PENGALAMAN DAN REFLEKSI RELIGIUS: KEBERHADAPAN DENGAN
REALITAS TERTINGGI YANG MENGGUGAH SEKALIGUS MEMPESONA
I.
Pengalaman
iman
Agama, suatu yang melekat erat dalam
pribadi manusia. Agama merupakan ikatan antara yang real (manusia) dengan
sesuatu yang absolute, suatu yang transedent. Dengan demikian
menampilkan bahwa, manusia sesungguhnya adalah makhluk beragama (homo
religius). Menelisis realitas agama berarti secara eksplisit menyinggung
persoalan beriman, iman dan agama merupakan dua hal yang saling berkorelasi,
karena agama mengandaikan iman, iman menandaskan manusia yang beragama. Agama
seluruh berhubungan dengan manusia sebagai realitas dengan suatu realitas yang
adikodrati (transendent). Dalam beriman manusia seutuhnya mentotaltaskan
diri kepada yang absolut. Keterpasrahan diri kepada yang transendent ini
membawa manusia kepada suatu pemahaman bahwa, sesungguhnya realitas manusia
dikuasai dan bersumber dari suatu yang absolut, yang dikenal dalam agama-agama
modern sebagai Allah, Tuhan, Yahweh, Dewa. Allah yang membimbing sekaligus
menguasai manusia.
Agama/ pengalaman religius merupakan suatu tahap dimana orang sepenuhnya hidup dalam iman.
Bentuk beriman ini pada prinsipnya sering diawali dengan rasa bersalah pada
tahap etis, yang menyadari diri bahwa manusia adalah makhluk yang tebatas,
makhluk yang tidak sempurna, yang menganggap diri rendah di hadapan Allah yang
absolut. Rasa ketaksempurnaan manusia ini menghandar manusia kepada suatu
refleksi bahwa Allah yang absolut, yang menjadi asal muasal realitas ini selalu
hadir, dan adaserta dekat dengan realitas ciptaanNya. Percayaan ini membawa
manusia kepada pemahaman bahwa, meskipun manusia sebagai makhluk tidak sempurna
tetapi Allah yang transendent itu senantiasa dekat dengan manusia untuk
membimbing dn mengarahkan manusia kepada jalan hidup yang benar. Keberhadapan
dengan yang absolut ini, adalah suatu yang menakutkan, menggetarkan dan
mempesona: “Mysterium Tremendum et Fascinossum”. Suatu kesadaran bahwa,
berhadapan dengan realitas absolut ini manusia selalu dihantar kepada suatu
perasaan yang mempesonan sekaligus
menakutkan. Karena penyadaran bahwa manusia makhluk tak sempurna di hadapan
realitas teringgi.
II.
Pribadi
dihadapan yang absolut
Manusia sebagai makhluk terbatas (tak
sempurna) senantiasa menyadari ketakberdayaannya di hadapan yang absolu
(Allah). Hidup keagamaan yang utuh tidak hanya dipenuhi oleh ajaran-ajaran dan praktek-prakteknya.
Umat beragama juga perlu mengalami Allah yang hidup demi kedewasaan iman secara
utuh. Orang-orang sederhana zaman dulu peka dan mudah mengalami Yang Ilahi. Nabi Ayub
akhirnya mengakui bahwa sebelum penderitaan hebatnya ia belum mengenal Allah
secara pribadi. Ayub secara eksplisit mengakui kemahakuasaan Allah, “Hanya dari
kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri
memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal
aku duduk dalam debu dan abu”. (Ayb 42:5-6)
Pengalaman perjumpaan Ayub dengan
Yahweh, serupa dengan pengalaman keagamaan yang lahir dari suatu refleksi
perjumpaan pribadi dengan pribadi yang absolut. Hal ini dimungkinkan karena
manusia diciptakan menurut citra Allah dan Allah sudah mewahyukan diri kepada
semua manusia. Pengalaman religius bisa terjadi dalam konteks bermacam-macam
seperti doa, meditasi, penyembahan, pujian, berbahasa lidah, kesembuhan ilahi
atau bahkan pengalaman-pengalaman ekstase yang mirip kesurupan. Dengan
diciptakan menurut citra Allah manusia mampu menyapa dan disapa Allah. Manusia
mempunyai kecenderungan dasar untuk mencari Allah dan dalam batas-batas
tertentu bisa mengalami Allah.
Pengalaman religius tidak pernah
sepenuhnya terjelaskan dengan kata-kata manusia, namun juga tidak pernah tak
terjelaskan sama sekali. Di hadapan Allah yang serba maha itu, kata-kata
manusia terasa miskin dan sumbang. Maka dalam pengalaman religius perlu sekali
keseimbangan antara aspek rasional dan aspek non rasional. Bila pengalaman
religius takluk di bawah komando rasio, agama cenderung dihayati secara formal
dan dingin. Inilah bahaya dari mereka yang terlalu menekankan formula-formula ajaran
di alas segala-galanya dan mengabaikan pengalaman religius yang tidak pernah
bisa di kungkung oleh rumusan-rumusan iman. Namun kalau aspek non rasional
terlalu mendominasi aspek rasional, akan tersedia lahan yang subur bagi
tumbuhnya mistisisme.
III. Iman yang transenden sekaligus imanen
Dikatakan bahwa pengalaman religius merangkul sekaligus aspek-aspek
subyektif dan obyektif, aspek-aspek rasional dan non rasional, tanpa
subordinasi aspek yang satu terhadap lainnya. Pertanyaannya apakah yang klaim
manusia atas pengalaman religius selalu benar? Ternyata pengalaman seperti
pengalaman religius tidak hanya dihasilkan dari perjumpaan manusia dengan Yang
Ilahi. Kuasa gelap juga bisa memberi pengalaman yang mirip sekali dengan
pengalaman religius (quasi-religious). Meskipun perasaan akan Yang Ilahi dalam
perkembangannya yang tertinggi berbeda dari 'rasa takut akan setan,' namun
dalam levelnya yang tertinggi tidak dipungkiri asal-usul atau kesamaannya.
Bahkan ketika penyembahan akan 'setan-setan' sudah mencapai level yang lebih
tinggi bagaikan menyembah allah-allah, allah-allah ini masih mempertahankan
sesuatu dari dunia roh (numina) yang di dalam diri orang yang menyembah
tertinggal sebagai perasaan 'gaib' dan 'dahsyat,' yang tetap bertahan bersama
rasa mulia dan agung atau yang sudah dilambangkan melalui rasa agung itu.
Pengalaman religius bersifat rasional
sekaligus non rasional. Suatu perjumpaan dengan Allah bisa diterima tanpa harus
menerjemahkan pengalaman itu seluruhnya ke dalam kategori-kategori rasional.
Kita begitu kecil dan terbatas, sedangkan Allah sendiri serba maha, tak terukur
dan tak terbatas. Maka di satu pihak pengalaman religius bisa dijelaskan secara
rasional, namun di lain pihak penjelasan rasional itu tak pernah mencukupi. Di
dalam teologi misalnya, kita berusaha untuk mengidentifikasi Allah sebagai roh,
punya rencana dan kehendak, baik, berkuasa, dll. Semua istilah ini diambil dari
konsep-konsep insani dalam dunia sehari-hari dan oleh karenanya dapat kita
pahami. Namun manakala kita mengira bahwa Allah adalah sama seperti yang
termuat di dalam konsep-konsep ini, agama melarangnya. Kedirian Allah jauh
melampaui apa yang dapat dikatakan dan dipahami manusia. Diri Allah sendiri
atau Ding an sich. meminjam istilah Kant. tak terjelaskan baik oleh kata-kata
maupun daya rasio manusia yang terbatas. Maka kepada atribut-atribut rasional
itu teologi menambahkan "maha." Allah disebut mahatahu, mahakuasa,
mahahadir. Atribut-atribut seperti ini cuma hanya mau mengatakan satu hal yakni
bahwa di dalam diri Allah yang telah menyatakan diri itu. tetap ada aspek-aspek
non rasionalnya. Itulah sebabnya dari pada menyebut Allah sebagai yang kudus
dengan konotasi moralnya. Otto memilih sebuah istilah lain Numen atau Nummosum. Di dalam pengalaman religius manusia adalah subyek yang mengalami dan
Yang Ilahi dialami sebagai obyek. Dari segi ini, pengalaman religius memiliki
segi subyektif dan obyektif. Ditinjau dari obyek pengalaman, pengalaman
religius terjadi berkat ada realitas Ilahi di luar diri manusia.
Ditinjau dari subyek yang mengalami pengalaman religius merupakan sebuah proses
psikologis yang terjadi di dalam diri seseorang. Tanpa realitas obyektif di
luarnyapun seseorang bisa "merasa" mengalami seperti pada kasus
halusinasi. Oleh karena itu, sulit sekali kita membantah seseorang yang
mengklaim bahwa ia mempunyai pengalaman religius seperti mendapat visi atau
beban khusus dari Tuhan. Karena bisa saja sebuah pengalaman religius begitu
subyektifnya, sehingga pengalaman itu sebenarnya bukan lahir dari kontak subyek
dengan realitas Ilahi obyektif di luarnya.
Dalam karyanya yang amat termasyur Das
Heilige Rudolf Otto menggambarkan pengalaman religius sebagai sebuah pengalaman
yang paradoks, di satu pihak menggentarkan, namun di lain pihak mempesonakan.
Di dalam Yang Ilahi ada sesuatu yang ambigu, yaitu antara hal yang mendahsyatkan
dan sekaligus menarik hati manusia untuk mendekati-Nya. Struktur Numinosum
seperti ini merupakan obyek dari perasaan-perasaan religius yang terdiri alas
dua kutub. Kedua kutub ini serentak dialami. Jauh namun juga terasa dekat.
Asing namun juga akrab. Harmoni dari pertentangan struktur rangkap ini
merupakan dasar pengalaman religius. Dalam filsafat agama kedua kutub ini
muncul dalam faham transendensi dan imanensi Allah. Sedangkan di dalam teologi
hal ini nyata dalam keadilan Tuhan yang menghakimi namun sekaligus merahmati.
Pertama, manusia mengalami Allah sebagai
mysterium tremendum (misteri yang mendahsyatkan). Yang Ilahi dialami
sebagai sebuah misteri. Arti misteri adalah bahwa Yang Ilahi dirasakan sebagai
Ada yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia dan sama sekali asing tak
dikenal. Yang Ilahi sama sekali berbeda dari manusia dan segala yang duniawi
Dialah Yang Mahalain (The Wholly Other). Berhadapan dengan Yang Maha lain ini
manusia merasa tercengang dan bingung. Ini bukan cuma karena akal budi kita
terbatas, melainkan karena juga memang Yang Ilahi bukan sesuatu yang terdapat
di dalam dunia biasa (supernatural). Yang Ilahi bukan apa-apa, yang dalam
kepercayaan Budhisme disebut sunyata (kekosongan). Maka, Tersteegen bisa
mengatakan, "Em begriffener Gott ist kem Gott" (Allah yang bisa
dimengerti adalah bukan Allah). Yang Ilahi dialami sebagai yang mendahsyatkan
dan tak terhampiri (Latin. tremendum). Pengalaman akan Yang Ilahi seperti itu
menimbulkan rasa takut di dalam diri manusia. Kegentaran ini dikarenakan
manusia memiliki apa yang disebut sebagai kesadaran sebagai makhluk yang fana
(creature feeling). Creature feeling ini berasal dari creaturehood
(Jerman, Geschoplichkeit), yakni kesadaran eksistensial dari seorang yang
berhadapan dengan Yang Mahakuasa dan Mahamulia dan bukan berasal dari
createness (Jerman, Geschaffenheit) yaitu kesadaran seseorang bahwa dirinya
terbatas sebagai makhluk ciptaan. Creature feeling adalah semacam emosi
yang menguasai manusia tanpa terbendung ketika dirinya berhadapan dengan
kemahaan dari Yang Ilahi (overpoweringness, majesty), sehingga ia merasa
dirinya bukan apa-apa, kecil, tak berarti dan tak berdaya (bdk. Kej 18:27, MZm 8:4-5; Yes 6:3,5).
Kedua, rasa takut akan Yang Ilahi ini
tidak berjalan sendiri. Suatu pengalaman lain menyertai rasa takut itu sehingga
manusia berani mencari Yang Ilahi. Inilah rasa tertarik yang mendorong orang
yang sama untuk mendekati Allah (Latin, fascinans/fascinosum). Wujud dari
perasaan fascinans ini misalnya adalah rasa bergantung sebagai makhluk ciptaan
yang menenteramkan hati manusia yang gelisah. rasa kasih, rasa merindukan, rasa
percaya, rasa bahagia dan damai yang melampaui segala akal (bdk. Flp 4:7). Seseorang bersaksi demikian, Untuk sesaat tiada lain yang
tinggal tetap selain sukacita dan kegembiraan yang meluap-luap tak terlukiskan.
Mustahil untuk menggambarkan seluruh pengalaman itu seperti efek dari karya
orkes yang agung ketika semua nada yang terpisah berpadu membantu sebuah
harmoni yang semakin membesar yang membuat pendengar cuma menyadari bahwa
jiwanya sedang dibawa naik dengan emosi yang hampir meletup. Perasaan-perasaan
seperti ini juga dialami orang Kristen, misalnya, pada kejadian-kejadian
istimewa seperti pertobatan dan kelahiran kembali, di mana ia dibebaskan dari
rasa bersalah dan belenggu dosa.
IV. Iman yang membangun: Suatu Kesadaran
Personal
Kenyataan bahwa iman merupakan sesuatu
yang tidak terpisahkan dari kenyataan hidup manusia membawa kepada kesadaran
bahwa iman senantiasa ada dalam realitas manusia itu sendiri. Iman membawa
manusia kedalam kedalaman jati dirinya sebagai makhluk persona, sebagai citra
Allah, hakikat diri yang melampaui batas kemampuan manusia untuk membentuk
suatu keterpasrahan diri kepada yang absolut, kepada Allah sumber hidupnya. Realitas
Indonesia merupakan negara yang majemuk yang di dalamnya terdapat pluraritas
keagamaan mengandung arti bahwa kekristenan tidaklah seorang diri. Meskipun
kekristenan berada di tengah iman yang berbeda, secara kualitatif setiap
warga negara Indonesia memiliki persamaan hak-hak asasi. Sebagai warga negara
yang baik, kita harus menjunjung tinggi menjunjung tinggi Pancasila (dalam hal
ini adalah sila pertama). Dengan dasar ini kita yakin bahwa toleransi keagamaan
secara murni dan konsekuen dituntut dari umat yang berbeda agama. Maka, kita
tidak boleh menjadi kelompok eksklusif yang menarik diri dari dunia sehingga
hakekat kita yang harus berperan sebagai garam dan terang bagi dunia terbatas
bagi kelompok kalangan sendiri saja. Namun kita juga tidak boleh kompromi dalam
prinsip-prinsip kebenaran yang kita yakini. Jangan sampai hakekat kebenaran
Kristen kehilangan keunikannya. Dalam hal ini, jangan pula kita terjebak untuk
menengahi dengan mencampuradukkan kebenaran-kebenaran yang ada menjadi suatu
kebenaran baru yang dapat diterima semua golongan.
Pengalaman religius harus bermakna dalam
arti bila memperkaya dan melengkapi pengalaman sehari-hari; berharga dalam arti
pengalaman itu menegaskan ulang kesadaran kita sebagai makhluk dan nilai
eksistensi kita; koheren dalam arti meskipun pengalaman religius memiliki sisi
non rasional, namun tetap ada signifikansi rasional, moral dan kultural.
Pengalaman religius bisa dilihat dari kelayakan obyek pengalaman itu bagi
kepedulian dan penyerahan kita yang terdalam perubahan terjadi dalam perilaku
dan sikap orang yang memiliki pengalaman religius; sebuah pengalaman religius
harus cocok dengan kelompok acuan religius di mana orang itu berada (reference
group). Di sinilah pentingnya persekutuan orang percaya. Apa yang dialami
seseorang juga dialami oleh orang lain (intersubjective verification). Untuk
orang yang mengaku punya pengalaman khusus seharusnya pengalaman itu juga
diakui oleh orang Kristen lainnya. Maka kalau suatu pengalaman religius
diterima dan berlaku umum di dalam suatu kelompok religius yang tidak bisa
dikatakan bidat, prinsipnya adalah menerima dulu bahwa pengalaman itu benar
sampai ada bukti yang lebih kuat yang dapat meragukan pengalaman itu. Kalau
kita percaya bahwa Roh Kudus ada dengan salah satu manifestasi-Nya berbahasa
lidah, kita harus dengan sangat hati-hati untuk menghakimi pengalaman itu di
dalam diri seseorang sebagai hal yang di manipulasi. Kita boleh langsung meragukan
suatu pengalaman religius, kalau jelas tahu bahwa apa yang dialami itu
sebenarnya tidak ada atau kalau orang yang mengalaminya dalam kondisi yang
meragukan seperti mabuk, emosi yang labil.
Akhirnya, dalam menilai sebuah
pengalaman religius yang spektakuler hendaknya kita bisa membedakan mana yang
menjadi inti pengalaman dan mana yang merupakan bumbu-bumbunya. Misalnya, ada
seorang yang baru disembuhkan secara ajaib dari penyakit yang secara medis
tersembuhkan. Dalam pengalamannya itu orang ini bersaksi bahwa Tuhan Yesus
menyembuhkan dia melalui mimpi, di mana di dalam mimpi itu ia diajak berjalan
jalan di sorga dan melihat Petrus yang berbaju biru dst. Inti dari pengalaman
rohani ini adalah disembuhkan secara ajaib, sedangkan bumbu-bumbunya adalah
tour di sorga dan perjumpaan dengan banyak orang dan hal. Terhadap inti dari
pengalaman rohani kita tidak boleh terlalu cepat curiga, apalagi kalau faktanya
memang betul. Namun terhadap detil pengalaman perlu di kaji secara kritis,
karena setiap pengalaman religius bersifat subyektif. Barangkali untuk tidak
jatuh ke dalam debat kontroversial, Rasul Paulus dengan amat hati-hati
menceritakan pengalamannya diangkat ke tingkat ketiga sorga (2Kor 12:1-7). Baginya pengalaman spektakuler seperti itu bukan untuk
disaksikan ke mana-mana, melainkan untuk menjadikannya seorang yang lebih
menyadari apa arti hidupnya.
V.
Penutup
Pengalaman religius, perlu bisa dimengerti menurut suatu konteks rasional,
moral dan kultural tanpa harus dijelaskan secara tuntas. Yang terakhir
"tanpa harus dijelaskan tuntas" perlu digarisbawahi. Dalam mengecek
pengalaman religius orang lain kita harus selalu ingat bahwa Allah itu tak
terbatas, sehingga cara yang dipakai-Nya juga tak terbatas seperti yang
ditegaskan oleh Evan. Karena Allah
mahakuasa dan sama sekali bebas, maka Ia memiliki kemungkinan inisiatif yang
terbesar. Nampaknya mustahil seseorang mengalami Allah kecuali Allah
menghendaki hal itu terjadi. Dan nampaknya sulit atau juga mustahil bagi kita
untuk mengatakan kapan Allah mau melakukan hal itu. Dalam pengalaman religius
harus ada keseimbangan di antara aspek rasional dan aspek non rasional supaya
pengalaman itu dihayati secara utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar