Jumat, 15 Agustus 2014

POLITIK DAN TANTANGAN KRISIS EKSISTENSIAL: SUATU REFLEKSI ATAS PANORAMA POLITIK DI TIMOR LESTE


Politik adalah wacana yang kian mengglobal seiring dengan arus peredaran zaman. Dewasa ini wacana politik bukan lagi hak monopoli atau status quo dari para politisi dan elit politik semata, tetapi sudah menjadi trand dan ruang publik yang sangat fleksibel bagi semua pihak untuk mencermati serta menanggapi realitas polis secara bijaksana dan kritis serta terlibat secara langsung dalam pentas praksis politik. Karena menyinggung persoalan politik berarti dengan sendirinya membahas pola dan struktur politis dan sosial hidup suatu entitas tertentu. Maka dengan demikian politik menyangkut realitas sosial praksis hidup banyak orang (polis, bangsa). Pergumulan antar manusia dengan manusia, maupun orang-perorangan dengan realitas sosialnyalah yang menghantar manusia kepada realitas politik praksis. Sebab secara lebih dalam, politics must also be reflective on everyday life. Karena politik tidak mesti beracuan pada problem negara, tetapi politik itu sendiri pada dasarnya menyangkut realitas hidup setiap manusia di dalam sebuah polis. Karena politik identik dengan berbicara, adu argumentasi, debat serta pergumulan akan realitas sosial masyarakat tentang perkara tata hidup bersama. Tata hidup bersama ini perlu direfleksikan dalam konteks kehidupan karena hanya melalui refleksilah manusia mampu berpolitik secara nurani. Nurani politik di sini dipahami sebagai suatu pergunjingan politik yang menempatkan manusia pada high value, sebab sedari kodratnya manusia sudah dibekali dengan hak dan martabat manusianya yang luhur. Dengan demikian, kodrat manusia lebih mulia dan nilainya lebih luhur dari segala ciptaan yang lainnya.
Sebagai sebuah bangsa yang baru merdeka, realitas politik di bumi Timor Leste relatif  baru dalam pergumulan mencari identitas diri bangsa yang sesungguhnya. Perjuangan demi pencitraan politik di Timor Leste menjadi pergulatan semua pihak, entah itu para politisi, elit politik, maupun oleh masyarakat sebagai warga bangsa Timor Leste itu sendiri. Beragam strategi dan format politik diwacanakan dan diterapkan untuk menentukan sebuah sistem serta pola pemerintahan dan politik yang cocok dan tepat-sasar demi menemukan perwajahan politik yang menjadi harapan dan cita-cita perjuangan bangsa ini.  Maka, pengistilahan yang lebih cocok untuk pentas politik bangsa Timor Leste saat ini adalah “politik raba-raba”, walaupun berjalan secara lambat, tetapi dalam perjalanannya sudah bisa menemukan perwajahan yang tepat untuk politik di Timor Leste meskipun masih samar-samar dalam realitas pengkonkritisasiannya. Oleh karena itu, perjuangan dalam menemukan profil politik yang ideal, dibutuhkan pembelajaran, pelatihan, serta refleksi yang mendalam dari para politisi maupun para elitis dalam pergumulan pencahariannya. Refleksi disini dibutuhkan karena untuk menghasilkan sebuah sistem yang bagus dan berdayaguna tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual, sains dan rasio manusia saja, tetapi juga refleksi. Karena melalui refleksi orang dihantar ke dalam kedalaman batin untuk menemukan makna dan jati diri dari bangsa ini. Karena politik tanpa refleksi yang muncul adalah kesombongan intelek dan arogansi rasio manusia yang cenderung terarah kepada anarkisme dan fanatisme. Maka, politik tanpa refleksivitas akan memunculkan krisis kedangkalan. Tata hidup bersama, jika dikelola dalam kedangkalannya  akan didominasi oleh kerancuan dan kebobrokan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa politik merupakan satu dimensi hakiki hidup manusia di dalam kehidupan masyarakat (Bangsa). Politik mencakup keterlibatan keseluruhan individu dalam suatu komunitas masyarakat. Dengan demikian politik hendak menggambarkan adanya pastisipasi aktif dan responsif masyarakat dalam menentukan kebijakan dan jalannya roda pemerintahan negara. Sebagai Negara yang menganut sistem politik demokrasi, sistem politik di Negara ini hendaknya menjadi suatu media di mana masyarakat dapat menentukan sikap secara sadar dan bebas serta bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani dalam kehidupan publik, karena realitas politik merupakan persoalan publik yang menyangkut keterlibatan seluruh warga masyarakat di bumi Timor Leste. Kuantum rasio manusia juga turut berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik negara. Dengan kemampuan rasio yang memadai seorang pemimpin mampu menentukan sikap dan keputusan yang tepat, yang mampu mewujudkan cita-cita dan harapan warga masyarakat bumi Lorosa’e ini. Untuk menentukan kebijakan dalam politik, kemampuan refleksi dan rasio harus berjalan secara beriringan, agar keputusan dan kebijakan politik tidak cenderung anarkis dan melencengan dari etika dan moralitas politik yang sewajarnya. Sehingga kuantum rasio dan reflektif harus menjadi rambu-rambu politik yang membimbing dan mengarahkan politik bangsa ini menuju cita-cita bersama (bonum Commune).
Jurgem Habermas, seorang filsuf post modern (Jerman) menandaskan bahwa, politik haruslah memiliki karakter diskursif. Politik diskursuf di sini mengandaikan bahwa penggunaan rasio menjadi penekanan utama, di samping refleksi akan makna dari kebijakan-kebijakan politik yang lahir dari olah rasio manusia dalam menyikapi pentas perpolitikan yang sedang berlangsung di Negara ini. Wacana politik tidak bisa dibayangkan jika tidak berupa sebuah aktivitas diskursus. Oleh karena itu, Habermas mendeklarasikan perspektif emansipatoris dalam ranah politik. Emansipatoris dalam arti di sini adalah sebuah diskursus politik yang membebaskan. Lalu, bagaimana tata kelola hidup bersama dapat memiliki relasi-relasi yang membebaskan? Untuk mencapai taraf ini, maka societas itu perlu menunjukkan pola-pola relasi komunikatif interpersonal. Pola relasi inilah yang disebutnya Diskursus. Diskursus menjadi jembatan bagi jalannya dinamika perpolitikan yang menghubungan antara kepentingan privat dengan kepentingan bersama. Karena dalam prakteknya pergerakkan politik adalah manifestasi personal dari setiap individu dengan telos (tujuan) prinsipiilnya adalah bonum commune; kesejahteraan dan kepentingan bersama menjadi ukuran dalam perhelatan politik di Negara ini. Karena perjuangan politik yang dipentaskan oleh semua pihak adalah demi kepentingan bangsa ini, untuk kesejahteraan dan kemakmuran semua warga yang bernaung di bawah payung demokrasi Timor Leste. Karena menyinggung politik, berarti secara eksplisit kita berbicara tentang siapa yang memimpin (politisi dan elit politik) dan dengan  siapa yang dipimpin (warga masyarakat).
Perlu juga pemahaman bahwa, prinsip Politik adalah menempatkan kekuasaan di bawah kontrol hukum dan dengan demikian menata penggunaannya secara bermakna agar aturan (hukum-konstitusi) itu ditaati, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan politik dari para elitis, politikus maupun dari pihak warga masyarakat itu sendiri. Norma ini diperlukan dalam percaturan politik bumi Lorosa’e, sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan dalam dunia perpolitikan. Realitas perpolitikan di negara “muda” ini bahwa, para elite politik sering menggunakan panggung politik untuk memperjuangkan intensitas pribadi maupun kelompok tertentu dengan mengabaikan prinsip-prinsip fundamental politik yang bertujuan demi tercapainya Bonum Commune. Dengan demikian politik perlu dipandu dan diarahkan demi tercapainya keadilan sosial yang menyejahterakan masyarakat. Sumber dari prinsip politik itu sendiri tidak lain adalah dari martabat luhur manusia itu sendiri sebagai makhluk politis: zoon politikon, serta perjuangan demi tercapainya cita-cita luhur dari para founders fathers bangsa ini; yakni Timor Leste yang makmur dan sejahtera dalam segala lintas kehidupannya.
Haruslah diakui bahwa, politik di Timor Leste adalah sebuah pergumulan dalam pencarian makna otentisitas yang asali dari perjuangan demi kemerdekaan itu sendiri, yang dapat menghantar manusia Timor Leste menuju kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, pergunjingan pentas politik yang berlangsung di tanah air ini adalah sebuah proses yang menggiring manusia Timor Leste menuju pergumulan yang terus-menerus serta refleksi yang berkepanjangan untuk menemukan sebuah sistem politik yang mampu menjadi wadah dan ruang bagi aspirasi warga masyarakat.  Hal ini dikarenakan politik memiliki tool efektif yang bernama “bahasa”, dengan demikian maka politik pertama-tama adalah sebuah discourse, dalam arti bahwa dalam politik itu sendiri memiliki titik acuannya, yang tidak lain adalah mencapai prinsip tata kelola hidup yang teratur dan aman, karena di dalam diskursus politik terdapat pengandaian rasionalisasi yang mencakup insights tentang tujuan dari politik itu sendiri. Dengan demikian wacana politik menjadi penentu arah ke mana proses penggiringan politik di bumi Timor Leste diarahkan. Diandaikan bahwa, politik bukan semata hanya sebuah diskursus, karena pastilah akan sangat menjenuhkan. Jika demikian, yang ada sekadar perintah atau larangan dari penguasa, fatwa, instruksi, doktrin, dan segala hal di mana warga-negara mau tidak mau harus tunduk terhadap segala otoritas berwenang. Atau, yang ada adalah provokasi, intimidasi dan bukan journey (peziarahan) akal budi dan hati nurani yang murni. Tantangan-tantangan inilah yang menjadi penghalang kemajuan bangsa ini. Perjuangan demi kepentingan pribadi/ kelompok, money politic, serta KKN menjadi kendala utama kebobrokan dan kerancuan politik dari para politisi maupun para elitis bangsa ini.
Selain itu, Politik di tanah air ini juga memiliki dimensi violatif. Praktek politik yang diwacanakan pun rentan terhadap kekerasan, manipulasi, intrik-intrik gelap, strategi kotor, ketidakadilan sistematis, kerancuan dan kekacauan terstruktur. Violasi politik kerap dimaknai secara blunt oleh sebagian dari penguasa bangsa ini sebagai bagian dari aktivitas politik. Jadi dimensi violatif politik bukanlah salah satu aspek dari tata kelola, melainkan sebuah realitas. Yang menandai realitas kekerasan dalam politik umumnya dikaitkan dengan fundamentalisme agama dan terorisme. Kekerasan politik juga menyangkut perkara pembiaran secara serius segala momok kejahatan politik itu sendiri. Dimensi violatif itu nyata, sayangnya kerap tidak disadari. Tidak ada politik yang tetap sepanjang segala masa. Karena itu, setiap tujuan politik yang digariskan memiliki karakter imaginatif, maka prinsip Bonum commune itu pun bisa sekadar imaginatif belaka, tidak ada representasi mutlak tentang seperti apa dan bagaimana kesejahteraan itu dibangun. Apa yang konkrit? Violasi dalam politik. Terdapat banyak problem berhubungan dengan vialatif politik ini, salah satu contoh yang dapat diangkat ke permukaan adalah aksi tawuran antara cabang bela diri (Arte Marsiais) yang tersebar di seluruh tanah air, selain itu, isu yang paling hangat adalah munculnya kelompok yang diprakarsai oleh Mouk Moruk (alias MM) dengan kelompok bentukannya Konselho Revolusaun Maumbere (KRM), yang sempat membuat gencar situasi politik bangsa ini, meskipun pada akhirnya pergerakan kelompok ini dapat dibendung oleh pemerintah. Dari contoh-contoh ini, dapat ditegaskan bahwa realitas politik bangsa ini tidak jauh dari kekerasan dan intrik-intrik politik yang mengganggu stabilitas dan kestabilan politik bangsa ini.
Menyimak kembali sepak terjang politik bangsa ini, ternyata kekerasan bahkan sudah menjadi hal yang lumrah bahwa kancah perpolitikan bangsa ini selalu dihiasi dengan beragam peristiwa yang mengganggu stabilitas tanah air. Masih terekam dengan segar dalam memori kita beberapa masalah nasional yang dihadapi oleh negara kita ini, tetapi realitas permasalahan yang dihadapi bangsa ini hendaklah menjadi permenungan dan refleksi bagi warga bangsa ini untuk dapat bercermin lebih jauh ke dalam demi menemukan solusi yang tepat guna dalam membebaskan nasionalisme bangsa ini demi mencapai bangsa yang adil, sejahtera dan tenteram. Pergenjawantahan seputar demokrasi menggugah hati setiap orang untuk meneropongnya dari dekat dan mencoba mencari mutiara-mutiara indah di balik lautan demokrasi itu. Ada apa dengan demokrasi di bumi Lorosa’e? Ini sebuah pertanyaan yang melintas dalam benak kalangan elite politik maupun masyarakat proletar (marginal) yang menceburkan dirinya dalam lautan demokrasi dan berusaha menemukan butir-butir nilai demokrasi serta peredaran demokrasi sepanjang perjalanan sejarahnya, masa kini maupun di masa depan. Hanya atas dasar prinsip-prinsip moral dalam etika politik maka upaya ke arah pembentukan masyarakat Timor Leste demokratis dapat terwujud. Artinya, masyarakat yang memandang dirinya sebagai subjek sekaligus pemegang kedaulatan kekuasaan negara dan menghargai pluralitas tanpa sikap deskriminatif serta berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Kondisi yang demikian merupakan sebuah ironi besar dalam dinamika politik demokrasi di tanah air ini. Sistem pemerintahan negara yang berjalan saat ini masih jauh dari bobot responsif dan representatif. Para wakil rakyat yang mengambil bagian dalam kekuasaan pemerintahan masih mementingkan kepentingan individual atau kelompok-kelompok tertentu. Penerapan sistem kedaulatan yang tidak demokratis ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk kegagalan pemerintahan Timor Leste yang menyebut diri demokratik. Kegagalan politik para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat mendatangkan sikap pesimisme dalam diri masyarakat; rakyat masih berada dalam genggaman kegelisahan dan penderitaan. Pada taraf ini, kebebasan telah dipasung oleh segelintir orang (penguasa) yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat hanya mengunyah dampak dari berbagai kebijakan politik yang mendatangkan penderitaan dan kemiskinan. Munculnya kebijakan yang mendistorsi harapan dan cita-cita rakyat, membuat rakyat menjadi semakin teralienasi dari kebebasan demokratis itu sendiri. Di sini kehidupan praksis politik hanya menimbulkan berbagai bentuk kontroversi. Hal ini dikarenakan percaturan politik yang sedang dianut oleh Timor Leste terlalu jauh dari intensionalitas politik itu sendiri. Politik yang bertujuan demi kesejahteraan menampilkan sisi violatifnya dengan praktek-praktek malpolitik, seperti kasus korupsi, politik suap, isu politik, saling mengkambinghitamkan, dan beragam masalah politik lainnya yang masih menghiasi perhelatan politik di bumi Lorosa’e ini.
Wacana politik, dalam kerangka demokratisasi seperti yang disuarakan ternyata sarat keperluan dan kepentingan para elite politik. Dominasi kepentingan mewajah secara transparan dalam “tubuh politik” itu sendiri yang mulai mencuat ke permukaan di mana politik kesejahteraan tidak lagi menjadi prinsip utama tetapi politik kepentingan partial menjadi prioritas para elitis dan politisi dalam memegang tampuk pemerintahan bangsa ini. Dalam tataran ini lanskap politik semakin jelas. Posisi tawar-menawar antara rakyat dan penguasa menjadi tidak seimbang. Kepentingan rakyat menjadi “subordinatif” terhadap kepentingan kaum elite bangsa ini. Terma-terma politik yang merebak di tengah publik politik terkesan menyingkirkan rakyat. Rakyat menjadi alat untuk menyukseskan aspirasi kepentingan para elite politik bangsa ini. Konkritisasi dari program-program pemerintah masih jauh dari harapan masyarakat bumi Lorosa’e. Terdapat beberapa bukti fisik yang kelihatan fakum dan bahkan tak tergubris oleh pemerintah, antara lain perbaikan jalan raya yang semakin memprihatinkan, pemberdayaan sektor ekonomi yang belum menyentuh seluruh areal masyarakat, pembangun infranstruktur yang belum memadai, sistem pendidikan dan kurikulum yang belum fleksibel, serta beberapa areal pembangunan yang masih jauh dari harapan dan cita-cita bangsa ini. Meskipun miliaran dolars dialokasikan untuk semua bidang tetapi kenyataan belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dan memuaskan masyarakat Timor Leste.
Realitas ini menunjukan demokrasi di Bumi Lorosa’e sedang menghadapi tantangan besar. Ada kemungkinan bahwa kelompok-kelompok anti-demokrasi menyusup masuk melalui mekanisme demokrasi ke dalam perangkat-perangkat demokrasi untuk selanjutnya mendistorsi sistem demokrasi itu dari dalam. Oleh karena, demokrasi adalah sebuah sistem politik yang terbuka dan tidak mampu hanya memberikan tempat untuk demokrat sejati ke dalam lembaga kekuasaan. Hematnya, inilah salah satu jebakan krusial dan paling besar kemungkinan untuk isu-isu dan masalah sosial politik di tanah air ini. Sebuah pertanyaan kunci pantas ditampilkan berhubungan dengan realitas politik bangsa ini. Apakah geliat politik yang sudah semakin menkrusial ini mampu membawa perubahan yang konstruktif bagi masa depan bangsa Timor Leste? Sampai kapankah perwajahan bangsa ini terus didestruksi oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang terus memainkan geliat politiknya di dalam sistem pemerintahan bangsa ini dan terus-menerus menorengkan kekelaman serta kekejaman politik bagi warga masyarakat Negara ini? Akankah kemerdekaan yang dicita-citakan oleh bangsa ini hanya sekedar utopia yang tak pernah tersentuh perealisasiannya karena arogansi dan kecongkakkan kaum elitis, politis dan birokrasi bangsa ini yang memprioritaskan kepentingannya dengan mensubordinasikan kepentingan masyarakat?
Meskipun pentas politik Timor Leste dewasa ini semakin “buram”, kita tidak mesti harus tinggal diam sambil tidak merasakan apa-apa atas kenyataan bangsa kita ini, tetapi sudah waktunya bagi kita sebagai warga negara yang hidup di sebuah negara yang berlandaskan demokrasi mulai memprioritaskan sebuah tujuan bersama yang baru. Tujuan bersama untuk membangun habitus baru bagi bumi tercinta ini. Suatu habitus baru yang mampu memberikan harapan yang nyata bagi seluruh warga negara bangsa ini. Bercermin pada problematika politik yang sudah menghiasi panorama perpolitikan bangsa ini, sudah saatnya para elitis, politisi maupun sebagai warga bangsa ini berefleksi lebih dalam dan memadukan tekad bersama untuk menjadikan bangsa ini sebuah bangsa yang mampu melahirkan kesejahteraan, keadilan, ketenteraman dan stabilitas dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini adalah milik kita bersama dan untuk kepentingan bersama. Karena idealisme dari para pejuang bangsa ini ialah kesejahteraan, keadilan serta kemakmuran bumi Lorosa’e. Sampai kapankah bumi pertiwi ini terus-menerus dililiti kompleksitas problematika yang tak terselesaikan? Pertanyaan ini menjadi sentilan bagi semua pihak yang berkiprah di atas pentas perpolitikan bangsa ini.
Dengan demikian setelah menyikapi realitas politik bangsa ini dapat dikatakan bahwa, benang terselubung yang tersembunyi di balik semua realitas problematik politik bangsa ini adalah krisis eksistensial dalam diri manusia Timor Leste itu sendiri. Krisis eksistensial yang dimaksud adalah sumber daya manusia yang membutuhkan pembenahan dan perhatian secara serius dari pemerintah dalam membangun dan menata tata kelola bangsa ini menuju cita-cita bersama, di samping perhatian pada pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta insfraktruktur pembangunan yang masih perlu mendapat perhatian secara serius dari pemerintahan yang sedang eksis di bumi Matahari Terbit ini. Bercerminlah pada realitas yang dialami oleh bangsa tercinta ini, untuk membangun tatanan hidup bangsa ini menuju cita-cita dan idealisme yang telah diperjuangkan oleh para pejuang bangsa ini. Timor Leste butuh sebuah perubahan; perubahan hanya akan terjadi jika kita berani untuk melakukan “revolusi mental” bangsa ini baik itu dalam diri para politisi, elitis maupun warga masyarakat itu sendiri. Konkritisasinya jika kita berani dan mau untuk berubah. Berubah dari perilaku mementingkan kepentingan privat maupun kelompok, money politc, KKN dan berbagai kebobrokan yang mengancam stabilitas dan kesejahteraan bangsa ini.


---oo0oo---








Tidak ada komentar:

Posting Komentar