Politik adalah wacana yang
kian mengglobal seiring dengan arus peredaran zaman. Dewasa ini wacana politik
bukan lagi hak monopoli atau status quo dari para politisi dan elit
politik semata, tetapi sudah menjadi trand
dan ruang publik yang sangat
fleksibel bagi semua pihak untuk mencermati serta menanggapi realitas polis
secara bijaksana dan kritis serta terlibat secara langsung dalam pentas praksis politik. Karena menyinggung persoalan politik berarti dengan sendirinya membahas
pola dan struktur politis dan sosial hidup suatu entitas tertentu. Maka dengan
demikian politik menyangkut realitas sosial praksis hidup banyak orang (polis,
bangsa). Pergumulan antar manusia dengan manusia, maupun orang-perorangan
dengan realitas sosialnyalah yang menghantar manusia kepada realitas politik
praksis. Sebab secara lebih dalam, politics must also be reflective on
everyday life. Karena politik tidak mesti beracuan pada problem negara,
tetapi politik itu sendiri pada dasarnya menyangkut realitas hidup setiap
manusia di dalam sebuah polis. Karena politik identik dengan berbicara,
adu argumentasi, debat serta pergumulan akan realitas sosial masyarakat tentang
perkara tata hidup bersama. Tata hidup bersama ini perlu direfleksikan dalam
konteks kehidupan karena hanya melalui refleksilah manusia mampu berpolitik
secara nurani. Nurani politik di sini dipahami sebagai suatu pergunjingan politik
yang menempatkan manusia pada high value, sebab sedari kodratnya manusia
sudah dibekali dengan hak dan martabat manusianya yang luhur. Dengan demikian,
kodrat manusia lebih mulia dan nilainya lebih luhur dari segala ciptaan yang
lainnya.
Sebagai sebuah bangsa yang baru merdeka, realitas
politik di bumi Timor Leste relatif baru
dalam pergumulan mencari identitas diri bangsa yang sesungguhnya. Perjuangan
demi pencitraan politik di Timor Leste menjadi pergulatan semua pihak, entah
itu para politisi, elit politik, maupun oleh masyarakat sebagai warga bangsa
Timor Leste itu sendiri. Beragam strategi dan format politik diwacanakan dan
diterapkan untuk menentukan sebuah sistem serta pola pemerintahan dan politik
yang cocok dan tepat-sasar demi menemukan perwajahan politik yang menjadi
harapan dan cita-cita perjuangan bangsa ini.
Maka, pengistilahan yang lebih cocok untuk pentas politik bangsa Timor
Leste saat ini adalah “politik raba-raba”, walaupun berjalan secara lambat,
tetapi dalam perjalanannya sudah bisa menemukan perwajahan yang tepat untuk
politik di Timor Leste meskipun masih samar-samar dalam realitas pengkonkritisasiannya.
Oleh karena itu, perjuangan dalam menemukan profil politik yang ideal,
dibutuhkan pembelajaran, pelatihan, serta refleksi yang mendalam dari para
politisi maupun para elitis dalam pergumulan pencahariannya. Refleksi disini
dibutuhkan karena untuk menghasilkan sebuah sistem yang bagus dan berdayaguna
tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual, sains dan rasio manusia saja,
tetapi juga refleksi. Karena melalui refleksi orang dihantar ke dalam kedalaman
batin untuk menemukan makna dan jati diri dari bangsa ini. Karena politik tanpa
refleksi yang muncul adalah kesombongan intelek dan arogansi rasio manusia yang
cenderung terarah kepada anarkisme dan fanatisme. Maka, politik tanpa
refleksivitas akan memunculkan krisis kedangkalan. Tata hidup bersama, jika
dikelola dalam kedangkalannya akan
didominasi oleh kerancuan dan kebobrokan.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa politik merupakan satu dimensi hakiki hidup manusia di
dalam kehidupan masyarakat (Bangsa). Politik mencakup keterlibatan keseluruhan
individu dalam suatu komunitas masyarakat. Dengan demikian politik hendak
menggambarkan adanya pastisipasi aktif dan responsif masyarakat dalam
menentukan kebijakan dan jalannya roda pemerintahan negara. Sebagai Negara yang
menganut sistem politik demokrasi, sistem politik di Negara ini hendaknya
menjadi suatu media di mana masyarakat dapat menentukan sikap secara sadar dan
bebas serta bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani dalam kehidupan publik,
karena realitas politik merupakan persoalan publik yang menyangkut keterlibatan
seluruh warga masyarakat di bumi Timor Leste. Kuantum rasio manusia juga turut
berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik negara. Dengan
kemampuan rasio yang memadai seorang pemimpin mampu menentukan sikap dan
keputusan yang tepat, yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapan warga
masyarakat bumi Lorosa’e ini. Untuk menentukan kebijakan dalam politik,
kemampuan refleksi dan rasio harus berjalan secara beriringan, agar keputusan
dan kebijakan politik tidak cenderung anarkis dan melencengan dari etika dan
moralitas politik yang sewajarnya. Sehingga kuantum rasio dan reflektif harus
menjadi rambu-rambu politik yang membimbing dan mengarahkan politik bangsa ini
menuju cita-cita bersama (bonum Commune).
Jurgem Habermas, seorang filsuf post modern
(Jerman) menandaskan bahwa, politik haruslah memiliki karakter diskursif.
Politik diskursuf di sini mengandaikan bahwa penggunaan rasio menjadi penekanan
utama, di samping refleksi akan makna dari kebijakan-kebijakan politik yang
lahir dari olah rasio manusia dalam menyikapi pentas perpolitikan yang sedang
berlangsung di Negara ini. Wacana politik tidak bisa dibayangkan jika tidak
berupa sebuah aktivitas diskursus. Oleh karena itu, Habermas mendeklarasikan perspektif
emansipatoris dalam ranah politik. Emansipatoris dalam arti di sini adalah
sebuah diskursus politik yang membebaskan. Lalu, bagaimana tata kelola hidup
bersama dapat memiliki relasi-relasi yang membebaskan? Untuk mencapai taraf
ini, maka societas itu perlu menunjukkan pola-pola relasi komunikatif
interpersonal. Pola relasi inilah yang disebutnya Diskursus. Diskursus menjadi
jembatan bagi jalannya dinamika perpolitikan yang menghubungan antara
kepentingan privat dengan kepentingan bersama. Karena dalam prakteknya
pergerakkan politik adalah manifestasi personal dari setiap individu dengan telos
(tujuan) prinsipiilnya adalah bonum commune; kesejahteraan dan
kepentingan bersama menjadi ukuran dalam perhelatan politik di Negara ini.
Karena perjuangan politik yang dipentaskan oleh semua pihak adalah demi
kepentingan bangsa ini, untuk kesejahteraan dan kemakmuran semua warga yang
bernaung di bawah payung demokrasi Timor Leste. Karena menyinggung politik,
berarti secara eksplisit kita berbicara tentang siapa yang memimpin (politisi
dan elit politik) dan dengan siapa yang
dipimpin (warga masyarakat).
Perlu
juga pemahaman bahwa, prinsip Politik adalah menempatkan kekuasaan di bawah
kontrol hukum dan dengan demikian menata penggunaannya secara bermakna agar
aturan (hukum-konstitusi) itu ditaati, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan
ketimpangan politik dari para elitis, politikus maupun dari pihak warga
masyarakat itu sendiri. Norma ini diperlukan dalam percaturan politik bumi
Lorosa’e, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan dalam dunia
perpolitikan. Realitas perpolitikan di negara “muda” ini bahwa, para elite politik sering menggunakan panggung
politik untuk memperjuangkan intensitas pribadi maupun kelompok tertentu dengan
mengabaikan prinsip-prinsip fundamental politik yang bertujuan demi tercapainya
Bonum Commune. Dengan demikian
politik perlu dipandu dan diarahkan demi tercapainya keadilan sosial yang
menyejahterakan masyarakat. Sumber dari prinsip politik itu sendiri tidak lain
adalah dari martabat luhur manusia itu sendiri sebagai makhluk politis: zoon politikon, serta perjuangan demi tercapainya cita-cita luhur dari para founders fathers bangsa ini; yakni Timor Leste yang makmur dan sejahtera dalam segala
lintas kehidupannya.
Haruslah diakui bahwa, politik di Timor Leste
adalah sebuah pergumulan dalam pencarian makna otentisitas yang asali dari
perjuangan demi kemerdekaan itu sendiri, yang dapat menghantar manusia Timor
Leste menuju kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, pergunjingan pentas
politik yang berlangsung di tanah air ini adalah sebuah proses yang menggiring
manusia Timor Leste menuju pergumulan yang terus-menerus serta refleksi yang
berkepanjangan untuk menemukan sebuah sistem politik yang mampu menjadi wadah
dan ruang bagi aspirasi warga masyarakat.
Hal ini dikarenakan politik memiliki tool efektif yang bernama
“bahasa”, dengan demikian maka politik pertama-tama adalah sebuah discourse,
dalam arti bahwa dalam politik itu sendiri memiliki titik acuannya, yang tidak
lain adalah mencapai prinsip tata kelola hidup yang teratur dan aman, karena di
dalam diskursus politik terdapat pengandaian rasionalisasi yang mencakup insights
tentang tujuan dari politik itu sendiri. Dengan demikian wacana politik menjadi
penentu arah ke mana proses penggiringan politik di bumi Timor Leste diarahkan.
Diandaikan bahwa, politik bukan semata hanya sebuah diskursus, karena pastilah
akan sangat menjenuhkan. Jika demikian, yang ada sekadar perintah atau larangan
dari penguasa, fatwa, instruksi, doktrin, dan segala hal di mana warga-negara
mau tidak mau harus tunduk terhadap segala otoritas berwenang. Atau, yang ada
adalah provokasi, intimidasi dan bukan journey (peziarahan) akal budi
dan hati nurani yang murni. Tantangan-tantangan inilah yang menjadi penghalang
kemajuan bangsa ini. Perjuangan demi kepentingan pribadi/ kelompok, money
politic, serta KKN menjadi kendala utama kebobrokan dan kerancuan politik
dari para politisi maupun para elitis bangsa ini.
Selain itu, Politik di tanah air ini juga memiliki
dimensi violatif. Praktek politik yang diwacanakan pun rentan terhadap kekerasan,
manipulasi, intrik-intrik gelap, strategi kotor, ketidakadilan sistematis,
kerancuan dan kekacauan terstruktur. Violasi politik kerap dimaknai secara blunt
oleh sebagian dari penguasa bangsa ini sebagai bagian dari aktivitas politik.
Jadi dimensi violatif politik bukanlah salah satu aspek dari tata kelola,
melainkan sebuah realitas. Yang menandai realitas kekerasan dalam politik
umumnya dikaitkan dengan fundamentalisme agama dan terorisme. Kekerasan politik
juga menyangkut perkara pembiaran secara serius segala momok kejahatan politik
itu sendiri. Dimensi violatif itu nyata, sayangnya kerap tidak disadari. Tidak
ada politik yang tetap sepanjang segala masa. Karena itu, setiap tujuan politik
yang digariskan memiliki karakter imaginatif, maka prinsip Bonum commune
itu pun bisa sekadar imaginatif belaka, tidak ada representasi mutlak tentang
seperti apa dan bagaimana kesejahteraan itu dibangun. Apa yang konkrit? Violasi
dalam politik. Terdapat banyak problem berhubungan dengan vialatif politik ini,
salah satu contoh yang dapat diangkat ke permukaan adalah aksi tawuran antara
cabang bela diri (Arte Marsiais) yang tersebar di seluruh tanah air, selain
itu, isu yang paling hangat adalah munculnya kelompok yang diprakarsai oleh Mouk
Moruk (alias MM) dengan kelompok bentukannya Konselho Revolusaun Maumbere
(KRM), yang sempat membuat gencar situasi politik bangsa ini, meskipun pada
akhirnya pergerakan kelompok ini dapat dibendung oleh pemerintah. Dari contoh-contoh
ini, dapat ditegaskan bahwa realitas politik bangsa ini tidak jauh dari
kekerasan dan intrik-intrik politik yang mengganggu stabilitas dan kestabilan
politik bangsa ini.
Menyimak kembali sepak terjang
politik bangsa ini, ternyata kekerasan bahkan sudah menjadi hal yang lumrah bahwa kancah perpolitikan
bangsa ini selalu dihiasi dengan beragam peristiwa yang mengganggu stabilitas
tanah air. Masih terekam
dengan segar dalam memori kita beberapa masalah nasional yang dihadapi oleh
negara kita ini, tetapi realitas permasalahan yang dihadapi bangsa ini
hendaklah menjadi permenungan dan refleksi bagi warga bangsa ini untuk dapat
bercermin lebih jauh ke dalam demi menemukan solusi yang tepat guna dalam
membebaskan nasionalisme bangsa ini demi mencapai bangsa yang adil, sejahtera
dan tenteram. Pergenjawantahan seputar demokrasi menggugah hati setiap orang untuk
meneropongnya dari dekat dan mencoba mencari mutiara-mutiara indah di balik
lautan demokrasi itu. Ada apa dengan demokrasi di bumi Lorosa’e? Ini sebuah
pertanyaan yang melintas dalam benak kalangan elite politik maupun masyarakat proletar (marginal) yang
menceburkan dirinya dalam lautan demokrasi dan berusaha menemukan butir-butir
nilai demokrasi serta peredaran demokrasi sepanjang perjalanan sejarahnya, masa
kini maupun di masa depan. Hanya atas dasar prinsip-prinsip moral dalam etika politik maka upaya ke
arah pembentukan masyarakat Timor Leste demokratis dapat terwujud. Artinya, masyarakat yang
memandang dirinya sebagai subjek sekaligus pemegang kedaulatan kekuasaan negara
dan menghargai pluralitas tanpa sikap deskriminatif serta berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Kondisi
yang demikian merupakan sebuah ironi besar dalam dinamika politik demokrasi di
tanah air ini. Sistem
pemerintahan negara yang berjalan saat ini masih jauh dari bobot responsif dan
representatif. Para wakil rakyat yang mengambil bagian dalam kekuasaan
pemerintahan masih mementingkan kepentingan individual atau kelompok-kelompok
tertentu. Penerapan sistem kedaulatan yang tidak demokratis ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk kegagalan
pemerintahan Timor Leste yang menyebut diri demokratik. Kegagalan politik para wakil rakyat yang
dipilih secara langsung oleh rakyat mendatangkan sikap pesimisme dalam diri
masyarakat; rakyat masih berada dalam genggaman kegelisahan dan penderitaan.
Pada taraf ini, kebebasan telah dipasung oleh segelintir orang (penguasa) yang
mengatasnamakan rakyat. Rakyat hanya mengunyah dampak dari berbagai kebijakan
politik yang mendatangkan penderitaan dan kemiskinan. Munculnya kebijakan yang
mendistorsi harapan dan cita-cita rakyat, membuat rakyat menjadi semakin teralienasi dari kebebasan demokratis
itu sendiri. Di sini kehidupan praksis politik hanya
menimbulkan berbagai bentuk kontroversi. Hal ini dikarenakan percaturan politik yang sedang dianut
oleh Timor
Leste terlalu jauh dari intensionalitas
politik itu sendiri. Politik yang bertujuan demi kesejahteraan menampilkan sisi
violatifnya dengan praktek-praktek malpolitik, seperti kasus korupsi, politik
suap, isu politik, saling mengkambinghitamkan, dan beragam masalah politik
lainnya yang masih menghiasi perhelatan politik di bumi Lorosa’e ini.
Wacana politik, dalam kerangka
demokratisasi seperti yang disuarakan ternyata sarat keperluan dan kepentingan
para elite politik. Dominasi kepentingan mewajah secara transparan dalam “tubuh
politik” itu sendiri yang mulai mencuat ke permukaan di mana politik
kesejahteraan tidak lagi menjadi prinsip utama tetapi politik kepentingan
partial menjadi prioritas para elitis dan politisi dalam memegang tampuk
pemerintahan bangsa ini. Dalam tataran ini lanskap politik semakin jelas.
Posisi tawar-menawar antara rakyat dan penguasa menjadi tidak seimbang.
Kepentingan rakyat menjadi “subordinatif” terhadap kepentingan kaum elite
bangsa ini. Terma-terma politik yang merebak di tengah publik politik terkesan
menyingkirkan rakyat. Rakyat menjadi alat untuk menyukseskan aspirasi
kepentingan para elite politik bangsa ini. Konkritisasi dari program-program
pemerintah masih jauh dari harapan masyarakat bumi Lorosa’e. Terdapat beberapa
bukti fisik yang kelihatan fakum dan bahkan tak tergubris oleh pemerintah,
antara lain perbaikan jalan raya yang semakin memprihatinkan, pemberdayaan
sektor ekonomi yang belum menyentuh seluruh areal masyarakat, pembangun
infranstruktur yang belum memadai, sistem pendidikan dan kurikulum yang belum
fleksibel, serta beberapa areal pembangunan yang masih jauh dari harapan dan
cita-cita bangsa ini. Meskipun miliaran dolars dialokasikan untuk semua bidang
tetapi kenyataan belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dan
memuaskan masyarakat Timor Leste.
Realitas ini menunjukan
demokrasi di Bumi Lorosa’e sedang menghadapi tantangan besar. Ada kemungkinan
bahwa kelompok-kelompok anti-demokrasi menyusup masuk melalui mekanisme
demokrasi ke dalam perangkat-perangkat demokrasi untuk selanjutnya mendistorsi
sistem demokrasi itu dari dalam. Oleh karena, demokrasi adalah sebuah sistem
politik yang terbuka dan tidak mampu hanya memberikan tempat untuk demokrat
sejati ke dalam lembaga kekuasaan. Hematnya, inilah salah satu jebakan krusial
dan paling besar kemungkinan untuk isu-isu dan masalah sosial politik di tanah
air ini. Sebuah pertanyaan kunci pantas ditampilkan berhubungan dengan realitas
politik bangsa ini. Apakah geliat politik yang sudah semakin menkrusial ini
mampu membawa perubahan yang konstruktif bagi masa depan bangsa Timor Leste?
Sampai kapankah perwajahan bangsa ini terus didestruksi oleh pihak-pihak yang
berkepentingan yang terus memainkan geliat politiknya di dalam sistem
pemerintahan bangsa ini dan terus-menerus menorengkan kekelaman serta kekejaman
politik bagi warga masyarakat Negara ini? Akankah kemerdekaan yang
dicita-citakan oleh bangsa ini hanya sekedar utopia yang tak pernah tersentuh
perealisasiannya karena arogansi dan kecongkakkan kaum elitis, politis dan
birokrasi bangsa ini yang memprioritaskan kepentingannya dengan
mensubordinasikan kepentingan masyarakat?
Meskipun pentas politik Timor
Leste dewasa ini semakin “buram”, kita tidak mesti harus tinggal diam sambil
tidak merasakan apa-apa atas kenyataan bangsa kita ini, tetapi sudah waktunya
bagi kita sebagai warga negara yang hidup di sebuah negara yang berlandaskan
demokrasi mulai memprioritaskan sebuah tujuan bersama yang baru. Tujuan bersama
untuk membangun habitus baru bagi bumi tercinta ini. Suatu habitus baru yang
mampu memberikan harapan yang nyata bagi seluruh warga negara bangsa ini.
Bercermin pada problematika politik yang sudah menghiasi panorama perpolitikan
bangsa ini, sudah saatnya para elitis, politisi maupun sebagai warga bangsa ini
berefleksi lebih dalam dan memadukan tekad bersama untuk menjadikan bangsa ini
sebuah bangsa yang mampu melahirkan kesejahteraan, keadilan, ketenteraman dan
stabilitas dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Pembangunan dan
kesejahteraan bangsa ini adalah milik kita bersama dan untuk kepentingan bersama.
Karena idealisme dari para pejuang bangsa ini ialah kesejahteraan, keadilan
serta kemakmuran bumi Lorosa’e. Sampai kapankah bumi pertiwi ini terus-menerus
dililiti kompleksitas problematika yang tak terselesaikan? Pertanyaan ini
menjadi sentilan bagi semua pihak yang berkiprah di atas pentas perpolitikan
bangsa ini.
Dengan demikian setelah menyikapi realitas politik bangsa ini dapat
dikatakan bahwa, benang terselubung yang tersembunyi di balik semua realitas
problematik politik bangsa ini adalah krisis eksistensial dalam diri manusia
Timor Leste itu sendiri. Krisis eksistensial yang dimaksud adalah sumber daya
manusia yang membutuhkan pembenahan dan perhatian secara serius dari pemerintah
dalam membangun dan menata tata kelola bangsa ini menuju cita-cita bersama, di samping
perhatian pada pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta
insfraktruktur pembangunan yang masih perlu mendapat perhatian secara serius
dari pemerintahan yang sedang eksis di bumi Matahari Terbit ini. Bercerminlah
pada realitas yang dialami oleh bangsa tercinta ini, untuk membangun tatanan
hidup bangsa ini menuju cita-cita dan idealisme yang telah diperjuangkan oleh
para pejuang bangsa ini. Timor Leste butuh sebuah perubahan; perubahan hanya
akan terjadi jika kita berani untuk melakukan “revolusi mental” bangsa ini baik
itu dalam diri para politisi, elitis maupun warga masyarakat itu sendiri.
Konkritisasinya jika kita berani dan mau untuk berubah. Berubah dari perilaku
mementingkan kepentingan privat maupun kelompok, money politc, KKN dan
berbagai kebobrokan yang mengancam stabilitas dan kesejahteraan bangsa ini.
---oo0oo---