Jumat, 15 Agustus 2014

POLITIK DAN TANTANGAN KRISIS EKSISTENSIAL: SUATU REFLEKSI ATAS PANORAMA POLITIK DI TIMOR LESTE


Politik adalah wacana yang kian mengglobal seiring dengan arus peredaran zaman. Dewasa ini wacana politik bukan lagi hak monopoli atau status quo dari para politisi dan elit politik semata, tetapi sudah menjadi trand dan ruang publik yang sangat fleksibel bagi semua pihak untuk mencermati serta menanggapi realitas polis secara bijaksana dan kritis serta terlibat secara langsung dalam pentas praksis politik. Karena menyinggung persoalan politik berarti dengan sendirinya membahas pola dan struktur politis dan sosial hidup suatu entitas tertentu. Maka dengan demikian politik menyangkut realitas sosial praksis hidup banyak orang (polis, bangsa). Pergumulan antar manusia dengan manusia, maupun orang-perorangan dengan realitas sosialnyalah yang menghantar manusia kepada realitas politik praksis. Sebab secara lebih dalam, politics must also be reflective on everyday life. Karena politik tidak mesti beracuan pada problem negara, tetapi politik itu sendiri pada dasarnya menyangkut realitas hidup setiap manusia di dalam sebuah polis. Karena politik identik dengan berbicara, adu argumentasi, debat serta pergumulan akan realitas sosial masyarakat tentang perkara tata hidup bersama. Tata hidup bersama ini perlu direfleksikan dalam konteks kehidupan karena hanya melalui refleksilah manusia mampu berpolitik secara nurani. Nurani politik di sini dipahami sebagai suatu pergunjingan politik yang menempatkan manusia pada high value, sebab sedari kodratnya manusia sudah dibekali dengan hak dan martabat manusianya yang luhur. Dengan demikian, kodrat manusia lebih mulia dan nilainya lebih luhur dari segala ciptaan yang lainnya.
Sebagai sebuah bangsa yang baru merdeka, realitas politik di bumi Timor Leste relatif  baru dalam pergumulan mencari identitas diri bangsa yang sesungguhnya. Perjuangan demi pencitraan politik di Timor Leste menjadi pergulatan semua pihak, entah itu para politisi, elit politik, maupun oleh masyarakat sebagai warga bangsa Timor Leste itu sendiri. Beragam strategi dan format politik diwacanakan dan diterapkan untuk menentukan sebuah sistem serta pola pemerintahan dan politik yang cocok dan tepat-sasar demi menemukan perwajahan politik yang menjadi harapan dan cita-cita perjuangan bangsa ini.  Maka, pengistilahan yang lebih cocok untuk pentas politik bangsa Timor Leste saat ini adalah “politik raba-raba”, walaupun berjalan secara lambat, tetapi dalam perjalanannya sudah bisa menemukan perwajahan yang tepat untuk politik di Timor Leste meskipun masih samar-samar dalam realitas pengkonkritisasiannya. Oleh karena itu, perjuangan dalam menemukan profil politik yang ideal, dibutuhkan pembelajaran, pelatihan, serta refleksi yang mendalam dari para politisi maupun para elitis dalam pergumulan pencahariannya. Refleksi disini dibutuhkan karena untuk menghasilkan sebuah sistem yang bagus dan berdayaguna tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual, sains dan rasio manusia saja, tetapi juga refleksi. Karena melalui refleksi orang dihantar ke dalam kedalaman batin untuk menemukan makna dan jati diri dari bangsa ini. Karena politik tanpa refleksi yang muncul adalah kesombongan intelek dan arogansi rasio manusia yang cenderung terarah kepada anarkisme dan fanatisme. Maka, politik tanpa refleksivitas akan memunculkan krisis kedangkalan. Tata hidup bersama, jika dikelola dalam kedangkalannya  akan didominasi oleh kerancuan dan kebobrokan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa politik merupakan satu dimensi hakiki hidup manusia di dalam kehidupan masyarakat (Bangsa). Politik mencakup keterlibatan keseluruhan individu dalam suatu komunitas masyarakat. Dengan demikian politik hendak menggambarkan adanya pastisipasi aktif dan responsif masyarakat dalam menentukan kebijakan dan jalannya roda pemerintahan negara. Sebagai Negara yang menganut sistem politik demokrasi, sistem politik di Negara ini hendaknya menjadi suatu media di mana masyarakat dapat menentukan sikap secara sadar dan bebas serta bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani dalam kehidupan publik, karena realitas politik merupakan persoalan publik yang menyangkut keterlibatan seluruh warga masyarakat di bumi Timor Leste. Kuantum rasio manusia juga turut berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik negara. Dengan kemampuan rasio yang memadai seorang pemimpin mampu menentukan sikap dan keputusan yang tepat, yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapan warga masyarakat bumi Lorosa’e ini. Untuk menentukan kebijakan dalam politik, kemampuan refleksi dan rasio harus berjalan secara beriringan, agar keputusan dan kebijakan politik tidak cenderung anarkis dan melencengan dari etika dan moralitas politik yang sewajarnya. Sehingga kuantum rasio dan reflektif harus menjadi rambu-rambu politik yang membimbing dan mengarahkan politik bangsa ini menuju cita-cita bersama (bonum Commune).
Jurgem Habermas, seorang filsuf post modern (Jerman) menandaskan bahwa, politik haruslah memiliki karakter diskursif. Politik diskursuf di sini mengandaikan bahwa penggunaan rasio menjadi penekanan utama, di samping refleksi akan makna dari kebijakan-kebijakan politik yang lahir dari olah rasio manusia dalam menyikapi pentas perpolitikan yang sedang berlangsung di Negara ini. Wacana politik tidak bisa dibayangkan jika tidak berupa sebuah aktivitas diskursus. Oleh karena itu, Habermas mendeklarasikan perspektif emansipatoris dalam ranah politik. Emansipatoris dalam arti di sini adalah sebuah diskursus politik yang membebaskan. Lalu, bagaimana tata kelola hidup bersama dapat memiliki relasi-relasi yang membebaskan? Untuk mencapai taraf ini, maka societas itu perlu menunjukkan pola-pola relasi komunikatif interpersonal. Pola relasi inilah yang disebutnya Diskursus. Diskursus menjadi jembatan bagi jalannya dinamika perpolitikan yang menghubungan antara kepentingan privat dengan kepentingan bersama. Karena dalam prakteknya pergerakkan politik adalah manifestasi personal dari setiap individu dengan telos (tujuan) prinsipiilnya adalah bonum commune; kesejahteraan dan kepentingan bersama menjadi ukuran dalam perhelatan politik di Negara ini. Karena perjuangan politik yang dipentaskan oleh semua pihak adalah demi kepentingan bangsa ini, untuk kesejahteraan dan kemakmuran semua warga yang bernaung di bawah payung demokrasi Timor Leste. Karena menyinggung politik, berarti secara eksplisit kita berbicara tentang siapa yang memimpin (politisi dan elit politik) dan dengan  siapa yang dipimpin (warga masyarakat).
Perlu juga pemahaman bahwa, prinsip Politik adalah menempatkan kekuasaan di bawah kontrol hukum dan dengan demikian menata penggunaannya secara bermakna agar aturan (hukum-konstitusi) itu ditaati, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan politik dari para elitis, politikus maupun dari pihak warga masyarakat itu sendiri. Norma ini diperlukan dalam percaturan politik bumi Lorosa’e, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan dalam dunia perpolitikan. Realitas perpolitikan di negara “muda” ini bahwa, para elite politik sering menggunakan panggung politik untuk memperjuangkan intensitas pribadi maupun kelompok tertentu dengan mengabaikan prinsip-prinsip fundamental politik yang bertujuan demi tercapainya Bonum Commune. Dengan demikian politik perlu dipandu dan diarahkan demi tercapainya keadilan sosial yang menyejahterakan masyarakat. Sumber dari prinsip politik itu sendiri tidak lain adalah dari martabat luhur manusia itu sendiri sebagai makhluk politis: zoon politikon, serta perjuangan demi tercapainya cita-cita luhur dari para founders fathers bangsa ini; yakni Timor Leste yang makmur dan sejahtera dalam segala lintas kehidupannya.
Haruslah diakui bahwa, politik di Timor Leste adalah sebuah pergumulan dalam pencarian makna otentisitas yang asali dari perjuangan demi kemerdekaan itu sendiri, yang dapat menghantar manusia Timor Leste menuju kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, pergunjingan pentas politik yang berlangsung di tanah air ini adalah sebuah proses yang menggiring manusia Timor Leste menuju pergumulan yang terus-menerus serta refleksi yang berkepanjangan untuk menemukan sebuah sistem politik yang mampu menjadi wadah dan ruang bagi aspirasi warga masyarakat.  Hal ini dikarenakan politik memiliki tool efektif yang bernama “bahasa”, dengan demikian maka politik pertama-tama adalah sebuah discourse, dalam arti bahwa dalam politik itu sendiri memiliki titik acuannya, yang tidak lain adalah mencapai prinsip tata kelola hidup yang teratur dan aman, karena di dalam diskursus politik terdapat pengandaian rasionalisasi yang mencakup insights tentang tujuan dari politik itu sendiri. Dengan demikian wacana politik menjadi penentu arah ke mana proses penggiringan politik di bumi Timor Leste diarahkan. Diandaikan bahwa, politik bukan semata hanya sebuah diskursus, karena pastilah akan sangat menjenuhkan. Jika demikian, yang ada sekadar perintah atau larangan dari penguasa, fatwa, instruksi, doktrin, dan segala hal di mana warga-negara mau tidak mau harus tunduk terhadap segala otoritas berwenang. Atau, yang ada adalah provokasi, intimidasi dan bukan journey (peziarahan) akal budi dan hati nurani yang murni. Tantangan-tantangan inilah yang menjadi penghalang kemajuan bangsa ini. Perjuangan demi kepentingan pribadi/ kelompok, money politic, serta KKN menjadi kendala utama kebobrokan dan kerancuan politik dari para politisi maupun para elitis bangsa ini.
Selain itu, Politik di tanah air ini juga memiliki dimensi violatif. Praktek politik yang diwacanakan pun rentan terhadap kekerasan, manipulasi, intrik-intrik gelap, strategi kotor, ketidakadilan sistematis, kerancuan dan kekacauan terstruktur. Violasi politik kerap dimaknai secara blunt oleh sebagian dari penguasa bangsa ini sebagai bagian dari aktivitas politik. Jadi dimensi violatif politik bukanlah salah satu aspek dari tata kelola, melainkan sebuah realitas. Yang menandai realitas kekerasan dalam politik umumnya dikaitkan dengan fundamentalisme agama dan terorisme. Kekerasan politik juga menyangkut perkara pembiaran secara serius segala momok kejahatan politik itu sendiri. Dimensi violatif itu nyata, sayangnya kerap tidak disadari. Tidak ada politik yang tetap sepanjang segala masa. Karena itu, setiap tujuan politik yang digariskan memiliki karakter imaginatif, maka prinsip Bonum commune itu pun bisa sekadar imaginatif belaka, tidak ada representasi mutlak tentang seperti apa dan bagaimana kesejahteraan itu dibangun. Apa yang konkrit? Violasi dalam politik. Terdapat banyak problem berhubungan dengan vialatif politik ini, salah satu contoh yang dapat diangkat ke permukaan adalah aksi tawuran antara cabang bela diri (Arte Marsiais) yang tersebar di seluruh tanah air, selain itu, isu yang paling hangat adalah munculnya kelompok yang diprakarsai oleh Mouk Moruk (alias MM) dengan kelompok bentukannya Konselho Revolusaun Maumbere (KRM), yang sempat membuat gencar situasi politik bangsa ini, meskipun pada akhirnya pergerakan kelompok ini dapat dibendung oleh pemerintah. Dari contoh-contoh ini, dapat ditegaskan bahwa realitas politik bangsa ini tidak jauh dari kekerasan dan intrik-intrik politik yang mengganggu stabilitas dan kestabilan politik bangsa ini.
Menyimak kembali sepak terjang politik bangsa ini, ternyata kekerasan bahkan sudah menjadi hal yang lumrah bahwa kancah perpolitikan bangsa ini selalu dihiasi dengan beragam peristiwa yang mengganggu stabilitas tanah air. Masih terekam dengan segar dalam memori kita beberapa masalah nasional yang dihadapi oleh negara kita ini, tetapi realitas permasalahan yang dihadapi bangsa ini hendaklah menjadi permenungan dan refleksi bagi warga bangsa ini untuk dapat bercermin lebih jauh ke dalam demi menemukan solusi yang tepat guna dalam membebaskan nasionalisme bangsa ini demi mencapai bangsa yang adil, sejahtera dan tenteram. Pergenjawantahan seputar demokrasi menggugah hati setiap orang untuk meneropongnya dari dekat dan mencoba mencari mutiara-mutiara indah di balik lautan demokrasi itu. Ada apa dengan demokrasi di bumi Lorosa’e? Ini sebuah pertanyaan yang melintas dalam benak kalangan elite politik maupun masyarakat proletar (marginal) yang menceburkan dirinya dalam lautan demokrasi dan berusaha menemukan butir-butir nilai demokrasi serta peredaran demokrasi sepanjang perjalanan sejarahnya, masa kini maupun di masa depan. Hanya atas dasar prinsip-prinsip moral dalam etika politik maka upaya ke arah pembentukan masyarakat Timor Leste demokratis dapat terwujud. Artinya, masyarakat yang memandang dirinya sebagai subjek sekaligus pemegang kedaulatan kekuasaan negara dan menghargai pluralitas tanpa sikap deskriminatif serta berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Kondisi yang demikian merupakan sebuah ironi besar dalam dinamika politik demokrasi di tanah air ini. Sistem pemerintahan negara yang berjalan saat ini masih jauh dari bobot responsif dan representatif. Para wakil rakyat yang mengambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan masih mementingkan kepentingan individual atau kelompok-kelompok tertentu. Penerapan sistem kedaulatan yang tidak demokratis ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk kegagalan pemerintahan Timor Leste yang menyebut diri demokratik. Kegagalan politik para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat mendatangkan sikap pesimisme dalam diri masyarakat; rakyat masih berada dalam genggaman kegelisahan dan penderitaan. Pada taraf ini, kebebasan telah dipasung oleh segelintir orang (penguasa) yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat hanya mengunyah dampak dari berbagai kebijakan politik yang mendatangkan penderitaan dan kemiskinan. Munculnya kebijakan yang mendistorsi harapan dan cita-cita rakyat, membuat rakyat menjadi semakin teralienasi dari kebebasan demokratis itu sendiri. Di sini kehidupan praksis politik hanya menimbulkan berbagai bentuk kontroversi. Hal ini dikarenakan percaturan politik yang sedang dianut oleh Timor Leste terlalu jauh dari intensionalitas politik itu sendiri. Politik yang bertujuan demi kesejahteraan menampilkan sisi violatifnya dengan praktek-praktek malpolitik, seperti kasus korupsi, politik suap, isu politik, saling mengkambinghitamkan, dan beragam masalah politik lainnya yang masih menghiasi perhelatan politik di bumi Lorosa’e ini.
Wacana politik, dalam kerangka demokratisasi seperti yang disuarakan ternyata sarat keperluan dan kepentingan para elite politik. Dominasi kepentingan mewajah secara transparan dalam “tubuh politik” itu sendiri yang mulai mencuat ke permukaan di mana politik kesejahteraan tidak lagi menjadi prinsip utama tetapi politik kepentingan partial menjadi prioritas para elitis dan politisi dalam memegang tampuk pemerintahan bangsa ini. Dalam tataran ini lanskap politik semakin jelas. Posisi tawar-menawar antara rakyat dan penguasa menjadi tidak seimbang. Kepentingan rakyat menjadi “subordinatif” terhadap kepentingan kaum elite bangsa ini. Terma-terma politik yang merebak di tengah publik politik terkesan menyingkirkan rakyat. Rakyat menjadi alat untuk menyukseskan aspirasi kepentingan para elite politik bangsa ini. Konkritisasi dari program-program pemerintah masih jauh dari harapan masyarakat bumi Lorosa’e. Terdapat beberapa bukti fisik yang kelihatan fakum dan bahkan tak tergubris oleh pemerintah, antara lain perbaikan jalan raya yang semakin memprihatinkan, pemberdayaan sektor ekonomi yang belum menyentuh seluruh areal masyarakat, pembangun infranstruktur yang belum memadai, sistem pendidikan dan kurikulum yang belum fleksibel, serta beberapa areal pembangunan yang masih jauh dari harapan dan cita-cita bangsa ini. Meskipun miliaran dolars dialokasikan untuk semua bidang tetapi kenyataan belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dan memuaskan masyarakat Timor Leste.
Realitas ini menunjukan demokrasi di Bumi Lorosa’e sedang menghadapi tantangan besar. Ada kemungkinan bahwa kelompok-kelompok anti-demokrasi menyusup masuk melalui mekanisme demokrasi ke dalam perangkat-perangkat demokrasi untuk selanjutnya mendistorsi sistem demokrasi itu dari dalam. Oleh karena, demokrasi adalah sebuah sistem politik yang terbuka dan tidak mampu hanya memberikan tempat untuk demokrat sejati ke dalam lembaga kekuasaan. Hematnya, inilah salah satu jebakan krusial dan paling besar kemungkinan untuk isu-isu dan masalah sosial politik di tanah air ini. Sebuah pertanyaan kunci pantas ditampilkan berhubungan dengan realitas politik bangsa ini. Apakah geliat politik yang sudah semakin menkrusial ini mampu membawa perubahan yang konstruktif bagi masa depan bangsa Timor Leste? Sampai kapankah perwajahan bangsa ini terus didestruksi oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang terus memainkan geliat politiknya di dalam sistem pemerintahan bangsa ini dan terus-menerus menorengkan kekelaman serta kekejaman politik bagi warga masyarakat Negara ini? Akankah kemerdekaan yang dicita-citakan oleh bangsa ini hanya sekedar utopia yang tak pernah tersentuh perealisasiannya karena arogansi dan kecongkakkan kaum elitis, politis dan birokrasi bangsa ini yang memprioritaskan kepentingannya dengan mensubordinasikan kepentingan masyarakat?
Meskipun pentas politik Timor Leste dewasa ini semakin “buram”, kita tidak mesti harus tinggal diam sambil tidak merasakan apa-apa atas kenyataan bangsa kita ini, tetapi sudah waktunya bagi kita sebagai warga negara yang hidup di sebuah negara yang berlandaskan demokrasi mulai memprioritaskan sebuah tujuan bersama yang baru. Tujuan bersama untuk membangun habitus baru bagi bumi tercinta ini. Suatu habitus baru yang mampu memberikan harapan yang nyata bagi seluruh warga negara bangsa ini. Bercermin pada problematika politik yang sudah menghiasi panorama perpolitikan bangsa ini, sudah saatnya para elitis, politisi maupun sebagai warga bangsa ini berefleksi lebih dalam dan memadukan tekad bersama untuk menjadikan bangsa ini sebuah bangsa yang mampu melahirkan kesejahteraan, keadilan, ketenteraman dan stabilitas dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini adalah milik kita bersama dan untuk kepentingan bersama. Karena idealisme dari para pejuang bangsa ini ialah kesejahteraan, keadilan serta kemakmuran bumi Lorosa’e. Sampai kapankah bumi pertiwi ini terus-menerus dililiti kompleksitas problematika yang tak terselesaikan? Pertanyaan ini menjadi sentilan bagi semua pihak yang berkiprah di atas pentas perpolitikan bangsa ini.
Dengan demikian setelah menyikapi realitas politik bangsa ini dapat dikatakan bahwa, benang terselubung yang tersembunyi di balik semua realitas problematik politik bangsa ini adalah krisis eksistensial dalam diri manusia Timor Leste itu sendiri. Krisis eksistensial yang dimaksud adalah sumber daya manusia yang membutuhkan pembenahan dan perhatian secara serius dari pemerintah dalam membangun dan menata tata kelola bangsa ini menuju cita-cita bersama, di samping perhatian pada pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta insfraktruktur pembangunan yang masih perlu mendapat perhatian secara serius dari pemerintahan yang sedang eksis di bumi Matahari Terbit ini. Bercerminlah pada realitas yang dialami oleh bangsa tercinta ini, untuk membangun tatanan hidup bangsa ini menuju cita-cita dan idealisme yang telah diperjuangkan oleh para pejuang bangsa ini. Timor Leste butuh sebuah perubahan; perubahan hanya akan terjadi jika kita berani untuk melakukan “revolusi mental” bangsa ini baik itu dalam diri para politisi, elitis maupun warga masyarakat itu sendiri. Konkritisasinya jika kita berani dan mau untuk berubah. Berubah dari perilaku mementingkan kepentingan privat maupun kelompok, money politc, KKN dan berbagai kebobrokan yang mengancam stabilitas dan kesejahteraan bangsa ini.


---oo0oo---








Senin, 14 April 2014

PASKAH DAN PERTOBATAN: SUATU TITIK BALIK MENUJU KEMERDEKAAN YANG MEMBEBASKAN



PASKAH DAN PERTOBATAN: SUATU TITIK BALIK MENUJU
KEMERDEKAAN YANG MEMBEBASKAN



Paskah dan pertobatan merupakan dua term yang sering kita jumpai dalam perjalanan iman kristiani di dalam gereja Katolik. Sebagai bangsa yang bermayoritaskan agama Katolik, sudah tentu istilah paskah dan pertobatan ini sudah menjadi bagian dari realitas hidup iman kaum beriman di bumi Lorosa’e ini. Sebagai orang yang beriman Katolik, Yesus Kristus menjadi sentral dalam hidup keberimanannya, baik sebagai makhluk sosial (Ens Sosiale) maupun sebagai makhluk religius (Homo Religius). Dalam tataran ini, ungkapan konkrit dari keberimanan seseorang dikonkritisasikan melalui pengalaman hidupnya, baik itu melalui karya-karyanya sebagai seorang warga negara, maupun sebagai orang yang beriman. Meskipun agama Katolik disebut sebagai agama kolonialisme tetapi seiring dengan perjalanan waktu bahwa kekatolikan itu telah menjiwai rentetan peziarahan bangsa ini menuju kemerdekaannya. Perjuangan dan kemerdekaan Bumi Lorosa’e tidak bisa dilepaspisahkan dari keterlibatan Gereja Katolik. Meskipun secara eksplisit bangsa Timor Leste tidak menyebut diri sebagai bangsa yang berlandaskan pada prinsip-prinsip agama, tetapi juga bukan berarti bangsa Timor Leste sebagai bangsa yang dalam arti penuh menganut tatanan sekularisasi. Dalam arti bahwa, bangsa ini sebagai bangsa religius juga bangsa sekular.

Sekilas Pengenalan Tradisi
Paskah sudah dikenal sejak zaman Perjanjian Lama. Dalam tradisi Perjanjian Lama, paskah pertama kali dirayakan sebagai pengingatan atas karya ajaib Yahweh (Allah) yang memerdekakan umat Yahudi dari belenggu perbudakan oleh bangsa Mesir. Jelas ini bukan sekadar wacana yang bernada rohani belaka. Ini adalah sebuah berita politik, bahkan sebuah “perayaan politik” bahwa dibalik kemustahilan yang amat panjang dalam perjalanan hidup sebuah bangsa, ada secercah sinar harapan, yaitu perayaan Paskah; ungkapan syukur atas lawatan Yahweh pada umat Israel. Begitu pun pada zaman Yesus merupakan zaman yang secara politik sangat carut marut dan sulit. Lagi-lagi Palestina ada di bawah penjajahan.  Saat itu Romawi menjajah Palestina dan menetapkan status imperial provinces; sebuah status yang diberikan untuk propinsi yang dianggap pembangkang dan mudah memberontak kepada Kaisar. Yesus pun lahir dan besar dalam situasi polemik politik yang sangat kacau antara perjuangan mengusir kaum penjajah (bangsa Romawi) dan persaingan antara para pemuka agama yang bertindak sewenang-wenangnya atas nama mereka dan kelompok sendiri.

Pergumulan umat Yahudi melawan pemberontakan Romawi saat itu memiliki satu motivasi yang sama: No King, but YHWH!” Mereka berjuang demi kemerdekaan dari penjajahan dan ditegakkannya Kerajaan Allah, namun sayangnya seiring perjalanan waktu tujuan yang kelihatan mulia ini mengalami kemandegkan, mulai tumbuh motivasi yang haus akan kekuasaan dan yang akhirnya melegalkan berbagai intrik dan perselingkuhan politik tingkat tinggi.  Ajaran Kitab Suci tentang Kerajaan Allah pun diperkosa, dipelintir dan dianggap sama dengan memiliki kerajaan dunia.  Tidak heran mereka suka menggunakan cara “tangan besi” (bdk. Mrk. 10:42) dan kudeta berdarah untuk mendirikan Kerajaan Allah versi manusia. Dalam carut-marut politik inilah Yesus yang setia melakukan kehendak Bapa-Nya tanpa sedikit pun tergiur dengan godaan untuk menjadi relevan, populer, dan merengkuh pengaruh dan kekuasaan, akhirnya Yesus pun menjadi tumbal dari kompromi politik yang busuk antara Pilatus, Herodes dan para pemimpin agama Yahudi.

Dengan membunuh Yesus, Sang Mesias-utusan Allah yang terjanji, mereka yang hidupnya korup dan manipulatif ini menganggap kekuasaan mereka akan langgeng dan tidak akan mungkin terinterupsi lagi. Namun, kebangkitan Yesus membalikkan semua prediksi itu. Kebangkitan-Nya menjadi tanda awal dan penting bahwa Allah menghancurkan kematian sebagai senjata pamungkas kejahatan, seperti yang dikatakan  Tom Wright dengan sangat indah: “Death is the final weapon of the tyrant, or, for that matter for the anarchist, and resurrection indicates that this weapon doesn’t have the last word.” Kebangkitan juga menjadi tanda penting bahwa Allah sedang berurusan dan menantang semua kekuatan dan kuasa dunia ini yang merasa lebih tahu untuk membarui dunia ciptaan-Nya ini. Kebangkitan Yesus bukan hanya berita rohani samata, tetapi juga sekaligus  tindakan  politis Allah yang memberitakan pengharapan dan pembebasan kepada yang tertindas, kaum marginal, yang tersisihkan dan terdepak dari realitas sosial, sekaligus menantang semua bentuk penjajahan yang dilakukan orang-orang yang merasa berhak menguasai dan mengatur manusia kepunyaan Allah. Bahwa Allah yang kaya dan mahakuasa mengambil diri dalam bentuk manusia yang miskin dan papa. Allah mau menjadi model keterlibatan dan keberpihakkan terhadap mereka yang tersisihkan dan terdepak dari realitas sosial.

Perayaan Paskah: Suatu Perayaan Keselamatan Sekaligus Politik?
Perayaan Paskah Yesus Kristus adalah suatu peristiwa yang bersifat teologis sekaligus politis. Karena itu Paskah berarti tindakan politis Allah dalam sejarah umat manusia. Melalui peristiwa Paskah inilah Allah menerobos belenggu-belenggu perbudakan dan kematian sosial seperti nyata dalam sistem dan struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama  yang tidak adil sehingga meng-dehumanisasi-kan manusia. Sebuah sistem yang membelenggu dan memasung kemerdekaan manusia dari kekejaman sesamanya yang menyebut diri kaum berkuasa. Dalam proses dehumanisasi itulah manusia kehilangan harkat dan martabatnya sebagai gambaran Allah yang hidup (imago Dei; bdk. Kej. 1:26-27). Dalam tataran ini mau menunjukkan bahwa manusia tidak dapat diperlakukan hanya sebagai alat untuk kepentingan ekonomi, politik budaya dan agama kaum penguasa. Allah yang menciptakan manusia seturut citra-Nya itu tidak membiarkan manusia menjadi serigala terhadap sesama manusia yang lain. Karena itu, Allah lantas mengambil insiatif dengan menerobos masuk ke dalam sejarah manusia yang sedang dikendalikan oleh kuasa-kuasa dehumanisasi seperti sistem ekonomi, politik budaya dan agama yang tidak adil dan eksploitatif. Melalui Paskah, Allah membongkar  kedok kekuasaan yang hanya memperalat rakyat demi kepentingan politik kaum penguasa.  

Paskah menjadi berita yang membangkitkan kesadaran-kritis dan harga diri mereka yang miskin dan dimarginalisasai oleh kekuatan –kekuasaan yang bersifat menindas dan eksploitatif. Berita Paskah Kristus adalah berita yang memberdayakan dengan jalan menumbuhkan kesadaran kritis untuk menyadari sistem ekonomi dan politik yang menindas  dan eksploitatif yang menyembunyikan diri dalam bentuk kesalehan iman ritualistik dan kesopanan-kultural-formalistik. Paskah atau Kebangkitan Yesus Kristus adalah tindakan politis pemberdayaan Allah, yaitu Allah mengorientasikan siapapun yang menghayati tindakan politis pemberdayaan-Nya itu  ke masa depan, ke Kerajaan-Nya yang akan digenapkan pada akhir zaman dengan jalan mulai menikmati secara antisipatif tanda-tanda Kerajaan-Nya yang eskatologis itu dalam kehidupan sehari-hari, di dunia ini. Maka dari itu, seharusnya keyakinan teologis-politis ini dapat menjadi inspirasi pemberdayaan bagi rakyat miskin  dan kaum tertindas di bumi Matahari Terbit ini. Dan Paskah atau Kebangkitan Yesus Kristus adalah manifestasi politik pemberdayaan Allah! Yaitu: politik yang membebaskan dan bukan politik yang memperdaya serta mengeksploitasi manusia demi kepentingan segelintir orang di atas penderitaan orang lain.

Paskah Adalah Manifestasi Allah Yang Membebaskan
Peristiwa penyelamatan Allah berpuncak pada Allah yang berinkarnasi: Allah yang mengambil rupa dalam wujud manusia. Allah yang terlibat dan hadir secara langsung dalam realitas konkrit manusia. Manifestasi Allah ini merupakan intervensi Allah atas manusia karena kejatuhan manusia ke dalam dosa. Kehadiran Yesus dalam realitas dunia merupakan suatu bentuk keterlibatan yang membebaskan. Keberpihakkan Allah dengan mereka yang tersisihkan, kaum marginal dan kaum miskin merupakan suatu keterlibatan dalam realitas politik praksis. Manifestasi politik Yesus harus dipahami dalam kacamata spiritual, bahwa Allah terlibat dengan mereka yang terlupakan, kaum pinggiran yang suara mereka terkadang tidak didengarkan oleh para penguasa dunia. Proses terlibatnya Allah dalam realitas hidup manusia harus dipahami sebagai suatu keberpihakan yang membebaskan. Kehadiran Yesus sebagai Raja tidak harus dipahami secara lahiriah jasmaniah semata, tetapi inkarnasi Allah menjadi manusia harus dilihat dalam perspektif iman, bahwa Allah mau terlibat dan mengaspirasikan suara kaum tertindas serta mengguncang keamaman politik kaum elitis yang merasa nyaman dalam momok keegoisan dan ketamakkan mereka.

Untuk menelisik secara lebih dalam bentuk politik praksis Yesus, kita harus memahami dalam konteks Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus sendiri. Yesus tidak mengajarkan negara dalam arti sekuler, tetapi mengajarkan model kerajaan Allah secara rohaniah. Konsep kerajaan Allah yang diwartakan Yesus adalah bahwa, di depan Allah semua manusia adalah sederajat dan sehakekat. Karena manusia merupakan gambaran Allah yang menyata (imago Dei), sehingga pelecehan atas martabat manusia merupakan suatu pengaburan wajah Allah yang hadir dalam rupa manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa, realitas politik yang sedang hingar-bingar di bumi Matahari Terbit ini masih jauh dari cita-cita perjuangan menuju kesejahteraan masyarakat. Perhelatan politik masih berdampak pada sekelompok orang tertentu saja, politik yang dijalankan seakan-akan demi kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok sepihak semata. Idealisme dari politik kesejahteraan universal masih jauh dari perealisasiannya. Masyarakat hanya mengunyah kehampaan dari wacana-wacana yang dijanjikan oleh kaum elitis maupun para politisi bangsa ini.

Maka, kehadiran Yesus sebagai sang mesias bukan hanya berperan sebagai sang pembebas, tetapi sekaligus juga sebagai pembawa kebenaran sejati. Sebab Ia mengajarkan apa yang benar dan sedianya diidealkan oleh banyak orang. Ia mewartakan kabar keselamatan yang tidak hanya menyelamatkan manusia dari dosa dan kegelapan maut tetapi juga membebaskan manusia dari keterbelengguan manusia dari kaum penindas dan penguasa yang bertindak dengan tangan besi. Meskipun ada pemisahan yang jelas antara Kerajaan Allah dan kerajaan kaum penguasa duniawi, tetapi keduanya secara esensial adalah saling melengapi antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam arti bahwa, Yesus menghendaki agar penghormatan terhadap dua sistem pemerintahan itu penting, keduanya harus saling mengasalkan agar tercapainya kesejahteraan masyarakat sekaligus juga terciptanya tatanan hidup moral yang baik dari warga masyarakat sebagai kaum beriman yang hidup dalam suatu tatanan negara. Kesesuaian antara iman dan praksis hendaknya berjalan beriringan, iman harus diungkapkan dalam perbuatan konkrit manusia. Sebagai negara yang bermayoritaskan Katolik, hendaknya perhelatan politik para elitis yang notabene beriman Katolik diharuskan untuk mengikuti politik Yesus, yaitu politik keberpihakkan terhadap kaum miskin, berpihak kepada mereka yang tersisihkan dari kehidupan sosial masyarakat yang dikarenakan keangkuhan dan ketamakkan dari segelintir orang yang hidup foya-foya di atas penderitaan orang lain.

Keterlibatan Allah dalam realitas hidup manusia bukan hanya semata-mata untuk menghadirkan Allah yang jauh ke tengah-tengah dunia, tetapi keterlibatan Allah merupakan suatu keberpihakkan yang mau menyadarkan orang akan eksistensi hidupnya sebagai makhluk sosial maupun makhluk beragama. Keterlibatan Allah dalam kehidupan manusia bukan hanya demi kehidupan spiritual saja, tetapi lebih pada realitas konkrit manusia; yaitu tindakan konkret Allah yang berusaha untuk mengubah dan memperbaiki manusia dengan jalan mengubah kondisi badaniah manusia: mengubah kondisi sosial, ekonomi, dan politik manusia. Kita dipanggil untuk kritis dan berani menggugat ketidakadilan dan kejahatan sebagaimana teladan yang telah ditunjukkan oleh Yesus Kristus. Kekritisan dan keberanian Yesus itu berakar dalam iman-Nya kepada Allah, hingga Ia tak pernah mendewakan atau mengkeramatkan penguasa, ideologi serta struktur sosial manapun, melainkan senantiasa berani menggugat apapun juga atas nama Suara Allah yang berkumandang dari balik penderitaan manusia. Seperti para nabi Perjanjian Lama, kapribadian Yesus pun sangat kuat ditandai oleh “a sensitivity to evil and suffering “ hingga Ia pun berani memperjuangkan nasib para korban melawan kebutaan, kedegilan hati, dan ketegaran hati para pemimpin dan penguasa.

Sepanjang hidup-Nya dalam mewartakan Kerajaan Allah, Yesus selalu menuntut pertobatan (metanoia): suatu perubahan dari manusia lama menuju manusia baru. Suatu pengtransformasian diri menjadi manusia yang memperjuangkan kebenaran sejati anak-anak Allah. Metanoia disini harus dipahami sebagai suatu perubahan dari kedosaan manusia menuju pertobatan batin, pembalikan diri menuju manusia yang bebas dari kungkungan dosa dan kejahatan. Melalui metanoia manusia dilahirkan menjadi anak-anak Terang, Anak-anak Allah yang selalu membawa Terang dan pengharapan bagi kaum tertindas dan yang tersisihkan. Klimaks perjalanan metanoia diri adalah Paskah yang memberikan kehidupan baru yang ditandai dengan kebangkitan bersama Yesus Kristus. Jika dikaitkan dengan realitas berpolitik, bangsa Lorosa’e ini membutuhkan pertobatan politik. Pertobatan politik yang ditandai dengan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pembaharuan dalam penataan sistem pemerintahan dan perpolitikan itu sendiri. Pertobatan diri hendaknya dimulai dari para elitis dan politisi bangsa ini yang masih memperjuangkan kepenting diri sendiri atau kelompok tertentu, bahwa tugas dan dedikasinya adalah demi kesejahteraan bersama seluruh masyarakat Timor Leste, sehingga tidak ada alasan pengabdian dan pelayanan seolah-olah hanya demi kepentingan persona dan kelompok-kelompok tertentu saja.

Paskah Adalah Suatu Keberpihakkan Allah
Dalam perspektif kepercayaan iman kristiani, wafat dan kebangkitan Kristus tidak hanya sekadar mengenang romantisme hidup religius dan historisitas Yesus 2.000 tahun silam. Esensi Paskah yang identik dengan salib adalah perjuangan untuk mengusahakan kesejahteraan umum. Politik hendaknya tidak mengeksploitasi manusia serta menjadikan manusia yang lain sebagai sarana semata. Oleh karena itu, dedikasi secara total dalam pengabdian sangat dibutuhkan oleh kita karena ini adalah bagian dari memanggul salib Kristus. Jika orang masih mementingkan diri sendiri, berarti dia belum berani memanggul salib. Dia cenderung berani mengambil jalan pintas dengan cara mengorbankan orang lain. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah contohnya. Kiranya inilah saat yang tepat bagi umat kristiani untuk mewujudkan perubahan itu di dalam sikap pertobatan, yaitu pembalikan atau perubahan secara menyeluruh dari perilaku lama, menuju ke sikap hidup yang baru sehingga sungguh-sungguh terjadi perubahan, bukan saja di dalam diri sendiri melainkan juga di dalam masyarakat. Suatu perubahan menuju keberpihakkan akan sesama yang lain, keberpihakkan yang tidak mengeksploitasi harkat dan martabat manusia, yaitu keberpihakkan yang membebaskan kaum tertindas, kaum miskin dan yang tersisihkan dari realitas sosial dan ketakberdayaannya.

Paskah merupakan saat-saat indah dalam kehidupan iman Kristiani, yakni Kristus menampakkan kemuliaan. Semangat melayani yang menjadi bagian dari rangkaian pesan Yesus menjelang kematian merupakan bukti bahwa membasmi ketidakadilan dan kemiskinan di dunia ini perlu dilakukan dalam semangat melayani dan rendah hati dalam menjalankan peran masing-masing manusia. Realitas perpolitikan bangsa Timor Leste dewasa ini menunjukkan bahwa, partisipasi politik masyarakat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan ekonomi dalam masyarakat setidaknya membutuhkan legitimasi dan partisipasi semua pihak yang berkepentingan. Berita kebangkitan bukan hanya berita rohani.  Berita kebangkitan Kristus adalah berita politik yang memberitakan pembebasan kepada yang tertindas dan terjajah, sekaligus menantang semua bentuk penjajahan yang dilakukan orang-orang yang merasa berhak menguasai dan mengatur manusia kepunyaan Allah.

Pada akhirnya berita kebangkitan adalah berita kontroversial yang menantang setiap orang yang percaya kepada-Nya untuk berani bertindak dan berani bersikap. Berita Paskah Kristus yang menggemakan bahwa ada pengharapan akan pembebasan Allah untuk dunia ini. Melalui Paskah semua warga, termasuk elitis dan politisi bangsa ini diundang untuk mengalami metanoia diri; perubahan menuju pertobatan diri dalam dedikasi dan pelayanan yang tulus serta berpijak para prinsip kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang diwartakan Yesus, bahwa menjadi pemimpin adalah suatu panggilan pelayanan dan keberpihakkan kepada masyarakat demi tercapainya cita-cita Bonum Commune dan Summum Bonum. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi, maka sudah saatnya Negara yang dijuluki Negeri Matahari Terbit ini menanggalkan manusia lamanya, dengan berani dan bersedia untuk bertobat dan beralih dari kedosaannya. Paskah Kristus adalah sebuah paskah keberpihakkan, suatu perayaan politis yang mendobrak kemomokan dan kebobrokan hidup yang mapan dan aman untuk beralih dan terlibat dalam realitas kaum kecil, kaum yang tersisihkan dan mereka yang terdepak dari realitas sosial masyarakat di tanah air tercinta ini. Harapan Paskah ialah semoga kita diubah dan mau untuk berubah dalam memperjuangkan kebenaran serta menegakkan keadilan demi kesejahteraan warga masyarakat Timor Leste.



---oo0oo---