Minggu, 29 September 2013

MENUJU KEBIJAKAN POLITIK BERBASIS DEMOKRATIS: Iktisar Partisipasi Rakyat Timor Leste

 MENUJU KEBIJAKAN POLITIK BERBASIS DEMOKRATIS
Sebuah Ikhtisar Partisipasi Rakyat Timor Loro Sa’e di Tengah
Keterpurukan Kebijakan Politik
                                               




         Bumi kebangsaan kita ini, sedang dililiti oleh kompleksitas kegelisahaan dan keterpurukan. Hal yang membuat kita gelisah dan gempar ialah kontinuitas problem-problem yang jarang disentuh oleh solusi-solusi penyelesaian , praktek-objektif. Kita menjadi pesimis dan skeptis akan suatu masa depan Timor Loro Sa’e, yang demokratis dan kualitatif terhadap penghargaan humanitas yang berdaulat demokrasi. Negara tercinta ini, seolah-olah menjadi bangsa yang intransparansi, terpenjara dan terjerat oleh badai keegoisan dan keindividulisasian sekelompok orang. Kita merasa ditantang dan dihadang oleh kejenuhan, keputusasaan, ketakberdayaan, ketiadaan optimisme yang kemudian membuat kita menjadi masyarakat yang terisolir di bumi tanah air kita sendiri. Hal sedemikian membuat kita menjadi enggan untuk memproklamir bahwa kita adalah bangsa yang memprimasikan demokrasi dan mengakui kedaulatan rakyat  sebagai masyarakat yang berdemokratis. Seakan-akan sang ibu pertiwi telah membisu dan berpaling dari kita.
        Di tengah kerapuhan dan ketegangan situasi bangsa, kesadaran kritis seolah-olah turut membisu; padahal kesadaran kritis semacam ini merupakan hal yang sangat urgen, karena menentukan format dan kontruksi politik menuju masa depan kredebelitas bangsa yang berdaulat dan berdemokrasi, karena rakyatlah yang menjadi kiprah dalam menopang keberadaan bangsa ini; yang semakin dilanda pergolakan-pergolakan dan kian maraknya aktus kekerasan serta ketidakadilan. Oleh karena itu, rakyat perlu kritis dalam memperjuangkan hak dan kebebasaanya yang relatif diakomodir oleh hukum. Hal semacam inilah yang membuat rakyat berjuang semaksimal mungkin untuk bebas dalam kebebasannya. Agar bangsa Timor Loro Sa’e tidak selalu hanya berekting semu (bersandiwara) Maka, paradigma baru sangat mengharapkan suatu ekspresivitas kepemimpinan yang tranparan dan realistis sesuai idealisasi yang kita harapkan dan perjuangkan selama ini.
       Kebebasan dilihat sebagai suatu kebutuhan (necessary) karena hanya dengan individu-individu yang bebas proses berdemokratisasi dapat direalisasikan dalam kehidupan masyarakat yang adil, tenteram dan damai. Wacana demokratisasi harus sungguh-sungguh dipahami secara baik, baik itu oleh pihak pemerintah, politisi maupun oleh rakyat kecil, agar terbentuk dan tercapailah cita-cita bersama yang selama ini telah diidealkan bersama. Namun kebebasan itu pun harus berdasarkan pada sikap responsabilitas dan dijamin egibilitasnya. Konteks yang dimaksudkan di sini adalah situasi politik publik (masyarakat) yang akrab dengan realitas pergulatan politik praktis. Namun kenyataan yang melanda negara Timor Loro Sa’e adalah suatu kelemahan dan keterpurukan yang diakibatkan oleh kelemahan, kekurangan, dan ketidakmampuan kita (pemerintah) untuk mencari solusi-solusi dan jalan keluar yang baik dalam membendung pergolakan-pergolakan yang menerjang negara tercinta ini.
     Loyalitas terhadap ego dan kepentingan kelompok telah menjadi parameter untuk mengukur kebebasan demokrasi negara, hukum dan rakyat Timor Loro Sa’e. Di sisi lain idealisme, optimisme, obsesi dan intensionalitas komunal rakyat selalu menjadi elemen sekunder (bukan prioritas), seolah-olah bangsa Timor Loro Sa’e ini hanyalah menjadi milik individu-individu yang hanya mementingkan hasrat, keinginan dan nafsu mereka untuk mendapatkan apa yang mereka dambakan tanpa ingin tahu dan sadar bahwa negara Timor Loro Sa’e adalah milik semua orang (masyarakat). Pemerintah seolah-olah menjadi penguasa yang bengis dan otoriter terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan rakyatnya. Padahal kekuasaan adalah suatu yang fundamental bagi eksistensi kebijakan politik dan sangat penting bahkan sebagai tujuan perjuangan politik. Tetapi, sayangnya nafsu kekuasan telah merasuk kalbu politisi sehingga semuanya terperangkap dalam permaianan pilitik berdimensi pendek dan parokial semata. Seolah-alah tujuan politik hanya untuk menggapai dan mendapatkan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan menjadi segala-galanya. Politik pun sekedar dijadikan puritas yang didominasi libido kekuasaan para politisi, hendaknya, para politisi jangan hanya mau berdiri di atas pundak rakyatnya dan para pejuang yang telah menumpahkan jiwa dan raganya demi terciptanya negara yang baru, bebas, aman dan berdaulat.
      Pada dasarnya sebuah sistim kebijakan publik mesti mengakomodasi seluruh kepentingan komponen masyarakat yang ada di dalamnya (Timor Loro sa’e, red) akan tetapi kebijakan publik pada dasarnya berjalan lain sekali dengan apa yang telah diidealkan oleh masyarakat Timor Loro sa’e pada umumnya. Advokasi kebijakan politik ternyata tidak membawa perubahan dan perbaikan dalam kebijakan politik pemerintah. Wacana tentang disintegrasi negara ini sedang ramai dibicarakan tentang berbagai konflik dan problem-problem yang melanda negara tercinta ini, dan memaksa kita untuk memeras otak untuk menemukan akar permasalahan dan proses penyelesaiannya. Dalam era keterpurukan dan kegaduhan yang menimpah bumi Loro Sa’e ini, siapakah yang akan kita tunjuk sebagai yang bertanggungjawab? Ataukah kesalahan semacam ini terletak pada kebijakan politik yang melemah dan ketidakmampuan kita untuk membangun dan menjadikan bumi Loro sa’e ini menuju masa depan yang cerah? Siapa yang akan kita tuduh dan persalahkan?
            Seandainya kita telusuri secara lebih mendalam keterpurukan dan problem-problem yang melanda negara ini, adalah suatu akar permasalahan yang kecil, yang jika diselesaikan secara intellektual sebenarnya dapat teratasi, namun apa yang terjadi? Ternyata kebenaran dan proses penyelesaiaannya tidak berpihak pada kita, kita lebih cenderung untuk menunda-nunda penyelesaian setiap problem yang kita (Timor Loro Sa’e) hadapi, pemerintah lebih cenderung untuk tidak menggubris dan menganggap itu suatu problem yang kecil. Sangat boleh jadi, tendensi terhadap sikap antipati dan kurang merespons problem-problem yang terjadi, maka timbullah suatu sikap memberontak dan melawan, dari pihak yang merasa dirugikan; hal dan kejadian inilah yang saat ini terjadi dan sedang menimpa negara tercinta ini. Pemerintah sering menganggap tidak penting setiap problem yang terjadi dan tidak pernah  berusaha untuk menyelesaikan setiap konflik dan masalah yang terjadi, pemerintah lebih banyak untuk berbicara tanpa adanya praktek-objektif yang pasti dan tepat (no action talk only), akibat dari itu, seperti apa yang sedang terjadi, kita menjadi takut, gelisah, pesimis tak menentu dan kita menjadi terasa asing dan tidak aman di negara kita sendiri, kita tunggang-langgang kesana kemari hanya untuk menyelamatkan diri dari keegoisan dan ketamakan kebijakan politik pemerintah negara ini.
      Bila ditinjau dari letak geografis dan jumlah penduduk Timor Loro Sa’e saat ini, dapat kita katakan bahwa tidak mungkin hal itu akan terjadi tapi realitas mengatakan lain, kenyataannya memang terjadi, negara menjadi terisolir dan tidak mampu untuk menyelesaikan urusan rumah tangganya sendiri, kita mengemis ke negara-negara adikuasa untuk menopang dan melindungi kita terhadap ancaman dan bahaya yang sebenarnya berasal dari kebodohan kita sendiri. Kita telah merdeka tapi kenyataannya kita belum bebas, kita masih terus dihantui rasa ketakutan, kegelisahan, ketakberdayaan dan kecemasan yang berasal dari negara kita sendiri. Di tengah kerapuhan dan kegamangan situasi bangsa saat ini, semua pihak berlomba-lomba untuk menjadi pahlawan  namun hasil akhir tetap menemui jalan buntu.
        Tak terasa sudah dua tahun lebih negara kita masih di bawah kendali pasukan perdamaian PBB, namun toh, pemberontakkan dan pembunuhan tetap saja terjadi di bumi Loro Sa’e, padahal pasukan keamanan Internasional PBB merata di mana-mana, namun mengapa harus terjadi peristiwa 11 February 2008? Yang korbannya adalah Presiden RDTL Dr. Jose Ramos Horta dan Mayor Alfredo Reinado Alves dan seorang Pengawalnya (Leopoldinho,red) yang dianggap Pemerintah Timor Leste sebagai Pemberontak bangsa yang mencoba melakukan pembunuhan dan penculikan terhadap kedua pemimpin tertinggi negara Timor Loro Sa’e dan mencoba melakukan kudeta di bumi bangsa Timor Loro Sa’e? Padahal seperti diketahui bahwa hubungan Mayor Alfredo Reinado dan kedua pemimpin negara itu selama ini berjalan lancar-lancar saja dan sering terjadi baku kontak antara mereka dalam membicarakan agenda dialog yang sedang direncanakan oleh pihak Pemerintah dan Gereja untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam mencari solusi penyelesaian yang baik di antara kedua pihak baik dari Pemerintah sendiri maupun dari pihak Mayor Alfredo Reinado, dkk. Tapi fakta yang terjadi pada tanggal 11 Februari 2008 yang lalu, berbicara lain, tidak sesuai dengan apa yang selama ini diharapkan, yang mana menyebabkan Presiden Timor Leste, Dr. Jose Ramos Horta tertembak dan Mayor Alfredo Reinado dan anak buahnya tewas di tempat, bahkan setelah sejam kemudian Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao pun dikatakan ditembak oleh kelompok Mayor Alfredo, yang dipimpin oleh Letnan I Gestao Salsinha dan kawan-kawannya ketika beliau dalam perjalanan dari kediamannya ke kota Dili, setelah terjadi peristiwa penembakan itu, Perdana Menteri Xanana Gusmao langsung mengatakan bahwa negara Timor Loro Sa’e dalam keadaan darurat dan diberlakukan siaga satu yang dikomandai oleh pasukan keamanan internasional PBB dan FFDTL, dijajaran Timor Loro sa’e khususnya di ibu kota Dili. Setelah itu, pemerintah pun mengeluarkan surat perintah bagi Letnan I Gestao Salsinha dkk, untuk menyerahkan diri kepada pasukan internasional.
        Penulis dengan teliti menyimak kilasan berita yang disiarkan di Metro TV dan beberapa surat kabar (Flores POS, POS Kupang, harian KOMPAS dan majalah lainnya) mengatakan bahwa pemerintah RDTL meminta bantuan penambahan anggota keamanan dari PBB untuk mengamankan situasi negara RDTL yang sedang dalam keadaan kacau, padahal, sejauh yang penulis tahu bahwa, untuk sementara ini, pasukan keamanan internasional PBB masih bereksis di Timor Loro Sa’e, guna memberi keamanan bagi negara dan masyarakat Timor Loro Sa’e, tapi toh, mengapa masih terjadi kerusuhan dan kekacauan di Ibu kota Dili, yang mana menjadi pusat bereksisnya Pasukan Perdamaian Internasional PBB yang lengkap dengan alat-alat berat perangnya seperti; tank-tank, helikopter, senjata-senjata otomatis dan beberapa jenis alat perang lainnya yang serba canggih dan otomatis. Tapi mengapa Mayor Alfredo Reinado dan kawan-kawannya, yang dianggap pemerintah sebagai pemberontak masih berkeliaran sampai terjadinya peristiwa 11 Februari 2008 lalu.Apa sebenarnya fungsi dan tugas utama pasukan perdamaian PBB selama bereksis di Timor Loro Sa’e? Mengapa masih ada kelompok-kelompok yang disebut pemberontak Negara yang terus berkeliaran di mana-mana? Apakah Alm. Mayor Alfredo Reinado, dkk, adalah pemberontak dan penjahat negara? Tapi toh, sebagian orang menyebut dia sebagai pahlawan? Jangan sampai bumi Loro Sa’e ini menjadi lahan bisnis bagi negara-negara asing, karena kenyataannya meskipun pasukan keamanan Internasional semakin banyak dan beberapa waktu ini terjadi penambahan jumlah pasukan perdamaian PBB, apakah Pemerintah sanggup untuk membayar semuanya itu? Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan bahwa, semua problem yang saat ini sedang melanda Timor Loro Sa’e adalah suatu proses ketidakmampuan dan kelemahan dari kebijakan politik pemerintah Timor loro Sa’e sendiri; yang tidak sanggup untuk menyelesaian dan mencari jalan keluar yang baik dan menguntungkan seluruh pihak. Demi membangun dan menyejahterakan bumi Loro Sa’e ini menuju masa depan yang cerah dan gemilang.
        Dalam beberapa hari belakangan ini, telah dikabarkan bahwa pimpinan kelompok pemberontak Letnan I. Gestao Salsinha beserta anak buahnya telah menyerahkan diri kepada pasukan keamanan Internasional PBB dan Pemerintah Timor Leste. Setelah ini ke depan apa yang akan terjadi lagi bagi masa depan bangsa Timor Loro Sa’e yang tak kunjung henti dilanda oleh problem-problem Politik yang terjadi karena kelalaian dan kurang bijaknya intellektual negara kita. Sampai kapan kita terus dililiti oleh kegelisahan, keterpurukan dan kekelaman keamanan negara yang kurang kondisif. Apakah semua ini terjadi akibat dari lemahnya pengetahuan dan intellek kepemimpinan negara? Jika, semuanya itu dipaksakan tanpa mengukur kemampuan kepemimpinan kita, maka politik tidak akan dikelola dan menjadi sosok yang indah dan kekuasaan tidak akan dikemas menjadi suatu yang agung. Praksis politik menjadi permainan kotor, tanpa moralitas dan etiket berpolitik yang sehat. Ujungnya, keindahan keinginan politik berubah menjadi bau amis yang menyengat dan keagungan kekuasaan menjelma menjadi medan yang menakutkan. Gelagat permainan politik para politisi yang berkembang belakangan ini tidak lebih hanya sebuah ambisi untuk mendapatkan kursi kekuasaan tanpa sadar bahwa mereka dipilih oleh rakyat, untuk rakyat dan kepada rakyat. Tetapi, hal yang harus disadari adalah kebijakan politik adalah  orientasi utama seorang pemimpin.

---------------------------------))))))00000((((((-----------------------------


STL (Suara Harian Timor Leste),
23 Maret 2008


1 komentar: