Minggu, 01 Februari 2015

KEBERHADAPAN DENGAN REALITAS TERTINGGI YANG MENGGUGAH SEKALIGUS MEMPESONA



PENGALAMAN DAN REFLEKSI RELIGIUS: KEBERHADAPAN DENGAN REALITAS TERTINGGI YANG MENGGUGAH SEKALIGUS MEMPESONA



I.    Pengalaman iman
       Agama, suatu yang melekat erat dalam pribadi manusia. Agama merupakan ikatan antara yang real (manusia) dengan sesuatu yang absolute, suatu yang transedent. Dengan demikian menampilkan bahwa, manusia sesungguhnya adalah makhluk beragama (homo religius). Menelisis realitas agama berarti secara eksplisit menyinggung persoalan beriman, iman dan agama merupakan dua hal yang saling berkorelasi, karena agama mengandaikan iman, iman menandaskan manusia yang beragama. Agama seluruh berhubungan dengan manusia sebagai realitas dengan suatu realitas yang adikodrati (transendent). Dalam beriman manusia seutuhnya mentotaltaskan diri kepada yang absolut. Keterpasrahan diri kepada yang transendent ini membawa manusia kepada suatu pemahaman bahwa, sesungguhnya realitas manusia dikuasai dan bersumber dari suatu yang absolut, yang dikenal dalam agama-agama modern sebagai Allah, Tuhan, Yahweh, Dewa. Allah yang membimbing sekaligus menguasai manusia.
      Agama/ pengalaman religius merupakan suatu tahap dimana orang sepenuhnya hidup dalam iman. Bentuk beriman ini pada prinsipnya sering diawali dengan rasa bersalah pada tahap etis, yang menyadari diri bahwa manusia adalah makhluk yang tebatas, makhluk yang tidak sempurna, yang menganggap diri rendah di hadapan Allah yang absolut. Rasa ketaksempurnaan manusia ini menghandar manusia kepada suatu refleksi bahwa Allah yang absolut, yang menjadi asal muasal realitas ini selalu hadir, dan adaserta dekat dengan realitas ciptaanNya. Percayaan ini membawa manusia kepada pemahaman bahwa, meskipun manusia sebagai makhluk tidak sempurna tetapi Allah yang transendent itu senantiasa dekat dengan manusia untuk membimbing dn mengarahkan manusia kepada jalan hidup yang benar. Keberhadapan dengan yang absolut ini, adalah suatu yang menakutkan, menggetarkan dan mempesona: “Mysterium Tremendum et Fascinossum”. Suatu kesadaran bahwa, berhadapan dengan realitas absolut ini manusia selalu dihantar kepada suatu perasaan  yang mempesonan sekaligus menakutkan. Karena penyadaran bahwa manusia makhluk tak sempurna di hadapan realitas teringgi.


II.    Pribadi dihadapan yang absolut
       Manusia sebagai makhluk terbatas (tak sempurna) senantiasa menyadari ketakberdayaannya di hadapan yang absolu (Allah). Hidup keagamaan yang utuh tidak hanya dipenuhi oleh ajaran-ajaran dan praktek-prakteknya. Umat beragama juga perlu mengalami Allah yang hidup demi kedewasaan iman secara utuh. Orang-orang sederhana zaman dulu peka dan mudah mengalami Yang Ilahi. Nabi Ayub akhirnya mengakui bahwa sebelum penderitaan hebatnya ia belum mengenal Allah secara pribadi. Ayub secara eksplisit mengakui kemahakuasaan Allah, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”. (Ayb 42:5-6)
      Pengalaman perjumpaan Ayub dengan Yahweh, serupa dengan pengalaman keagamaan yang lahir dari suatu refleksi perjumpaan pribadi dengan pribadi yang absolut. Hal ini dimungkinkan karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan Allah sudah mewahyukan diri kepada semua manusia. Pengalaman religius bisa terjadi dalam konteks bermacam-macam seperti doa, meditasi, penyembahan, pujian, berbahasa lidah, kesembuhan ilahi atau bahkan pengalaman-pengalaman ekstase yang mirip kesurupan. Dengan diciptakan menurut citra Allah manusia mampu menyapa dan disapa Allah. Manusia mempunyai kecenderungan dasar untuk mencari Allah dan dalam batas-batas tertentu bisa mengalami Allah.
        Pengalaman religius tidak pernah sepenuhnya terjelaskan dengan kata-kata manusia, namun juga tidak pernah tak terjelaskan sama sekali. Di hadapan Allah yang serba maha itu, kata-kata manusia terasa miskin dan sumbang. Maka dalam pengalaman religius perlu sekali keseimbangan antara aspek rasional dan aspek non rasional. Bila pengalaman religius takluk di bawah komando rasio, agama cenderung dihayati secara formal dan dingin. Inilah bahaya dari mereka yang terlalu menekankan formula-formula ajaran di alas segala-galanya dan mengabaikan pengalaman religius yang tidak pernah bisa di kungkung oleh rumusan-rumusan iman. Namun kalau aspek non rasional terlalu mendominasi aspek rasional, akan tersedia lahan yang subur bagi tumbuhnya mistisisme.


III. Iman yang transenden sekaligus imanen
       Dikatakan bahwa pengalaman religius merangkul sekaligus aspek-aspek subyektif dan obyektif, aspek-aspek rasional dan non rasional, tanpa subordinasi aspek yang satu terhadap lainnya. Pertanyaannya apakah yang klaim manusia atas pengalaman religius selalu benar? Ternyata pengalaman seperti pengalaman religius tidak hanya dihasilkan dari perjumpaan manusia dengan Yang Ilahi. Kuasa gelap juga bisa memberi pengalaman yang mirip sekali dengan pengalaman religius (quasi-religious). Meskipun perasaan akan Yang Ilahi dalam perkembangannya yang tertinggi berbeda dari 'rasa takut akan setan,' namun dalam levelnya yang tertinggi tidak dipungkiri asal-usul atau kesamaannya. Bahkan ketika penyembahan akan 'setan-setan' sudah mencapai level yang lebih tinggi bagaikan menyembah allah-allah, allah-allah ini masih mempertahankan sesuatu dari dunia roh (numina) yang di dalam diri orang yang menyembah tertinggal sebagai perasaan 'gaib' dan 'dahsyat,' yang tetap bertahan bersama rasa mulia dan agung atau yang sudah dilambangkan melalui rasa agung itu.
       Pengalaman religius bersifat rasional sekaligus non rasional. Suatu perjumpaan dengan Allah bisa diterima tanpa harus menerjemahkan pengalaman itu seluruhnya ke dalam kategori-kategori rasional. Kita begitu kecil dan terbatas, sedangkan Allah sendiri serba maha, tak terukur dan tak terbatas. Maka di satu pihak pengalaman religius bisa dijelaskan secara rasional, namun di lain pihak penjelasan rasional itu tak pernah mencukupi. Di dalam teologi misalnya, kita berusaha untuk mengidentifikasi Allah sebagai roh, punya rencana dan kehendak, baik, berkuasa, dll. Semua istilah ini diambil dari konsep-konsep insani dalam dunia sehari-hari dan oleh karenanya dapat kita pahami. Namun manakala kita mengira bahwa Allah adalah sama seperti yang termuat di dalam konsep-konsep ini, agama melarangnya. Kedirian Allah jauh melampaui apa yang dapat dikatakan dan dipahami manusia. Diri Allah sendiri atau Ding an sich. meminjam istilah Kant. tak terjelaskan baik oleh kata-kata maupun daya rasio manusia yang terbatas. Maka kepada atribut-atribut rasional itu teologi menambahkan "maha." Allah disebut mahatahu, mahakuasa, mahahadir. Atribut-atribut seperti ini cuma hanya mau mengatakan satu hal yakni bahwa di dalam diri Allah yang telah menyatakan diri itu. tetap ada aspek-aspek non rasionalnya. Itulah sebabnya dari pada menyebut Allah sebagai yang kudus dengan konotasi moralnya. Otto memilih sebuah istilah lain Numen atau Nummosum. Di dalam pengalaman religius manusia adalah subyek yang mengalami dan Yang Ilahi dialami sebagai obyek. Dari segi ini, pengalaman religius memiliki segi subyektif dan obyektif. Ditinjau dari obyek pengalaman, pengalaman religius terjadi berkat ada realitas Ilahi di luar diri manusia.
       Ditinjau dari subyek yang mengalami pengalaman religius merupakan sebuah proses psikologis yang terjadi di dalam diri seseorang. Tanpa realitas obyektif di luarnyapun seseorang bisa "merasa" mengalami seperti pada kasus halusinasi. Oleh karena itu, sulit sekali kita membantah seseorang yang mengklaim bahwa ia mempunyai pengalaman religius seperti mendapat visi atau beban khusus dari Tuhan. Karena bisa saja sebuah pengalaman religius begitu subyektifnya, sehingga pengalaman itu sebenarnya bukan lahir dari kontak subyek dengan realitas Ilahi obyektif di luarnya.
Dalam karyanya yang amat termasyur Das Heilige Rudolf Otto menggambarkan pengalaman religius sebagai sebuah pengalaman yang paradoks, di satu pihak menggentarkan, namun di lain pihak mempesonakan. Di dalam Yang Ilahi ada sesuatu yang ambigu, yaitu antara hal yang mendahsyatkan dan sekaligus menarik hati manusia untuk mendekati-Nya. Struktur Numinosum seperti ini merupakan obyek dari perasaan-perasaan religius yang terdiri alas dua kutub. Kedua kutub ini serentak dialami. Jauh namun juga terasa dekat. Asing namun juga akrab. Harmoni dari pertentangan struktur rangkap ini merupakan dasar pengalaman religius. Dalam filsafat agama kedua kutub ini muncul dalam faham transendensi dan imanensi Allah. Sedangkan di dalam teologi hal ini nyata dalam keadilan Tuhan yang menghakimi namun sekaligus merahmati.
   Pertama, manusia mengalami Allah sebagai mysterium tremendum (misteri yang mendahsyatkan). Yang Ilahi dialami sebagai sebuah misteri. Arti misteri adalah bahwa Yang Ilahi dirasakan sebagai Ada yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia dan sama sekali asing tak dikenal. Yang Ilahi sama sekali berbeda dari manusia dan segala yang duniawi Dialah Yang Mahalain (The Wholly Other). Berhadapan dengan Yang Maha lain ini manusia merasa tercengang dan bingung. Ini bukan cuma karena akal budi kita terbatas, melainkan karena juga memang Yang Ilahi bukan sesuatu yang terdapat di dalam dunia biasa (supernatural). Yang Ilahi bukan apa-apa, yang dalam kepercayaan Budhisme disebut sunyata (kekosongan). Maka, Tersteegen bisa mengatakan, "Em begriffener Gott ist kem Gott" (Allah yang bisa dimengerti adalah bukan Allah). Yang Ilahi dialami sebagai yang mendahsyatkan dan tak terhampiri (Latin. tremendum). Pengalaman akan Yang Ilahi seperti itu menimbulkan rasa takut di dalam diri manusia. Kegentaran ini dikarenakan manusia memiliki apa yang disebut sebagai kesadaran sebagai makhluk yang fana (creature feeling). Creature feeling ini berasal dari creaturehood (Jerman, Geschoplichkeit), yakni kesadaran eksistensial dari seorang yang berhadapan dengan Yang Mahakuasa dan Mahamulia dan bukan berasal dari createness (Jerman, Geschaffenheit) yaitu kesadaran seseorang bahwa dirinya terbatas sebagai makhluk ciptaan. Creature feeling adalah semacam emosi yang menguasai manusia tanpa terbendung ketika dirinya berhadapan dengan kemahaan dari Yang Ilahi (overpoweringness, majesty), sehingga ia merasa dirinya bukan apa-apa, kecil, tak berarti dan tak berdaya (bdk. Kej 18:27MZm 8:4-5Yes 6:3,5).
       Kedua, rasa takut akan Yang Ilahi ini tidak berjalan sendiri. Suatu pengalaman lain menyertai rasa takut itu sehingga manusia berani mencari Yang Ilahi. Inilah rasa tertarik yang mendorong orang yang sama untuk mendekati Allah (Latin, fascinans/fascinosum). Wujud dari perasaan fascinans ini misalnya adalah rasa bergantung sebagai makhluk ciptaan yang menenteramkan hati manusia yang gelisah. rasa kasih, rasa merindukan, rasa percaya, rasa bahagia dan damai yang melampaui segala akal (bdk. Flp 4:7). Seseorang bersaksi demikian, Untuk sesaat tiada lain yang tinggal tetap selain sukacita dan kegembiraan yang meluap-luap tak terlukiskan. Mustahil untuk menggambarkan seluruh pengalaman itu seperti efek dari karya orkes yang agung ketika semua nada yang terpisah berpadu membantu sebuah harmoni yang semakin membesar yang membuat pendengar cuma menyadari bahwa jiwanya sedang dibawa naik dengan emosi yang hampir meletup. Perasaan-perasaan seperti ini juga dialami orang Kristen, misalnya, pada kejadian-kejadian istimewa seperti pertobatan dan kelahiran kembali, di mana ia dibebaskan dari rasa bersalah dan belenggu dosa.


IV. Iman yang membangun: Suatu Kesadaran Personal
        Kenyataan bahwa iman merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari kenyataan hidup manusia membawa kepada kesadaran bahwa iman senantiasa ada dalam realitas manusia itu sendiri. Iman membawa manusia kedalam kedalaman jati dirinya sebagai makhluk persona, sebagai citra Allah, hakikat diri yang melampaui batas kemampuan manusia untuk membentuk suatu keterpasrahan diri kepada yang absolut, kepada Allah sumber hidupnya. Realitas Indonesia merupakan negara yang majemuk yang di dalamnya terdapat pluraritas keagamaan mengandung arti bahwa kekristenan tidaklah seorang diri. Meskipun kekristenan berada di tengah iman yang berbeda, secara kualitatif setiap warga negara Indonesia memiliki persamaan hak-hak asasi. Sebagai warga negara yang baik, kita harus menjunjung tinggi menjunjung tinggi Pancasila (dalam hal ini adalah sila pertama). Dengan dasar ini kita yakin bahwa toleransi keagamaan secara murni dan konsekuen dituntut dari umat yang berbeda agama. Maka, kita tidak boleh menjadi kelompok eksklusif yang menarik diri dari dunia sehingga hakekat kita yang harus berperan sebagai garam dan terang bagi dunia terbatas bagi kelompok kalangan sendiri saja. Namun kita juga tidak boleh kompromi dalam prinsip-prinsip kebenaran yang kita yakini. Jangan sampai hakekat kebenaran Kristen kehilangan keunikannya. Dalam hal ini, jangan pula kita terjebak untuk menengahi dengan mencampuradukkan kebenaran-kebenaran yang ada menjadi suatu kebenaran baru yang dapat diterima semua golongan.
       Pengalaman religius harus bermakna dalam arti bila memperkaya dan melengkapi pengalaman sehari-hari; berharga dalam arti pengalaman itu menegaskan ulang kesadaran kita sebagai makhluk dan nilai eksistensi kita; koheren dalam arti meskipun pengalaman religius memiliki sisi non rasional, namun tetap ada signifikansi rasional, moral dan kultural. Pengalaman religius bisa dilihat dari kelayakan obyek pengalaman itu bagi kepedulian dan penyerahan kita yang terdalam perubahan terjadi dalam perilaku dan sikap orang yang memiliki pengalaman religius; sebuah pengalaman religius harus cocok dengan kelompok acuan religius di mana orang itu berada (reference group). Di sinilah pentingnya persekutuan orang percaya. Apa yang dialami seseorang juga dialami oleh orang lain (intersubjective verification). Untuk orang yang mengaku punya pengalaman khusus seharusnya pengalaman itu juga diakui oleh orang Kristen lainnya. Maka kalau suatu pengalaman religius diterima dan berlaku umum di dalam suatu kelompok religius yang tidak bisa dikatakan bidat, prinsipnya adalah menerima dulu bahwa pengalaman itu benar sampai ada bukti yang lebih kuat yang dapat meragukan pengalaman itu. Kalau kita percaya bahwa Roh Kudus ada dengan salah satu manifestasi-Nya berbahasa lidah, kita harus dengan sangat hati-hati untuk menghakimi pengalaman itu di dalam diri seseorang sebagai hal yang di manipulasi. Kita boleh langsung meragukan suatu pengalaman religius, kalau jelas tahu bahwa apa yang dialami itu sebenarnya tidak ada atau kalau orang yang mengalaminya dalam kondisi yang meragukan seperti mabuk, emosi yang labil.
       Akhirnya, dalam menilai sebuah pengalaman religius yang spektakuler hendaknya kita bisa membedakan mana yang menjadi inti pengalaman dan mana yang merupakan bumbu-bumbunya. Misalnya, ada seorang yang baru disembuhkan secara ajaib dari penyakit yang secara medis tersembuhkan. Dalam pengalamannya itu orang ini bersaksi bahwa Tuhan Yesus menyembuhkan dia melalui mimpi, di mana di dalam mimpi itu ia diajak berjalan jalan di sorga dan melihat Petrus yang berbaju biru dst. Inti dari pengalaman rohani ini adalah disembuhkan secara ajaib, sedangkan bumbu-bumbunya adalah tour di sorga dan perjumpaan dengan banyak orang dan hal. Terhadap inti dari pengalaman rohani kita tidak boleh terlalu cepat curiga, apalagi kalau faktanya memang betul. Namun terhadap detil pengalaman perlu di kaji secara kritis, karena setiap pengalaman religius bersifat subyektif. Barangkali untuk tidak jatuh ke dalam debat kontroversial, Rasul Paulus dengan amat hati-hati menceritakan pengalamannya diangkat ke tingkat ketiga sorga (2Kor 12:1-7). Baginya pengalaman spektakuler seperti itu bukan untuk disaksikan ke mana-mana, melainkan untuk menjadikannya seorang yang lebih menyadari apa arti hidupnya.


V.    Penutup
        Pengalaman religius, perlu bisa dimengerti menurut suatu konteks rasional, moral dan kultural tanpa harus dijelaskan secara tuntas. Yang terakhir "tanpa harus dijelaskan tuntas" perlu digarisbawahi. Dalam mengecek pengalaman religius orang lain kita harus selalu ingat bahwa Allah itu tak terbatas, sehingga cara yang dipakai-Nya juga tak terbatas seperti yang ditegaskan oleh Evan.  Karena Allah mahakuasa dan sama sekali bebas, maka Ia memiliki kemungkinan inisiatif yang terbesar. Nampaknya mustahil seseorang mengalami Allah kecuali Allah menghendaki hal itu terjadi. Dan nampaknya sulit atau juga mustahil bagi kita untuk mengatakan kapan Allah mau melakukan hal itu. Dalam pengalaman religius harus ada keseimbangan di antara aspek rasional dan aspek non rasional supaya pengalaman itu dihayati secara utuh.


AKU DAN YANG LAIN: Epiphani Wajah - Emanuel Levinas

AKU DAN YANG LAIN
(Refleksi Filosofis Mengenai Hubungan Aku Dengan Yang Lain
Dalam Terang Filsafat Levinas)



I. Pendahuluan
            Telah sekian lama bahkan sampai dengan zaman ini pengaruh filsafat totalitas yang ditandai dengan menjadikan “ego” sebagai titik sentral dalam memaknai suatu kebenaran, dijadikan sebagai titik pijak bagi setiap aspek kehidupan manusia. Dalam kerangka berpikir seperti ini, kemanusiaan kemudian bukan lagi merupakan hal yang diutamakan. Eksistensi manusia yang seharusnya juga ditentukan oleh hubungannya dengan “yang lain dalam keberlainannya” dipersempit dalam totalitas kesadaran aku. Dirikulah yang utama, bukan dia yang lain. “Yang lain” dinomorduakan dan hanya masuk dalam relasi dengan aku sejauh ia mendukung keberadaanku, sejauh ia berfungsi dan berguna dalam relasinya dengan aku. Yang lain ada karena ada aku.  Akulah yang utama, bukan dia. Aku bahkan bisa membunuh yang lain jika aku mau. Aku bahkan bisa menindas yang lain jika dirasa perlu. Aku mengutamakan diriku.
Dibutuhkan sebuah rekonstruksi pola pikir untuk menggantikan cara berpikir lama yang mengutamakan aku. Maka “filsafat alteritas” Emmanuel Levinas[1] hadir sebagai yang memberi jawaban bagi kebutuhan tersebut. Yang lain bukan lagi yang nomor dua, melainkan yang harus ditempatkan pada tempat yang pertama sebagai yang terhormat, yang menuntut tanggung jawab aku untuk melindunginya.     

II. Filsafat Tentang “Yang Lain”
2.1. Siapakah “Yang Lain”?
    Emmanuel Levinas hadir sebagai filsuf yang menggugat otoritas filsafat totalitas yang menurutnya melupakan “dia yang lain dalam keberlainannya”. Dalam filsafat totalitas “dia yang lain” itu diserap dalam identitas diri sendiri, direduksikan ke dalam kesadaran “aku” semata-mata, “The other” dijabarkan menjadi “The same.”  Bertolak dari kritiknya terhadap filsafat totalitas, Levinas kemudian menyusus sebuah etika baru yang mengutamakan “dia yang lain dalam keberlainannya”. Etika kemudian disebutnya sebagai filsafat pertama.[2]
            Siapakah “dia yang lain dalam keberlainannya” itu menurut Levinas? Melalui jalan yang dinamakan Via Negativa, Levinas menyebut “dia yang lain dalam keberlainannya” itu sebagai “yang bukan aku”. Yang lain adalah yang bukan aku. Levinas menyebutnya “Il est que moi, je ne suis pas”, dia yang lain adalah yang bukan aku. Untuk memahami “yang lain” aku tidak dapat memulai dari diriku, karena mamulai dari diriku berarti memulai dari dunia pemahaman dan persepsiku. Jalan yang baik untuk memahami “yang lain” adalah memulai dari dunianya, yaitu dari keberlainannya. Dunianya adalah keberlainannya.[3] Namun yang lain itu adalah suatu realitas ketakberhinggaan, yang tak dapat saya jangkau dengan pikiranku. Yang lain itu tak terbatas, bahkan merupakan fakta terberi, datang dari suatu dunia yang asing yaitu suatu dunia yang belum pernah saya kenal. Ia datang dari atas atau dari seberang sana.[4]

2.2. “Yang Lain” Sebagai Yang Eksterior Sekaligus Heteronom
            Yang lain juga berciri eksterior sekaligus heteronom. Yang lain sebagai yang eksterior tidak saja dapat dimengerti sebagai suatu realitas yang saya jumpai di luar kesadaranku tetapi juga dan terutama merujuk pada realitas yang transenden, yang melampaui dunia kesadaranku, suatu realitas yang tidak masuk dalam konteks pemahamanku. Yang lain sebagai yang heteronom merujuk pada aspek keberlainannya secara radikal dan absolut.[5]
            Yang lain dengan ciri personal, eksterior, heteronom, tapi juga transendental adalah yang lain sebagai yang tak berhingga. Karena ia tak berhingga, ia tak mampu dipahami secara tuntas. Yang lain adalah misteri yang terlampau besar bagi kesadaran aku. Yang lain juga bukan “aku yang lain” (alter ego). Satu-satunya yang harus aku lakukan adalah menerima kehadirannya dan membiarkan dia berbicara tentang dirinya. Aku dan yang lain menunjukkan sebuah hubungan yang asimetris; yang lain ditempatkan sebagai yang lebih besar, universal. Relasiku dengan yang lain adalah relasi asimetris.

2.3. Ephipani Wajah
            Yang lain hadir dalam epiphani wajah. Dalam epiphani wajah terdapat kehadiran dari “Dia yang tak hadir.” Yang tak hadir itu menampakkan kehadirannya. Wajah di sini adalah wajah dalam pengertian metafisis sebagai suatu cara di mana yang lain menapakkan diri. Wajah dalam pengertian metafisis adalah momen kehadiran yang lain dengan segala keberlainannya yang melampaui keanekaan ciri-ciri indrawi. Wajah adalah revelasi dari yang lain sebagai yang transenden. Wajah memanifestasikan yang infinitas, yang tak berhingga.[6] 
            Tampilnya wajah “dia yang lain” itu sendiri sudah berbicara dalam bahasanya sendiri. Bahasa yang bukan semata jajaran bahasa kosong tanpa pendukung arti. Bahasa itu adalah bahasa yang paling langsung, bahasa wajah. Tinggalah sekarang jawaban dari pihak aku.[7] Wajah mewartakan suatu ketelanjangan (la nudite). Suatu ketelanjangan yang menunjukkan bahwa pada wajah terbersit suatu figur kemiskinan. Figur ini menunjukkan suatu ketakberdayaan. Suatu kelemahan yang serentak mengandung di dalam dirinya suatu undangan etis[8]. Yang lain yang tampak sebagai wajah itu, hadir sebagai janda, sebagai yatim piatu dan sebagai orang asing. Karena kehadirannya yang demikian, aku dituntut untuk bertanggung jawab, aku dituntut untuk memberikan tumpangan dan menyelamatkan dia. Kehadirannya mengganggu aku, dan aku harus bertanggung jawab atas kehadirannya. Yang utama di sini adalah tanggung jawab aku terhadap kehadirannya yang mengganggu, dan bukan tanggung jawab dia terhadap kehadiran aku. Karena itu apakah ia bertanggung jawab terhadap aku, itu bukan urusanku. Kehadirannya yang menuntut tanggung jawabku harus diletakkan pada tempat pertama dalam kesadaranku. Kehadiran yang lain sebagai wajah mengundang aku untuk melepaskan egoismeku dan berbalik kepadanya.

2.4. Tanggung Jawab Substitusi
Dalam hal tanggung jawab aku tidak bisa menggantikan yang lain. Beban orang lain bahkan harus siap saya tanggung. Tanggung jawabnya adalah tanggung jawabku. Inilah tanggung jawab substitusi. Obsesi tanggung jawab adalah pergerakan menuju posisi orang lain. Pergerakan seperti ini mengandung konsekuensi “Aku meninggalkan duniaku.” Pergerakan seperti ini menghantar aku pada konsekuensi besar yaitu “kehilangan”, kehilangan keterikatan dengan dunia sendiri. Aku kehilangan semua, termasuk kehilangan diri sendiri. Kehilangan seperti ini berarti kematian. Tanggung jawab substitusi berarti kematian. Kematian di sini selalu dikaitkan dengan orang lain. Kematianku adalah kematian etis.
Filasafat tentang yang lain mengacu pada hubungan “I – The other” dan bukan “I – Thou.I – The other menunjuk pada semua yang lain, karena itu semua yang lain harus disapa sebagai saudara. Di sana yang nampak adalah sebuah persaudaraan universal, Universal Brotherhood, yang melampaui kultur, gen dan bahasa. Persaudaraan seperti ini berlandaskan pada suatu hal yaitu “kemanusiaan universal.”[9]

2.5. Aku Sebagai Yang Tergugat
            Yang lain yang hadir dalam penampakkan wajah adalah janda, yatim piatu dan orang asing. Inilah ketelanjangan yang lain. Dalam ketelanjangannya yang lain terus mengganggu aku dengan teriakannya; “engkau tidak boleh membunuh aku, engkau harus memberi aku tumpangan”. Ketelanjangannya membawa pesan damai dan bukan kekerasan. Ketelanjangannya adalah penderitaannya. Dengan menggugat saya, dia tidak mengurangi kebebasan saya, dan tetap terbukalah jalan buat kebaikan hati dari pihak saya sendiri yang muncul dari kebebasan dan inisiatif saya sendiri untuk menjawab. Dalam ketergugatan itu aku dituntut untuk membuka hatiku kepadanya. Di sini aku hadir sebagai “aku yang tergugat.” Aku tergugat karena dia yang lain itu hadir dalam ketelanjangannya
Dia yang lain bukan menyerang saya dengan pandangannya karena ia bukan musuh saya. Dia mengajak saya untuk berhubungan damai. Damai itu bukan damai yang diakibatkan kekalahan di satu pihak dan kemenangan di pihak lain. Damai itu bukan suatu negativitas. Damai itu damai saya, damai dia. Saya bukan kalah, dia bukan menang, demikian pula sebaliknya. Damai itu tak terkalahkan oleh senjata, tak dipupuk oleh kemenangan. Lebih dari itu, damai itu timbul dari hubungan dengan “dia yang lain” yang datang dengan kuasa “Dia Yang Sama Sekali Lain” , “Dia Yang Mahatinggi”.[10]

III. Menilik Relevansi Pemikiran Levinas Dalam Kehidupan Zaman Sekarang
            Tidak terlepas dari pemikiran Levinas di atas, dalam refleksi filsafat manusia dikatakan bahwa aku dan yang lain memiliki suatu hubungan timbal balik. Di satu pihak “aku”, subyektivitasku, ditentukan oleh “Yang Lain”. Karena itu eksistensiku saya terima sebagai anugerah dari Yang Lain dan karena itu saya perlu menerimanya dengan rendah hati dan penuh rasa syukur. Di lain pihak “Yang Lain” ditentukan juga oleh “aku”. Hubungan timbal balik seperti ini, menegaskan bahwa “aku” dan “yang lain”, kedua-duanya merupakan subyek-subyek yang harus saling menghormati. Aku dan Yang Lain saling memberikan arti dan saling mengadakan. Korelasi itu bersifat ko-kreatif. Aku dan subyek lain ataupun substansi yang lain, merupakn pusat-pusat yang “berotonomi-di dalam-korelasi” atau sebaliknya pusat-pusat yang “berkorelasi-di dalam-otonomi”. Dirumuskan secara lebih tegas dan radikal, aku dan yang lain “identik-di dalam-distingsi” sekaligus “disting-di dalam-identitas”.[11] Hubungan aku dan yang lain diterima sebagai hubungan timbal-balik. Inilah konsep umum diterima pada masa kini sebagai konsep yang menggambarkan bagaimana relasi aku dengan yang lain. Sayangnya dalam kehidupan praktis pada umumnya, kecenderungan untuk menonjolkan diri “aku” di atas “Yang Lain” lebih kuat sehingga aku cenderung ingin mendominasi kehidupan yang lain. Dalam kerangka konseptual seperti ini, Levinas hadir sebagai seorang filsuf yang coba kembali mengangkat keberadaan “Yang Lain dalam keberlainannya” sebagai subyek yang setara dengan “aku”. Karena itu menurut Levinas relasi aku dengan yang lain haruslah relasi asimetris.
            Levinas tetap tampil sebagai seorang filsuf yang memberikan pokok-pokok pikiran filosofis yang gemanya selalu dapat kita dengar. Akhir-akhir ini dunia boleh dikatakan sedang dilanda krisis kemanusiaan. Orang tidak lagi mementingkan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perang yang terjadi di mana-mana, hal ini menjadi bukti konkret terkoyaknya nilai-nilai luhur kemanusiaan yang semestinya dilindungi, dijunjung tinggi dan dihormati. Penyelesaian masalah dengan kekerasan seolah-olah menjadi legal, sampai-sampai orang tidak mementingkan lagi akal sehat. Situasi dunia seperti ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang nilai relasi aku dengan “dia yang lain dalam keberlainannnya” yang sebenarnya berada dalam hubungan yang sederajad tidak lagi jadi hal utama. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa apa yang dulu dicemaskan oleh Levinas mengenai tendensi filsafat totalitas yang mengutamakan “ego” dan mengabaikan “yang lain dalam keberlainannya” kini telah kembali merasuk ke dalam dunia. Makna etika dalam relasi antarmanusia telah hilang.
            Hubungan etis-asimetris antara aku dan yang lain, pertama-tama mesti ditunjukkan dalam hubungan aku dengan yang lain secara konkret saat ini. Artinya, ketika saya berhadapan dengan orang lain, maka sikap hormat dan menghargailah yang pertama-tama harus saya tunjukkan. Ideal perdamaian yang dicita-citakan setiap manusia hanya bisa terwujud jika hubungan aku dengan yang lain saat ini dan di sini sudah lebih dahulu dibangun[12]. Bila aku sudah sanggup menghargai yang lain yang berangkat dari ketergugatan diriku karena penampakan ketelanjangan yang lain, maka tidaklah mustahil hubungan aku dengan yang  lain tersebut akhirnya merupakan hubungan cinta kasih. Juga tidak akan ada anarki dan tirani dalam hubungan seperti itu. 
            Apa yang telah disampaikan oleh Levinas, juga telah membongkar kesadaran aku yang selalu berada di bawah tendensi egosentrisme. Kehadiran orang lain sebagai wajah mengundang aku untuk melepaskan egoismeku dan berbalik kepadanya.. Dengan kata lain aku harus lebih dahulu mengalah. Aku harus selalu siap selalu berada di pihak yang kalah. Akan tetapi kekalahanku bukanlah kekalahan yang diakibatkan oleh karena aku kehilangan kebebasanku melainkan kekalahan aku di sini hanya karena aku mau mengutamakan yang lain.

IV. Penutup
            Filsafat tentang “yang lain” dari Levinas kiranya merupakan mutiara berharga yang sanggup berbicara dalam situasi dunia sekarang ini yang dirasuki oleh individualisme dan egoisme sebagai spirit negatif yang memecah belah umat manusia. Setidak-tidaknya, ide-ide Levinas mampu menegaskan kembali kesadaran kita bahwa etika tetap merupakan hal yang juga harus berada dalam tempat pertama dalam relasi aku dengan orang lain, juga relasi kita sebagai satu kelompok dengan orang-orang lain yang berada dalam kelompok yang lain.
            Banyak orang mungkin belum dapat mengerjakan apa yang telah dianjurkan oleh Levinas melalui ide-ide filosofisnya, karena memang apa yang dicita-citakan oleh Levinas terlampau amat besar. Ia mencita-citakan suatu taraf hidup yang lebih tinggi. Meski demikian, tetap merupakan hal yang pasti bahwa akan tetap ada ruang terbuka bagi kita untuk dapat menghormati orang lain dalam keberlainannya.           


                                                          


DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU-BUKU
Aloysius Adeseputra, Dia Yang Lain: Sesama Menurut Emmanuel Levinas, dalam Driyarkara, tahun III, No. 1 dan 2.

Agus Cremers (Penyu.), Masyarakat Bebas Agresivitas, Bunga Rampai Karya Erich Formm Maumere: Penerbit Ledalero, 2004.


Budi Hadirman, Filsafat Modern; dari Machiavelli Sampai Nietzsche Jakarta: Penerbit PT. Garmedia Pustaka Utama, 2007.


Felix Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisis yang Heteronom (Berpikir Bersama Levinas)”, dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi (ed), Mengabdi Kebenaran. Maumere: Ledalero,2005.

II. ARTIKEL DAN MANUSKRIP
Felix Baghi, “Emmanuel Levinas: Dia Yang Lain Dalam Relasi Etis-Asimetris”, dalam VOX   Seri 36

Felix Baghi, Levinas dan Derrida (kuliah mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008

Leo Kleden dalam kuliah mimbar filsafat manusia mengetengahkan bahwa hubungan aku dengan yang lain adalah hubungan timbal balik. Aku mengadakan yang lain sekaligus aku diadakan oleh yang lain. Aku diartikan oleh yang lain sekaligus aku diartikan oleh yang lain. Bdk. P. Leo Kleden SVD, “Manusia Berkorelasi dengan yang lain (sosialitas manusia)” (Kuliah Mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008. 

                                                                                                        
Servasius Salvano Jaman cs, Etika dan Wajah (Seminar Fenomenologi Eksistensial), Maumere:     STFK Ledalero, 2006.






Endtnote:




       [1]Emmanuel Levinas lahir di Konvo-Lithuania dari keluarga Yahudi pada tahun 1906. Sejak kecil ia sudah berkenalan dengan Kitab Suci dan karya-karya sastra dan filsfat. Karya-karya sastra klasik membantunya untuk mencari makna hidup sekaligus pengantar untuk mengenal filsafat. Karena itu pemahaman tentang ide-ide filosofisnya tidak pernah terlepas dari latar belakang ini. Pada masa mudanya ia pernah menyaksikan revolusi 1917 di Ukraina. Pada tahun 1923 ia belajar filsafat di Universitas Strasbourg dan pada tahun 1928/1929 ia belajar di Freiburg. Di sini ia berkenalan dengan literatur-literatur filsafat dan pada usia 18 tahun, ia belajar filsafat di bawah bimbingan empat profesor. Pada tahun 1961 ia menerbitkan tesis doktoralnya dengan judul Totalite et Infini dan berkat tesisnya ini ia diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas Poitiers. Kemudian ia ditempatkan di Universitas Paris-Nanterre pada tahun 1967, dan selanjutnya memangku jabatan sebagai guru besar filsafat di Sorbonne pada tahun 1973, hingga pensiun pada tahun 1976. bdk. Servasius Salvano Jaman cs, Etika dan Wajah (Seminar Fenomenologi Eksistensial), Maumere: STFK Ledalero, 2008, p.1.
       [2]Ibid.
       [3]Felix Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisis yang Heteronom (Berpikir Bersama Levinas)”, dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi (ed), Mengabdi Kebenaran (Maumere: Ledalero, 2005), p. 141.
       [4]Felix Baghi, “Emmanuel Levinas: Dia Yang Lain Dalam Relasi Etis-Asimetris”, dalam VOX Seri 36/2-3, (Maumere: Ledalero,1991), p. 34.
       [5]Servasius Salvano Jaman cs, Op.Cit., p.4. 
       [6]Ibid., p. 5.
       [7]Aloysius Adeseputra, Dia Yang Lain: Sesama Menurut Emmanuel Levinas, dalam Driyarkara, tahun III, No. 1 dan 2, p. 15.
       [8] Budi Hadirman, Filsafat Modern; dari Machiavelli Sampai Nietzsche (Jakarta: Penerbit PT. Garmedia Pustaka Utama, 2007), pp. 272-273.
       [9]Felix Baghi, Levinas dan Derrida (kuliah mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008.
       [10]Aloysius Adeseputra, Op.Cit., p. 16.
       [11]P. Leo Kleden dalam kuliah mimbar filsafat manusia mengtengahkan bahwa hubungan aku dengan yang lain adalah hubungan timbal balik. Aku mengadakan yang lain sekaligus aku diadakan oleh yang lain. Aku diartikan oleh yang lain sekaligus aku diartikan oleh yang lain. Bdk. P. Leo Kleden SVD, “Manusia Berkorelasi dengan yang lain (sosialitas manusia)” (Kuliah Mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008. 
       [12] Agus Cremers (Penyu.), Masyarakat Bebas Agresivitas, Bunga Rampai Karya Erich Formm (Maumere: Penerbit Ledalero, 2004), pp. 421-422