Minggu, 01 Februari 2015

KEBERHADAPAN DENGAN REALITAS TERTINGGI YANG MENGGUGAH SEKALIGUS MEMPESONA



PENGALAMAN DAN REFLEKSI RELIGIUS: KEBERHADAPAN DENGAN REALITAS TERTINGGI YANG MENGGUGAH SEKALIGUS MEMPESONA



I.    Pengalaman iman
       Agama, suatu yang melekat erat dalam pribadi manusia. Agama merupakan ikatan antara yang real (manusia) dengan sesuatu yang absolute, suatu yang transedent. Dengan demikian menampilkan bahwa, manusia sesungguhnya adalah makhluk beragama (homo religius). Menelisis realitas agama berarti secara eksplisit menyinggung persoalan beriman, iman dan agama merupakan dua hal yang saling berkorelasi, karena agama mengandaikan iman, iman menandaskan manusia yang beragama. Agama seluruh berhubungan dengan manusia sebagai realitas dengan suatu realitas yang adikodrati (transendent). Dalam beriman manusia seutuhnya mentotaltaskan diri kepada yang absolut. Keterpasrahan diri kepada yang transendent ini membawa manusia kepada suatu pemahaman bahwa, sesungguhnya realitas manusia dikuasai dan bersumber dari suatu yang absolut, yang dikenal dalam agama-agama modern sebagai Allah, Tuhan, Yahweh, Dewa. Allah yang membimbing sekaligus menguasai manusia.
      Agama/ pengalaman religius merupakan suatu tahap dimana orang sepenuhnya hidup dalam iman. Bentuk beriman ini pada prinsipnya sering diawali dengan rasa bersalah pada tahap etis, yang menyadari diri bahwa manusia adalah makhluk yang tebatas, makhluk yang tidak sempurna, yang menganggap diri rendah di hadapan Allah yang absolut. Rasa ketaksempurnaan manusia ini menghandar manusia kepada suatu refleksi bahwa Allah yang absolut, yang menjadi asal muasal realitas ini selalu hadir, dan adaserta dekat dengan realitas ciptaanNya. Percayaan ini membawa manusia kepada pemahaman bahwa, meskipun manusia sebagai makhluk tidak sempurna tetapi Allah yang transendent itu senantiasa dekat dengan manusia untuk membimbing dn mengarahkan manusia kepada jalan hidup yang benar. Keberhadapan dengan yang absolut ini, adalah suatu yang menakutkan, menggetarkan dan mempesona: “Mysterium Tremendum et Fascinossum”. Suatu kesadaran bahwa, berhadapan dengan realitas absolut ini manusia selalu dihantar kepada suatu perasaan  yang mempesonan sekaligus menakutkan. Karena penyadaran bahwa manusia makhluk tak sempurna di hadapan realitas teringgi.


II.    Pribadi dihadapan yang absolut
       Manusia sebagai makhluk terbatas (tak sempurna) senantiasa menyadari ketakberdayaannya di hadapan yang absolu (Allah). Hidup keagamaan yang utuh tidak hanya dipenuhi oleh ajaran-ajaran dan praktek-prakteknya. Umat beragama juga perlu mengalami Allah yang hidup demi kedewasaan iman secara utuh. Orang-orang sederhana zaman dulu peka dan mudah mengalami Yang Ilahi. Nabi Ayub akhirnya mengakui bahwa sebelum penderitaan hebatnya ia belum mengenal Allah secara pribadi. Ayub secara eksplisit mengakui kemahakuasaan Allah, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”. (Ayb 42:5-6)
      Pengalaman perjumpaan Ayub dengan Yahweh, serupa dengan pengalaman keagamaan yang lahir dari suatu refleksi perjumpaan pribadi dengan pribadi yang absolut. Hal ini dimungkinkan karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan Allah sudah mewahyukan diri kepada semua manusia. Pengalaman religius bisa terjadi dalam konteks bermacam-macam seperti doa, meditasi, penyembahan, pujian, berbahasa lidah, kesembuhan ilahi atau bahkan pengalaman-pengalaman ekstase yang mirip kesurupan. Dengan diciptakan menurut citra Allah manusia mampu menyapa dan disapa Allah. Manusia mempunyai kecenderungan dasar untuk mencari Allah dan dalam batas-batas tertentu bisa mengalami Allah.
        Pengalaman religius tidak pernah sepenuhnya terjelaskan dengan kata-kata manusia, namun juga tidak pernah tak terjelaskan sama sekali. Di hadapan Allah yang serba maha itu, kata-kata manusia terasa miskin dan sumbang. Maka dalam pengalaman religius perlu sekali keseimbangan antara aspek rasional dan aspek non rasional. Bila pengalaman religius takluk di bawah komando rasio, agama cenderung dihayati secara formal dan dingin. Inilah bahaya dari mereka yang terlalu menekankan formula-formula ajaran di alas segala-galanya dan mengabaikan pengalaman religius yang tidak pernah bisa di kungkung oleh rumusan-rumusan iman. Namun kalau aspek non rasional terlalu mendominasi aspek rasional, akan tersedia lahan yang subur bagi tumbuhnya mistisisme.


III. Iman yang transenden sekaligus imanen
       Dikatakan bahwa pengalaman religius merangkul sekaligus aspek-aspek subyektif dan obyektif, aspek-aspek rasional dan non rasional, tanpa subordinasi aspek yang satu terhadap lainnya. Pertanyaannya apakah yang klaim manusia atas pengalaman religius selalu benar? Ternyata pengalaman seperti pengalaman religius tidak hanya dihasilkan dari perjumpaan manusia dengan Yang Ilahi. Kuasa gelap juga bisa memberi pengalaman yang mirip sekali dengan pengalaman religius (quasi-religious). Meskipun perasaan akan Yang Ilahi dalam perkembangannya yang tertinggi berbeda dari 'rasa takut akan setan,' namun dalam levelnya yang tertinggi tidak dipungkiri asal-usul atau kesamaannya. Bahkan ketika penyembahan akan 'setan-setan' sudah mencapai level yang lebih tinggi bagaikan menyembah allah-allah, allah-allah ini masih mempertahankan sesuatu dari dunia roh (numina) yang di dalam diri orang yang menyembah tertinggal sebagai perasaan 'gaib' dan 'dahsyat,' yang tetap bertahan bersama rasa mulia dan agung atau yang sudah dilambangkan melalui rasa agung itu.
       Pengalaman religius bersifat rasional sekaligus non rasional. Suatu perjumpaan dengan Allah bisa diterima tanpa harus menerjemahkan pengalaman itu seluruhnya ke dalam kategori-kategori rasional. Kita begitu kecil dan terbatas, sedangkan Allah sendiri serba maha, tak terukur dan tak terbatas. Maka di satu pihak pengalaman religius bisa dijelaskan secara rasional, namun di lain pihak penjelasan rasional itu tak pernah mencukupi. Di dalam teologi misalnya, kita berusaha untuk mengidentifikasi Allah sebagai roh, punya rencana dan kehendak, baik, berkuasa, dll. Semua istilah ini diambil dari konsep-konsep insani dalam dunia sehari-hari dan oleh karenanya dapat kita pahami. Namun manakala kita mengira bahwa Allah adalah sama seperti yang termuat di dalam konsep-konsep ini, agama melarangnya. Kedirian Allah jauh melampaui apa yang dapat dikatakan dan dipahami manusia. Diri Allah sendiri atau Ding an sich. meminjam istilah Kant. tak terjelaskan baik oleh kata-kata maupun daya rasio manusia yang terbatas. Maka kepada atribut-atribut rasional itu teologi menambahkan "maha." Allah disebut mahatahu, mahakuasa, mahahadir. Atribut-atribut seperti ini cuma hanya mau mengatakan satu hal yakni bahwa di dalam diri Allah yang telah menyatakan diri itu. tetap ada aspek-aspek non rasionalnya. Itulah sebabnya dari pada menyebut Allah sebagai yang kudus dengan konotasi moralnya. Otto memilih sebuah istilah lain Numen atau Nummosum. Di dalam pengalaman religius manusia adalah subyek yang mengalami dan Yang Ilahi dialami sebagai obyek. Dari segi ini, pengalaman religius memiliki segi subyektif dan obyektif. Ditinjau dari obyek pengalaman, pengalaman religius terjadi berkat ada realitas Ilahi di luar diri manusia.
       Ditinjau dari subyek yang mengalami pengalaman religius merupakan sebuah proses psikologis yang terjadi di dalam diri seseorang. Tanpa realitas obyektif di luarnyapun seseorang bisa "merasa" mengalami seperti pada kasus halusinasi. Oleh karena itu, sulit sekali kita membantah seseorang yang mengklaim bahwa ia mempunyai pengalaman religius seperti mendapat visi atau beban khusus dari Tuhan. Karena bisa saja sebuah pengalaman religius begitu subyektifnya, sehingga pengalaman itu sebenarnya bukan lahir dari kontak subyek dengan realitas Ilahi obyektif di luarnya.
Dalam karyanya yang amat termasyur Das Heilige Rudolf Otto menggambarkan pengalaman religius sebagai sebuah pengalaman yang paradoks, di satu pihak menggentarkan, namun di lain pihak mempesonakan. Di dalam Yang Ilahi ada sesuatu yang ambigu, yaitu antara hal yang mendahsyatkan dan sekaligus menarik hati manusia untuk mendekati-Nya. Struktur Numinosum seperti ini merupakan obyek dari perasaan-perasaan religius yang terdiri alas dua kutub. Kedua kutub ini serentak dialami. Jauh namun juga terasa dekat. Asing namun juga akrab. Harmoni dari pertentangan struktur rangkap ini merupakan dasar pengalaman religius. Dalam filsafat agama kedua kutub ini muncul dalam faham transendensi dan imanensi Allah. Sedangkan di dalam teologi hal ini nyata dalam keadilan Tuhan yang menghakimi namun sekaligus merahmati.
   Pertama, manusia mengalami Allah sebagai mysterium tremendum (misteri yang mendahsyatkan). Yang Ilahi dialami sebagai sebuah misteri. Arti misteri adalah bahwa Yang Ilahi dirasakan sebagai Ada yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia dan sama sekali asing tak dikenal. Yang Ilahi sama sekali berbeda dari manusia dan segala yang duniawi Dialah Yang Mahalain (The Wholly Other). Berhadapan dengan Yang Maha lain ini manusia merasa tercengang dan bingung. Ini bukan cuma karena akal budi kita terbatas, melainkan karena juga memang Yang Ilahi bukan sesuatu yang terdapat di dalam dunia biasa (supernatural). Yang Ilahi bukan apa-apa, yang dalam kepercayaan Budhisme disebut sunyata (kekosongan). Maka, Tersteegen bisa mengatakan, "Em begriffener Gott ist kem Gott" (Allah yang bisa dimengerti adalah bukan Allah). Yang Ilahi dialami sebagai yang mendahsyatkan dan tak terhampiri (Latin. tremendum). Pengalaman akan Yang Ilahi seperti itu menimbulkan rasa takut di dalam diri manusia. Kegentaran ini dikarenakan manusia memiliki apa yang disebut sebagai kesadaran sebagai makhluk yang fana (creature feeling). Creature feeling ini berasal dari creaturehood (Jerman, Geschoplichkeit), yakni kesadaran eksistensial dari seorang yang berhadapan dengan Yang Mahakuasa dan Mahamulia dan bukan berasal dari createness (Jerman, Geschaffenheit) yaitu kesadaran seseorang bahwa dirinya terbatas sebagai makhluk ciptaan. Creature feeling adalah semacam emosi yang menguasai manusia tanpa terbendung ketika dirinya berhadapan dengan kemahaan dari Yang Ilahi (overpoweringness, majesty), sehingga ia merasa dirinya bukan apa-apa, kecil, tak berarti dan tak berdaya (bdk. Kej 18:27MZm 8:4-5Yes 6:3,5).
       Kedua, rasa takut akan Yang Ilahi ini tidak berjalan sendiri. Suatu pengalaman lain menyertai rasa takut itu sehingga manusia berani mencari Yang Ilahi. Inilah rasa tertarik yang mendorong orang yang sama untuk mendekati Allah (Latin, fascinans/fascinosum). Wujud dari perasaan fascinans ini misalnya adalah rasa bergantung sebagai makhluk ciptaan yang menenteramkan hati manusia yang gelisah. rasa kasih, rasa merindukan, rasa percaya, rasa bahagia dan damai yang melampaui segala akal (bdk. Flp 4:7). Seseorang bersaksi demikian, Untuk sesaat tiada lain yang tinggal tetap selain sukacita dan kegembiraan yang meluap-luap tak terlukiskan. Mustahil untuk menggambarkan seluruh pengalaman itu seperti efek dari karya orkes yang agung ketika semua nada yang terpisah berpadu membantu sebuah harmoni yang semakin membesar yang membuat pendengar cuma menyadari bahwa jiwanya sedang dibawa naik dengan emosi yang hampir meletup. Perasaan-perasaan seperti ini juga dialami orang Kristen, misalnya, pada kejadian-kejadian istimewa seperti pertobatan dan kelahiran kembali, di mana ia dibebaskan dari rasa bersalah dan belenggu dosa.


IV. Iman yang membangun: Suatu Kesadaran Personal
        Kenyataan bahwa iman merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari kenyataan hidup manusia membawa kepada kesadaran bahwa iman senantiasa ada dalam realitas manusia itu sendiri. Iman membawa manusia kedalam kedalaman jati dirinya sebagai makhluk persona, sebagai citra Allah, hakikat diri yang melampaui batas kemampuan manusia untuk membentuk suatu keterpasrahan diri kepada yang absolut, kepada Allah sumber hidupnya. Realitas Indonesia merupakan negara yang majemuk yang di dalamnya terdapat pluraritas keagamaan mengandung arti bahwa kekristenan tidaklah seorang diri. Meskipun kekristenan berada di tengah iman yang berbeda, secara kualitatif setiap warga negara Indonesia memiliki persamaan hak-hak asasi. Sebagai warga negara yang baik, kita harus menjunjung tinggi menjunjung tinggi Pancasila (dalam hal ini adalah sila pertama). Dengan dasar ini kita yakin bahwa toleransi keagamaan secara murni dan konsekuen dituntut dari umat yang berbeda agama. Maka, kita tidak boleh menjadi kelompok eksklusif yang menarik diri dari dunia sehingga hakekat kita yang harus berperan sebagai garam dan terang bagi dunia terbatas bagi kelompok kalangan sendiri saja. Namun kita juga tidak boleh kompromi dalam prinsip-prinsip kebenaran yang kita yakini. Jangan sampai hakekat kebenaran Kristen kehilangan keunikannya. Dalam hal ini, jangan pula kita terjebak untuk menengahi dengan mencampuradukkan kebenaran-kebenaran yang ada menjadi suatu kebenaran baru yang dapat diterima semua golongan.
       Pengalaman religius harus bermakna dalam arti bila memperkaya dan melengkapi pengalaman sehari-hari; berharga dalam arti pengalaman itu menegaskan ulang kesadaran kita sebagai makhluk dan nilai eksistensi kita; koheren dalam arti meskipun pengalaman religius memiliki sisi non rasional, namun tetap ada signifikansi rasional, moral dan kultural. Pengalaman religius bisa dilihat dari kelayakan obyek pengalaman itu bagi kepedulian dan penyerahan kita yang terdalam perubahan terjadi dalam perilaku dan sikap orang yang memiliki pengalaman religius; sebuah pengalaman religius harus cocok dengan kelompok acuan religius di mana orang itu berada (reference group). Di sinilah pentingnya persekutuan orang percaya. Apa yang dialami seseorang juga dialami oleh orang lain (intersubjective verification). Untuk orang yang mengaku punya pengalaman khusus seharusnya pengalaman itu juga diakui oleh orang Kristen lainnya. Maka kalau suatu pengalaman religius diterima dan berlaku umum di dalam suatu kelompok religius yang tidak bisa dikatakan bidat, prinsipnya adalah menerima dulu bahwa pengalaman itu benar sampai ada bukti yang lebih kuat yang dapat meragukan pengalaman itu. Kalau kita percaya bahwa Roh Kudus ada dengan salah satu manifestasi-Nya berbahasa lidah, kita harus dengan sangat hati-hati untuk menghakimi pengalaman itu di dalam diri seseorang sebagai hal yang di manipulasi. Kita boleh langsung meragukan suatu pengalaman religius, kalau jelas tahu bahwa apa yang dialami itu sebenarnya tidak ada atau kalau orang yang mengalaminya dalam kondisi yang meragukan seperti mabuk, emosi yang labil.
       Akhirnya, dalam menilai sebuah pengalaman religius yang spektakuler hendaknya kita bisa membedakan mana yang menjadi inti pengalaman dan mana yang merupakan bumbu-bumbunya. Misalnya, ada seorang yang baru disembuhkan secara ajaib dari penyakit yang secara medis tersembuhkan. Dalam pengalamannya itu orang ini bersaksi bahwa Tuhan Yesus menyembuhkan dia melalui mimpi, di mana di dalam mimpi itu ia diajak berjalan jalan di sorga dan melihat Petrus yang berbaju biru dst. Inti dari pengalaman rohani ini adalah disembuhkan secara ajaib, sedangkan bumbu-bumbunya adalah tour di sorga dan perjumpaan dengan banyak orang dan hal. Terhadap inti dari pengalaman rohani kita tidak boleh terlalu cepat curiga, apalagi kalau faktanya memang betul. Namun terhadap detil pengalaman perlu di kaji secara kritis, karena setiap pengalaman religius bersifat subyektif. Barangkali untuk tidak jatuh ke dalam debat kontroversial, Rasul Paulus dengan amat hati-hati menceritakan pengalamannya diangkat ke tingkat ketiga sorga (2Kor 12:1-7). Baginya pengalaman spektakuler seperti itu bukan untuk disaksikan ke mana-mana, melainkan untuk menjadikannya seorang yang lebih menyadari apa arti hidupnya.


V.    Penutup
        Pengalaman religius, perlu bisa dimengerti menurut suatu konteks rasional, moral dan kultural tanpa harus dijelaskan secara tuntas. Yang terakhir "tanpa harus dijelaskan tuntas" perlu digarisbawahi. Dalam mengecek pengalaman religius orang lain kita harus selalu ingat bahwa Allah itu tak terbatas, sehingga cara yang dipakai-Nya juga tak terbatas seperti yang ditegaskan oleh Evan.  Karena Allah mahakuasa dan sama sekali bebas, maka Ia memiliki kemungkinan inisiatif yang terbesar. Nampaknya mustahil seseorang mengalami Allah kecuali Allah menghendaki hal itu terjadi. Dan nampaknya sulit atau juga mustahil bagi kita untuk mengatakan kapan Allah mau melakukan hal itu. Dalam pengalaman religius harus ada keseimbangan di antara aspek rasional dan aspek non rasional supaya pengalaman itu dihayati secara utuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar