“KEBERPIHAKAN TERHADAP KAUM MISKIN:
REFLEKSI ATAS MASALAH
SOSIAL EKONOMI PADA SMAK ST. KLAUS-KUWU
DALAM TERANG INJIL LUKAS 16: 19-31”.
NPM/NIRM: 13.353 / 13.7.54.0278R
I.
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan salah
satu masalah sosial yang selalu dihadapi oleh siapa saja. Masalah kemiskinan itu sama usianya
dengan usia kehadiran manusia itu sendiri semenjak dunia dijadikan, dan
melibatkan seluruh dimensi aspek hidup manusia itu sendiri. Kemiskinan secara
harafiah dapat dilihat sebagai suatu standar tingkat pendapatan hidup yang
rendah (kecil), yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau
sekelompok orang dibandingkan dengan
standar hidup sebagian orang yang mapan secara material. Standar kehidupan yang
rendah ini memiliki pengaruh yang luas dan berdampak secara mengglobal. Karena realitas mondial dewasa ini, kemiskinan menjadi suatu problematika yang belum terselesaikan secara tuntas. Kemiskinan
selalu menggerogoti realitas hidup umat manusia.
Adalah kenyataan bahwa,
problematika kemiskinan bukan hanya melanda negara kita, tetapi kemiskinan
menjadi masalah global yang hampir dijumpai diseluruh pelosok dunia, secara
khusus kemiskinan menjadi masalah yang sangat kompleks di dalam negara-negara
Dunia Ketiga. Terdapat adanya beberapa kategori kemiskinan, antara lain
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, kemiskinan
situasional (natural), serta kemiskinan kultural. Kelima model kemiskinan ini
hampir menggerogoti seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Bahkan, di Indonesia
sendiri problematika kemiskinan bukan lagi suatu bidang yang baru untuk
diwacanakan, tetapi sejak dulu kemiskinan sudah menjadi masalah aktual untuk
diperbincangkan di negara ini.
Pelbagai realitas
sosial yang menandai kemiskinan nampak dalam situasi ketidakadilan, penindasan,
kelaparan, pengangguran dan kurangnya pendidikan. Realitas sosial ini menuntut
perjuangan seluruh pihak untuk berjuang bersama dalam mengentaskan serta
menanggulangi kemiskinan yang menjadi
persoalan yang signifikan dewasa ini. Perjuangan bersama ini dapat ditempuh
melalui pola kesetiakawanan sosial atau solidaritas dengan sesama yang miskin
dan terlantar. Bentuk solidaritas dan
keterlibatan terhadap kaum miskin, lemah dan tak berdaya masih jauh dari
cita-cita bangsa ini. Sehingga terjadi jurang yang membentang antara yang kaya
dengan yang miskin. Sampai kapan pun usaha untuk memberantas realitas
kemiskinan ini masih selalu menjadi idealisme semata dari para
elitis maupun politisi bangsa ini.
Dalam Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes (GS), dalam artikel No. 1, secara eksplisit menegaskan
bahwa: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini,
terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan murid-murid Kristus pula”. Penegasan ini menunjuk pada suatu landasan
persekutuan dari hidup beriman untuk mengembangkan sikap solider dan terlibat
dengan yang lain dalam segala bentuk kekurangan dan ketakberdayaan. Solidaritas
adalah bentuk persekutuan dalam kepentingan bela-rasa dan senasib-sepenanggungan
dengan mereka yang membutuhkan. Keberpihakan terhadap sesama yang miskin,
kekurangan, kaum pinggiran dan kaum kecil adalah suatu bentuk panggilan untuk
mengikuti Kristus yang miskin dan kecil. Ia yang hadir di
tengah-tengah realitas kemiskinan. Suatu panggilan untuk terlibat dan
bersolider dengan yang lain.
Solidaritas
berarti kita menjadikan pelbagai keprihatinan, kepentingan dan harapan mereka yang
miskin dan tak berdaya sebagai keprihatinan, kepentingan dan harapan kita.
Dalamnya kita menerima mereka sebagaimana adanya mereka. Sikap solidaritas
antara yang kaya dan yang miskin dapat kita pelajari dalam Injil Lukas 16:
19-31, yakni kisah tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin. Untuk mendalami
teks ini, penulis mencoba mengangkat persoalan tentang ketidakmampuan orangtua
siswa/i untuk membiayai pendidikan di SMAK St. Klaus Kuwu – Ruteng karena
masalah sosial-ekonomi. Fenomena ini ditemukan berdasarkan pengalaman selama
menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di lembaga ini, dan berdasarkan
inspirasi pada perikop Luk 16: 19-31, maka penulis ingin mengangkat pentingnya
sikap solidaritas di tengah-tengah realitas kehidupan praksis, dalam sebuah
tulisan yang berjudul: “Keberpihakan Terhadap Kaum Miskin: Refleksi Atas
Masalah Sosial Ekonomi Pada SMAK St. Klaus-Kuwu dalam Terang Injil Lukas 16:
19-31”.
II. SMAK St. Klaus Kuwu Ruteng Dan Masalah Yang
Dihadapi
2.1. Sekilas Tentang SMAK St. Klaus Kuwu
Nama Sekolah : SMA Swasta
Disamakan St. Klaus Kuwu Ruteng
Alamat Sekolah : Poco Likang, Kuwu – Ruteng Manggarai
Nama Yayasan : Yayasan Sukma Keuskupan Ruteng-Manggarai
NSS :
30
2 24 11 01 014
NPSN Sekolah :
50303419
Alamat :
Desa Poco Likang, Kecamatan Kuwu,
Kabupaten Ruteng-Manggarai
Jenjang Akreditasi : Terakreditasi “A”
Tahun didirikan : 1985
Tahun Beroperasi : 1989
2.1.2. Visi dan Misi Sekolah
A. Visi
Membentuk manusia yang bertagwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa serta memiliki kepribadian, kecerdasan, keterampilan, dengan
berdasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa
B. Misi
1) Menumbuhkan kesadaran akan manfaat pendidikan dan betapa pentingnya
mengenai budaya: kekeluargaan, persaudaraan, tolong menolong.
2) Mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh siswa dengan pola kegiatan
yang terkoordinasi
3) Mendorong keterlibatan siswa untuk dapat menyalurkan bakat serta minat melalui pelatihan-pelatihan di sekolah yang
terprogram
4) Menerapkan pola manajemen pendidikan yang transparan dengan jalan
melibatkan semua warga sekolah dan komite pendidikan sekolah
5) Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung demi kemajuan proses
pembelajaran termasuk bimbingan
6) Meningkatkan kondisi dan dinamika secara keseluruhan, termasuk
kesejahteraan guru/ pegawai / karyawan / karyawati sebagai pelopor pendidikan
paling depan.
2.2. Masalah-masalah yang Dihadapi
Selama
saya menjalani masa praktek (TOP) pada lembaga pendidikan SMAK St. Klaus Kuwu,
saya menemukan beberapa persoalan yang pada umumnya sering terjadi, antara
lain:
2.2.1. Masalah Sosial Ekonomi
Salah satu masalah yang menjadi
pusat perhatian dalam bidang pendidikan adalah masalah ekonomi, khususnya dalam
bidang finansial. Semakin tinggi kwalitas pendidikan maka semakin besar juga
dana yang
dibutuhkan untuk mendapatkan akses ke dalam dunia pendidikan yang lebih tinggi.
Selain itu, mutu pendidikan yang bagus juga disesuaikan dengan tingkat
pembiayaannya yang juga tidak murah. Demikianlah halnya, yang berlaku pada
sistem pendidikan tingkat SMA di Kabupaten Manggarai, semakin tinggi mutu
pendidikannya, maka semakin mahal juga biaya operasional yang harus ditanggung
oleh seorang siswa yang bersangkutan. SMAK St. Klaus Kuwu – Ruteng menjadi
satu-satunya sekolah dengan kwalitas tinggi untuk keuskupan Ruteng pada umunya.
Sistem yang diberlakukan adalah sistem Boarding School (Sekolah
berasrama). Siswa maupun siswi yang bersekolah di lembaga pendidikan ini wajib
untuk tinggal di asrama.
Dengan menerapkan sistem Boarding
School maka, sistem pembayaran juga disesuaikan dengan biaya operasional
untuk pengelolaan di sekolah maupun di asrama. Maka, dapat dikatakan bahwa,
hampir setiap murid yang mengenyam pendidikan di lembaga ini membutuhkan biaya
yang tidak sedikit, sehingga rata-rata siswa yang masuk di sekolah ini adalah
mereka yang tergolong ekonominya mampu. Atau dapat dikatakan, siswa/I yang
orangtuanya berpenghasilan sebagai pengusaha maupun sebagai PNS, sedangkan
untuk orangtua yang berstatus petani tidak semua anaknya dapat bersekolah di
lembaga pendidikan yang dapat dikatakan mahal ini. Pada tataran ini telah
terjadi kesenjangan dalam dunia pendidikan. Perbedaan mutu juga menjadi tolok
ukur sebuah sekolah. Pendidikan sebagai
sebuah kebutuhan telah cukup mendatangkan kesulitan bagi para orang
tua siswa dan siswi SMAK St. Klaus Kuwu. Biaya pendidikan yang menurut ukuran
masyarakat terlampau tinggi membawa efek pada masyarakat. Hanya yang memiliki
modal dan berpendapatan tinggi dapat bersekolah di sekolah ini, sedangkan yang
orangtuanya berpendapatan rendah (petani dan swasta) harus mencari sekolah yang
lebih murah, dengan kwalitas yang tidak menjanjikan juga.
2.2.2. Masalah Sosial-Agama
Sebagai sebuah lembaga swasta Katolik,
lembaga pendidikan SMAK St. Klaus mempunyai permasalahannya tersendiri
berhubungan dengan masalah sosial religius. Menurut data sekolah, persentase
dari siswa/I yang bersekolah di lembaga ini adalah 99% beragama Katolik,
sedangkan sisanya beragama Kristen-Protestan. Sedangkan untuk yang non-Kristen
belum pernah mengenyam pendidikan di lembaga ini. Fenomena ini didasari dengan
sistem yang diberlakukan di lembaga ini, di mana hampir semua regulasi dan tata
hidup di sekolah maupun di asrama adalah pembinaan dengan sistem Katolik. Sehingga menjadi kesulitan
tersendiri bagi siswa/I yang non Kristen untuk bersekolah di SMAK St. Klaus
ini, meskipun ada yang berkeinginan sekolah di lembaga ini, tetapi tidak mampu
menyesuaikan diri dengan sistem pembinaan yang berlaku. Karena semua siswa/I
maupun para pembina menerapkan sistem yang sama, yakni model pembinaan dan
pembelajaran yang khas Katolik. Sehingga muncul keberatan dan keengganan
orangtua yang non-kristen dan Katolik menyekolahkan anak mereka di sekolah ini,
meskipun mutu dari sekolah ini sangat menjanjikan masa depan.
2.2.3. Masalah Sosial-Budaya
Salah satu faktor lain yang dapat dikategorikan sebagai
“masalah” di lembaga pendidikan ini adalah faktor lingkungan. Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), turut membawa masalah di segala sektor
kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Budaya konsumerisme dan “budaya
istan” sangat mempengaruhi siswa/i. Adanya HP, internet dan aneka tawaran gaya
hidup modern saat ini sangat mempengaruhi karakter siswa/i. Banyak siswa yang
lebih mementingkan HP daripada membaca buku. Mereka lebih suka jalan-jalan
daripada duduk diam dan belajar. Selain
itu, dengan perkembangan IPTEK yang semakin modern, menyebabkan banyak siswa
maupun siswi yang tidak bertahan untuk menyelesaikan pendidikan mereka pada
lembaga SMAK St. Klaus ini. Ini dikarenakan, meskipun mutunya sangat
menjanjikan tetapi, sistem regulasi yang diterapkan sangat ketat, para siswa/I
dilarang membawa HP dan barang elektronik lainnya ke sekolah maupun ke asrama. Karena sekolah akan langsung
mengeluarkan jika kedapatan siswa/I yang melanggarnya.
Para
siswa/I yang mental hidupnya instan dan ingin mengejar kesenangan semata, selalu tidak bertahan di lembaga pendidikan SMAK
St. Klaus ini. Berbagai ulah dan kenakalan-kenakalan mereka lakukan dengan
alasan agar dikeluarkan dari sekolah ini, sehingga mereka dapat pindah ke
sekolah lainnya yang bebas dan tidak terikat pada aturan dalam soal penggunaan
barang-barang elektronik dan bebas pula dari sistem pendidikan berasrama yang
sangat ketat dan keras dalam pembinaannya. Kebanyakan pelajar zaman sekarang
ialah mereka tidak mengutamakan mutu dari sebuah pendidikan tetapi, sejauh mana
kebebasan dan kelonggaran tata disiplin yang berlaku pada sebuah lembaga
pendidikan. Merosotnya nilai moralitas berdampak pada prinsip kebebasan ini.
2.2.4. Masalah Utama
Dari
masalah-masalah yang saya paparkan di atas, masalah utama yang terjadi di SMAK St.
Klaus Kuwu – Ruteng adalah masalah sosial ekonomi. Masalah tersebut akan
menjadi fokus utama dalam pembahasan ini. Kurangnya penghasilan orang tua yang
tidak sebanding dengan besarnya biaya pendidikan yang berlaku pada lembaga
pendidikan ini menjadi salah satu faktor penyebab siswa/I berkesulitan untuk
mengenyam pendidikan pada lembaga ini. Sesuai dengan pengalaman saya selama
satu tahun menjalani masa TOP sebagai staf pengajar sekaligus pembina asrama di
lembaga pendidikan ini, masalah kesulitan biaya pendidikan sering saya temukan.
Secara khusus sebagai pembina asrama, saya seringkali
berhadapan dengan masalah ini. Sesuai dengan aturan sekolah, salah satu
tuntutan adalah harus melunasi segala atministrasi keuangan baik untuk asrama
maupun untuk sekolah sebelum mengikuti ujian. Pada saat itulah, siswa yang
tidak mampu melunasi keuangannya terpaksa harus mengakhiri proses
pendidikannya, serta pindah untuk melanjutkan pendidikannya pada sekolah
lainnya yang biaya operasionalnya agak sedikit murah, dengan mutu pendidikan
yang tidak cukup memuaskan siswa/I maupun orangtua mereka sendiri.
III. Option
For The Poor: Refleksi Atas Masalah Sosial Ekonomi di SMAK St. Klaus Kuwu Dalam
Terang Injil Lukas 16: 19-31
3.1. Ulasan Teks Lukas 16: 19-31
16:19 "Ada seorang kaya
yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria
dalam kemewahan. 16:20 Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh
dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu,16:21 dan ingin
menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan
anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. 16:22 Kemudian matilah orang miskin
itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. 16:23 Orang kaya
itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut
ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di
pangkuannya. 16:24 Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku.
Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan
lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. 16:25 Tetapi Abraham
berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu
hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan
engkau sangat menderita. 16:26 Selain dari pada itu di antara kami dan engkau
terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini
kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat
menyeberang. 16:27 Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa,
supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku,16:28 sebab masih ada lima orang
saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka
jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini. 16:29 Tetapi kata Abraham:
Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan
kesaksian itu. 16:30 Jawab orang itu: Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada
seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat.
16:31 Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan
para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang
bangkit dari antara orang mati."
3.1.1. Konteks
Untuk memahami teks ini,
perlu diperhatikan apa yang dikatakan dalam beberapa ayat yang mendahuluinya.
Setelah berbicara kepada murid-murid-Nya, tentang sikap yang tepat terhadap
kekayaan (16: 1-13), Yesus mencemoohkan orang-orang Farisi yang ternyata sangat
mencintai uang. Yesus memperingatkan mereka bahwa Allah tidak dapat ditipu dan
tidak ada gunanya mereka membenarkan diri di hadapan orang (16: 15). Lalu Yesus
berbicara tentang nilai hukum Yahudi (16: 16). Kata-kata Yesus itu berhubungan
erat dengan bagian akhir (16: 29, 31) perumpamaan tentang orang kaya dan miskin
yang tersaji dalam teks ini. Perumpamaan ini merupakan suatu
peringatan cukup keras yang ditujukan Yesus kepada kaum Farisi. Dalam ayat 14,
mereka disebut “hamba-hamba uang”. Ajaran Yesus mengenai sikap serakah orang farisi
diteruskan dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin (ay
19-31). Akan tetapi di antaranya ada dua sabda, mengenai Taurat dan perceraian (ay 16-18), yang
tidak mempunyai hubungan langsung dengan tema kekayaan. Setelah teks ini Lukas
menyajikan kisah tentang beberapa nasihat.
Perumpamaan ini tersaji hanya dalam Injil Lukas saja. Ia yakin sekali
bahwa kaum miskin dilindungi Allah secara istimewa dan bahwa kekayaan dapat
mencelakakan manusia (bdk. 16:1-13), maka tidak mengherankan bila masalah
kaya-miskin disorotinya dalam perumpamaan ini secara khusus. Kebahagiaan
ataupun sengsara manusia di alam baka memang tidak tergantung dari kekayaan
atau pun kemiskinan selama hidup di bumi. Keselamatan tergantung dari
perbuatan-perbuatan manusia, dan sekaligus merupakan karunia Allah semata-mata.
Namun, bahaya yang ditimbulkan oleh kekayaan dalam mencapai keselamatan jangan
diremehkan. Sebab orang kaya, karena merasa terjamin seringkali buta dan tuli
terhadap Allah, sesama dan dunia sekelilingnya. Orang miskin justru karena
hidupnya tidak pernah terjamin, seringkali mengandalkan Allah semata-mata.
Lukas tidak menceritakan sesuatu mengenai pengadilan kepada kedua orang itu.
Hanya prinsipnya yang ditekankan, yaitu: Allah menurunkan yang berkuasa, dan
meninggikan yang rendah (Bdk. Luk 1:52; 14:11; 18:14). Dengan perikop ini,
Lukas sebetulnya menyatakan suatu ajaran Gereja sesudah kebangkitan Yesus.
3.1.2. Susunan Teks
Teks ini dibagi dua bagian,
yaitu:
a.
16: 19-26 :
Perubahan nasib orang kaya dan orang miskin sesudah kematian.
b.
16: 27-31 :
Permohonan orang kaya demi bertobatnya saudara-saudaranya.
3.1.3. Karakter
Perumpamaan terbuka
dengan narator berbicara langsung kepada pembaca dan penulis. Cerita ini
menyajikan pandangan tersirat tentang orang kaya dan Lazarus. Ada beberapa karakter yang ditampilkan:
Orang kaya. Jelas disebutkan tentang orang kaya dan
kekayaannya. Hal ditandakan oleh pakaiannya dari jubah ungu dan kain halus
serta kemewahan.
Lazarus. Berbeda dengan orang kaya adalah Lazarus dengan
kemiskinannya. Secara khusus, ini adalah karakter dalam 'perumpamaan Yesus yang
memiliki nama. Pertanyaan yang kemudian adalah mengapa ada nama Lazarus? Banyak
alasan yang diberikan untuk nama. Salah satu cara untuk melihat hal itu adalah
menelusuri arti harfiahnya. 'Lazarus' yang berasal dari nama Ibrani Eleazar
berarti " Allah yang membantu". Nama ini mengartikan kedudukan
kontras dengan orang kaya yang memiliki banyak harta. Nama ini juga menjadi
panggilan dari orang kaya kepada Lazarus. Penjelasan yang lebih baik tampaknya
menunjukkan bahwa orang kaya tidak hanya mengakui Lazarus tapi juga tahu
namanya. Lazarus dua kali digambarkan sebagai orang 'miskin' (20, 21).
Tampaknya 'istilah' miskin dapat memiliki banyak makna di dunia Lukas yang
merupakan-kehormatan atau berbasis masyarakat petani-malu dan mungkin memiliki
interpretasi yang lebih luas dari kondisi ekonomi murni. Dalam perumpamaan ini,
'miskin' dapat dipahami juga sebagai seseorang yang tidak berdaya dan membutuhkan
bantuan dari orang lain atau dari Tuhan. Ini berbeda dengan orang kaya yang
memiliki kelebihan dan tidak memerlukan bantuan dari orang lain.
Anjing. Anjing-anjing di sini bukan hewan peliharaan yang
dijinakkan melainkan pemulung dan anjing liar seperti yang dilihat oleh orang
Yahudi Palestina. Anjing itu serupa dengan tikus atau makhluk lain yang tidak
sehat. Oleh karena itu anjing berkontribusi terhadap suasana cerita dalam
mengintensifkan Lazarus simpati pembaca. Ada juga yang melihat anjing sebagai
teman Lazarus.
Abraham. Abraham ditampilkan sebagai tokoh penting dengan
kedalaman pribadinya. Dia ditampilkan sebagai tokoh dialogis yang membawa
wibawa ilahi. Allah bekerja dalam dirinya. Hal tersebut terungkap dari
tanggapannya terhadap orang kaya yang memberikan sapaan dan pertanyaan terhadap
dirinya. Ia membawa otoritas Allah dalam menyampaikan maksud Allah kepada
manusia.
3.1.4. Penjelasan Teks
a. Orang Kaya (16: 19)
Dalam perumpamaan ini Yesus
menggambarkan cara hidup dua orang Yahudi di Palestina; yang satu kaya, yang
lain amat miskin. Ada yang berpendapat bahwa dari ayat 19-26 tidak dapat
disimpulkan bahwa orang kaya berkelakuan buruk, sehingga ia dihukum hanya
karena dia orang kaya, sedangkan orang miskin berkelakuan baik di alam baka hanya
karena ia miskin. Jelas disebutkan tentang orang kaya dan
kekayaannya. Hal tersebut lebih lanjut ditandakan oleh pakaiannya dari jubah
ungu dan kain halus serta kemewahan.
Dalam teks ini, penginjil
Lukas (Yesus) dalam pengajaranNya tidak menyebut nama orang kaya itu. Penginjil
hanya menyebut identitas fisik yang ada pada diri orang yang kaya. Orang kaya
itu juga diberi sebuah nama dalam beberapa naskah dan terjemahan “Ninevech”,
ditulis oleh Neve’s.
Yang jelas, orang kaya itu benar-benar menikmati kekayaannya. Bahkan ia
seolah-olah tenggelam di dalamnya. Namun, tidak dikatakan bahwa orang kaya itu
kikir. Justru boleh diduga bahwa orang kaya itu tidak kikir, karena ia tidak
berkeberatan Lazarus berbaring dekat pintu rumahnya.
Mungkin saja, selama hidupnya ia tidak pernah menggunakan kekayaannya secara
baik dan benar.
b. Berpakaian Jubah Ungu Dan Kain Halus
Serta Bersukaria Dalam Kemewahan (16: 19)
Jubah ungu (ay 19) bukan
hanya tanda kekayaan tetapi terutama pakaian gengsi, sebab itu adalah busana
raja (1 Mak 8:14). Orang kaya yang bodoh dari perumpamaan lain (12: 13-21) juga
ingin berpesta-pesta sesudah menimbun kekayaan. Situasi orang kaya dijelaskan dengan menyatakan busana yang
dikenakkan dan situasi kemewahan yang mewarnai kehidupan si kaya tersebut.
Potret penceritaannya adalah kekayaan dan kelimpahannya. Jubah ungu dan kain
halus sangat mahal dan mewah. Jubah ungu bukan saja tanda kekayaan, tetapi
terutama pakaian gengsi, sebab itu busana raja (1 Mak 8:14). Ia "hidup dalam kemewahan".
Dua istilah yang berkaitan dengan kemewahan dan kekayaan adalah kata kerja
Yunani euphraino, "dengan senang hati, menikmati diri sendiri,
bersukacita, merayakan," dan lampros, "megah, mewah.
Meskipun orang ini kaya, tetapi tidak diketahui namanya. Yang diketahui
adalah bahwa dia mempunyai lima orang saudara yang keadaannya seperti dirinya
juga yaitu menunjukkan kebiasaan acuh tak acuh terhadap Firman Allah yang
dinyatakan. Yesus menunjukan figur orang kaya tersebut kepada orang-orang
Farisi agar mereka melihat diri mereka sendiri, untuk menyadarkan kondisi
mereka yang 'terhilang'. Ada berbagai versi cerita dimana orang kaya ini
diberi nama, agar sesuai dengan Lazarus yang mempunyai nama. Tradisi yang
terkenal memberinya nama "Dives" (berarti "kaya",
terjemahan dari plousios bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin dalam
terjemahan Vulgata).
c. Lazarus Berbaring Dekat Pintu Rumah (16:
20)
Lazarus dalam bahasa Yahudi,
“Eliezer”. Hanya dalam
perumpamaan ini saja disebut nama pelaku. Yang aneh bahwa nama itu diterapkan
pada pelaku yang sama sekali tidak bersuara dalam perumpamaan ini. Nama Lazarus
adalah bentuk Yunani sebuah nama Ibrani atau Aramea yang cukup populer semacam
kehidupan Yesus.
Orang kedua yang diperkenalkan di dalam kisah ini hidup di ujung spektrum
ekonomi yang lain. Dia hidup dalam kemiskinan yang hina papa. Lagipula dia
tidak dapat berjalan. Teman-temannya harus membawanya dan menopangnya ke dekat
pintu gerbang rumah orang kaya yang besar itu. Karena tidak ada pengobatan
medis dan kesehatan pribadi, dia menderita sakit kulit dan dipenuhi dengan
borok. Tubuhnya merana, kelaparan adalah teman akrabnya, dan pandangan matanya
yang penuh harap tertuju kepada remah-remah makanan yang telah disapu dari
lantai ruang makan dan diberikan kepada anjing-anjing dan para pengemis di
luar. Lazarus dalam perumpamaan ini tidak boleh dikaitkan
dengan Lazarus, sahabat Yesus (Yoh 11). Lazarus kiranya cacat atau malah lumpuh
(Mat 9: 2).
d. Ingin Menghilangkan Lapar Dan
Anjing-Anjing Datang (16: 21)
Dalam konteks Perjanjian
Lama, anjing-anjing diperkenalkan sebagai binatang najis dan berbahaya (Mzr 22:
17, 21; Ams 26: 11). Mereka berani mendekati Lazarus, tetapi Lazarus tidak
berdaya untuk mengusirnya. Anjing-anjing kesanyangan para majikan biasanya akan
makan remah-remah roti yang dibersihkan oleh para tamu dari piring mereka atau
dari tangan mereka. Ada istilah remah-remah. Para tamu di meja orang
kaya itu menggunakan remah-remah roti untuk mengeringkan lemak di jari-jari
mereka.
Remah-remah ini tidak dapat dimasukkan ke dalam makanan dari daging atau
makanan berkuah dan tidak untuk dimakan oleh para tamu. Sudah menjadi kebiasaan
untuk membuang remah-remah tersebut ke bawah meja. Itulah yang menjadi makanan
anjing, dan itu juga yang berusaha didapat oleh Lazarus untuk menghidupi dirinya. Anjing-anjing yang menjilati boroknya bukan hewan peliharaan. Pada abad
pertama di Timur Tengah anjing dianggap najis, anjing suka mengais sampah, dan
suka mencium luka orang miskin. Ini bukan gambar kenyamanan tetapi penderitaan
hina. Lazarus dan anjing mengharapkan
hal yang serupa, yaitu mendapatkan remah-remah roti itu dari meja si orang kaya
tersebut. Inilah dosa si kaya yang buta dan mengabaikan penderitaan orang
miskin itu.
e. Akhir dari Hidup Lazarus dan Orang Kaya (16: 22)
Kematian datang dan mengakhiri penderitaan Lazarus. Tubuhnya yang tinggal
kulit dan tulang dengan cepat disingkirkan. Karena tidak ada orang yang
menunjukkan atau menerima simpati, penguburannya pun tidak penting untuk
disebutkan. Tetapi Lazarus tidak sendirian di dalam kematian. Malaikat-malaikat
Allah datang mengambilnya dan membawanya ke tempat terhormat di surga. Dia
didudukkan di sebelah Abraham di mana dia dapat menikmati pesta yang diadakan
oleh Mesias. Malaikat membawa Lazarus kepada Abraham. Ia dibawa ke pangkuan
Abraham. Itu berarti bahwa ia diangkat ke tempat kehormatan dalam perjamuan
surgawi. Pangkuan berasal dari bahasa Yunani holpos,
"dada." Istilah holpos dapat diartikan sebagai ungkapan timur
untuk bersandar di sebuah pesta atau perjamuan makan (Yoh 13:23). Istilah ini
juga menjelaskan persekutuan yang akrab (Yoh 1:18).
Ini sebenarnya untuk menempatkan Lazarus di tempat kehormatan di sebelah
kanan Abraham pada perjamuan di akhiratLazarus ia tidak dikuburkan
seperti biasa. Ia dibawa ke pangkuan Abraham hanya mau menegaskan perubahan
situasi sesudah meninggalnya. Ungkapan “ke pangkuan Abraham” dijelaskan oleh
Yoh 13: 23. Gambaran “akan menuju Abraham atau sedang bersama Abraham”,
merupakan sebuah modifikasi dari ungkapan Perjanjian Lama “berkumpul dengan
bapa-bapa”, yakni kepala-kepala keluarga.
Dengan sendirinya menegaskan bahwa Allah meninggikan orang-orang bersahaja dan
menurunkan para penguasa dari taktanya (1: 52). Sedangkan orang kaya dikubur, artinya jenasanya diletakan di dalam
makam miliknya. Hanya orang-orang kaya yang memiliki makam.
f. Penghakiman dan Penderitaan Di Alam Maut (16: 23)
Alam maut yang diperkenalkan
Yesus dalam perumpamaan ini, sangat cocok dengan apa yang biasanya diajarkan
oleh para nabi Yahudi mada masa itu. Gambaran-gambaran lazim dimanfaatkan oleh
Yesus untuk mengemukakan pikiran-Nya sendiri. Seperti Lazarus, Orang kaya juga mengalami pembalikkan situasi. Ia yang pada
waktu hidup senantiasa bersukaria dalam kemewahan kini dikuburkan dan ada dalam
alam maut. Kata Yunani yang digunakan di sini adalah Hades, tempat orang
mati, dan dalam pemikiran Yahudi, tempat antara orang mati sebelum penghakiman
terakhir. Ini disebut sebagai tempat terakhir orang fasik. Orang Ibrani menyebutnya Syeol. Syeol menampung semua orang mati
tanpa kecuali dan secara definitif. Hades diperuntukan bagi para pendosa
dan digambarkan sebagai tempat siksaan. Sengsara yang dialami si kaya bukan
karena ia kaya, melainkan karena ia tidak menggunakan kekayaannya secara
bijaksana. Biarpun terpisah jauh, si
kaya dapat melihat Abraham dan Lazarus.
Untuk menggambarkan orang-orang yang berada di surga dan neraka, Yesus
menggunakan gambaran tubuh manusia dan fungsi-fungsinya, meskipun tubuh Lazarus
dan orang kaya itu telah dikuburkan di bumi. Orang kaya tersebut kini ada dalam
siksaan. Siksaan dalam bahasa Yunani disebut basanos "sakit parah
yang disebabkan oleh penyiksaan hukuman". Dia kering dengan rasa
haus, lidahnya panas dan kering, dan dia sangat menderita. Haus dan rasa sakit
merupakan hukuman bagi mereka yang mati terpisah dari Allah. Orang kaya itu
meminta Abraham untuk memerintahkan Lazarus agar meringankan penderitaannya
(16:24), dan kemudian untuk mengirim pesan kepada saudara-saudaranya (16:27).
Pangkuan Abraham, harus dipahami secara Yahudi, yaitu
sebagai tempat yang dihuni oleh orang-orang mati dalam penantian akan
kebangkitan badan. Tempat itu penuh bahagia. Lazarus duduk di pangkuan Abraham,
artinya ia menempati tempat terhormat pada perjamuann penuh bahagia di alam
maut yang dipimpin Abraham (bdk. Yoh 12:23, 25). Di alam maut, Lazarus sangat
dihormati, sedangkan di bumi sama sekali tidak dilihat oleh si kaya. Sebaliknya
nasib si kaya menderita di alam maut. Ia tinggal di alam api neraka yang disebut
dalam Injil (bdk. Mat 5:22, 29-30; 10:28, 18:19, dll).
g. Permohonan Orang Kaya (16: 24)
Orang kaya memanggil Abraham
sebagai bapak, sebab sebagai orang Yahudi ia memang anaknya (3: 8). Semasa
hidupnya, orang kaya tidak menunjukkan belaskasihan kepada Lazarus, tetapi kini
ia mencari belaskasihan Abraham (Allah). Ternyata orang kaya itu mengenal nama
Lazarus. Orang kaya masi berpikir mengenai Lazarus sebagai hambanya.
Pertama-tama ia meminta supaya Lazarus memberi setetes air untuk mendinginkan
lidahnya. Lidah
berperanan penting dalam pesta-pesta yang diadakan orang kaya. Kini lidah itu
merindukan air sejuk. Kehausan merupakan salah satu siksaan berat menurut
keyakinan masyarakat zaman itu. Selain meminta agar diberikan setetes air,
orang kaya itu kemudian minta supaya pergi mengingatkan para saudaranya.
h. Terbentang Jurang Yang Tak
Terseberangi (16: 26)
Mengacu kepada dua keadaan
yang terpisah (tak terjembatani), yaitu hidup dalam berkat dan hidup dalam
siksaan. Abraham menjelaskan situasi yang ada dan menyatakan bahwa
ada jurang yang tak terseberangi (chasma Yunani) di mana orang di tempat
yang satu tidak dapat berpindah ke tempat yang lain. Dengan kata lain tidak ada
harapan untuk berpindah dari siksaan, dan bahwa Lazarus tidak bisa membantu dirinya.
Penegasan di sini bahwa nasib orang kaya dan orang miskin itu sudah definitif
dan tidak akan diubah lagi. Jurang atau celah raksasa mengacu kepada dua
keadaan yang tak terjembatani, yaitu hidup dalam berkat dan hidup dalam
siksaan.
i. Supaya Ia Memperingati Mereka (16:
28)
Bahwa orang kaya menginginkan
Lazarus pergi kepada sanak saudaranya adalah tanda pertama bahwa ia
memperhatikan orang lain, tetapi terlambat. Itu tidak ada gunanya.
Dalam arti menginsafkan mereka bahwa manusia harus bertobat selama hidupnya,
bukan hanya memberitahukan bahwa ada hidup sesudah kematian. Yesus menyimpulkan perumpamaan dengan cara yang lain. Orang kaya ingin
Lazarus untuk memperingatkan saudara-saudaranya dari bahaya neraka. Tetapi
Abraham berkata bahwa jika mereka tidak memperhatikan kebenaran yang ada,
khususnya kesaksian Musa dan para nabi (yaitu, wahyu Perjanjian Lama), maka
mereka tetap tidak akan percaya bahkan jika seseorang bangkit dari kematian.
Ungkapan “Musa dan para nabi” searti dengan Kitab Suci Perjanjian Lama, yaitu
amanat Allah yang sudah diwahyukan kepada Israel. Amanat itu berperan sebagai
petunjuk jalan menuju kehidupan kekal.
Dalam konteks ini, orang kaya mengusulkan agar Lazarus memperingatkan
saudara-saudaranya. Permohonan agar Lazarus menampakkan dirinya kepada keluarga
orang kaya pada dasarnya tidak berbeda dengan permohonan yang dilontarkan
orang-orang Yahudi kepada Yesus agar Ia mau memberi suatu tanda ajaib (11:16,
19). Namun tanda ajaib apa pun tak mungkin menghasilkan sesuatu dalam diri
orang yang hatinya tertutup terhadap Taurat Allah. Di sini juga pembaca Lukas akan segera berpikir tentang Yesus, dan
bagaimana kebangkitan-Nya bahkan tidak cukup untuk mempengaruhi orang-orang
Farisi dari oposisi keras mereka terhadap kebenaran yang jelas-jelas di depan
mereka. Jawaban Abraham sangat tegas. Ini serupa dengan jawaban Yesus kepada
mereka yang menuntut suatu tanda dari pada-Nya.
j. Terdapat Pada Mereka Kesaksian Musa dan Kitab Para Nabi (16: 29)
Ungkapan ini searti dengan
Kitab Suci Perjanjian Lama yang sudah diwahyukan kepada Israel. Hukum Allah
atau Amanat ini harus ditaati. Mereka telah memiliki ajaran Musa dan para nabi.
Sabda Allah yang telah dimaklumkan berabad-abad kepada Israel, sudah cukup.
Pernyataan ini mengingatkan kembali ucapan Yesus mengenai hukum dan para nabi
(ayat 16-17). Yesus masih berbicara kepada para murid dan mengingatkan mereka
bahwa pelaksanaan lahiriah hukum dan ketelitian dangkal atas pelaksanaan hukum
tidak berarti mendengarkan Sabda Allah.
Untuk menjadi seorang yang beriman secara sungguh-sungguh bukan mengetahui
hukum Taurat dengan baik, tetapi bagaimana Hukum Taurat itu dihayati dan
diamalkan dalam realitas hidup sehari-hari.
k. Jika Ada Seorang Yang Datang Dari
Antara Orang Mati (16: 30)
Hal ini sama dengan
permohonan yang dilontarkan orang-orang Yahudi kepada Yesus agar ia mau
memberikan suatu tanda ajaib (11: 16, 29). Secara khusus dalam ayat ini menyoroti
perlunya tobat individual setiap hari (3:8, 10-14; 5:32). Namun seruan untuk
bertobat sering dikemukakannya pula sebagai ingatan menjelang penghakiman yang
datang (3:3; 10:13). Nada eskatologis ini terasa dalam ayat ini. Mereka tidak juga akan mau diyakinkan (16:
31); jawaban Abraham sangat
tegas, sama seperti jawaban Yesus kepada mereka yang mau menuntut tanda
daripadanya. Ditegaskan bahwa, sudah ada pada mereka Kitab Musa dan Hukum
Taurat tetapi mereka tidak mengindahkannya karena harta benda dan kekayaan
telah membuat mereka buta akan Firman Allah.
3.1.4. Pokok Ajaran Dalam Injil Lukas 16:19-31
Penekanan
yang menjadi tokoh utama dalam perumpamaan
Yesus ini adalah pada orang yang kaya. Lazarus itu bungkam sepanjang cerita,
bahkan sampai pangkuan Abraham pun ia tidak membuka mulutnya. Yang disoroti
Yesus secara khusus ialah si kaya bersama-sama dengan saudara-saudaranya.
Melalui perumpamaan ini, mereka diperingatkan dengan keras, “kalian tidak dapat
mengabdi Allah dan mamon sekaligus”. (Luk 16: 13). “Berbahagialah kamu yang
sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan” (Luk 6: 21). Ini bukan kecaman
terhadap orang-orang kaya, tetapi kepada semua orang yang memakai kekayaannya
secara egois, yang tidak mampu melihat sesamanya yang menderita. Orang-orang
demikian membuat dirinya tumpul dalam imannya, sehingga tidak mampu menilai
hidup di bumi ini dengan tepat. Akibatnya yang paling fatal ialah pemisahan
dengan Allah dan sesama.
Ada beberapa hal yang sebenarnya hendak diungkap dalam perumpamaan tentang
orang kaya dan Lazarus yang miskin, yaitu:
1. Bahwa kehidupan manusia kinilah yang menentukan tujuan akhir
mereka.
2. Oleh pilihannya manusia sendiri menempatkan suatu tapal batas
manusia dan Allah.
3. Perumpamaan ini menggambarkan suatu pertentangan di antara
orang kaya yang tidak beriman akan Allah dan orang miskin yang beriman dan
percaya.
4. Melaksanakan Firman Tuhan (beriman) lebih penting dari mukjizat
atau tanda fisik. (Dibuktikan dengan mukjizat Yesus membangkitkan Lazarus yang
sudah empat hari meninggal, mereka tetap menolak Yesus meskipun sudah melihat
mukjizat itu. Yoh 12:9-11)
5. Tuhan membangkitkan seseorang untuk menyatakan kuasa Allah
(Yohanes 11:4) dan agar orang percaya bahwa Yesus diutus oleh Allah (Yoh 11:
42). Dia tidak akan membangkitkan seseorang yang telah mati untuk tujuan
memperingatkan orang-orang lain yang masih hidup.
6. Allah bersikap adil, Ia memberikan sesuai dengan realitas dan
pengalaman hidup manusia.
3.2. Masalah Sosial Ekonomi di SMAK St. Klaus Kuwu Dalam Terang Injil Luk
16: 19-31
Permasalahan antara orang kaya dan
orang miskin sangat mempengaruhi sendi-sendi perkembangan bangsa kita,
khususnya di NTT. Minimnya keuangan menjadi kendala bagi siapa saja untuk
mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkwalitas. Hal ini yang menjadi
kesenjangan antara orang-orang yang berada dan yang tak memiliki apapun untuk
menopang hidup mereka. Realitas ini yang dihadapi oleh siswa/I di SMAK St. Klaus
Kuwu ini. Minimnya sumber ekonomi
orang tua, turut mempengaruhi proses pendidikan siswa/I di lembaga pendidikan
ini. Untuk meningkatkan pengetahuan siswa, selain fasilitas yang disediakan
oleh pemerintah atau sekolah, orang tua wajib menyediakan fasilitas yang
dibutuhkan oleh anak mereka. Misalnya harus membeli buku paket yang dianjurkan
oleh para guru. Namun dalam kenyataannya hanya orang tua yang memiliki tingkat
kemampuan ekonomi yang baik, yang sanggup menjawabi tuntutan ini. Hal ini juga
turut mempengaruhi tingkat pengetahuan siswa.
Fenomena
antara “si kaya” dan “si miskin”, orang tua mampu dan tidak mampu, juga dengan
jelas dapat dilihat dari lunas tidaknya uang sekolah (SPP, uang pembangunan dan
uang komite sekolah) yang harus dibayar oleh orang tua siswa. Biasanya fenomena
ini terlihat jelas saat ujian tiba. Siswa yang belum melunasi uang sekolah akan
“diusir” atau tidak diperkenankan mengikuti ujian. Pada saat inilah, banyak
siswa yang orang tuanya tidak sanggup melunasi tunggakan tersebut, terpaksa
harus putus sekolah atau drop out. Ironisnya,
ada orang tua siswa yang membayar lunas semua kewajiban atministrasi keuangan
selama tiga tahun sejak awal anak
mereka masuk sekolah, hingga tamat nanti, sedangkan ada beberapa yang hingga
tamat tidak dapat mengambil Ijasahnya lantaran administrasi keuangan sekolah
belum dibayar. Dalam tataran ini kesenjangan dalam bidang pendidikan masih
sangat nampak di negara ini. “si kaya” dengan mudah mendapat pendidikan yang
bermutu dan bagus, sedangkan “si miskin” terpaksa mengenyam pendidikan di
sekolah yang kwalitasnya standar dan tidak memadai karena selain murah dan tak
terkondisikan dengan baik.
Sebagaimana
disandingkan dengan kisah dalam perikop Lukas 16: 19-31, orang kaya itu sebenarnya
tidak kikir. Buktinya bahwa orang kaya itu tidak mengusir Lazarus, tetapi tetap
membiarkannya duduk dekat pintu rumahnya.
Demikian pun orang tua yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik atau boleh
dikatakan kaya, kemungkinan tidak kikir. Namun kemungkinan yang sebenarnya tidak
dibuat oleh mereka adalah tidak memiliki rasa empati dan solider untuk membantu
sesama mereka yang kekurangan finansial untuk membiayai pendidikan anak mereka.
Apabila ada rasa solider dalam diri mereka maka mereka pasti dapat membantu
para siswa yang kurang mampu, sehingga dapat melanjutkan pendidikan mereka.
Sebenarnya ada peluang bagi yang mampu untuk membantu yang kurang mampu, namun
perbuatan mulia ini sering kurang disadari.
Di tengah zaman
yang serna modern, sekelar dan semakin individualistik ini, rasa solidaritas
dan empati semakin kehilangan gemanya. Orang lebih memikirkan kepentingan diri
sendiri dan kelompoknya daripada memperhatikan sesama yang berkekurangan. Kepuasan
dan kesenangan diri dinomorsatukan, sedangkan rasa soloder terhadap sesama yang
serba berkekurangan dan membutuhkan uluran kasih selalu “disubordinasikan” dan
senantiasa tidak diperhatikan sama sekali oleh orang yang serba ada (kaya). Akibatnya
yang miskin akan tetap miskin, yang tidak mampu membiayai pendidikannya akan
tetap miskin dalam pengetahuannya dan yang kaya akan menempuh tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dan berkwalitas dimana saja dan kemana saja bebas.
Realitas ini yang masih sangat kental dihadapi oleh orangtua maupun siswa/I
sendiri di lembaga pendidikan SMAK St. Klaus ini. Dimana siswa/I yang miskin
hampir setiap semesternya didrop-outkan sedangkan yang “berada” dengan
gembira menyelesaikan pendidikan mereka di sekolah ini dalam setiap tahunnya.
Masih ada jurang yang lebar antara “si kaya” dan “si miskin” dalam bindang
pendidikn maupun realitas sosial lainnya.
IV. Implikasi Serta Tantangan Bagi
Karya Pastoral Gereja
Jurang
pemisah antara orang kaya dan orang yang miskin makin lebar dan sering kita
jumpai dalam situasi di mana kita hidup dan tinggal. Perbedaan ini pula turut
mempengaruhi pola pikir dan pemahaman dari manusia seiring dengan perkembangan
dan kemajuan yang semakin kompleks dan modern dalam dunia dewasa ini. Adanya
peralihan mentalitas manusia dari semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang
menjadi ciri khas masyarakat tradisional, menuju masyarakat modern yang
bertendensi individualistik turut mempengaruhi relasi sosial antara manusia.
Ketika sebagian besar manusia zaman ini lebih berorientasi pada kepentingan
pribadi dan kelompok dengan mengesampingkan kepentingan orang lain dan
sesamanya, sesungguhnya benih-benih kemiskinan sudah mulai bertumbuh dalam diri
manusia. Relasi yang renggang antara manusia karena kurangnya rasa solider,
merupakan salah satu faktor timbulnya kemiskinan dan penderitaan manusia.
Realitas inipulalah yang membuat orang-orang miskin selalu terdepak dari
kenyamanan mereka karena kepentingan orang-orang kaya, realitas martabat
manusia tidak lagi diindahkan karena pengejaran akan kepuasan, kesenangan,
konsumerisme telah menjadi tameng manusia dewasa ini.
Kemiskinan yang
terus melanda umat manusia, menjadi suatu tantangan bagi Gereja untuk selalu
berjuang mengatasi persoalan tersebut. Pembaharuan yang dihembuskan oleh
Konsili Vatikan II telah membuka Gereja untuk pelayanan terhadap dunia dan
manusia. Ini berarti masalah kemiskinan dan masalah tentang orang miskin
membuat Gereja merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu bagi orang-orang
miskin. Landasan pemihakan kepada orang-orang miskin adalah kesamaan martabat
semua orang. Ini didasari pada suatu kesadaran bahwa setiap manusia diciptakan
berdasarkan gambar Allah.
Selain itu, Paus Fransiskus juga menekankan bahwa, Gereja dewasa ini harus
keluar dari kemapanannya. Gereja harus keluar dalam membangun sikap solider
dan terlibat bersama dengan realitas
kemiskinan yang masih dihadapi oleh umat Allah yang termarginalisasi dan
terlupakan oleh masyarakat elite dan kaya.
Keberpihakan
Gereja terhadap orang-orang miskin bersumber pada sikap Yesus sendiri serta
membiarkan diri diilhami dan diterangi oleh kuasa ilahi dari Roh Kudus. Karena
cinta-Nya yang begitu besar kepada dunia dan manusia, maka Yesus yang adalah
Allah menjadi manusia, bahkan menjadi sama dengan manusia yang paling miskin
dan hina dalam peristiwa Golgota. Kehadiran Yesus historis di tengah manusia
dengan pelbagai kompleksitas persoalannya di dunia, menjadi landasan
keberpihakan Gereja terhadap orang miskin. Kehadiran Yesus membawa harapan baru
bagi mereka. Dengan demikian secara implisit ditegaskan bahwa Kristus hadir di
mana cinta kasih ada dan hidup, di mana orang miskin diberi makan, orang asing
diterima, orang yang tak berpendidikan diperhatikan dan dididik. Cinta kasilah
yang memotivasi Gereja untuk terus menerus berpihak pada orang miskin. Melalui
cinta kasih kita menjadi solider dan merasa terlibat dengan realitas kemiskinan
yang semakin nampak dalam realitas kehidupan kita dewasa ini.
Sebagaimana
teladan hidup yang dilakukan Yesus beserta para murid-Nya yang selalu
memposisikan orang miskin sebagai subyek utama dalam pewartaan itu, demikian
pun hendaknya Gereja berusaha untuk menjadikan orang-orang miskin sebagai pihak
yang harus diutamakan dalam seluruh karya pewartaan kabar gembira Kerajaan
Allah. Dasar pijak keberpihakan Gereja di dini adalah Yesus yang telah bersikap
solider secara mutlak dengan manusia dalam dan dengan kemiskinan-Nya.
Sebagaimana Yesus bukan hanya mengajarkan kepada para Murid-Nya secara teoritis
saja, tetapi Yesus juga menjalankan apa yang diajarkanNya yaitu terlibat dalam
realitas pelayanan dan kebersamaan dengan orang-orang miskin dan kecil. Suatu
harapan Gereja dewasa adalah bahwa keberpihakan Yesus dengan orang-orang miskin
pada zaman-Nya, kini harus menjadi model keberpihakan Gereja bagi orang-orang
miskin di zaman yang semakin kompleks dan modern.
Sebagaimana
panggilan Gereja untuk terlibat dan keberpihakan dengan kaum kecil, maka gereja
harus keluar dari kemapanan dirinya untuk terlibat dan solider dengan kaum
miskin. Karena kurangnya rasa solider di tengah umat, menjadi salah tantangan
pastoral yang harus segera diatasi oleh gereja. Gereja dalam hal ini harus
berusaha untuk “menaklukan” yang kaya untuk dapat membantu mereka yang miskin. Bukan
berarti Gereja harus menjadi oposisi terhadap kaum kaya dan elite, tetapi
hendaknya berusaha mendekati mereka yang kaya untuk dapat bersolider dan mau
untuk menolong yang miskin dan kecil. Hal ini memang cukup sulit, namun itulah
tantangan yang harus dihadapi oleh Gereja di tengah perkembangan dunia modern
ini. Di atas semuanya itu, Gereja sendiri harus menjadi teladan utama dalam
penerapan hidup setiap hari. Gereja
harus senantiasa hidup dalam terang Kristus dan selalu mengarahkan hatinya
untuk dibimbing dan diarahkan oleh Roh Kudus dalam PersekutuanNya dengan Allah
Bapa di surga.
V.
Penutup
5.1. Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang urgent bagi suatu generasi
bangsa. Tetapi, sistem pendidikan yang ada di negara kita saat ini secara
implisit mencerminkan adanya ketidakadilan dengan memberikan kesempatan belajar
dan perluasan pengetahuan dan pengalaman belajar hanya kepada kelompok yang
kaya. Sistem pendidikan ini menjadikan rakyat miskin tidak memperoleh
kesempatan dalam mengenyam pendidikan. Karena itu tidak heran kalau mereka
dapat diperdaya dalam pelbagai hal. Biaya pendidikan yang ditetapkan terlampau
tinggi dan sangat menyulitkan mereka yang berada pada garis kemiskinan serta
dampak lebih lanjutnya adalah pada putus sekolah. Hal ini menjadi salah satu
masalah yang dialami di lembaga pendidikan SMAK St. Klaus-Kuwu.
Berhadapan dengan realitas kemiskinan
yang terus melanda umat manusia, menjadi suatu tantangan bagi Gereja Katolik untuk
selalu berjuang mengatasi persoalan tersebut. Pembaharuan yang dihembuskan oleh
Konsili Vatikan II telah membuka Gereja untuk pelayanan terhadap dunia dan
manusia. Penegasan ini menunjuk pada suatu landasan peresekutuan dari hidup
beriman untuk mengembangkan sikap solider. Bapa-Bapa Konsili Vatikan II:
“perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara
laras-serasi bakat-pembawaan fisik, moral, dan intelektual mereka. Dengan
demikian, mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab
yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus-menerus untuk
dengan seksama mengembangkan hidup mereka sendiri” (GE, no. 1). Selain itu
dalam KHK (1136) juga menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak dan keterlibatan
orangtua untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak bangsa.
Dalam perumpamaan
ini Yesus menggambarkan cara hidup dua orang Yahudi di Palestina; yang satu
kaya, yang lain amat miskin. Pentingnya sikap solidaritas antara yang kaya dan
yang miskin menjadi penekanan lebih lanjut dalam implikasi pastoralnya. Tujuan
dari kisah ini bukan pertama-tama terletak pada kecaman terhadap orang-orang
kaya, tetapi kepada semua orang yang memakai kekayaannya secara egois, yang
tidak mampu melihat sesamanya yang menderita dan yang menutup hati terhadap
realitas kemiskinan yang ada di sekitarnya. Terkadang karena kelebihan harta benda dapat
membuat orang-orang menjadi tamak dan buta akan realitas kemiskinan sesamanya
yang lain, yang pada akhirnya membuat dirinya tumpul dalam imannya, sehingga
tidak mampu memaknai realitas hidupnya di bumi ini dengan tepat. Akibatnya yang
paling fatal ialah pemisahan dengan Allah dan sesama karena kejatuhan pada ketamakan
harta benda dan kekayaan.
Sebagaimana
teladan hidup Yesus beserta para murid-Nya yang selalu memposisikan orang
miskin sebagai subyek utama dalam pewartaan itu, demikian pun hendaknya Gereja pada
era dewasa ini berusaha untuk menjadikan orang-orang miskin, kaum tertinggal,
kaum marginal dan orang-orang kecil sebagai pihak yang harus diprioritaskan
dalam seluruh karya pewartaan kabar gembira Kerajaan Allah. Gereja sendiri
harus menjadi teladan utama dalam penerapan hidup setiap hari serta panggilan untuk menjadi garam
dan terang bagi duniaya. Terutama membangun sikap solidaritas dan keberpihakan
terhadap kaum miskin dan bersama-sama dengan mereka membangun kerajaan Allah di
tengah-tengah dunia.
5.2. Himbauan-himbaun Pastoral
Untuk mengakhiri tulisan ini, terdapat beberapa himbauan atau usul saran, sebagai berikut:
Pertama; Pembangunan
Kerajaan Allah di dunia merupakan suatu tugas dan tanggungjawab semua anggota
Gereja. Kristus sebagai kepala tubuh telah meletakan dasar yang kokoh bagi
pembangunan tersebut. Dasar yang telah dibangun tersebut menuntut para anggota
Gereja untuk melanjutkan pembangunan tersebut. Untuk menyelesaikan tugas yang
telah dimulai Yesus Kristus, dibutuhkan kerja sama lintas sektor dengan semua
pihak yang menghendaki berhasilnya proyek Kerajaan Allah. Kerja sama menjadi landasan awal
terealisirnya Kerajaan Allah di Dunia, demi mewujudkan apa yang telah dimulai
oleh Kepala yaitu Kristus sendiri. Perealisasian kerjasama itu harus dibangun
dalam sebuah keberpihakkan kepada yang lemah dan miskin serta didepak dari
realitas sosial masyarakat. Pada tataran ini Allah hadir dalam mereka yang
kecil dan miskin.
Kedua; Terdapat pelbagai ajaran sosial
Gereja untuk memperhatikan nasib mereka yang miskin dan terlantar, tidak
berarti bahwa Gereja mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Masalah sosial
tidak dapat diselesaikan oleh Gereja; masalah sosial mesti diselesaikan dengan
bantuan Gereja dan negara.
Gereja hendaknya menjadi perintis
adanya kerja sama antar berbagai pihak untuk meretas suatu kwalitas hidup yang
dapat menjamin kesejahteraan unversal. Ini berarti peran serta semua pihak dalam mencari solusi ketika berhadapan
dengan persoalan-persoalan seperti kemiskinan dan berbagai persoalan sosial
lainnya sangat diperlukan.
Ketiga; Realitas sosial yang nampak ke permukaan adalah realitas kemiskinan dan
termarginalisasinya kaum kecil dari kenyamanan mereka. Bahwa, hak untuk hidup
sebagai warga yang bebas sedang dirampas oleh kaum elite dan pemilik model.
Dalam konteks ini gereja dipanggil untuk menetapkan komitmen keberpihakannya.
Bukan sebatas pada seruan di mimbar tetapi aksi praksis-nyata yang menjadi
karya pastoral yang dinanti-nantikan oleh gereja (umat Allah). Solidaritas
gereja harus nampak dalam realitas konkrit paksis. Gereja harus bersama-sama
dengan kaum miskin dan memperjuangkan nasib mereka dalam menemukan hak-hak
mereka.
Berhadapan dengan
masalah ekonomi yang ada di SMAK St. Klaus,
diharapkan agar ada kerjasama semua pihak untuk membantu siswa/i yang kurang mampu membiayai pendidikannya. Di sini
diperlukan rasa solider dari mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup
untuk membantu yang miskin. Selain itu pihak pemerintah dan sekolah hendaknya
tidak terlalu menuntut besarnya biaya pendidikan agar dapat dijangkau oleh
semua kelas sosial manapun, termasuk bagi mereka yang berkekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Jacobs, Tom, Lukas Pelukis Hidup Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Joachim
Jeremias, Perumpamaan Yesus. Edisi
Kedua /revisi; Scribners, 1972.
Leks, Stefan, Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
-------. Yesus Kristus Menurut Keempat Injil. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Maier, Martin, Oscar Romero. Maumere: Ledalero, 2008.
T.W. Manson, The Sayings of Jesus. London: SCM Press, 1950.
Sumber
data ini diambil dari Dokumen Sekretariat SMA Swasta Disamakan St. Klaus -
Kuwu, pada tanggal 10 Januari 2013.
Stefan
Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), p. 433.
Stefan
Leks, Yesus Kristus Menurut Keempat
Injil, (Yogyakarta: Kanisius, ), p. 197.
Tom
Jacobs, Lukas Pelukis Hidup Yesus, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), p. 105.
Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, Op. Cit, p. 434.
Raymond E.
Brown, dkk (Ed.), The Jerome Biblical
Commentary, (New York: Macmillan Publishing, 1965), p. 149.
Stefan Leks, Yesus Kristus Menurut Keempat Injil, Op. Cit., p. 197.
Tom Jacobs, Lukas, Pelukis Hidup Yesus
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 103.
Joachim Jeremias, Perumpamaan Yesus (Edisi Kedua
/revisi; Scribners, 1972), p. 183.
Raymond E.
Brown, dkk (editor), Loc. Cit.
Archibald M. Hunter, Interpretating of Parable
(Westminster Press, 1960), p. 84.
Raymond E. Brown. Loc. Cit.
Tom Jacobs, Lukas, Pelukis Hidup Yesus
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 103.
T.W. Manson, The Sayings of Jesus (London: SCM
Press, 1950), p. 299.
Reginald C.
Fuller (Ed.), A New Catholik Commentary
On Holy Scripture, (New York: Thomas Nelson, 1975), p. 1013.
Dianne Bergant
dan Robert J. Karris (Ed.), Tafsiran
Alkitab Perjanjian baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), pp. 146-147.
Stefan Leks, Yesus Kristus Menurut Keempat Injil, Op. Cit, pp.
199-200.
Martin Maier, Oscar Romero, (Maumere:
Ledalero, 2008), p. 126.
B. Kiser, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), p. 112.