bersama untuk menjadikan bangsa ini sebuah bangsa yang mampu melahirkan
kesejahteraan, keadilan, ketenteraman dan stabilitas dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa ini. Pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini adalah milik
kita bersama dan untuk kepentingan bersama. Karena idealisme dari para pejuang
bangsa ini ialah kesejahteraan, keadilan serta kemakmuran bumi Lorosa’e. Sampai
kapankah bumi pertiwi ini terus-menerus dililiti kompleksitas problematika yang
tak terselesaikan?
Sudah waktunya
bumi Lorosa’e membangun dekontruksi politik dan demokrasi atas perhelatan
politik bangsa ini. Perjuangan demi kesejahteraan dan ketenteraman bersama
harus menjadi landasan utama dalam memegang dan memimpin tampuk pemerintahan
RDTL. Sebagaimana para peletak dasar kemerdekaan bangsa ini memiliki suatu
harapan yang tak tergoyahkan, yaitu terciptanya bumi Timor Leste yang harmonis
dan sejahtera serta makmur, demikianpun untuk generasi bangsa yang saat ini
sedang eksis dalam mengendalikan tampuk kekuasaan di dalam Negara ini.
Tanggalkan politik kepentingan yang membawa destruksi pada wajah bangsa ini,
dan satukan tekad untuk membangun habitus baru; perwajahan yang baru bagi
demokratisasi dan politik negara ini, sehingga perjuangan demi kepentingan
bersama diprioritaskan di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Jadikan “Honra
Patria e Povo” sebagai komitmen dasar dalam membangun dan memimpin bumi
tercinta ini, bumi yang memberi harapan dan matahari baru bagi seluruh warga
Timor Leste.
***o0o***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar