Sabtu, 22 Maret 2014

TIMOR LESTE ANTARA DEKONTRUKSI DAN DESTRUKSI: PERJUANGAN ANTARA POLITIK KEPENTINGAN DAN POLITIK KESEJAHTERAAN

TIMOR LESTE ANTARA DEKONTRUKSI DAN DESTRUKSI: 

PERJUANGAN ANTARA POLITIK KEPENTINGAN DAN 

POLITIK KESEJAHTERAAN





Sejak 20 Mei 2002 Timor Leste telah menunjukan diri sebagai sebuah Negara merdeka dalam deretan papan Negara-negara di seantero dunia. Sebagai sebuah Negara yang baru menemukan identitas diri dan menampilkan eksistensi kebangsaannya sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan, penindasan dan pelanggaran HAM, serta pembumihangusan dari kaum penjajah. Sistem pemerintahan yang dianut pun merupakan cita-cita luhur dari para founders fathers bangsa ini yang menghendaki adanya sebuah sistem yang menjadi wadah bagi seluruh warga masyarakat. Dimana dengan melalui sistem pemerintahan ini, masyarakat Timor Leste dapat mengambil bagian dalam pembentukan dan pembangunan bangsa ini menuju kesejahteraan bersama dan terjaminnya kemakmuran serta kestabilan dalam seluruh aspek kehidupannya demi terwujudnya idealisme bersama bangsa ini.
Dalam mengisi kemerdekaan ini, bumi Matahari Terbit ini telah dilanda oleh beragam kompleksitas problematika sosial maupun politik yang menghiasi panorama perpolitikan bangsa ini. Beragam problematika yang melanda bangsa ini telah mencoreng nama baik bangsa ini sebagai sebuah negara yang berdaulatkan demokratisasi parlementer. Sistem demokrasi yang diusung bangsa ini seolah-olah masih jauh dari idealisme dan cita-cita. Dengan melihat kembali peziarahan bangsa ini ternyata sistem demokrasi yang dijunjung tinggi belum sepenuhnya mengantar masyarakat Timor Lorosa’e sebagai sebuah negara yang menjamin kesejahteraan dan kebebasan berpolitik. Dengan mengusung sistem pemerintahan demokrasi Timor Leste telah membuka peluang bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam ranah kehidupan politik. Realitas kebebasan yang terbuka terkadang disalahartikan dengan menyuarakan keterlibatan politis tanpa batasan. Kebebasan yang seharusnya dianut dalam demokrasi adalah kebebasan yang bukan dalam arti sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang bersifat rasional-objektif-responsif. Tetapi, realitas permasalahan yang terjadi saat ini hendaklah menjadi permenungan dan refleksi bagi warga bangsa ini untuk dapat bercermin lebih jauh ke dalam demi menemukan solusi yang tepat guna dalam membebaskan nasionalisme bangsa ini demi mencapai bangsa yang adil, makmur dan tenteram.
Ada apa dengan demokrasi di bumi Timor Leste? Ini sebuah pertanyaan yang melintas dalam benak para pemimpin bangsa maupun masyarakat yang menceburkan dirinya dalam lautan demokrasi dan berusaha menemukan butir-butir nilai demokrasi serta peredaran demokrasi sepanjang perjalanan sejarahnya, masa kini maupun di masa depan. Dapat dikatakan bahwa, masyarakat Timor Leste telah mengsalahartikan nilai demokrasi yang sesungguhnya. Prinsip-prinsip fundamental dari demokrasi telah disalahterjemahkan oleh sebagian dari warga bangsa ini. Demokrasi dianggap sebagai sebuah paham yang memberikan peluang sebebas-bebasnya untuk menentukan pilihan, pendapat dan kebijakan-kebijakan tertentu. Sehinga persoalan demi persoalan yang terjadi saat ini adalah sebagai akibat dari kebebasan setiap warga maupun kelompok untuk berbuat apa saja termasuk membentuk kelompok-kelompok politisasi tanpa adanya pengontrolan yang ketat dari negara (pemerintah).
Belakangan ini bumi Lorosa’e dihentakkan dengan munculnya Mouk Moruk (alias MM) dengan kelompok bentukannya Konselho Revolusaun Maumbere (KRM). Motivasi apa yang menjadi latar belakang lahirnya kelompok manifestasi ini? Ideologi apa yang menjadi langkah untuk melakukan aksi revolusi dari kelompok ini? Ada apa dengan demokrasi di bumi Lorosa’e sampai munculnya keinginan untuk menggulingkan pemerintahan negara ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mengganggu pemikiran penulis dalam menyimak realitas perpolitikan yang dialami RDTL dalam beberapa kurung waktu terakhir ini. Perjuangan menuju cita-cita bangsa ini telah mencapai titik kulminasinya pada pasca jajak pendapat pada September 1999. Realitas politik Negara ini berjalan secara pasti meskipun kerikil-kerikil tajam senantiasa merongrong pergerakkan bangsa ini dalam membangun tatanannya. Beragam polemik politik dan sosial telah mengiringi jalannya sistem pemerintahan negara ini dalam beberapa tahun terakhir ini, mulai dari insiden kelabu 2006 sampai dengan saat ini, historisitas bangsa ini digerogoti dengan peristiwa-peristiwa politik yang memperlambat dan menghambat lajunya peredaran politik di bumi Lorosa’e ini. Dalam kurung waktu terakhir ini masyarakat Timor Leste digemparkan dengan munculnya Mouk Moruk dan kelompok KRM, dengan tekad menggulingkan pemerintahan PM Xanana Gusmao. Munculnya Mouk Moruk dengan aksi manifestinya bersama kelompok KRM dalam beberapa minggu terakhir ini telah menghiasi media massa dan media elektronik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kondisi yang demikian merupakan sebuah ironi besar dalam dinamika politik demokrasi di tanah air ini. Pada taraf ini, demokrasi telah dipasung oleh segelintir orang (penguasa) yang mengatasnamakan rakyat. Munculnya kebijakan yang mendistorsi harapan dan cita-cita rakyat, membuat rakyat menjadi semakin teralienasi dari kebebasan demokratis itu sendiri. Di sini kehidupan praksis politik hanya menimbulkan berbagai bentuk kontroversi. Hal ini dikarenakan percaturan politik yang sedang dianut oleh Timor Leste terlalu jauh dari intensionalitas politik itu sendiri. Politik yang bertujuan demi kesejahteraan menampilkan sisi violatifnya dengan praktek-praktek malpolitik, seperti kasus korupsi, politik suap, isu politik, saling mengkambinghitamkan, dan beragam masalah politik lainnya yang masih menghiasi perhelatan politik di bumi Lorosa’e ini. Aksi yang paling nyata adalah Maouk Moruk dengan kelompok KRM dengan manifestasinya untuk menggulingkan kepemimpinan Perdana Menteri Xanana Gusmao. Pergunjingan politik yang diciptakan oleh Mouk Moruk dan KRM menimbulkan suatu yang ironi dan ambigu bagi masyarakat Timor Leste tentang eksistensi dan kredebilitas pemerintah RDTL saat ini.
Pergunjingan politik yang kian marak di tanah air ini sering menimbulkan kelompok pro dan anti. Eksistensi dari kedua kubu ini dilatarbelakangi oleh intensitas dan ideologi serta kepentingan masing-masing kelompok. Sekiranya hipotesis dasar ini yang menjadi pemicu lahirnya kelompok anti kemapanan dari masa kepemimpinan dari PM. Xanana Gusmao. Munculnya kelompok antipati ini karena merasa adanya ketidakpuasan dari implementasi program pembangunan dan penyejahteraan masyarakat Timor Leste yang tidak merata. Sebagian besar masyarakat masih belum tersentuh oleh program pembangunan maupun perekonomian dari rezim kepemimpinan PM Xanana Gusmao dan para suksesornya. Di samping adanya ketimpangan politik ini, masa pemerintahan yang sekarang ini dinilai sering menampilkan momok politik yang busuk; malpolitik masih terjadi di dalam beberapa lini pemerintah. Kasus korupsi dan money politic kini menghiasi panorama perpolitikan bangsa Lorosa’e ini. Perburuan status dan kedudukan dalam kabinet dan struktur pemerintahan bukan demi kesejahteraan dan kemapanan dari masyarakat Timor Leste tetapi demi kepentingan kelompok maupun perorangan masih terjadi. Politik dan demokrasi yang dijalankan di bumi matahari terbit ini masih jauh dari cita-cita perjuangan masyarakat Timor Leste.
Keberpihakkan terhadap masyarakat kecil masih jauh dari perhatian para elitis maupun para pemimpin bangsa ini. Persoalan keberpihakan masih jauh dari intensionalitas para elitis maupun politisi bangsa ini. Perebutan dan persaingan kekuasaan politis seakan-akan menjadi motivasi personal, tanpa mengindahkan idealisme prinsipiil dari politik itu sendiri. Ketamakan dan kerakusan karena materialisme dan konsumerisme telah merasuk para elitis bangsa ini, sehingga melupakan tujuan dan panggilan mereka dalam memegang tampuk pemerintahan bangsa ini. Kemerdekaan bangsa tercinta ini sudah berjalan sedekade lamanya, tetapi realitas perkembangan dan kemajuan serta pembangunan berbagai sektor infrastruktur masih berjalan secara lamban dan tak terkontrol. Berbagai proyek dan program perencanaan pembangunan dan pemberdayaan bangsa dicanangkan dan diwacanakan secara publik, tetapi pengkonkritisasian masih jauh dari implementasi yang sesungguhnya. Masyarakat hanya mengunyah kehampaan dari wacana-wacana yang diobralkan oleh para elitis maupun para pemegang tampuk pemerintahan bangsa tercinta ini. Ke arah manakah demokrasi dan politik bangsa ini diarahkan?
Dalam satu tahun terakhirnya ini, isu politik dan sosial yang mencuat secara drastis ke permukaan melalui media massa maupun cetak telah menimbulkan beragam pertanyaan sekaligus kritikan dari masyarakat bangsa ini. Mulai dari kasus korupsi, kolusi, nepotisme,  politik uang, persaingan politik, serta beragam isu politik lainnya telah mengganggu stabilitas sekaligus kredebilitas bangsa ini. Salah satu isu politik yang masih hangat diperbincangkan adalah gerakan manifestasi yang dilancarkan oleh Mouk Moruk dengan kelompok KRM di ibu kota dan beberapa distrik lainnya, sampai pada penangkapan Mouk Moruk, Komandate L-7, Antonio Ai Tahan Matak, dan beberapa orang lainnya yang dianggap menjadi biang dari kelompok manifestasi ini. Aksi pengamanan kelompok KRM ini didasari oleh kecemasan akan dampak lebih lanjut dari gerakan ini yang diisukan mulai menyusun strategi untuk menggulingkan masa kepemimpinan PM Xanana Gusmao. Yang menjadi persoalan sekarang ialah, apakah dengan penangkapan oknum-oknum dari KRM dan pembubarannya akan mengakhiri semua problematika yang terjadi di Bumi Lorasa’e ini? Ini akan menjadi sebuah pertanyaan besar dalam dinamika perpolitikan bangsa ini ke masa depan. Sekaligus sebagai sebuah pertanyaan reflektif bagi rezim kepemimpinan PM Xanana Gusmao beserta para suksesornya dalam membawa bangsa ini menuju masa depan.
Realitas politik yang dihadapi oleh bangsa ini merupakan suatu problematika yang kompleks. Hal ini dikarenakan perhelatan politik bangsa ini sering memainkan peran ganda dalam realitas politik. Perjuangan antara mementingkan kesejahteraan bangsa atau mementingkan kepentingkan pribadi atau kelompok-kelompok kepentingan di mana seseorang (elitis dan politisi) berafiliasi masih sangat mendominasi panggung politik Negara ini. Ralitas perpolitikan ini sering membawa wajah bangsa ini menuju kompleksitas problematika yang sering mengancam kesejahteraan bangsa ini. Maka, perjuangan demi menemukan wajah dan habitus bangsa Timor Leste yang baru menjadi pergerakkan sekelompok pihak yang memiliki keperihatinan tersendiri akan situasi bangsa saat ini. Problematika KKN, malpolitik, money politic, pelecahan harga diri kaum minoritas, penggusuran kaum miskin dan pelanggaran HAM telah merebak dan menguasai hampir seluruh lini kehidupan bangsa. Maka, cita-cita perjuangan untuk membebaskan bangsa ini dari momok-momok kehancuran dan kebobrokan menjadi keprihatinan sebagian warga masyarakat bangsa ini yang ingin mengembalikan habitus bangsa ini menuju masyarakat bonum commune.
Untuk mencapai suatu habitus baru bagi Bumi Lorosa’e tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tetapi butuh suatu komitmen yang serius dan prinsipiil dari pemerintah bangsa ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa, untuk mencapai habitus baru ini sebagian kelompok kepentingan akan dirugikan dan tersingkir dari arena perpolitikan, tetapi realitas ini tidak dapat dihindari karena dalam suatu kepenguasaan suatu rezim setiap kelompok memperjuangkan politik kepentingan di samping politik kesejahteraan bersama. Dalam tataran ini pemerintah dipaksa serta dituntut untuk bertindak secara bijaksana dan adil sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Dalam filosofi politik menegaskan bahwa, untuk memajukan kesejahteraan, keadilan, kejujuran dan kebijaksanaan umum maka kelompok-kelompok kepentingan harus ditangguhkan dan dieliminasi serta dituntut untuk berafiliasi dalam mementingkan kepentingan bersama bangsa ini menuju cita-cita perjuangan yang diharapkan oleh para founders fathers dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Mencermati kembali realitas perpolitikan yang sedang berjalan di bumi tercinta ini, seakan-akan menimbulkan suatu yang ironi dan ambigu. Perjuangan demi kepentingan partial atau kelompok tertentu masih mendominasi perhelatan politik di negara ini. Seakan-akan perjuangan demi kepentingan bersama didistorsi oleh sekelompok pihak yang mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Panggung politik dijadikan ladang untuk mengisi dan memenuhi kantong sendiri tanpa mengindahkan nasib dan kepentingan masyarakat Timor Leste. Sebagai Negara baru Timor Leste telah masuk ke dalam politik kotor, korupsi, kolusi dan nepotisme telah menghiasi berbagai areal sistem pemerintahan yang dikomando oleh PM Xanana Gusmao. Jeritan rakyat jelata, kaum pinggiran dan kaum marginal masih jauh dari perhatian para elitis. Masyarakat seakan-akan menjadi korban dan obyek dari politik kepentingan para elitis. Pada tataran ini sistem demokrasi yang diusung untuk bumi Lorosa’e ini telah dipasung dan hanya dijadikan tameng untuk kepuasan dan kepentingan kaum elitis dan para politisi.
Atas dasar kebobrokan dan ketimpangan politik di negara ini maka, tidak dapat dielak lagi bahwa hampir dalam beberapa tahun terakhir ini sering muncul beragam polemik dan masalah sosial politik yang merebak ke permukaan. Realitas krisis politik ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dan kepemimpinan bangsa ini masih jauh dari harapan dan cita-cita rakyat Timor Leste. Demokrasi seolah-olah dipasung dan kehilangan makna idealisnya. Idealisme demokratisasi negara ini begitu suci, tetapi nation-state bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) selalu melewati fase-fase problematik dalam peziarahannya. Rentetan demi rentetan masalah sosial dan politik yang menghiasi panggung politik negara ini, dan menunjukkan secara riil bahwa kita belum mampu membawa (memimpin) bangsa ini menuju bonum commune dan summum bonum yang diidealismekan para pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste sampai titik darah penghabisan.
Wacana politik, dalam kerangka demokratisasi seperti yang disuarakan ternyata sarat keperluan dan kepentingan para elite politik. Dominasi kepentingan mewajah secara transparan dalam “tubuh politik” itu sendiri yang mulai mencuat ke permukaan dimana politik kesejahteraan tidak lagi menjadi prinsip utama tetapi politik kepentingan partial menjadi prioritas para elitis dan politisi dalam memegang tampuk pemerintahan bangsa ini. Dalam tataran ini lanskap politik semakin jelas. Posisi tawar antara rakyat dan penguasa menjadi tidak seimbang. Kepentingan rakyat menjadi “subordinatif” terhadap kepentingan kaum elite bangsa ini. Terma-terma politik yang merebak di tengah publik politik terkesan menyingkirkan rakyat. Rakyat menjadi alat untuk menyukseskan aspirasi kepentingan para elite politik bangsa ini. Konkritisasi dari program-program pemerintah masih jauh dari harapan masyarakat bumi Lorosa’e. Terdapat beberapa bukti fisik yang kelihatan fakum dan bahkan tak tergubris oleh pemerintah, antara lain infrastruktur jalan raya yang semakin memprihatinkan, pembangunan sektor ekonomi yang belum menyentuh seluruh areal masyarakat, pembangun infranstruktur yang belum memadai, sistem pendidikan dan kurikulum yang belum fleksibel, serta beberapa areal pembangunan yang masih jauh dari harapan dan perjuangan bangsa ini. Meskipun miliaran dolars di anggarkan untuk semua bidang tetapi kenyataan belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dan memuaskan masyarakat Timor Leste.
Beberapa variable yang dilampirkan di atas pulalah yang menjadi penekanan dari pergerakan Mouk Moruk beserta kelompok KRM dalam manifestasi mereka untuk menggulingkan pemerintahan yang sedang eksis di bumi Matahari terbit ini. Di samping itu krisis yang paling krusial dihadapi oleh negara ini adalah krisis  finansial dan perekonomian juga turut mempengaruhi stabilitas politik negara ini. Jaminan akan kesejahteraan warga masyarakat belum menjadi prioritas dalam pengembangan sistem politik para politisi maupun para elite politik bangsa ini. Meskipun, sistem demokrasi itu sendiri merupakan sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi kenyataan tidak seperti makna prinsipiil dari demokrasi tersebut. Realitas dari prinsip politik ini belum mampu menjawabi aspirasi masyarakat Timor Leste, karena panorama politik bangsa ini masih dililiti dengan kompleksitas ketimpangan politik, seperti korupsi, deskriminasi, malpolitik, money politics, dan beragam problematika sosial dan politik lainnya yang turut menghiasi kancah politik bumi Lorosa’e ini. Sistem demokratisasi di Negara ini masih buram dan belum menemukan perwajahannya karena beragam kebobrokan yang menghiasi penggung perpolitikan bangsa ini.
Realitas ini menunjukan demokrasi di Bumi Lorosa’e sedang menghadapi tantangan besar. Ada kemungkinan bahwa kelompok-kelompok anti-demokrasi menyusup masuk melalui mekanisme demokrasi ke dalam perangkat-perangkat demokrasi untuk selanjutnya mendistorsi sistem demokrasi itu dari dalam. Oleh karena, demokrasi adalah sebuah sistem politik yang terbuka dan tidak mampu hanya memberikan tempat untuk demokrat sejati ke dalam lembaga kekuasaan. Hematnya, inilah salah satu jebakan krusial dan paling besar kemungkinan untuk isu-isu dan masalah sosial politik di tanah air ini. Sebuah pertanyaan kunci pantas ditampilkan berhubungan dengan realitas politik bangsa ini. Apakah geliat politik yang sudah semakin menkrusial ini mampu membawa perubahan yang konstruktif bagi masa depan bangsa Timor Leste? Sampai kapankah perwajahan bangsa ini terus didestruksi oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang terus memainkan geliat politiknya di dalam sistem pemerintahan bangsa ini dan terus-menerus menorengkan kekelaman serta kekejaman politik bagi warga masyarakat Negara ini?
Meskipun realitas politik Timor Leste dewasa ini sangat memprihatinkan, tetapi sudah waktunya bagi kita sebagai warga negara yang hidup di sebuah negara yang berlandaskan demokrasi mulai memprioritaskan sebuah tujuan bersama yang baru. Tujuan bersama untuk membangun habitus baru bagi bumi tercinta ini. Suatu habitus baru yang mampu memberikan harapan yang nyata bagi seluruh warga negara bangsa ini. Bercermin pada problematika politik yang sudah menghiasi panorama perpolitikan bangsa ini, sudah saatnya para elitis maupun politisi bangsa ini yang sedang mengendalikan setir pemerintah RDTL berefleksi lebih dalam dan memadukan tekad bersama untuk menjadikan bangsa ini sebuah bangsa yang mampu melahirkan kesejahteraan, keadilan, ketenteraman dan stabilitas dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini adalah milik kita bersama dan untuk kepentingan bersama. Karena idealisme dari para pejuang bangsa ini ialah kesejahteraan, keadilan serta kemakmuran bumi Lorosa’e. Sampai kapankah bumi pertiwi ini terus-menerus dililiti kompleksitas problematika yang tak terselesaikan?
Sudah waktunya bumi Lorosa’e membangun dekontruksi politik dan demokrasi atas perhelatan politik bangsa ini. Perjuangan demi kesejahteraan dan ketenteraman bersama harus menjadi landasan utama dalam memegang dan memimpin tampuk pemerintahan RDTL. Sebagaimana para peletak dasar kemerdekaan bangsa ini memiliki suatu harapan yang tak tergoyahkan, yaitu terciptanya bumi Timor Leste yang harmonis dan sejahtera serta makmur, demikianpun untuk generasi bangsa yang saat ini sedang eksis dalam mengendalikan tampuk kekuasaan di dalam Negara ini. Tanggalkan politik kepentingan yang membawa destruksi pada wajah bangsa ini, dan satukan tekad untuk membangun habitus baru; perwajahan yang baru bagi demokratisasi dan politik negara ini, sehingga perjuangan demi kepentingan bersama diprioritaskan di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Jadikan “Honra Patria e Povo” sebagai komitmen dasar dalam membangun dan memimpin bumi tercinta ini, bumi yang memberi harapan dan matahari baru bagi seluruh warga Timor Leste.




***o0o***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar