Minggu, 01 Februari 2015

AKU DAN YANG LAIN: Epiphani Wajah - Emanuel Levinas

AKU DAN YANG LAIN
(Refleksi Filosofis Mengenai Hubungan Aku Dengan Yang Lain
Dalam Terang Filsafat Levinas)



I. Pendahuluan
            Telah sekian lama bahkan sampai dengan zaman ini pengaruh filsafat totalitas yang ditandai dengan menjadikan “ego” sebagai titik sentral dalam memaknai suatu kebenaran, dijadikan sebagai titik pijak bagi setiap aspek kehidupan manusia. Dalam kerangka berpikir seperti ini, kemanusiaan kemudian bukan lagi merupakan hal yang diutamakan. Eksistensi manusia yang seharusnya juga ditentukan oleh hubungannya dengan “yang lain dalam keberlainannya” dipersempit dalam totalitas kesadaran aku. Dirikulah yang utama, bukan dia yang lain. “Yang lain” dinomorduakan dan hanya masuk dalam relasi dengan aku sejauh ia mendukung keberadaanku, sejauh ia berfungsi dan berguna dalam relasinya dengan aku. Yang lain ada karena ada aku.  Akulah yang utama, bukan dia. Aku bahkan bisa membunuh yang lain jika aku mau. Aku bahkan bisa menindas yang lain jika dirasa perlu. Aku mengutamakan diriku.
Dibutuhkan sebuah rekonstruksi pola pikir untuk menggantikan cara berpikir lama yang mengutamakan aku. Maka “filsafat alteritas” Emmanuel Levinas[1] hadir sebagai yang memberi jawaban bagi kebutuhan tersebut. Yang lain bukan lagi yang nomor dua, melainkan yang harus ditempatkan pada tempat yang pertama sebagai yang terhormat, yang menuntut tanggung jawab aku untuk melindunginya.     

II. Filsafat Tentang “Yang Lain”
2.1. Siapakah “Yang Lain”?
    Emmanuel Levinas hadir sebagai filsuf yang menggugat otoritas filsafat totalitas yang menurutnya melupakan “dia yang lain dalam keberlainannya”. Dalam filsafat totalitas “dia yang lain” itu diserap dalam identitas diri sendiri, direduksikan ke dalam kesadaran “aku” semata-mata, “The other” dijabarkan menjadi “The same.”  Bertolak dari kritiknya terhadap filsafat totalitas, Levinas kemudian menyusus sebuah etika baru yang mengutamakan “dia yang lain dalam keberlainannya”. Etika kemudian disebutnya sebagai filsafat pertama.[2]
            Siapakah “dia yang lain dalam keberlainannya” itu menurut Levinas? Melalui jalan yang dinamakan Via Negativa, Levinas menyebut “dia yang lain dalam keberlainannya” itu sebagai “yang bukan aku”. Yang lain adalah yang bukan aku. Levinas menyebutnya “Il est que moi, je ne suis pas”, dia yang lain adalah yang bukan aku. Untuk memahami “yang lain” aku tidak dapat memulai dari diriku, karena mamulai dari diriku berarti memulai dari dunia pemahaman dan persepsiku. Jalan yang baik untuk memahami “yang lain” adalah memulai dari dunianya, yaitu dari keberlainannya. Dunianya adalah keberlainannya.[3] Namun yang lain itu adalah suatu realitas ketakberhinggaan, yang tak dapat saya jangkau dengan pikiranku. Yang lain itu tak terbatas, bahkan merupakan fakta terberi, datang dari suatu dunia yang asing yaitu suatu dunia yang belum pernah saya kenal. Ia datang dari atas atau dari seberang sana.[4]

2.2. “Yang Lain” Sebagai Yang Eksterior Sekaligus Heteronom
            Yang lain juga berciri eksterior sekaligus heteronom. Yang lain sebagai yang eksterior tidak saja dapat dimengerti sebagai suatu realitas yang saya jumpai di luar kesadaranku tetapi juga dan terutama merujuk pada realitas yang transenden, yang melampaui dunia kesadaranku, suatu realitas yang tidak masuk dalam konteks pemahamanku. Yang lain sebagai yang heteronom merujuk pada aspek keberlainannya secara radikal dan absolut.[5]
            Yang lain dengan ciri personal, eksterior, heteronom, tapi juga transendental adalah yang lain sebagai yang tak berhingga. Karena ia tak berhingga, ia tak mampu dipahami secara tuntas. Yang lain adalah misteri yang terlampau besar bagi kesadaran aku. Yang lain juga bukan “aku yang lain” (alter ego). Satu-satunya yang harus aku lakukan adalah menerima kehadirannya dan membiarkan dia berbicara tentang dirinya. Aku dan yang lain menunjukkan sebuah hubungan yang asimetris; yang lain ditempatkan sebagai yang lebih besar, universal. Relasiku dengan yang lain adalah relasi asimetris.

2.3. Ephipani Wajah
            Yang lain hadir dalam epiphani wajah. Dalam epiphani wajah terdapat kehadiran dari “Dia yang tak hadir.” Yang tak hadir itu menampakkan kehadirannya. Wajah di sini adalah wajah dalam pengertian metafisis sebagai suatu cara di mana yang lain menapakkan diri. Wajah dalam pengertian metafisis adalah momen kehadiran yang lain dengan segala keberlainannya yang melampaui keanekaan ciri-ciri indrawi. Wajah adalah revelasi dari yang lain sebagai yang transenden. Wajah memanifestasikan yang infinitas, yang tak berhingga.[6] 
            Tampilnya wajah “dia yang lain” itu sendiri sudah berbicara dalam bahasanya sendiri. Bahasa yang bukan semata jajaran bahasa kosong tanpa pendukung arti. Bahasa itu adalah bahasa yang paling langsung, bahasa wajah. Tinggalah sekarang jawaban dari pihak aku.[7] Wajah mewartakan suatu ketelanjangan (la nudite). Suatu ketelanjangan yang menunjukkan bahwa pada wajah terbersit suatu figur kemiskinan. Figur ini menunjukkan suatu ketakberdayaan. Suatu kelemahan yang serentak mengandung di dalam dirinya suatu undangan etis[8]. Yang lain yang tampak sebagai wajah itu, hadir sebagai janda, sebagai yatim piatu dan sebagai orang asing. Karena kehadirannya yang demikian, aku dituntut untuk bertanggung jawab, aku dituntut untuk memberikan tumpangan dan menyelamatkan dia. Kehadirannya mengganggu aku, dan aku harus bertanggung jawab atas kehadirannya. Yang utama di sini adalah tanggung jawab aku terhadap kehadirannya yang mengganggu, dan bukan tanggung jawab dia terhadap kehadiran aku. Karena itu apakah ia bertanggung jawab terhadap aku, itu bukan urusanku. Kehadirannya yang menuntut tanggung jawabku harus diletakkan pada tempat pertama dalam kesadaranku. Kehadiran yang lain sebagai wajah mengundang aku untuk melepaskan egoismeku dan berbalik kepadanya.

2.4. Tanggung Jawab Substitusi
Dalam hal tanggung jawab aku tidak bisa menggantikan yang lain. Beban orang lain bahkan harus siap saya tanggung. Tanggung jawabnya adalah tanggung jawabku. Inilah tanggung jawab substitusi. Obsesi tanggung jawab adalah pergerakan menuju posisi orang lain. Pergerakan seperti ini mengandung konsekuensi “Aku meninggalkan duniaku.” Pergerakan seperti ini menghantar aku pada konsekuensi besar yaitu “kehilangan”, kehilangan keterikatan dengan dunia sendiri. Aku kehilangan semua, termasuk kehilangan diri sendiri. Kehilangan seperti ini berarti kematian. Tanggung jawab substitusi berarti kematian. Kematian di sini selalu dikaitkan dengan orang lain. Kematianku adalah kematian etis.
Filasafat tentang yang lain mengacu pada hubungan “I – The other” dan bukan “I – Thou.I – The other menunjuk pada semua yang lain, karena itu semua yang lain harus disapa sebagai saudara. Di sana yang nampak adalah sebuah persaudaraan universal, Universal Brotherhood, yang melampaui kultur, gen dan bahasa. Persaudaraan seperti ini berlandaskan pada suatu hal yaitu “kemanusiaan universal.”[9]

2.5. Aku Sebagai Yang Tergugat
            Yang lain yang hadir dalam penampakkan wajah adalah janda, yatim piatu dan orang asing. Inilah ketelanjangan yang lain. Dalam ketelanjangannya yang lain terus mengganggu aku dengan teriakannya; “engkau tidak boleh membunuh aku, engkau harus memberi aku tumpangan”. Ketelanjangannya membawa pesan damai dan bukan kekerasan. Ketelanjangannya adalah penderitaannya. Dengan menggugat saya, dia tidak mengurangi kebebasan saya, dan tetap terbukalah jalan buat kebaikan hati dari pihak saya sendiri yang muncul dari kebebasan dan inisiatif saya sendiri untuk menjawab. Dalam ketergugatan itu aku dituntut untuk membuka hatiku kepadanya. Di sini aku hadir sebagai “aku yang tergugat.” Aku tergugat karena dia yang lain itu hadir dalam ketelanjangannya
Dia yang lain bukan menyerang saya dengan pandangannya karena ia bukan musuh saya. Dia mengajak saya untuk berhubungan damai. Damai itu bukan damai yang diakibatkan kekalahan di satu pihak dan kemenangan di pihak lain. Damai itu bukan suatu negativitas. Damai itu damai saya, damai dia. Saya bukan kalah, dia bukan menang, demikian pula sebaliknya. Damai itu tak terkalahkan oleh senjata, tak dipupuk oleh kemenangan. Lebih dari itu, damai itu timbul dari hubungan dengan “dia yang lain” yang datang dengan kuasa “Dia Yang Sama Sekali Lain” , “Dia Yang Mahatinggi”.[10]

III. Menilik Relevansi Pemikiran Levinas Dalam Kehidupan Zaman Sekarang
            Tidak terlepas dari pemikiran Levinas di atas, dalam refleksi filsafat manusia dikatakan bahwa aku dan yang lain memiliki suatu hubungan timbal balik. Di satu pihak “aku”, subyektivitasku, ditentukan oleh “Yang Lain”. Karena itu eksistensiku saya terima sebagai anugerah dari Yang Lain dan karena itu saya perlu menerimanya dengan rendah hati dan penuh rasa syukur. Di lain pihak “Yang Lain” ditentukan juga oleh “aku”. Hubungan timbal balik seperti ini, menegaskan bahwa “aku” dan “yang lain”, kedua-duanya merupakan subyek-subyek yang harus saling menghormati. Aku dan Yang Lain saling memberikan arti dan saling mengadakan. Korelasi itu bersifat ko-kreatif. Aku dan subyek lain ataupun substansi yang lain, merupakn pusat-pusat yang “berotonomi-di dalam-korelasi” atau sebaliknya pusat-pusat yang “berkorelasi-di dalam-otonomi”. Dirumuskan secara lebih tegas dan radikal, aku dan yang lain “identik-di dalam-distingsi” sekaligus “disting-di dalam-identitas”.[11] Hubungan aku dan yang lain diterima sebagai hubungan timbal-balik. Inilah konsep umum diterima pada masa kini sebagai konsep yang menggambarkan bagaimana relasi aku dengan yang lain. Sayangnya dalam kehidupan praktis pada umumnya, kecenderungan untuk menonjolkan diri “aku” di atas “Yang Lain” lebih kuat sehingga aku cenderung ingin mendominasi kehidupan yang lain. Dalam kerangka konseptual seperti ini, Levinas hadir sebagai seorang filsuf yang coba kembali mengangkat keberadaan “Yang Lain dalam keberlainannya” sebagai subyek yang setara dengan “aku”. Karena itu menurut Levinas relasi aku dengan yang lain haruslah relasi asimetris.
            Levinas tetap tampil sebagai seorang filsuf yang memberikan pokok-pokok pikiran filosofis yang gemanya selalu dapat kita dengar. Akhir-akhir ini dunia boleh dikatakan sedang dilanda krisis kemanusiaan. Orang tidak lagi mementingkan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perang yang terjadi di mana-mana, hal ini menjadi bukti konkret terkoyaknya nilai-nilai luhur kemanusiaan yang semestinya dilindungi, dijunjung tinggi dan dihormati. Penyelesaian masalah dengan kekerasan seolah-olah menjadi legal, sampai-sampai orang tidak mementingkan lagi akal sehat. Situasi dunia seperti ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang nilai relasi aku dengan “dia yang lain dalam keberlainannnya” yang sebenarnya berada dalam hubungan yang sederajad tidak lagi jadi hal utama. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa apa yang dulu dicemaskan oleh Levinas mengenai tendensi filsafat totalitas yang mengutamakan “ego” dan mengabaikan “yang lain dalam keberlainannya” kini telah kembali merasuk ke dalam dunia. Makna etika dalam relasi antarmanusia telah hilang.
            Hubungan etis-asimetris antara aku dan yang lain, pertama-tama mesti ditunjukkan dalam hubungan aku dengan yang lain secara konkret saat ini. Artinya, ketika saya berhadapan dengan orang lain, maka sikap hormat dan menghargailah yang pertama-tama harus saya tunjukkan. Ideal perdamaian yang dicita-citakan setiap manusia hanya bisa terwujud jika hubungan aku dengan yang lain saat ini dan di sini sudah lebih dahulu dibangun[12]. Bila aku sudah sanggup menghargai yang lain yang berangkat dari ketergugatan diriku karena penampakan ketelanjangan yang lain, maka tidaklah mustahil hubungan aku dengan yang  lain tersebut akhirnya merupakan hubungan cinta kasih. Juga tidak akan ada anarki dan tirani dalam hubungan seperti itu. 
            Apa yang telah disampaikan oleh Levinas, juga telah membongkar kesadaran aku yang selalu berada di bawah tendensi egosentrisme. Kehadiran orang lain sebagai wajah mengundang aku untuk melepaskan egoismeku dan berbalik kepadanya.. Dengan kata lain aku harus lebih dahulu mengalah. Aku harus selalu siap selalu berada di pihak yang kalah. Akan tetapi kekalahanku bukanlah kekalahan yang diakibatkan oleh karena aku kehilangan kebebasanku melainkan kekalahan aku di sini hanya karena aku mau mengutamakan yang lain.

IV. Penutup
            Filsafat tentang “yang lain” dari Levinas kiranya merupakan mutiara berharga yang sanggup berbicara dalam situasi dunia sekarang ini yang dirasuki oleh individualisme dan egoisme sebagai spirit negatif yang memecah belah umat manusia. Setidak-tidaknya, ide-ide Levinas mampu menegaskan kembali kesadaran kita bahwa etika tetap merupakan hal yang juga harus berada dalam tempat pertama dalam relasi aku dengan orang lain, juga relasi kita sebagai satu kelompok dengan orang-orang lain yang berada dalam kelompok yang lain.
            Banyak orang mungkin belum dapat mengerjakan apa yang telah dianjurkan oleh Levinas melalui ide-ide filosofisnya, karena memang apa yang dicita-citakan oleh Levinas terlampau amat besar. Ia mencita-citakan suatu taraf hidup yang lebih tinggi. Meski demikian, tetap merupakan hal yang pasti bahwa akan tetap ada ruang terbuka bagi kita untuk dapat menghormati orang lain dalam keberlainannya.           


                                                          


DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU-BUKU
Aloysius Adeseputra, Dia Yang Lain: Sesama Menurut Emmanuel Levinas, dalam Driyarkara, tahun III, No. 1 dan 2.

Agus Cremers (Penyu.), Masyarakat Bebas Agresivitas, Bunga Rampai Karya Erich Formm Maumere: Penerbit Ledalero, 2004.


Budi Hadirman, Filsafat Modern; dari Machiavelli Sampai Nietzsche Jakarta: Penerbit PT. Garmedia Pustaka Utama, 2007.


Felix Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisis yang Heteronom (Berpikir Bersama Levinas)”, dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi (ed), Mengabdi Kebenaran. Maumere: Ledalero,2005.

II. ARTIKEL DAN MANUSKRIP
Felix Baghi, “Emmanuel Levinas: Dia Yang Lain Dalam Relasi Etis-Asimetris”, dalam VOX   Seri 36

Felix Baghi, Levinas dan Derrida (kuliah mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008

Leo Kleden dalam kuliah mimbar filsafat manusia mengetengahkan bahwa hubungan aku dengan yang lain adalah hubungan timbal balik. Aku mengadakan yang lain sekaligus aku diadakan oleh yang lain. Aku diartikan oleh yang lain sekaligus aku diartikan oleh yang lain. Bdk. P. Leo Kleden SVD, “Manusia Berkorelasi dengan yang lain (sosialitas manusia)” (Kuliah Mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008. 

                                                                                                        
Servasius Salvano Jaman cs, Etika dan Wajah (Seminar Fenomenologi Eksistensial), Maumere:     STFK Ledalero, 2006.






Endtnote:




       [1]Emmanuel Levinas lahir di Konvo-Lithuania dari keluarga Yahudi pada tahun 1906. Sejak kecil ia sudah berkenalan dengan Kitab Suci dan karya-karya sastra dan filsfat. Karya-karya sastra klasik membantunya untuk mencari makna hidup sekaligus pengantar untuk mengenal filsafat. Karena itu pemahaman tentang ide-ide filosofisnya tidak pernah terlepas dari latar belakang ini. Pada masa mudanya ia pernah menyaksikan revolusi 1917 di Ukraina. Pada tahun 1923 ia belajar filsafat di Universitas Strasbourg dan pada tahun 1928/1929 ia belajar di Freiburg. Di sini ia berkenalan dengan literatur-literatur filsafat dan pada usia 18 tahun, ia belajar filsafat di bawah bimbingan empat profesor. Pada tahun 1961 ia menerbitkan tesis doktoralnya dengan judul Totalite et Infini dan berkat tesisnya ini ia diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas Poitiers. Kemudian ia ditempatkan di Universitas Paris-Nanterre pada tahun 1967, dan selanjutnya memangku jabatan sebagai guru besar filsafat di Sorbonne pada tahun 1973, hingga pensiun pada tahun 1976. bdk. Servasius Salvano Jaman cs, Etika dan Wajah (Seminar Fenomenologi Eksistensial), Maumere: STFK Ledalero, 2008, p.1.
       [2]Ibid.
       [3]Felix Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisis yang Heteronom (Berpikir Bersama Levinas)”, dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi (ed), Mengabdi Kebenaran (Maumere: Ledalero, 2005), p. 141.
       [4]Felix Baghi, “Emmanuel Levinas: Dia Yang Lain Dalam Relasi Etis-Asimetris”, dalam VOX Seri 36/2-3, (Maumere: Ledalero,1991), p. 34.
       [5]Servasius Salvano Jaman cs, Op.Cit., p.4. 
       [6]Ibid., p. 5.
       [7]Aloysius Adeseputra, Dia Yang Lain: Sesama Menurut Emmanuel Levinas, dalam Driyarkara, tahun III, No. 1 dan 2, p. 15.
       [8] Budi Hadirman, Filsafat Modern; dari Machiavelli Sampai Nietzsche (Jakarta: Penerbit PT. Garmedia Pustaka Utama, 2007), pp. 272-273.
       [9]Felix Baghi, Levinas dan Derrida (kuliah mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008.
       [10]Aloysius Adeseputra, Op.Cit., p. 16.
       [11]P. Leo Kleden dalam kuliah mimbar filsafat manusia mengtengahkan bahwa hubungan aku dengan yang lain adalah hubungan timbal balik. Aku mengadakan yang lain sekaligus aku diadakan oleh yang lain. Aku diartikan oleh yang lain sekaligus aku diartikan oleh yang lain. Bdk. P. Leo Kleden SVD, “Manusia Berkorelasi dengan yang lain (sosialitas manusia)” (Kuliah Mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008. 
       [12] Agus Cremers (Penyu.), Masyarakat Bebas Agresivitas, Bunga Rampai Karya Erich Formm (Maumere: Penerbit Ledalero, 2004), pp. 421-422

Tidak ada komentar:

Posting Komentar