AKU DAN YANG LAIN
(Refleksi Filosofis Mengenai Hubungan Aku Dengan Yang Lain
Dalam Terang Filsafat Levinas)
I. Pendahuluan
Telah
sekian lama bahkan sampai dengan zaman ini pengaruh filsafat totalitas yang
ditandai dengan menjadikan “ego” sebagai titik sentral dalam memaknai suatu
kebenaran, dijadikan sebagai titik pijak bagi setiap aspek kehidupan manusia.
Dalam kerangka berpikir seperti ini, kemanusiaan kemudian bukan lagi merupakan
hal yang diutamakan. Eksistensi manusia yang seharusnya juga ditentukan oleh
hubungannya dengan “yang lain dalam keberlainannya” dipersempit dalam totalitas
kesadaran aku. Dirikulah yang utama, bukan dia yang lain. “Yang lain”
dinomorduakan dan hanya masuk dalam relasi dengan aku sejauh ia mendukung
keberadaanku, sejauh ia berfungsi dan berguna dalam relasinya dengan aku. Yang
lain ada karena ada aku. Akulah yang
utama, bukan dia. Aku bahkan bisa membunuh yang lain jika aku mau. Aku bahkan
bisa menindas yang lain jika dirasa perlu. Aku mengutamakan diriku.
Dibutuhkan sebuah
rekonstruksi pola pikir untuk menggantikan cara berpikir lama yang mengutamakan
aku. Maka “filsafat alteritas” Emmanuel Levinas[1]
hadir sebagai yang memberi jawaban bagi kebutuhan tersebut. Yang lain bukan
lagi yang nomor dua, melainkan yang harus ditempatkan pada tempat yang pertama
sebagai yang terhormat, yang menuntut tanggung jawab aku untuk
melindunginya.
II. Filsafat Tentang “Yang Lain”
2.1. Siapakah “Yang Lain”?
Emmanuel
Levinas hadir sebagai filsuf yang menggugat otoritas filsafat totalitas yang
menurutnya melupakan “dia yang lain dalam keberlainannya”. Dalam filsafat
totalitas “dia yang lain” itu diserap dalam identitas diri sendiri,
direduksikan ke dalam kesadaran “aku” semata-mata, “The other” dijabarkan
menjadi “The same.” Bertolak dari kritiknya
terhadap filsafat totalitas, Levinas kemudian menyusus sebuah etika baru yang
mengutamakan “dia yang lain dalam keberlainannya”. Etika kemudian disebutnya
sebagai filsafat pertama.[2]
Siapakah
“dia yang lain dalam keberlainannya” itu menurut Levinas? Melalui jalan yang
dinamakan Via Negativa, Levinas menyebut “dia yang lain dalam
keberlainannya” itu sebagai “yang bukan aku”. Yang lain adalah yang bukan aku.
Levinas menyebutnya “Il est que moi, je ne suis pas”, dia yang lain
adalah yang bukan aku. Untuk memahami “yang lain” aku tidak dapat memulai dari
diriku, karena mamulai dari diriku berarti memulai dari dunia pemahaman dan
persepsiku. Jalan yang baik untuk memahami “yang lain” adalah memulai dari
dunianya, yaitu dari keberlainannya. Dunianya adalah keberlainannya.[3]
Namun yang lain itu adalah suatu realitas ketakberhinggaan, yang tak dapat saya
jangkau dengan pikiranku. Yang lain itu tak terbatas, bahkan merupakan fakta
terberi, datang dari suatu dunia yang asing yaitu suatu dunia yang belum pernah
saya kenal. Ia datang dari atas atau dari seberang sana.[4]
2.2. “Yang Lain” Sebagai Yang Eksterior
Sekaligus Heteronom
Yang
lain juga berciri eksterior sekaligus heteronom. Yang lain sebagai yang
eksterior tidak saja dapat dimengerti sebagai suatu realitas yang saya jumpai
di luar kesadaranku tetapi juga dan terutama merujuk pada realitas yang
transenden, yang melampaui dunia kesadaranku, suatu realitas yang tidak masuk
dalam konteks pemahamanku. Yang lain sebagai yang heteronom merujuk pada aspek
keberlainannya secara radikal dan absolut.[5]
Yang
lain dengan ciri personal, eksterior, heteronom, tapi juga transendental adalah
yang lain sebagai yang tak berhingga. Karena ia tak berhingga, ia tak mampu
dipahami secara tuntas. Yang lain adalah misteri yang terlampau besar bagi
kesadaran aku. Yang lain juga bukan “aku yang lain” (alter ego).
Satu-satunya yang harus aku lakukan adalah menerima kehadirannya dan membiarkan
dia berbicara tentang dirinya. Aku dan yang lain menunjukkan sebuah hubungan
yang asimetris; yang lain ditempatkan sebagai yang lebih besar, universal.
Relasiku dengan yang lain adalah relasi asimetris.
2.3. Ephipani Wajah
Yang
lain hadir dalam epiphani wajah. Dalam epiphani wajah terdapat kehadiran dari
“Dia yang tak hadir.” Yang tak hadir itu menampakkan kehadirannya. Wajah di
sini adalah wajah dalam pengertian metafisis sebagai suatu cara di mana yang
lain menapakkan diri. Wajah dalam pengertian metafisis adalah momen kehadiran
yang lain dengan segala keberlainannya yang melampaui keanekaan ciri-ciri
indrawi. Wajah adalah revelasi dari yang lain sebagai yang transenden. Wajah
memanifestasikan yang infinitas, yang tak berhingga.[6]
Tampilnya
wajah “dia yang lain” itu sendiri sudah berbicara dalam bahasanya sendiri.
Bahasa yang bukan semata jajaran bahasa kosong tanpa pendukung arti. Bahasa itu
adalah bahasa yang paling langsung, bahasa wajah. Tinggalah sekarang jawaban
dari pihak aku.[7]
Wajah mewartakan suatu ketelanjangan (la nudite). Suatu ketelanjangan
yang menunjukkan bahwa pada wajah terbersit suatu figur kemiskinan. Figur ini
menunjukkan suatu ketakberdayaan. Suatu kelemahan yang serentak mengandung di
dalam dirinya suatu undangan etis[8].
Yang lain yang tampak sebagai wajah itu, hadir sebagai janda, sebagai yatim
piatu dan sebagai orang asing. Karena kehadirannya yang demikian, aku dituntut
untuk bertanggung jawab, aku dituntut untuk memberikan tumpangan dan
menyelamatkan dia. Kehadirannya mengganggu aku, dan aku harus bertanggung jawab
atas kehadirannya. Yang utama di sini adalah tanggung jawab aku terhadap
kehadirannya yang mengganggu, dan bukan tanggung jawab dia terhadap kehadiran
aku. Karena itu apakah ia bertanggung jawab terhadap aku, itu bukan urusanku.
Kehadirannya yang menuntut tanggung jawabku harus diletakkan pada tempat pertama
dalam kesadaranku. Kehadiran yang lain sebagai wajah mengundang aku untuk
melepaskan egoismeku dan berbalik kepadanya.
2.4. Tanggung Jawab Substitusi
Dalam hal tanggung
jawab aku tidak bisa menggantikan yang lain. Beban orang lain bahkan harus siap
saya tanggung. Tanggung jawabnya adalah tanggung jawabku. Inilah tanggung jawab
substitusi. Obsesi tanggung jawab adalah pergerakan menuju posisi orang lain.
Pergerakan seperti ini mengandung konsekuensi “Aku meninggalkan duniaku.”
Pergerakan seperti ini menghantar aku pada konsekuensi besar yaitu
“kehilangan”, kehilangan keterikatan dengan dunia sendiri. Aku kehilangan
semua, termasuk kehilangan diri sendiri. Kehilangan seperti ini berarti
kematian. Tanggung jawab substitusi berarti kematian. Kematian di sini selalu
dikaitkan dengan orang lain. Kematianku adalah kematian etis.
Filasafat tentang
yang lain mengacu pada hubungan “I – The other” dan bukan “I – Thou.”
I – The other menunjuk pada semua yang lain, karena itu semua yang lain
harus disapa sebagai saudara. Di sana yang nampak adalah sebuah persaudaraan
universal, Universal Brotherhood, yang melampaui kultur, gen dan bahasa.
Persaudaraan seperti ini berlandaskan pada suatu hal yaitu “kemanusiaan
universal.”[9]
2.5. Aku Sebagai Yang Tergugat
Yang
lain yang hadir dalam penampakkan wajah adalah janda, yatim piatu dan orang
asing. Inilah ketelanjangan yang lain. Dalam ketelanjangannya yang lain terus
mengganggu aku dengan teriakannya; “engkau tidak boleh membunuh aku, engkau
harus memberi aku tumpangan”. Ketelanjangannya membawa pesan damai dan bukan
kekerasan. Ketelanjangannya adalah penderitaannya. Dengan menggugat saya, dia
tidak mengurangi kebebasan saya, dan tetap terbukalah jalan buat kebaikan hati
dari pihak saya sendiri yang muncul dari kebebasan dan inisiatif saya sendiri
untuk menjawab. Dalam ketergugatan itu aku dituntut untuk membuka hatiku
kepadanya. Di sini aku hadir sebagai “aku yang tergugat.” Aku tergugat karena
dia yang lain itu hadir dalam ketelanjangannya
Dia yang lain
bukan menyerang saya dengan pandangannya karena ia bukan musuh saya. Dia
mengajak saya untuk berhubungan damai. Damai itu bukan damai yang diakibatkan
kekalahan di satu pihak dan kemenangan di pihak lain. Damai itu bukan suatu
negativitas. Damai itu damai saya, damai dia. Saya bukan kalah, dia bukan
menang, demikian pula sebaliknya. Damai itu tak terkalahkan oleh senjata, tak
dipupuk oleh kemenangan. Lebih dari itu, damai itu timbul dari hubungan dengan
“dia yang lain” yang datang dengan kuasa “Dia Yang Sama Sekali Lain” , “Dia Yang
Mahatinggi”.[10]
III. Menilik Relevansi Pemikiran Levinas
Dalam Kehidupan Zaman Sekarang
Tidak
terlepas dari pemikiran Levinas di atas, dalam refleksi filsafat manusia
dikatakan bahwa aku dan yang lain memiliki suatu hubungan timbal balik. Di satu
pihak “aku”, subyektivitasku, ditentukan oleh “Yang Lain”. Karena itu
eksistensiku saya terima sebagai anugerah dari Yang Lain dan karena itu saya
perlu menerimanya dengan rendah hati dan penuh rasa syukur. Di lain pihak “Yang
Lain” ditentukan juga oleh “aku”. Hubungan timbal balik seperti ini, menegaskan
bahwa “aku” dan “yang lain”, kedua-duanya merupakan subyek-subyek yang harus
saling menghormati. Aku dan Yang Lain saling memberikan arti dan saling
mengadakan. Korelasi itu bersifat ko-kreatif. Aku dan subyek lain ataupun
substansi yang lain, merupakn pusat-pusat yang “berotonomi-di dalam-korelasi”
atau sebaliknya pusat-pusat yang “berkorelasi-di dalam-otonomi”. Dirumuskan
secara lebih tegas dan radikal, aku dan yang lain “identik-di dalam-distingsi”
sekaligus “disting-di dalam-identitas”.[11]
Hubungan aku dan yang lain diterima sebagai hubungan timbal-balik. Inilah
konsep umum diterima pada masa kini sebagai konsep yang menggambarkan bagaimana
relasi aku dengan yang lain. Sayangnya dalam kehidupan praktis pada umumnya,
kecenderungan untuk menonjolkan diri “aku” di atas “Yang Lain” lebih kuat
sehingga aku cenderung ingin mendominasi kehidupan yang lain. Dalam kerangka
konseptual seperti ini, Levinas hadir sebagai seorang filsuf yang coba kembali
mengangkat keberadaan “Yang Lain dalam keberlainannya” sebagai subyek yang
setara dengan “aku”. Karena itu menurut Levinas relasi aku dengan yang lain
haruslah relasi asimetris.
Levinas
tetap tampil sebagai seorang filsuf yang memberikan pokok-pokok pikiran
filosofis yang gemanya selalu dapat kita dengar. Akhir-akhir ini dunia boleh
dikatakan sedang dilanda krisis kemanusiaan. Orang tidak lagi mementingkan
penghormatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan. Perang yang terjadi di
mana-mana, hal ini menjadi bukti konkret terkoyaknya nilai-nilai luhur
kemanusiaan yang semestinya dilindungi, dijunjung tinggi dan dihormati.
Penyelesaian masalah dengan kekerasan seolah-olah menjadi legal, sampai-sampai
orang tidak mementingkan lagi akal sehat. Situasi dunia seperti ini menunjukkan
bahwa pemahaman tentang nilai relasi aku dengan “dia yang lain dalam
keberlainannnya” yang sebenarnya berada dalam hubungan yang sederajad tidak
lagi jadi hal utama. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa apa yang dulu
dicemaskan oleh Levinas mengenai tendensi filsafat totalitas yang mengutamakan
“ego” dan mengabaikan “yang lain dalam keberlainannya” kini telah kembali
merasuk ke dalam dunia. Makna etika dalam relasi antarmanusia telah hilang.
Hubungan
etis-asimetris antara aku dan yang lain, pertama-tama mesti ditunjukkan dalam
hubungan aku dengan yang lain secara konkret saat ini. Artinya, ketika saya
berhadapan dengan orang lain, maka sikap hormat dan menghargailah yang
pertama-tama harus saya tunjukkan. Ideal perdamaian yang dicita-citakan setiap
manusia hanya bisa terwujud jika hubungan aku dengan yang lain saat ini dan di
sini sudah lebih dahulu dibangun[12].
Bila aku sudah sanggup menghargai yang lain yang berangkat dari ketergugatan
diriku karena penampakan ketelanjangan yang lain, maka tidaklah mustahil
hubungan aku dengan yang lain tersebut
akhirnya merupakan hubungan cinta kasih. Juga tidak akan ada anarki dan tirani dalam
hubungan seperti itu.
Apa
yang telah disampaikan oleh Levinas, juga telah membongkar kesadaran aku yang
selalu berada di bawah tendensi egosentrisme. Kehadiran orang lain sebagai
wajah mengundang aku untuk melepaskan egoismeku dan berbalik kepadanya.. Dengan
kata lain aku harus lebih dahulu mengalah. Aku harus selalu siap selalu berada
di pihak yang kalah. Akan tetapi kekalahanku bukanlah kekalahan yang
diakibatkan oleh karena aku kehilangan kebebasanku melainkan kekalahan aku di
sini hanya karena aku mau mengutamakan yang lain.
IV. Penutup
Filsafat
tentang “yang lain” dari Levinas kiranya merupakan mutiara berharga yang
sanggup berbicara dalam situasi dunia sekarang ini yang dirasuki oleh
individualisme dan egoisme sebagai spirit negatif yang memecah belah umat
manusia. Setidak-tidaknya, ide-ide Levinas mampu menegaskan kembali kesadaran
kita bahwa etika tetap merupakan hal yang juga harus berada dalam tempat
pertama dalam relasi aku dengan orang lain, juga relasi kita sebagai satu
kelompok dengan orang-orang lain yang berada dalam kelompok yang lain.
Banyak
orang mungkin belum dapat mengerjakan apa yang telah dianjurkan oleh Levinas
melalui ide-ide filosofisnya, karena memang apa yang dicita-citakan oleh
Levinas terlampau amat besar. Ia mencita-citakan suatu taraf hidup yang lebih
tinggi. Meski demikian, tetap merupakan hal yang pasti bahwa akan tetap ada
ruang terbuka bagi kita untuk dapat menghormati orang lain dalam keberlainannya.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU-BUKU
Aloysius Adeseputra, Dia Yang Lain: Sesama Menurut Emmanuel Levinas,
dalam Driyarkara, tahun III, No. 1 dan 2.
Agus Cremers
(Penyu.), Masyarakat Bebas Agresivitas,
Bunga Rampai Karya Erich Formm Maumere: Penerbit Ledalero, 2004.
Budi
Hadirman, Filsafat Modern; dari
Machiavelli Sampai Nietzsche Jakarta: Penerbit PT. Garmedia Pustaka Utama,
2007.
Felix Baghi, “Filsafat Alteritas dan Kemungkinan Etis Metafisis yang
Heteronom (Berpikir Bersama Levinas)”, dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi (ed),
Mengabdi Kebenaran. Maumere: Ledalero,2005.
II. ARTIKEL DAN MANUSKRIP
Felix Baghi, “Emmanuel Levinas: Dia Yang Lain Dalam Relasi Etis-Asimetris”,
dalam VOX Seri 36
Felix Baghi, Levinas dan Derrida
(kuliah mimbar), Maumere: STFK Ledalero, 2008
Leo Kleden dalam kuliah mimbar filsafat manusia mengetengahkan bahwa
hubungan aku dengan yang lain adalah hubungan timbal balik. Aku mengadakan yang
lain sekaligus aku diadakan oleh yang lain. Aku diartikan oleh yang lain
sekaligus aku diartikan oleh yang lain. Bdk. P. Leo Kleden SVD, “Manusia
Berkorelasi dengan yang lain (sosialitas manusia)” (Kuliah Mimbar), Maumere:
STFK Ledalero, 2008.
Servasius Salvano
Jaman cs, Etika dan Wajah (Seminar Fenomenologi Eksistensial), Maumere: STFK Ledalero, 2006.
Endtnote:
[1]Emmanuel
Levinas lahir di Konvo-Lithuania dari keluarga Yahudi pada tahun 1906. Sejak
kecil ia sudah berkenalan dengan Kitab Suci dan karya-karya sastra dan filsfat.
Karya-karya sastra klasik membantunya untuk mencari makna hidup sekaligus
pengantar untuk mengenal filsafat. Karena itu pemahaman tentang ide-ide
filosofisnya tidak pernah terlepas dari latar belakang ini. Pada masa mudanya
ia pernah menyaksikan revolusi 1917 di Ukraina. Pada tahun 1923 ia belajar
filsafat di Universitas Strasbourg dan pada tahun 1928/1929 ia belajar di
Freiburg. Di sini ia berkenalan dengan literatur-literatur filsafat dan pada
usia 18 tahun, ia belajar filsafat di bawah bimbingan empat profesor. Pada
tahun 1961 ia menerbitkan tesis doktoralnya dengan judul Totalite et Infini
dan berkat tesisnya ini ia diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas
Poitiers. Kemudian ia ditempatkan di Universitas Paris-Nanterre pada tahun
1967, dan selanjutnya memangku jabatan sebagai guru besar filsafat di Sorbonne
pada tahun 1973, hingga pensiun pada tahun 1976. bdk. Servasius Salvano
Jaman cs, Etika dan Wajah (Seminar Fenomenologi Eksistensial), Maumere:
STFK Ledalero, 2008, p.1.
[11]P. Leo
Kleden dalam kuliah mimbar filsafat manusia mengtengahkan bahwa hubungan aku
dengan yang lain adalah hubungan timbal balik. Aku mengadakan yang lain
sekaligus aku diadakan oleh yang lain. Aku diartikan oleh yang lain sekaligus
aku diartikan oleh yang lain. Bdk. P. Leo Kleden SVD, “Manusia
Berkorelasi dengan yang lain (sosialitas manusia)” (Kuliah Mimbar), Maumere:
STFK Ledalero, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar