Rabu, 28 Januari 2015

“KEBERPIHAKAN TERHADAP KAUM MISKIN: REFLEKSI ATAS MASALAH SOSIAL EKONOMI PADA SMAK ST. KLAUS-KUWU DALAM TERANG INJIL LUKAS 16: 19-31”.

KEBERPIHAKAN TERHADAP KAUM MISKIN:
REFLEKSI ATAS MASALAH SOSIAL EKONOMI PADA SMAK ST. KLAUS-KUWU DALAM TERANG INJIL LUKAS 16: 19-31”.

NPM/NIRM: 13.353 / 13.7.54.0278R


I.          Pendahuluan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang selalu dihadapi oleh siapa saja. Masalah kemiskinan itu sama usianya dengan usia kehadiran manusia itu sendiri semenjak dunia dijadikan, dan melibatkan seluruh dimensi aspek hidup manusia itu sendiri. Kemiskinan secara harafiah dapat dilihat sebagai suatu standar tingkat pendapatan hidup yang rendah (kecil), yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau sekelompok orang dibandingkan dengan standar hidup sebagian orang yang mapan secara material. Standar kehidupan yang rendah ini memiliki pengaruh yang luas dan berdampak secara mengglobal. Karena realitas mondial dewasa ini, kemiskinan menjadi suatu problematika yang belum terselesaikan secara tuntas. Kemiskinan selalu menggerogoti realitas hidup umat manusia.
Adalah kenyataan bahwa, problematika kemiskinan bukan hanya melanda negara kita, tetapi kemiskinan menjadi masalah global yang hampir dijumpai diseluruh pelosok dunia, secara khusus kemiskinan menjadi masalah yang sangat kompleks di dalam negara-negara Dunia Ketiga. Terdapat adanya beberapa kategori kemiskinan, antara lain kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, kemiskinan situasional (natural), serta kemiskinan kultural. Kelima model kemiskinan ini hampir menggerogoti seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Bahkan, di Indonesia sendiri problematika kemiskinan bukan lagi suatu bidang yang baru untuk diwacanakan, tetapi sejak dulu kemiskinan sudah menjadi masalah aktual untuk diperbincangkan di negara ini.
Pelbagai realitas sosial yang menandai kemiskinan nampak dalam situasi ketidakadilan, penindasan, kelaparan, pengangguran dan kurangnya pendidikan. Realitas sosial ini menuntut perjuangan seluruh pihak untuk berjuang bersama dalam mengentaskan serta menanggulangi  kemiskinan yang menjadi persoalan yang signifikan dewasa ini. Perjuangan bersama ini dapat ditempuh melalui pola kesetiakawanan sosial atau solidaritas dengan sesama yang miskin dan terlantar.  Bentuk solidaritas dan keterlibatan terhadap kaum miskin, lemah dan tak berdaya masih jauh dari cita-cita bangsa ini. Sehingga terjadi jurang yang membentang antara yang kaya dengan yang miskin. Sampai kapan pun usaha untuk memberantas realitas kemiskinan ini masih selalu menjadi idealisme semata dari para elitis maupun politisi bangsa ini.
Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (GS), dalam artikel No. 1, secara eksplisit menegaskan bahwa: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula”. Penegasan ini menunjuk pada suatu landasan persekutuan dari hidup beriman untuk mengembangkan sikap solider dan terlibat dengan yang lain dalam segala bentuk kekurangan dan ketakberdayaan. Solidaritas adalah bentuk persekutuan dalam kepentingan bela-rasa dan senasib-sepenanggungan dengan mereka yang membutuhkan. Keberpihakan terhadap sesama yang miskin, kekurangan, kaum pinggiran dan kaum kecil adalah suatu bentuk panggilan untuk mengikuti Kristus yang miskin dan kecil. Ia yang hadir di tengah-tengah realitas kemiskinan. Suatu panggilan untuk terlibat dan bersolider dengan yang lain.
Solidaritas berarti kita menjadikan pelbagai keprihatinan, kepentingan dan harapan mereka yang miskin dan tak berdaya sebagai keprihatinan, kepentingan dan harapan kita. Dalamnya kita menerima mereka sebagaimana adanya mereka. Sikap solidaritas antara yang kaya dan yang miskin dapat kita pelajari dalam Injil Lukas 16: 19-31, yakni kisah tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin. Untuk mendalami teks ini, penulis mencoba mengangkat persoalan tentang ketidakmampuan orangtua siswa/i untuk membiayai pendidikan di SMAK St. Klaus Kuwu – Ruteng karena masalah sosial-ekonomi. Fenomena ini ditemukan berdasarkan pengalaman selama menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di lembaga ini, dan berdasarkan inspirasi pada perikop Luk 16: 19-31, maka penulis ingin mengangkat pentingnya sikap solidaritas di tengah-tengah realitas kehidupan praksis, dalam sebuah tulisan yang berjudul: “Keberpihakan Terhadap Kaum Miskin: Refleksi Atas Masalah Sosial Ekonomi Pada SMAK St. Klaus-Kuwu dalam Terang Injil Lukas 16: 19-31”.

II.       SMAK St. Klaus Kuwu Ruteng Dan Masalah Yang Dihadapi
2.1. Sekilas Tentang SMAK St. Klaus Kuwu
2.1.1. Profil Sekolah[1]
Nama Sekolah             : SMA Swasta Disamakan St. Klaus Kuwu Ruteng
Alamat Sekolah           : Poco Likang, Kuwu – Ruteng  Manggarai
Nama Yayasan            : Yayasan Sukma Keuskupan Ruteng-Manggarai
NSS                             : 30 2 24 11 01 014
NPSN Sekolah            : 50303419                                                                                         
Alamat                        :  Desa Poco Likang, Kecamatan Kuwu, Kabupaten Ruteng-Manggarai
Jenjang Akreditasi      : Terakreditasi “A”
Tahun didirikan           : 1985
Tahun Beroperasi        : 1989

2.1.2. Visi dan Misi Sekolah
A. Visi
Membentuk manusia yang bertagwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki kepribadian, kecerdasan, keterampilan, dengan berdasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa
B. Misi
1)      Menumbuhkan kesadaran akan manfaat pendidikan dan betapa pentingnya mengenai budaya: kekeluargaan, persaudaraan, tolong menolong.
2)      Mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh siswa dengan pola kegiatan yang terkoordinasi
3)      Mendorong keterlibatan siswa untuk dapat menyalurkan bakat serta minat melalui pelatihan-pelatihan di sekolah yang terprogram
4)      Menerapkan pola manajemen pendidikan yang transparan dengan jalan melibatkan semua warga sekolah dan komite pendidikan sekolah
5)      Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung demi kemajuan proses pembelajaran termasuk bimbingan
6)      Meningkatkan kondisi dan dinamika secara keseluruhan, termasuk kesejahteraan guru/ pegawai / karyawan / karyawati sebagai pelopor pendidikan paling depan.

2.2. Masalah-masalah yang Dihadapi
            Selama saya menjalani masa praktek (TOP) pada lembaga pendidikan SMAK St. Klaus Kuwu, saya menemukan beberapa persoalan yang pada umumnya sering terjadi, antara lain:

2.2.1.      Masalah Sosial Ekonomi
Salah satu masalah yang menjadi pusat perhatian dalam bidang pendidikan adalah masalah ekonomi, khususnya dalam bidang finansial. Semakin tinggi kwalitas pendidikan maka semakin besar juga dana yang dibutuhkan untuk mendapatkan akses ke dalam dunia pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, mutu pendidikan yang bagus juga disesuaikan dengan tingkat pembiayaannya yang juga tidak murah. Demikianlah halnya, yang berlaku pada sistem pendidikan tingkat SMA di Kabupaten Manggarai, semakin tinggi mutu pendidikannya, maka semakin mahal juga biaya operasional yang harus ditanggung oleh seorang siswa yang bersangkutan. SMAK St. Klaus Kuwu – Ruteng menjadi satu-satunya sekolah dengan kwalitas tinggi untuk keuskupan Ruteng pada umunya. Sistem yang diberlakukan adalah sistem Boarding School (Sekolah berasrama). Siswa maupun siswi yang bersekolah di lembaga pendidikan ini wajib untuk tinggal di asrama.
Dengan menerapkan sistem Boarding School maka, sistem pembayaran juga disesuaikan dengan biaya operasional untuk pengelolaan di sekolah maupun di asrama. Maka, dapat dikatakan bahwa, hampir setiap murid yang mengenyam pendidikan di lembaga ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga rata-rata siswa yang masuk di sekolah ini adalah mereka yang tergolong ekonominya mampu. Atau dapat dikatakan, siswa/I yang orangtuanya berpenghasilan sebagai pengusaha maupun sebagai PNS, sedangkan untuk orangtua yang berstatus petani tidak semua anaknya dapat bersekolah di lembaga pendidikan yang dapat dikatakan mahal ini. Pada tataran ini telah terjadi kesenjangan dalam dunia pendidikan. Perbedaan mutu juga menjadi tolok ukur sebuah sekolah. Pendidikan sebagai sebuah kebutuhan telah cukup mendatangkan kesulitan bagi para orang tua siswa dan siswi SMAK St. Klaus Kuwu. Biaya pendidikan yang menurut ukuran masyarakat terlampau tinggi membawa efek pada masyarakat. Hanya yang memiliki modal dan berpendapatan tinggi dapat bersekolah di sekolah ini, sedangkan yang orangtuanya berpendapatan rendah (petani dan swasta) harus mencari sekolah yang lebih murah, dengan kwalitas yang tidak menjanjikan juga.
2.2.2.      Masalah Sosial-Agama
Sebagai sebuah lembaga swasta Katolik, lembaga pendidikan SMAK St. Klaus mempunyai permasalahannya tersendiri berhubungan dengan masalah sosial religius. Menurut data sekolah, persentase dari siswa/I yang bersekolah di lembaga ini adalah 99% beragama Katolik, sedangkan sisanya beragama Kristen-Protestan. Sedangkan untuk yang non-Kristen belum pernah mengenyam pendidikan di lembaga ini. Fenomena ini didasari dengan sistem yang diberlakukan di lembaga ini, di mana hampir semua regulasi dan tata hidup di sekolah maupun di asrama adalah pembinaan dengan sistem Katolik. Sehingga menjadi kesulitan tersendiri bagi siswa/I yang non Kristen untuk bersekolah di SMAK St. Klaus ini, meskipun ada yang berkeinginan sekolah di lembaga ini, tetapi tidak mampu menyesuaikan diri dengan sistem pembinaan yang berlaku. Karena semua siswa/I maupun para pembina menerapkan sistem yang sama, yakni model pembinaan dan pembelajaran yang khas Katolik. Sehingga muncul keberatan dan keengganan orangtua yang non-kristen dan Katolik menyekolahkan anak mereka di sekolah ini, meskipun mutu dari sekolah ini sangat menjanjikan masa depan.

2.2.3. Masalah Sosial-Budaya
            Salah satu faktor lain yang dapat dikategorikan sebagai “masalah” di lembaga pendidikan ini adalah faktor lingkungan. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), turut membawa masalah di segala sektor kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Budaya konsumerisme dan “budaya istan” sangat mempengaruhi siswa/i. Adanya HP, internet dan aneka tawaran gaya hidup modern saat ini sangat mempengaruhi karakter siswa/i. Banyak siswa yang lebih mementingkan HP daripada membaca buku. Mereka lebih suka jalan-jalan daripada duduk diam dan belajar.  Selain itu, dengan perkembangan IPTEK yang semakin modern, menyebabkan banyak siswa maupun siswi yang tidak bertahan untuk menyelesaikan pendidikan mereka pada lembaga SMAK St. Klaus ini. Ini dikarenakan, meskipun mutunya sangat menjanjikan tetapi, sistem regulasi yang diterapkan sangat ketat, para siswa/I dilarang membawa HP dan barang elektronik lainnya ke sekolah maupun ke asrama. Karena sekolah akan langsung mengeluarkan jika kedapatan siswa/I yang melanggarnya.
            Para siswa/I yang mental hidupnya instan dan ingin mengejar kesenangan semata, selalu tidak bertahan di lembaga pendidikan SMAK St. Klaus ini. Berbagai ulah dan kenakalan-kenakalan mereka lakukan dengan alasan agar dikeluarkan dari sekolah ini, sehingga mereka dapat pindah ke sekolah lainnya yang bebas dan tidak terikat pada aturan dalam soal penggunaan barang-barang elektronik dan bebas pula dari sistem pendidikan berasrama yang sangat ketat dan keras dalam pembinaannya. Kebanyakan pelajar zaman sekarang ialah mereka tidak mengutamakan mutu dari sebuah pendidikan tetapi, sejauh mana kebebasan dan kelonggaran tata disiplin yang berlaku pada sebuah lembaga pendidikan. Merosotnya nilai moralitas berdampak pada prinsip kebebasan ini.

2.2.4. Masalah Utama
            Dari masalah-masalah yang saya paparkan di atas, masalah utama yang terjadi di SMAK St. Klaus Kuwu – Ruteng adalah masalah sosial ekonomi. Masalah tersebut akan menjadi fokus utama dalam pembahasan ini. Kurangnya penghasilan orang tua yang tidak sebanding dengan besarnya biaya pendidikan yang berlaku pada lembaga pendidikan ini menjadi salah satu faktor penyebab siswa/I berkesulitan untuk mengenyam pendidikan pada lembaga ini. Sesuai dengan pengalaman saya selama satu tahun menjalani masa TOP sebagai staf pengajar sekaligus pembina asrama di lembaga pendidikan ini, masalah kesulitan biaya pendidikan sering saya temukan. Secara khusus sebagai pembina asrama, saya seringkali berhadapan dengan masalah ini. Sesuai dengan aturan sekolah, salah satu tuntutan adalah harus melunasi segala atministrasi keuangan baik untuk asrama maupun untuk sekolah sebelum mengikuti ujian. Pada saat itulah, siswa yang tidak mampu melunasi keuangannya terpaksa harus mengakhiri proses pendidikannya, serta pindah untuk melanjutkan pendidikannya pada sekolah lainnya yang biaya operasionalnya agak sedikit murah, dengan mutu pendidikan yang tidak cukup memuaskan siswa/I maupun orangtua mereka sendiri.

III. Option For The Poor: Refleksi Atas Masalah Sosial Ekonomi di SMAK St. Klaus Kuwu Dalam Terang Injil Lukas 16: 19-31
3.1. Ulasan Teks Lukas 16: 19-31
16:19 "Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. 16:20 Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu,16:21 dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. 16:22 Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. 16:23 Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. 16:24 Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. 16:25 Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. 16:26 Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang. 16:27 Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku,16:28 sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini. 16:29 Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. 16:30 Jawab orang itu: Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat. 16:31 Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati."

3.1.1. Konteks
                Untuk memahami teks ini, perlu diperhatikan apa yang dikatakan dalam beberapa ayat yang mendahuluinya. Setelah berbicara kepada murid-murid-Nya, tentang sikap yang tepat terhadap kekayaan (16: 1-13), Yesus mencemoohkan orang-orang Farisi yang ternyata sangat mencintai uang. Yesus memperingatkan mereka bahwa Allah tidak dapat ditipu dan tidak ada gunanya mereka membenarkan diri di hadapan orang (16: 15). Lalu Yesus berbicara tentang nilai hukum Yahudi (16: 16). Kata-kata Yesus itu berhubungan erat dengan bagian akhir (16: 29, 31) perumpamaan tentang orang kaya dan miskin yang tersaji dalam teks ini.[2] Perumpamaan ini merupakan suatu peringatan cukup keras yang ditujukan Yesus kepada kaum Farisi. Dalam ayat 14, mereka disebut “hamba-hamba uang”.[3] Ajaran Yesus mengenai sikap serakah orang farisi diteruskan dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin (ay 19-31). Akan tetapi di antaranya ada dua sabda, mengenai Taurat dan perceraian (ay 16-18), yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan tema kekayaan. Setelah teks ini Lukas menyajikan kisah tentang beberapa nasihat.[4]            
Perumpamaan ini tersaji hanya dalam Injil Lukas saja. Ia yakin sekali bahwa kaum miskin dilindungi Allah secara istimewa dan bahwa kekayaan dapat mencelakakan manusia (bdk. 16:1-13), maka tidak mengherankan bila masalah kaya-miskin disorotinya dalam perumpamaan ini secara khusus. Kebahagiaan ataupun sengsara manusia di alam baka memang tidak tergantung dari kekayaan atau pun kemiskinan selama hidup di bumi. Keselamatan tergantung dari perbuatan-perbuatan manusia, dan sekaligus merupakan karunia Allah semata-mata. Namun, bahaya yang ditimbulkan oleh kekayaan dalam mencapai keselamatan jangan diremehkan. Sebab orang kaya, karena merasa terjamin seringkali buta dan tuli terhadap Allah, sesama dan dunia sekelilingnya. Orang miskin justru karena hidupnya tidak pernah terjamin, seringkali mengandalkan Allah semata-mata. Lukas tidak menceritakan sesuatu mengenai pengadilan kepada kedua orang itu. Hanya prinsipnya yang ditekankan, yaitu: Allah menurunkan yang berkuasa, dan meninggikan yang rendah (Bdk. Luk 1:52; 14:11; 18:14). Dengan perikop ini, Lukas sebetulnya menyatakan suatu ajaran Gereja sesudah kebangkitan Yesus.

3.1.2. Susunan Teks
            Teks ini dibagi dua bagian[5], yaitu:
a.       16: 19-26         : Perubahan nasib orang kaya dan orang miskin sesudah kematian.
b.      16: 27-31         : Permohonan orang kaya demi bertobatnya saudara-saudaranya.
3.1.3. Karakter
            Perumpamaan terbuka dengan narator berbicara langsung kepada pembaca dan penulis. Cerita ini menyajikan pandangan tersirat tentang orang kaya dan Lazarus[6]. Ada beberapa karakter yang ditampilkan:
Orang kaya. Jelas disebutkan tentang orang kaya dan kekayaannya. Hal ditandakan oleh pakaiannya dari jubah ungu dan kain halus serta kemewahan.  
Lazarus. Berbeda dengan orang kaya adalah Lazarus dengan kemiskinannya. Secara khusus, ini adalah karakter dalam 'perumpamaan Yesus yang memiliki nama. Pertanyaan yang kemudian adalah mengapa ada nama Lazarus? Banyak alasan yang diberikan untuk nama. Salah satu cara untuk melihat hal itu adalah menelusuri arti harfiahnya. 'Lazarus' yang berasal dari nama Ibrani Eleazar berarti " Allah yang membantu". Nama ini mengartikan kedudukan kontras dengan orang kaya yang memiliki banyak harta. Nama ini juga menjadi panggilan dari orang kaya kepada Lazarus. Penjelasan yang lebih baik tampaknya menunjukkan bahwa orang kaya tidak hanya mengakui Lazarus tapi juga tahu namanya. Lazarus dua kali digambarkan sebagai orang 'miskin' (20, 21). Tampaknya 'istilah' miskin dapat memiliki banyak makna di dunia Lukas yang merupakan-kehormatan atau berbasis masyarakat petani-malu dan mungkin memiliki interpretasi yang lebih luas dari kondisi ekonomi murni. Dalam perumpamaan ini, 'miskin' dapat dipahami juga sebagai seseorang yang tidak berdaya dan membutuhkan bantuan dari orang lain atau dari Tuhan. Ini berbeda dengan orang kaya yang memiliki kelebihan dan tidak memerlukan bantuan dari orang lain.
Anjing. Anjing-anjing di sini bukan hewan peliharaan yang dijinakkan melainkan pemulung dan anjing liar seperti yang dilihat oleh orang Yahudi Palestina. Anjing itu serupa dengan tikus atau makhluk lain yang tidak sehat. Oleh karena itu anjing berkontribusi terhadap suasana cerita dalam mengintensifkan Lazarus simpati pembaca. Ada juga yang melihat anjing sebagai  teman Lazarus.
Abraham. Abraham ditampilkan sebagai tokoh penting dengan kedalaman pribadinya. Dia ditampilkan sebagai tokoh dialogis yang membawa wibawa ilahi. Allah bekerja dalam dirinya. Hal tersebut terungkap dari tanggapannya terhadap orang kaya yang memberikan sapaan dan pertanyaan terhadap dirinya. Ia membawa otoritas Allah dalam menyampaikan maksud Allah kepada manusia.

3.1.4. Penjelasan Teks
a. Orang Kaya (16: 19)
Dalam perumpamaan ini Yesus menggambarkan cara hidup dua orang Yahudi di Palestina; yang satu kaya, yang lain amat miskin. Ada yang berpendapat bahwa dari ayat 19-26 tidak dapat disimpulkan bahwa orang kaya berkelakuan buruk, sehingga ia dihukum hanya karena dia orang kaya, sedangkan orang miskin berkelakuan baik di alam baka hanya karena ia miskin. Jelas disebutkan tentang orang kaya dan kekayaannya. Hal tersebut lebih lanjut ditandakan oleh pakaiannya dari jubah ungu dan kain halus serta kemewahan.[7]   
Dalam teks ini, penginjil Lukas (Yesus) dalam pengajaranNya tidak menyebut nama orang kaya itu. Penginjil hanya menyebut identitas fisik yang ada pada diri orang yang kaya. Orang kaya itu juga diberi sebuah nama dalam beberapa naskah dan terjemahan “Ninevech”, ditulis oleh Neve’s.[8] Yang jelas, orang kaya itu benar-benar menikmati kekayaannya. Bahkan ia seolah-olah tenggelam di dalamnya. Namun, tidak dikatakan bahwa orang kaya itu kikir. Justru boleh diduga bahwa orang kaya itu tidak kikir, karena ia tidak berkeberatan Lazarus berbaring dekat pintu rumahnya.[9] Mungkin saja, selama hidupnya ia tidak pernah menggunakan kekayaannya secara baik dan benar.

b. Berpakaian Jubah Ungu Dan Kain Halus Serta Bersukaria Dalam Kemewahan (16: 19)
Jubah ungu (ay 19) bukan hanya tanda kekayaan tetapi terutama pakaian gengsi, sebab itu adalah busana raja (1 Mak 8:14). Orang kaya yang bodoh dari perumpamaan lain (12: 13-21) juga ingin berpesta-pesta sesudah menimbun kekayaan. Situasi orang kaya dijelaskan dengan menyatakan busana yang dikenakkan dan situasi kemewahan yang mewarnai kehidupan si kaya tersebut. Potret penceritaannya adalah kekayaan dan kelimpahannya. Jubah ungu dan kain halus sangat mahal dan mewah. Jubah ungu bukan saja tanda kekayaan, tetapi terutama pakaian gengsi,[10] sebab itu busana raja (1 Mak 8:14). Ia "hidup dalam kemewahan". Dua istilah yang berkaitan dengan kemewahan dan kekayaan adalah kata kerja Yunani euphraino, "dengan senang hati, menikmati diri sendiri, bersukacita, merayakan," dan lampros, "megah, mewah.[11]                           
Meskipun orang ini kaya, tetapi tidak diketahui namanya. Yang diketahui adalah bahwa dia mempunyai lima orang saudara yang keadaannya seperti dirinya juga yaitu menunjukkan kebiasaan acuh tak acuh terhadap Firman Allah yang dinyatakan. Yesus menunjukan figur orang kaya tersebut kepada orang-orang Farisi agar mereka melihat diri mereka sendiri, untuk menyadarkan kondisi mereka yang 'terhilang'.  Ada berbagai versi cerita dimana orang kaya ini diberi nama, agar sesuai dengan Lazarus yang mempunyai nama. Tradisi yang terkenal memberinya nama "Dives" (berarti "kaya", terjemahan dari plousios bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin dalam terjemahan Vulgata).

c. Lazarus Berbaring Dekat Pintu Rumah (16: 20)
            Lazarus dalam bahasa Yahudi, “Eliezer”.[12] Hanya dalam perumpamaan ini saja disebut nama pelaku. Yang aneh bahwa nama itu diterapkan pada pelaku yang sama sekali tidak bersuara dalam perumpamaan ini. Nama Lazarus adalah bentuk Yunani sebuah nama Ibrani atau Aramea yang cukup populer semacam kehidupan Yesus.
Orang kedua yang diperkenalkan di dalam kisah ini hidup di ujung spektrum ekonomi yang lain. Dia hidup dalam kemiskinan yang hina papa. Lagipula dia tidak dapat berjalan. Teman-temannya harus membawanya dan menopangnya ke dekat pintu gerbang rumah orang kaya yang besar itu. Karena tidak ada pengobatan medis dan kesehatan pribadi, dia menderita sakit kulit dan dipenuhi dengan borok. Tubuhnya merana, kelaparan adalah teman akrabnya, dan pandangan matanya yang penuh harap tertuju kepada remah-remah makanan yang telah disapu dari lantai ruang makan dan diberikan kepada anjing-anjing dan para pengemis di luar. Lazarus dalam perumpamaan ini tidak boleh dikaitkan dengan Lazarus, sahabat Yesus (Yoh 11). Lazarus kiranya cacat atau malah lumpuh (Mat 9: 2).

d. Ingin Menghilangkan Lapar Dan Anjing-Anjing Datang (16: 21)
 Dalam konteks Perjanjian Lama, anjing-anjing diperkenalkan sebagai binatang najis dan berbahaya (Mzr 22: 17, 21; Ams 26: 11). Mereka berani mendekati Lazarus, tetapi Lazarus tidak berdaya untuk mengusirnya. Anjing-anjing kesanyangan para majikan biasanya akan makan remah-remah roti yang dibersihkan oleh para tamu dari piring mereka atau dari tangan mereka. Ada istilah remah-remah. Para tamu di meja orang kaya itu menggunakan remah-remah roti untuk mengeringkan lemak di jari-jari mereka.
Remah-remah ini tidak dapat dimasukkan ke dalam makanan dari daging atau makanan berkuah dan tidak untuk dimakan oleh para tamu. Sudah menjadi kebiasaan untuk membuang remah-remah tersebut ke bawah meja. Itulah yang menjadi makanan anjing, dan itu juga yang berusaha didapat oleh Lazarus untuk menghidupi dirinya.[13] Anjing-anjing yang menjilati boroknya bukan hewan peliharaan. Pada abad pertama di Timur Tengah anjing dianggap najis, anjing suka mengais sampah, dan suka mencium luka orang miskin. Ini bukan gambar kenyamanan tetapi penderitaan hina.[14]  Lazarus dan anjing mengharapkan hal yang serupa, yaitu mendapatkan remah-remah roti itu dari meja si orang kaya tersebut. Inilah dosa si kaya yang buta dan mengabaikan penderitaan orang miskin itu.[15]
e. Akhir dari Hidup Lazarus dan Orang Kaya (16: 22)
Kematian datang dan mengakhiri penderitaan Lazarus. Tubuhnya yang tinggal kulit dan tulang dengan cepat disingkirkan. Karena tidak ada orang yang menunjukkan atau menerima simpati, penguburannya pun tidak penting untuk disebutkan. Tetapi Lazarus tidak sendirian di dalam kematian. Malaikat-malaikat Allah datang mengambilnya dan membawanya ke tempat terhormat di surga. Dia didudukkan di sebelah Abraham di mana dia dapat menikmati pesta yang diadakan oleh Mesias. Malaikat membawa Lazarus kepada Abraham. Ia dibawa ke pangkuan Abraham. Itu berarti bahwa ia diangkat ke tempat kehormatan dalam perjamuan surgawi.[16] Pangkuan berasal dari bahasa Yunani holpos, "dada." Istilah holpos dapat diartikan sebagai ungkapan timur untuk bersandar di sebuah pesta atau perjamuan makan (Yoh 13:23). Istilah ini juga menjelaskan persekutuan yang akrab (Yoh 1:18).[17]
Ini sebenarnya untuk menempatkan Lazarus di tempat kehormatan di sebelah kanan Abraham pada perjamuan di akhiratLazarus ia tidak dikuburkan seperti biasa. Ia dibawa ke pangkuan Abraham hanya mau menegaskan perubahan situasi sesudah meninggalnya. Ungkapan “ke pangkuan Abraham” dijelaskan oleh Yoh 13: 23. Gambaran “akan menuju Abraham atau sedang bersama Abraham”, merupakan sebuah modifikasi dari ungkapan Perjanjian Lama “berkumpul dengan bapa-bapa”, yakni kepala-kepala keluarga.[18] Dengan sendirinya menegaskan bahwa Allah meninggikan orang-orang bersahaja dan menurunkan para penguasa dari taktanya (1: 52). Sedangkan orang kaya dikubur, artinya jenasanya diletakan di dalam makam miliknya. Hanya orang-orang kaya yang memiliki makam.

f. Penghakiman dan Penderitaan Di Alam Maut (16: 23)
Alam maut yang diperkenalkan Yesus dalam perumpamaan ini, sangat cocok dengan apa yang biasanya diajarkan oleh para nabi Yahudi mada masa itu. Gambaran-gambaran lazim dimanfaatkan oleh Yesus untuk mengemukakan pikiran-Nya sendiri. Seperti Lazarus, Orang kaya juga mengalami pembalikkan situasi. Ia yang pada waktu hidup senantiasa bersukaria dalam kemewahan kini dikuburkan dan ada dalam alam maut. Kata Yunani yang digunakan di sini adalah Hades, tempat orang mati, dan dalam pemikiran Yahudi, tempat antara orang mati sebelum penghakiman terakhir. Ini disebut sebagai tempat terakhir orang fasik. Orang Ibrani menyebutnya Syeol. Syeol menampung semua orang mati tanpa kecuali dan secara definitif. Hades diperuntukan bagi para pendosa dan digambarkan sebagai tempat siksaan. Sengsara yang dialami si kaya bukan karena ia kaya, melainkan karena ia tidak menggunakan kekayaannya secara bijaksana. Biarpun terpisah jauh, si kaya dapat melihat Abraham dan Lazarus.
Untuk menggambarkan orang-orang yang berada di surga dan neraka, Yesus menggunakan gambaran tubuh manusia dan fungsi-fungsinya, meskipun tubuh Lazarus dan orang kaya itu telah dikuburkan di bumi. Orang kaya tersebut kini ada dalam siksaan. Siksaan dalam bahasa Yunani disebut basanos "sakit parah yang disebabkan oleh penyiksaan hukuman".  Dia kering dengan rasa haus, lidahnya panas dan kering, dan dia sangat menderita. Haus dan rasa sakit merupakan hukuman bagi mereka yang mati terpisah dari Allah. Orang kaya itu meminta Abraham untuk memerintahkan Lazarus agar meringankan penderitaannya (16:24), dan kemudian untuk mengirim pesan kepada saudara-saudaranya (16:27).
            Pangkuan Abraham, harus dipahami secara Yahudi, yaitu sebagai tempat yang dihuni oleh orang-orang mati dalam penantian akan kebangkitan badan. Tempat itu penuh bahagia. Lazarus duduk di pangkuan Abraham, artinya ia menempati tempat terhormat pada perjamuann penuh bahagia di alam maut yang dipimpin Abraham (bdk. Yoh 12:23, 25). Di alam maut, Lazarus sangat dihormati, sedangkan di bumi sama sekali tidak dilihat oleh si kaya. Sebaliknya nasib si kaya menderita di alam maut. Ia tinggal di alam api neraka yang disebut dalam Injil (bdk. Mat 5:22, 29-30; 10:28, 18:19, dll).

g. Permohonan Orang Kaya (16: 24)
Orang kaya memanggil Abraham sebagai bapak, sebab sebagai orang Yahudi ia memang anaknya (3: 8). Semasa hidupnya, orang kaya tidak menunjukkan belaskasihan kepada Lazarus, tetapi kini ia mencari belaskasihan Abraham (Allah). Ternyata orang kaya itu mengenal nama Lazarus. Orang kaya masi berpikir mengenai Lazarus sebagai hambanya. Pertama-tama ia meminta supaya Lazarus memberi setetes air untuk mendinginkan lidahnya.[19] Lidah berperanan penting dalam pesta-pesta yang diadakan orang kaya. Kini lidah itu merindukan air sejuk. Kehausan merupakan salah satu siksaan berat menurut keyakinan masyarakat zaman itu. Selain meminta agar diberikan setetes air, orang kaya itu kemudian minta supaya pergi mengingatkan para saudaranya.

h. Terbentang Jurang Yang Tak Terseberangi (16: 26)
Mengacu kepada dua keadaan yang terpisah (tak terjembatani), yaitu hidup dalam berkat dan hidup dalam siksaan. Abraham menjelaskan situasi yang ada dan menyatakan bahwa ada jurang yang tak terseberangi (chasma Yunani) di mana orang di tempat yang satu tidak dapat berpindah ke tempat yang lain. Dengan kata lain tidak ada harapan untuk berpindah dari siksaan, dan bahwa Lazarus tidak bisa membantu dirinya. Penegasan di sini bahwa nasib orang kaya dan orang miskin itu sudah definitif dan tidak akan diubah lagi. Jurang atau celah raksasa mengacu kepada dua keadaan yang tak terjembatani, yaitu hidup dalam berkat dan hidup dalam siksaan.

i. Supaya Ia Memperingati Mereka (16: 28)
Bahwa orang kaya menginginkan Lazarus pergi kepada sanak saudaranya adalah tanda pertama bahwa ia memperhatikan orang lain, tetapi terlambat. Itu tidak ada gunanya.[20] Dalam arti menginsafkan mereka bahwa manusia harus bertobat selama hidupnya, bukan hanya memberitahukan bahwa ada hidup sesudah kematian. Yesus menyimpulkan perumpamaan dengan cara yang lain. Orang kaya ingin Lazarus untuk memperingatkan saudara-saudaranya dari bahaya neraka. Tetapi Abraham berkata bahwa jika mereka tidak memperhatikan kebenaran yang ada, khususnya kesaksian Musa dan para nabi (yaitu, wahyu Perjanjian Lama), maka mereka tetap tidak akan percaya bahkan jika seseorang bangkit dari kematian. Ungkapan “Musa dan para nabi” searti dengan Kitab Suci Perjanjian Lama, yaitu amanat Allah yang sudah diwahyukan kepada Israel. Amanat itu berperan sebagai petunjuk jalan menuju kehidupan kekal.[21]                 
Dalam konteks ini, orang kaya mengusulkan agar Lazarus memperingatkan saudara-saudaranya. Permohonan agar Lazarus menampakkan dirinya kepada keluarga orang kaya pada dasarnya tidak berbeda dengan permohonan yang dilontarkan orang-orang Yahudi kepada Yesus agar Ia mau memberi suatu tanda ajaib (11:16, 19). Namun tanda ajaib apa pun tak mungkin menghasilkan sesuatu dalam diri orang yang hatinya tertutup terhadap Taurat Allah.[22] Di sini juga pembaca Lukas akan segera berpikir tentang Yesus, dan bagaimana kebangkitan-Nya bahkan tidak cukup untuk mempengaruhi orang-orang Farisi dari oposisi keras mereka terhadap kebenaran yang jelas-jelas di depan mereka. Jawaban Abraham sangat tegas. Ini serupa dengan jawaban Yesus kepada mereka yang menuntut suatu tanda dari pada-Nya.

j. Terdapat Pada Mereka Kesaksian Musa dan Kitab Para Nabi (16: 29)
 Ungkapan ini searti dengan Kitab Suci Perjanjian Lama yang sudah diwahyukan kepada Israel. Hukum Allah atau Amanat ini harus ditaati. Mereka telah memiliki ajaran Musa dan para nabi. Sabda Allah yang telah dimaklumkan berabad-abad kepada Israel, sudah cukup. Pernyataan ini mengingatkan kembali ucapan Yesus mengenai hukum dan para nabi (ayat 16-17). Yesus masih berbicara kepada para murid dan mengingatkan mereka bahwa pelaksanaan lahiriah hukum dan ketelitian dangkal atas pelaksanaan hukum tidak berarti mendengarkan Sabda Allah.[23] Untuk menjadi seorang yang beriman secara sungguh-sungguh bukan mengetahui hukum Taurat dengan baik, tetapi bagaimana Hukum Taurat itu dihayati dan diamalkan dalam realitas hidup sehari-hari.

k. Jika Ada Seorang Yang Datang Dari Antara Orang Mati (16: 30)
Hal ini sama dengan permohonan yang dilontarkan orang-orang Yahudi kepada Yesus agar ia mau memberikan suatu tanda ajaib (11: 16, 29). Secara khusus dalam ayat ini menyoroti perlunya tobat individual setiap hari (3:8, 10-14; 5:32). Namun seruan untuk bertobat sering dikemukakannya pula sebagai ingatan menjelang penghakiman yang datang (3:3; 10:13). Nada eskatologis ini terasa dalam ayat ini. Mereka tidak juga akan mau diyakinkan (16: 31); jawaban Abraham sangat tegas, sama seperti jawaban Yesus kepada mereka yang mau menuntut tanda daripadanya. Ditegaskan bahwa, sudah ada pada mereka Kitab Musa dan Hukum Taurat tetapi mereka tidak mengindahkannya karena harta benda dan kekayaan telah membuat mereka buta akan Firman Allah.

3.1.4. Pokok Ajaran Dalam Injil Lukas 16:19-31
            Penekanan yang menjadi tokoh utama dalam perumpamaan Yesus ini adalah pada orang yang kaya. Lazarus itu bungkam sepanjang cerita, bahkan sampai pangkuan Abraham pun ia tidak membuka mulutnya. Yang disoroti Yesus secara khusus ialah si kaya bersama-sama dengan saudara-saudaranya. Melalui perumpamaan ini, mereka diperingatkan dengan keras, “kalian tidak dapat mengabdi Allah dan mamon sekaligus”. (Luk 16: 13). “Berbahagialah kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan” (Luk 6: 21). Ini bukan kecaman terhadap orang-orang kaya, tetapi kepada semua orang yang memakai kekayaannya secara egois, yang tidak mampu melihat sesamanya yang menderita. Orang-orang demikian membuat dirinya tumpul dalam imannya, sehingga tidak mampu menilai hidup di bumi ini dengan tepat. Akibatnya yang paling fatal ialah pemisahan dengan Allah dan sesama.[24]
Ada beberapa hal yang sebenarnya hendak diungkap dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin, yaitu:
1.      Bahwa kehidupan manusia kinilah yang menentukan tujuan akhir mereka.
2.      Oleh pilihannya manusia sendiri menempatkan suatu tapal batas manusia dan Allah.
3.      Perumpamaan ini menggambarkan suatu pertentangan di antara orang kaya yang tidak beriman akan Allah dan orang miskin yang beriman dan percaya.
4.      Melaksanakan Firman Tuhan (beriman) lebih penting dari mukjizat atau tanda fisik. (Dibuktikan dengan mukjizat Yesus membangkitkan Lazarus yang sudah empat hari meninggal, mereka tetap menolak Yesus meskipun sudah melihat mukjizat itu. Yoh 12:9-11)
5.      Tuhan membangkitkan seseorang untuk menyatakan kuasa Allah (Yohanes 11:4) dan agar orang percaya bahwa Yesus diutus oleh Allah (Yoh 11: 42). Dia tidak akan membangkitkan seseorang yang telah mati untuk tujuan memperingatkan orang-orang lain yang masih hidup.
6.      Allah bersikap adil, Ia memberikan sesuai dengan realitas dan pengalaman hidup manusia.


3.2. Masalah Sosial Ekonomi di SMAK St. Klaus Kuwu Dalam Terang Injil Luk 16: 19-31
            Permasalahan antara orang kaya dan orang miskin sangat mempengaruhi sendi-sendi perkembangan bangsa kita, khususnya di NTT. Minimnya keuangan menjadi kendala bagi siapa saja untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkwalitas. Hal ini yang menjadi kesenjangan antara orang-orang yang berada dan yang tak memiliki apapun untuk menopang hidup mereka. Realitas ini yang dihadapi oleh siswa/I di SMAK St. Klaus Kuwu ini. Minimnya sumber ekonomi orang tua, turut mempengaruhi proses pendidikan siswa/I di lembaga pendidikan ini. Untuk meningkatkan pengetahuan siswa, selain fasilitas yang disediakan oleh pemerintah atau sekolah, orang tua wajib menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh anak mereka. Misalnya harus membeli buku paket yang dianjurkan oleh para guru. Namun dalam kenyataannya hanya orang tua yang memiliki tingkat kemampuan ekonomi yang baik, yang sanggup menjawabi tuntutan ini. Hal ini juga turut mempengaruhi tingkat pengetahuan siswa.
            Fenomena antara “si kaya” dan “si miskin”, orang tua mampu dan tidak mampu, juga dengan jelas dapat dilihat dari lunas tidaknya uang sekolah (SPP, uang pembangunan dan uang komite sekolah) yang harus dibayar oleh orang tua siswa. Biasanya fenomena ini terlihat jelas saat ujian tiba. Siswa yang belum melunasi uang sekolah akan “diusir” atau tidak diperkenankan mengikuti ujian. Pada saat inilah, banyak siswa yang orang tuanya tidak sanggup melunasi tunggakan tersebut, terpaksa harus putus sekolah atau drop out. Ironisnya, ada orang tua siswa yang membayar lunas semua kewajiban atministrasi keuangan selama tiga tahun sejak awal anak mereka masuk sekolah, hingga tamat nanti, sedangkan ada beberapa yang hingga tamat tidak dapat mengambil Ijasahnya lantaran administrasi keuangan sekolah belum dibayar. Dalam tataran ini kesenjangan dalam bidang pendidikan masih sangat nampak di negara ini. “si kaya” dengan mudah mendapat pendidikan yang bermutu dan bagus, sedangkan “si miskin” terpaksa mengenyam pendidikan di sekolah yang kwalitasnya standar dan tidak memadai karena selain murah dan tak terkondisikan dengan baik.
            Sebagaimana disandingkan dengan kisah dalam perikop Lukas 16: 19-31, orang kaya itu sebenarnya tidak kikir. Buktinya bahwa orang kaya itu tidak mengusir Lazarus, tetapi tetap membiarkannya duduk dekat pintu rumahnya.[25] Demikian pun orang tua yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik atau boleh dikatakan kaya, kemungkinan tidak kikir. Namun kemungkinan yang sebenarnya tidak dibuat oleh mereka adalah tidak memiliki rasa empati dan solider untuk membantu sesama mereka yang kekurangan finansial untuk membiayai pendidikan anak mereka. Apabila ada rasa solider dalam diri mereka maka mereka pasti dapat membantu para siswa yang kurang mampu, sehingga dapat melanjutkan pendidikan mereka. Sebenarnya ada peluang bagi yang mampu untuk membantu yang kurang mampu, namun perbuatan mulia ini sering kurang disadari.
Di tengah zaman yang serna modern, sekelar dan semakin individualistik ini, rasa solidaritas dan empati semakin kehilangan gemanya. Orang lebih memikirkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya daripada memperhatikan sesama yang berkekurangan. Kepuasan dan kesenangan diri dinomorsatukan, sedangkan rasa soloder terhadap sesama yang serba berkekurangan dan membutuhkan uluran kasih selalu “disubordinasikan” dan senantiasa tidak diperhatikan sama sekali oleh orang yang serba ada (kaya). Akibatnya yang miskin akan tetap miskin, yang tidak mampu membiayai pendidikannya akan tetap miskin dalam pengetahuannya dan yang kaya akan menempuh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan berkwalitas dimana saja dan kemana saja bebas. Realitas ini yang masih sangat kental dihadapi oleh orangtua maupun siswa/I sendiri di lembaga pendidikan SMAK St. Klaus ini. Dimana siswa/I yang miskin hampir setiap semesternya didrop-outkan sedangkan yang “berada” dengan gembira menyelesaikan pendidikan mereka di sekolah ini dalam setiap tahunnya. Masih ada jurang yang lebar antara “si kaya” dan “si miskin” dalam bindang pendidikn maupun realitas sosial lainnya.

IV.    Implikasi Serta Tantangan Bagi Karya Pastoral Gereja
            Jurang pemisah antara orang kaya dan orang yang miskin makin lebar dan sering kita jumpai dalam situasi di mana kita hidup dan tinggal. Perbedaan ini pula turut mempengaruhi pola pikir dan pemahaman dari manusia seiring dengan perkembangan dan kemajuan yang semakin kompleks dan modern dalam dunia dewasa ini. Adanya peralihan mentalitas manusia dari semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang menjadi ciri khas masyarakat tradisional, menuju masyarakat modern yang bertendensi individualistik turut mempengaruhi relasi sosial antara manusia. Ketika sebagian besar manusia zaman ini lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengesampingkan kepentingan orang lain dan sesamanya, sesungguhnya benih-benih kemiskinan sudah mulai bertumbuh dalam diri manusia. Relasi yang renggang antara manusia karena kurangnya rasa solider, merupakan salah satu faktor timbulnya kemiskinan dan penderitaan manusia. Realitas inipulalah yang membuat orang-orang miskin selalu terdepak dari kenyamanan mereka karena kepentingan orang-orang kaya, realitas martabat manusia tidak lagi diindahkan karena pengejaran akan kepuasan, kesenangan, konsumerisme telah menjadi tameng manusia dewasa ini.
Kemiskinan yang terus melanda umat manusia, menjadi suatu tantangan bagi Gereja untuk selalu berjuang mengatasi persoalan tersebut. Pembaharuan yang dihembuskan oleh Konsili Vatikan II telah membuka Gereja untuk pelayanan terhadap dunia dan manusia. Ini berarti masalah kemiskinan dan masalah tentang orang miskin membuat Gereja merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang miskin. Landasan pemihakan kepada orang-orang miskin adalah kesamaan martabat semua orang. Ini didasari pada suatu kesadaran bahwa setiap manusia diciptakan berdasarkan gambar Allah.[26] Selain itu, Paus Fransiskus juga menekankan bahwa, Gereja dewasa ini harus keluar dari kemapanannya. Gereja harus keluar dalam membangun sikap solider dan  terlibat bersama dengan realitas kemiskinan yang masih dihadapi oleh umat Allah yang termarginalisasi dan terlupakan oleh masyarakat elite dan kaya.
Keberpihakan Gereja terhadap orang-orang miskin bersumber pada sikap Yesus sendiri serta membiarkan diri diilhami dan diterangi oleh kuasa ilahi dari Roh Kudus. Karena cinta-Nya yang begitu besar kepada dunia dan manusia, maka Yesus yang adalah Allah menjadi manusia, bahkan menjadi sama dengan manusia yang paling miskin dan hina dalam peristiwa Golgota. Kehadiran Yesus historis di tengah manusia dengan pelbagai kompleksitas persoalannya di dunia, menjadi landasan keberpihakan Gereja terhadap orang miskin. Kehadiran Yesus membawa harapan baru bagi mereka. Dengan demikian secara implisit ditegaskan bahwa Kristus hadir di mana cinta kasih ada dan hidup, di mana orang miskin diberi makan, orang asing diterima, orang yang tak berpendidikan diperhatikan dan dididik. Cinta kasilah yang memotivasi Gereja untuk terus menerus berpihak pada orang miskin. Melalui cinta kasih kita menjadi solider dan merasa terlibat dengan realitas kemiskinan yang semakin nampak dalam realitas kehidupan kita dewasa ini.
Sebagaimana teladan hidup yang dilakukan Yesus beserta para murid-Nya yang selalu memposisikan orang miskin sebagai subyek utama dalam pewartaan itu, demikian pun hendaknya Gereja berusaha untuk menjadikan orang-orang miskin sebagai pihak yang harus diutamakan dalam seluruh karya pewartaan kabar gembira Kerajaan Allah. Dasar pijak keberpihakan Gereja di dini adalah Yesus yang telah bersikap solider secara mutlak dengan manusia dalam dan dengan kemiskinan-Nya. Sebagaimana Yesus bukan hanya mengajarkan kepada para Murid-Nya secara teoritis saja, tetapi Yesus juga menjalankan apa yang diajarkanNya yaitu terlibat dalam realitas pelayanan dan kebersamaan dengan orang-orang miskin dan kecil. Suatu harapan Gereja dewasa adalah bahwa keberpihakan Yesus dengan orang-orang miskin pada zaman-Nya, kini harus menjadi model keberpihakan Gereja bagi orang-orang miskin di zaman yang semakin kompleks dan modern.
Sebagaimana panggilan Gereja untuk terlibat dan keberpihakan dengan kaum kecil, maka gereja harus keluar dari kemapanan dirinya untuk terlibat dan solider dengan kaum miskin. Karena kurangnya rasa solider di tengah umat, menjadi salah tantangan pastoral yang harus segera diatasi oleh gereja. Gereja dalam hal ini harus berusaha untuk “menaklukan” yang kaya untuk dapat membantu mereka yang miskin. Bukan berarti Gereja harus menjadi oposisi terhadap kaum kaya dan elite, tetapi hendaknya berusaha mendekati mereka yang kaya untuk dapat bersolider dan mau untuk menolong yang miskin dan kecil. Hal ini memang cukup sulit, namun itulah tantangan yang harus dihadapi oleh Gereja di tengah perkembangan dunia modern ini. Di atas semuanya itu, Gereja sendiri harus menjadi teladan utama dalam penerapan hidup setiap hari.  Gereja harus senantiasa hidup dalam terang Kristus dan selalu mengarahkan hatinya untuk dibimbing dan diarahkan oleh Roh Kudus dalam PersekutuanNya dengan Allah Bapa di surga.
V.      Penutup
5.1.  Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang urgent bagi suatu generasi bangsa. Tetapi, sistem pendidikan yang ada di negara kita saat ini secara implisit mencerminkan adanya ketidakadilan dengan memberikan kesempatan belajar dan perluasan pengetahuan dan pengalaman belajar hanya kepada kelompok yang kaya. Sistem pendidikan ini menjadikan rakyat miskin tidak memperoleh kesempatan dalam mengenyam pendidikan. Karena itu tidak heran kalau mereka dapat diperdaya dalam pelbagai hal. Biaya pendidikan yang ditetapkan terlampau tinggi dan sangat menyulitkan mereka yang berada pada garis kemiskinan serta dampak lebih lanjutnya adalah pada putus sekolah. Hal ini menjadi salah satu masalah yang dialami di lembaga pendidikan SMAK St. Klaus-Kuwu.
Berhadapan dengan realitas kemiskinan yang terus melanda umat manusia, menjadi suatu tantangan bagi Gereja Katolik untuk selalu berjuang mengatasi persoalan tersebut. Pembaharuan yang dihembuskan oleh Konsili Vatikan II telah membuka Gereja untuk pelayanan terhadap dunia dan manusia. Penegasan ini menunjuk pada suatu landasan peresekutuan dari hidup beriman untuk mengembangkan sikap solider. Bapa-Bapa Konsili Vatikan II: “perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara laras-serasi bakat-pembawaan fisik, moral, dan intelektual mereka. Dengan demikian, mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus-menerus untuk dengan seksama mengembangkan hidup mereka sendiri” (GE, no. 1). Selain itu dalam KHK (1136) juga menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak dan keterlibatan orangtua untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak bangsa.
Dalam perumpamaan ini Yesus menggambarkan cara hidup dua orang Yahudi di Palestina; yang satu kaya, yang lain amat miskin. Pentingnya sikap solidaritas antara yang kaya dan yang miskin menjadi penekanan lebih lanjut dalam implikasi pastoralnya. Tujuan dari kisah ini bukan pertama-tama terletak pada kecaman terhadap orang-orang kaya, tetapi kepada semua orang yang memakai kekayaannya secara egois, yang tidak mampu melihat sesamanya yang menderita dan yang menutup hati terhadap realitas kemiskinan yang ada di sekitarnya.  Terkadang karena kelebihan harta benda dapat membuat orang-orang menjadi tamak dan buta akan realitas kemiskinan sesamanya yang lain, yang pada akhirnya membuat dirinya tumpul dalam imannya, sehingga tidak mampu memaknai realitas hidupnya di bumi ini dengan tepat. Akibatnya yang paling fatal ialah pemisahan dengan Allah dan sesama karena kejatuhan pada ketamakan harta benda dan kekayaan.
Sebagaimana teladan hidup Yesus beserta para murid-Nya yang selalu memposisikan orang miskin sebagai subyek utama dalam pewartaan itu, demikian pun hendaknya Gereja pada era dewasa ini berusaha untuk menjadikan orang-orang miskin, kaum tertinggal, kaum marginal dan orang-orang kecil sebagai pihak yang harus diprioritaskan dalam seluruh karya pewartaan kabar gembira Kerajaan Allah. Gereja sendiri harus menjadi teladan utama dalam penerapan hidup setiap hari serta panggilan untuk menjadi garam dan terang bagi duniaya. Terutama membangun sikap solidaritas dan keberpihakan terhadap kaum miskin dan bersama-sama dengan mereka membangun kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.



5.2.  Himbauan-himbaun Pastoral
Untuk mengakhiri tulisan ini, terdapat beberapa himbauan atau usul saran, sebagai berikut:
Pertama; Pembangunan Kerajaan Allah di dunia merupakan suatu tugas dan tanggungjawab semua anggota Gereja. Kristus sebagai kepala tubuh telah meletakan dasar yang kokoh bagi pembangunan tersebut. Dasar yang telah dibangun tersebut menuntut para anggota Gereja untuk melanjutkan pembangunan tersebut. Untuk menyelesaikan tugas yang telah dimulai Yesus Kristus, dibutuhkan kerja sama lintas sektor dengan semua pihak yang menghendaki berhasilnya proyek Kerajaan Allah. Kerja sama menjadi landasan awal terealisirnya Kerajaan Allah di Dunia, demi mewujudkan apa yang telah dimulai oleh Kepala yaitu Kristus sendiri. Perealisasian kerjasama itu harus dibangun dalam sebuah keberpihakkan kepada yang lemah dan miskin serta didepak dari realitas sosial masyarakat. Pada tataran ini Allah hadir dalam mereka yang kecil dan miskin.
Kedua; Terdapat pelbagai ajaran sosial Gereja untuk memperhatikan nasib mereka yang miskin dan terlantar, tidak berarti bahwa Gereja mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Masalah sosial tidak dapat diselesaikan oleh Gereja; masalah sosial mesti diselesaikan dengan bantuan Gereja dan negara.[27] Gereja hendaknya menjadi perintis adanya kerja sama antar berbagai pihak untuk meretas suatu kwalitas hidup yang dapat menjamin kesejahteraan unversal. Ini berarti peran serta semua pihak dalam mencari solusi ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan seperti kemiskinan dan berbagai persoalan sosial lainnya sangat diperlukan.
Ketiga; Realitas sosial yang nampak ke permukaan adalah realitas kemiskinan dan termarginalisasinya kaum kecil dari kenyamanan mereka. Bahwa, hak untuk hidup sebagai warga yang bebas sedang dirampas oleh kaum elite dan pemilik model. Dalam konteks ini gereja dipanggil untuk menetapkan komitmen keberpihakannya. Bukan sebatas pada seruan di mimbar tetapi aksi praksis-nyata yang menjadi karya pastoral yang dinanti-nantikan oleh gereja (umat Allah). Solidaritas gereja harus nampak dalam realitas konkrit paksis. Gereja harus bersama-sama dengan kaum miskin dan memperjuangkan nasib mereka dalam menemukan hak-hak mereka.
Berhadapan dengan masalah ekonomi yang ada di SMAK St. Klaus, diharapkan agar ada kerjasama semua pihak untuk membantu siswa/i yang kurang mampu membiayai pendidikannya. Di sini diperlukan rasa solider dari mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membantu yang miskin. Selain itu pihak pemerintah dan sekolah hendaknya tidak terlalu menuntut besarnya biaya pendidikan agar dapat dijangkau oleh semua kelas sosial manapun, termasuk bagi mereka yang berkekurangan.











DAFTAR PUSTAKA


Archibald M. Hunter, Interpretating of Parable. Westminster Press, 1960.

Bergant, Dianne dan Robert J. Karris (Ed.), Tafsiran Alkitab Perjanjian baru. Yogyakarta:  
Kanisius, 2002.

Brown, E. Raymond dkk (editor), The Jerome Biblical Commentary. New York: Macmillan
Publishing, 1965.

Fuller, C. Reginald (editor), A New Catholik Commentary On Holy Scripture. New York:
Thomas Nelson, 1975.

Jacobs, Tom, Lukas Pelukis Hidup Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Joachim Jeremias, Perumpamaan Yesus. Edisi Kedua /revisi; Scribners, 1972.

Kiser, B. Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Leks, Stefan, Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

-------. Yesus Kristus Menurut Keempat Injil. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
      
Maier, Martin, Oscar Romero. Maumere: Ledalero, 2008.

T.W. Manson, The Sayings of Jesus. London: SCM Press, 1950.
      











       [1] Sumber data ini diambil dari Dokumen Sekretariat SMA Swasta Disamakan St. Klaus - Kuwu, pada tanggal 10 Januari 2013.
        [2] Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), p. 433.
        [3] Stefan Leks, Yesus Kristus Menurut Keempat Injil, (Yogyakarta: Kanisius, ), p. 197.
        [4] Tom Jacobs, Lukas Pelukis Hidup Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 105.
        [5] Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, Op. Cit, p. 434.
        [6] Ibid.
        [7] Ibid., pp. 436-442
         [8] Raymond E. Brown, dkk (Ed.), The Jerome Biblical Commentary, (New York: Macmillan Publishing, 1965), p. 149.
        [9] Stefan Leks, Yesus Kristus Menurut Keempat Injil, Op. Cit., p. 197.
        [10] Tom Jacobs, Lukas, Pelukis Hidup Yesus (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 103.
        [11] Joachim Jeremias, Perumpamaan Yesus (Edisi Kedua /revisi; Scribners, 1972), p. 183.
        [12] Raymond E. Brown, dkk (editor), Loc. Cit.
        [13] Archibald M. Hunter, Interpretating of Parable (Westminster Press, 1960), p. 84.
        [14] Ibid.
        [15] Raymond E. Brown. Loc. Cit.
        [16] Tom Jacobs, Lukas, Pelukis Hidup Yesus (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 103.
        [17] T.W. Manson, The Sayings of Jesus (London: SCM Press, 1950), p. 299.
        [18] Reginald C. Fuller (Ed.), A New Catholik Commentary On Holy Scripture, (New York: Thomas Nelson, 1975), p. 1013.
        [19] Dianne Bergant dan Robert J. Karris (Ed.), Tafsiran Alkitab Perjanjian baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), pp. 146-147.
       [20] Ibid.
       [21] Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas. p. 442
       [22] Ibid.
       [23] Ibid.
       [24] Stefan Leks, Yesus Kristus Menurut Keempat Injil, Op. Cit, pp. 199-200.
       [25] Ibid., p. 197.
       [26] Martin Maier, Oscar Romero, (Maumere: Ledalero, 2008), p. 126.

       [27] B. Kiser, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar