PROPOSAL TESIS
Carlito da Costa Araujo
NPM/NIRM: 13.353 / 13.7.54.0278R
GEREJA DAN POLITIK: KAJIAN KRITIS ATAS
PARTISIPASI GEREJA KATOLIK
DI TIMOR LESTE DALAM RANAH POLITIK
PRAKSIS
(SUATU TELAAH DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI
POLITIK)
I. Latar Belakang Penulisan
Gereja dan politik (dalam hal
ini adalah Negara) merupakan dua institusi yang terpisah secara struktural
antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi di antara keduanya terjalin relasi
saling mengasalkan, hal ini nampak dalam realitas konkrit perjalanan kedua
institusi ini yang sama-sama memperjuangkan tatanan hidup manusia secara lebih
baik. Dalam posisi ini Gereja sebagai
satu institusi religius yang hanya menemukan hak status quo-nya pada sebuah
teritorial dalam negara. Meskipun antara Gereja dan politik saling mengasalkan
tetapi, secara eksplisit terdapat perbedaan tujuan antara kedua institusi ini,
bahwa Gereja berjuang demi kesejahteraan spiritual umatnya, sedangkan Negara
berjuang demi kesejahteraan ekonomi, sosial dan politik dari warganya. Kesamaan
perjuangan ini nampak dalam perjuangan kedua institusi ini dalam memperjuangkan
keadilan, kesejahteraan dan terjaminnya hak-hak hidup warganya sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Gereja berada di dunia dan serta merta berhadapan dengan
otoritas Negara. Gereja yang otonom mempunyai warga yang sekaligus juga sebagai
warga negara. Konsili Vatikan II juga menyadari eksistensi dari hakikat Gereja
sebagai umat Allah yang hadir di tengah-tengah dunia dan untuk dunia, yang mana
antara keduanya terjalin hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan (GS.
40).
Relasi antara Gereja dan
politik (kekuasaan) telah menjadi salah satu topik yang sudah dipersoalkan
sejak lama. Terdapat beragam afirmasi terhadap dua lembaga ini, ada pihak yang
melihat sebagai problem politis “biasa” yang memuat perbedaan legitimasi
kekuasaan antara Gereja (agama) dan politik, namun ada juga yang berpendapat bahwa antara
keduanya sebagai problem filosofis-teologis. Perdebatan antara Gereja dan politik menjadi wacana yang hangat diperdebatkan berhubungan dengan realitas
dunia yang semakin sekularisasi, demokratisasi dan liberalisasi yang mana
menuntut kedua institusi ini untuk menentukan dasar kebijakannya secara lebih
tajam dan terarah. Gereja meengafirmasi dirinya serta keberadaannya di
tengah-tengah dunia sebagai sakramen-tanda dan sekaligus sebagai sarana persekutuan Allah dengan seluruh umat manusia di dunia
(LG. 1). Dalam tataran ini menandaskan secara eksplisit tentang eksistensi
Gereja yang secara hakiki ada dan berkembang di dunia bukan untuk dirinya
sendiri, tetapi demi kepentingan seluruh umat manusia. Sebab rencana serta
tindakan keselamatan Allah terjadi di dalam dunia, dan Gereja sendiri diutus ke
tengah-tengah dunia untuk mewujudnyatakan tindakan keselamatan Allah tersebut.[1]
Karena itu, sejarah keselamatan Allah
pertama-tama mengena pada realitas manusia. Gereja menjadi sarana dan tanda
kehadiran Sakramen keselamatan Allah di dalam dunia, Gereja menjadi mediator untuk menghubungkan rencana
penyelamatan tersebut dengan realitas manusia. Di dalam Gereja keselamatan
Allah itu hadir serta dialami: diamini secara eksplisit, diwartakan secara
profetis dan dirayakan secara liturgis.[2]
Pasca Konsili Vatikan II,
Gereja memiliki legitimasi untuk berkiprah dalam kancah dunia politik. Hal ini
didukung oleh beberapa eksiklik, yang diantaranya Mater et Magistra (1961),
Rerum Novarum (1891) , Quadregsimo Anno (1931) yang mewacanakan tentang
keberpihakkan Gereja terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh Gereja
pada umumnya. Bahkan dokumen-dokumen dalam Konsili Vatikan II secara tegas
memberikan pendasaran-pendasaran teologis keterlibatan Gereja yang lebih
menyeluruh dalam realitas sosial politik dengan memperjuangkan hak dan
kemerdekaan bagi kaum buruh, kaum kecil dan kaum tertindas. Harus diakui bahwa,
Gereja secara hirarkis tidak melibatkan diri secara penuh
dalam realitas politik praksis, yakni dalam perjuangan negosiasi maupun
kompetisi untuk mendapatkan status quo dalam bidang politik.[3]
Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja Katolik tidak dapat
bersikap apatis terhadap realitas politik praksis, dan menganggap politik
sebagai sesuatu yang kotor (duniawi), karena sesuatu yang tidak bersifat
politik pun tidak dapat menghindari dampak dan akibat dari politik itu sendiri.[4]
Dalam persoalan inilah Gereja harus secara cermat menanggapi realitas politik
yang ada, karena Gereja bukanlah sebuah institusi religius yang berdiri di luar
realitas dunia. Gereja mendapat makna eksistensi di dalam realitas, hanya di
dalam dunialah Gereja mendapat eksistensinya sebagai Allah yang mengumat, Allah
yang terlibat dalam realitas hidup manusia.
Berhadapan dengan realitas
mondial yang semakin kompleks sebagai akibat dari modernisasi dan globalisasi,
Gereja tidak dapat menarik diri dari pola perubahan dunia yang semakin maju dan
modern dalam segala bidang kehidupan manusia. Seiring dengan modernisasi ini
eksistensi Gereja ditantang untuk mengambil sikap. Apakah Gereja tetap nyaman dalam ajaran-ajaran, tradisi dan
dogma-dogmanya yang telah tersusun dengan rapih, atau Gereja harus mengambil sikap untuk masuk ke dalam realitas
modernisasi ini? Persoalan-persoalan inilah yang menjadi diskusi yang hangat
pasca-Konsili Vatikan II. Dalam Konsili ini
Gereja dipanggil untuk membuka mata dan terlibat dalam realitas dunia ini,
dengan tetap pada prinsip-prinsip hakiki dari Gereja itu sendiri, yakni menjadi
sakramen keselamatan Allah yang hadir secara nyata di tengah-tengah dunia.
Menghadapi persoalan dan pertanyaan datang dari modernisme dan
sekularisasi ini, sikap Gereja adalah
menolak kompetensi politik para warga dan menempatkan diri sebagai suatu
instansi religius yang dapat menjamin dan menjadi mediator bagi terjaminnya
hak-hak politis para warganya. Pola perjuangan politis Gereja adalah menjalin
sebuah relasi bebas konflik dengan kekuasaan politik, serta menitikberatkan
pemakluman ideal dan rambu-rambu moral tanpa menuntut bagi dirinya
kompetensi untuk melibatkan diri secara
mutlak dalam realitas politik.[5]
Gereja tidak hanya
menunjukkan pentingnya dirinya dalam kehidupan publik dan politik, tetapi
Gereja juga harus menyadari arti penting politik bagi dirinya sendiri, bagi
perwujudan tatanan kehidupan yang ideal menuju masyarakat yang sejahtera dan
tenteram serta bebas dari tekanan-tekanan politis yang membatasi hak dan
kebebasan warganya. Keterlibatan politis Gereja hendaknya lahir dari inti
pewartaannya bahwa kebebasan dan pemberian nilai respek yang tinggi terhadap luhurnya martabat manusia. Hal ini
dikarenakan, inti pembebasan manusia itu terletak pada pencitraan yang luhur
terhadap martabat manusia sebagai makhluk Tuhan sekaligus sebagai makhluk
sosial di dalam realitas dunianya.[6]
Kenyataan bahwa, dalam realitas politik Gereja tidak memiliki kuasa
mutlak-otonom yang menentukan tuntutan bagi warganya, kesadaran ini lahir dari
pemahaman akan prinsip politik sebagai seni untuk mengatur legitimasi kekuasaan
manusia dalam politis. Karena dalam politik terdapat prinsip
kompromi-negosiasi, politik adalah pilihan, penentuan prioritas menuju
pencapaian cita-cita dan idealisme dari masyarakat sebagai warga politik.
Pilihan politik senantiasa ditentukan oleh pengetahuan akan sejarah sebuah masyarakat,
akan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi masyarakat tersebut dan akan
tendensi-tendensi lokal maupun global yang mencuat seiring dengan perkembangan
politik itu sendiri dalam sebuah dinamika perpolitikan.[7]
Sebagai sebuah institusi
religius Gereja dipanggil untuk melibatkan diri dalam realitas politik kaum
beriman. Keterlibatan Gereja ini bukan dalam arti
sebagai bagian dari haknya sebagai warga negara, bukan dalam arti pula bahwa
keterlibatan Gereja tanpa sebuah kuasa magisterial Gereja yang melegitimasi
hak-hak politis sejauh mana warganya terlibat dalam realitas politis. Penentuan
keterlibatan Gereja dalam bidang politis bukanlah tanpa suatu pendasaran demi
kepentingan privatisasi, tetapi penekanan ini
ditandaskan karena melihat pada tugas perutusan dan panggilan Gereja sebagai
warta keselamatan Allah, bahwa Gereja dipanggil untuk menjadi sakramen dan
tanda kehadiran Allah yang nyata bagi manusia dan dunianya. Bukan dalam arti
menentukan batasan otoritatif dari Gereja terhadap dunia politis tetapi,
menunjukan suatu batasan yang jelas terhadap kiprah Gereja dalam dunia politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa antara Gereja dan politik sama-sama memperjuangkan
tercapainya kesejahteraan masyarakat (Bonum Commune), di samping
perjuangan dalam menegakkan keadialan, perdamaian dan tatanan hidup yang aman,
adil serta kondusif bagi warganya. Pada tataran ini Gereja dipanggil untuk
mengambil sikap kritis terhadap realitas politik yang terkadang melenceng dari
prinsip-prinsip politik itu sendiri. Gereja harus menjadi rambu-rambu politik
yang dapat mengarahkan politik pada tujuan dan hakikat dari politik yang
sesungguhnya, yakni terciptanya kesejahteraan dan kebaikan bersama warganya.
Sebagai negara yang
bermayoritaskan agama Katolik, Gereja mendapatkan tempat yang istimewa dalam
perhelatan politik di bumi Timor Leste. Keterlibatan Gereja, diartikan sebagai
sebuah Teologi Terlibat karena Gereja sejak awalnya senantiasa ada dan hadir di
tengah-tengah masyarakat. Tetapi, sangat disayangkan bahwa, sebagai sebuah negara
yang bermayoritas agama Kristen Katolik, masyarakat bangsa ini belum hidup seturut
hakikat dan prinsip dari Gereja itu sendiri. Kenapa demikian? Hal ini
dikarenakan bahwa selama satu dekade setelah kemerdekaannya, Timor Leste masih
dililiti oleh beragam kompleksitas problem yang tidak pernah mencapai finalitas
penyelesaiannya. Setiap problematika selalu menimbulkan problematika yang
lainnya, sehingga muncul suatu sikap ambigu dalam menemukan solusi yang tepat
sasar dalam penyelesainnya. Kiprah politik para politisi dan elitis bangsa ini
sering memainkan peran ganda dalam kancah perpolitikannya. Perjuangan demi
kesejahteraan bangsa ini serta demi kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu masih berjalan beriringan dalam peta politik bangsa ini.
Menyimak kembali perhelatan
politik yang terjadi menimbulkan kerisauan dan kecemasan tersendiri akan
eksistensi Gereja Katolik di Negara ini. Karena sebagai negara yang
bermayoritaskan agama Katolik, kiprah politis di negara ini masih menimbulkan
problematisasi yang mencekam warganya. Sebagaimana Gereja dipanggil untuk
menyuarakan kebenaran, keadilan dan perdamaian maka sudah semestinya Gereja
bertindak dan terlibat secara praksis pastoral dalam membahasakan serta
menyuarakan kaum tertindas yang dibungkam dan dikekang hak-hak politisnya.
Sepak terjang Gereja dalam memperjuangkan nilai-nilai humanitas, kebenaran,
keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan dengan keterlibatan para aktivis
dan tokoh-tokoh Gereja Katolik. Keberpihakan Gereja dalam memperjuangkan
hak-hak umatnya merupakan sebuah “teologi terlibat”[8],
dimana keberpihakan dalam menyuarakan suara kaum tertindas menjadi lebih
nyaring bergema keluar, dan gaungnya bisa terdengar di seluruh pelosok mundial.
Ketimpangan politik Timor
Leste juga sering menampakkan momok kejahatannya dalam rupa Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN), deskriminasi dan pembedaan golongan dan etnis serta beberapa
ketimpangan politik lainnya yang sering kita jumpai dalam panorama perpolitikan
negara ini. Dinamika politik di Timor Leste pada belakangan ini, sering menampilkan beragam persaingan yang ketat antara para politisi dan elitis di Negara ini. Persaingan politik antar partai politik dengan
calon pemimpin yang diusung setiap partai politik dipentaskan secara gamblang
di hadapan publik. Wacana dan tawaran-tawaran politis dikumandangkan dengan
tujuan mendapat dukungan penuh dari warga bumi Lorosa’e ini; meskipun
tawaran-tawaran dan janji-janji kampanye tersebut hanyalah obrolan hampa yang
sering tidak dikonkritisasikan ketika kaum elitis sudah memperoleh apa yang
telah diperjuangkan dengan kekayaan janji-janji hampa yang takterealisasikan.
Selain itu, politik juga sering berujung pada tindak kekerasan, ancaman, teror
dan membungkam kebebasan dan lain sebagainya, politik menampilkan momok
negatifnya; dimensi violatif politik mengangkangi realitas politik yang pada
dasarnya bertujuan demi tercapainya masyarakat Timor Lorosa’e yang Bonum Commune.
Tidak dapat disangkal bahwa, perhelatan politik
di negara ini, memaksa Gereja Katolik juga ikut terlebur dalam situasi politik
ini, karena sebagai negara yang bermayoritaskan Katolik peran Gereja sangat
memegang andil dalam membentuk mentalitas dan karakter para politisasi maupun
para elitis sebagai umat Gereja itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah tinjauan
kritis dalam sorotan Teologi Politik perlu dikumandangkan untuk mengembalikan
prinsip-prinsip etika politik yang baik dan tetap menjaga terjadinya moralitas
politik dari para pemimpin bangsa ini. Tinjauan teologi politik terasa amat
perlu untuk mentransformasi dan membentuk peran serta Gereja dalam membangun
sebuah tatanan hidup masyarakat yang lebih utuh, sehingga disintegrasi bangsa
ini tetap terarah dengan baik menuju kesejahteraan dan keadilan bangsa ini.
Berdasarkan realitas di atas maka, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
peran Gereja dalam pentas politik di bumi Timor Leste ini, maka penulis memilih
judul, “GEREJA DAN POLITIK: KAJIAN KRITIS ATAS PARTISIPASI GEREJA KATOLIK DI
TIMOR LESTE DALAM RANAH POLITIK PRAKSIS (SUATU TELAAH DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI
POLITIK)” untuk meneropong tugas panggilan Gereja dalam memperjuangkan
etika politik dan teologi politik yang tepat dalam perhelatan politik di negara
ini.
1.2. Pokok Permasalahan
Realitas mondial era postmodern dalam dunia globalisasi
masa kini telah mengubah wajah dunia ini menjadi sistem yang tertata dan
terpola menurut sistem-sistem dan norma-norma yang menjamin keanekaragaman dan
pluralitas dunia. Tanpa disadari Gereja pun ikut terlebur dan terbentuk dalam
pluralitas dunia yang tertata menurut sistem-sistem tersebut. Kehadiran Gereja
tidak dapat dilepaspisahkan dengan keberadaan dunia sebagai locus dari segala
sesuatu yang tercipta dalam ketiadaan “Nothingness” atau dalam
terjemahan Kitab Suci Creatio ex Nihilo. Dunia, manusia dan Gereja dijadikan dalam proses penciptaan dari ketiadaan
tersebut.
Sebagai Negara yang mayoritas
masyarakatnya beragama Katolik maka, tidak asing lagi bahwa keterlibatan Gereja dalam memberdayakan bangsa yang berkualitas dalam bidang sosio-politik
menjadi tanggungjawab Gereja pada umumnya. Salah satu jalan yang harus ditempuh
untuk mewujudnyatakan cita-cita bangsa ini adalah melalui keterlibatan Gereja
dalam meperjuangan bonum commune serta summum bonum bagi
masyarakat Negara ini. Kurang lebih satu dekade telah berlalu dan Timor Leste
telah menemukan wajah perpolitikannya di dunia Internasional, tetapi realitas
yang masih menjadi harapan yang belum terlaksana adalah terciptanya Negara yang
adil, sejahtera dan kondusif dari segala ketimpangan-ketimpangan sosial maupun politik. Kenyataan inilah yang mengundang keprihatinan Gereja
Katolik di tanah air ini untuk tidak hanya berpaku tangan dan diam seribu
bahasa. Tetapi, dengan melihat kebobrokan perpolitikan di
Negara ini, Gereja terpanggil untuk terlibat dan berperan aktif dalam
menyuarakan seruan-seruan profetisnya serta terlibat dalam memberdayakan bangsa
ini.
Terdapat adanya prinsip bahwa, antara politik dan Gereja
harus dipisahkan. Dan pernyataan ini tidak dapat disangkal karena secara
struktural antara politik dan Gereja merupakan dua lembaga yang berbeda, tetapi
suatu kenyataan bahwa locus perjuangan antara keduanya memiliki korelasi
yang erat, sehingga dalam realitas prakteknya keduanya saling mengasalkan dan
saling mendukung dalam merealisasikan masyarakat dan negara yang sejahtera.
Dalam peziarahannya antara politik dan Gereja juga pernah mengalami situasi
kelam yang secara tegas menampakkan distingsi yang kuat karena dalam praksisnya
keduanya memainkan peran penting sesuai dengan hakikat dan prinsipiil dari
tugas-tugasnya. Secara profetis Gereja dipanggil untuk menyuarakan ke permukaan
publik realitas yang terjadi, sedangkan di pihak lain politik sering memainkan
peran ganda. Perjuangan antara kepentingan privat dan perjuangan demi kesejahteraan bersama sering
menemukan kebuntuan. Pada tataran inilah Gereja terpanggil untuk menyuarakan
seruan profetisnya sebagai pejuang kebenaran dan keadilan umat Allah.
Keberpihakan Gereja terhadap realitas politik bangsa ini,
tidak semata terbatas pada seruan profetis semata, tetapi lebih dari itu
perutusan Gereja dituntut aksi konkritnya, sehingga secara eksplisit Gereja
cenderung untuk terlibat dan ikut campur dalam urusan politik sebagai
tanggungjawab panggilannya. Tetapi, tidak disangkal bahwa, terkadang Gereja
melangkah terlalu jauh dalam menjalankan tanggungjawabnya, sehingga perlu
adanya rambu-rambu yang dapat mengatur dan membatasi keberpihakan dan
keterlibatan Gereja yang terlampau masuk dalam politik praksis. Pada tataran
inilah teologi politik memainkan perannya sebagai marcusuar untuk menerangi dan
memangkas sepak terjang Gereja dalam politik praksis. Titik tolak teologi
politik adalah eksaminasi atas cara-cara, dalam mana politik dan Gereja (agama)
telah secara keliru memainkan perannya. Teologi politik hendaknya menjadi titik
acuan bagi keterlibatan Gereja Katolik dalam realitas politik sehingga Gereja
tetap diarahkan pada tugas perutusannya untuk memaklumkan kerajaan Allah di
tengah-tengah dunia dengan seruan-seruan profetisnya dan kebijakan-kebijakannya
yang tidak melampaui batasan keterlibatannya dalam politik praksis. Mengindikasikan
bahwa melalui teologi politik ini kiprah Gereja dalam realitas politik praksis
dapat terkontrol dan terarah dengan baik sehingga politisasi Gereja Katolik
dalam politik dapat dicegah dan diantisipasi.
1.3. Hipotesis dan Asumsi
Gereja dan politik (Negara) merupakan dua lembaga
yang secara struktural berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Secara
sistematis struktural keduanya menjalankan peran yang berbeda pula. Gereja
bertugas menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia, dan mengusahakan
agar iman Kristiani menjadi berakar dan mengena sesuai dengan konteks melalui
dialog-dialog profetis komunikatif Gereja. Sedangkan politik (pemerintah)
bertujuan untuk menyejahterakan dan menciptakan suatu realitas dunia yang aman
dan kondusif sehingga manusia sedapat mungkin dapat hidup dan bertumbuh sesuai
dengan faham-faham kebebasannya, baik sebagai makhluk pribadi maupun sebagai
makhluk sosial dalam realitas dunianya. Meskipun secara struktural berbada
namun, secara hakiki di antara kedua instansi tersebut terdapat adanya tujuan
yang sama yakni menciptakan tatanan hidup yang bonum commune maupun summum
bonum.
Sehingga antara Gereja dan politik harus memiliki
komitmen yang sepadang dalam memajukan humanitas manusia Timor Leste dalam
segala aspek kehidupannya, baik itu dalam bidang politik, sosial, ekonomi
maupun budaya, serta terjaminnya hak-hak hidup seluruh warganya. Meskipun
keduanya saling mengasalkan, perlu adanya batasan-batasan yang dapat membatasi
ruang gerak antara keduanya, sehingga Gereja tidak terlampau masuk dan mendominasi
realitas praksis politik, demikian pun politik tidak terlalu mendominasi
hak-hak prinsipiil dari Gereja itu sendiri, maka sikap kritis terhadap keduanya
diperlukan untuk meneropong secara cermat pertautan antara kedua lembaga
struktural tersebut. Di sinilah teologi politik memainkan perannya dalam
menghubungkan antara politik dan Gereja sehingga tidak terjadi
kepincangan-kepincangan yang dapat mengaburkan relasi timbal-balik antara
keduanya. Dalam arti bahwa, melalui teologi politik kecenderungan untuk
politisasi Gereja dapat dibendung dan terkontrol sehingga Gereja tidak terlalu
jauh melangkah dan terjebak dalam arus kungkungan politik praksis di Negara
ini.
1.4. Tujuan Penulisan
Segala sesuatu yang
dilakukan entah apa pun itu tentu memiliki tujuan. Tujuan itu yang
karapkali terus memacu seorang penulis untuk memperjuangkan apa yang ingin
dicapai. Tanpa kesadaran akan sebuah perjuangan untuk menggagas makna dari
sebuah tujuan, maka sesuatu itu hanya akan membawa kemandegan rasio dalam
mengulas seperangkat kata-kata untuk membangun ide di dalam sebuah permasalahan
yang mau ditampilkan di depan publik. Dalam menggagas sebuah pokok permasalahan
amat mutlak dibutuhkan niat dan komitmen yang kuat akan apa yang mau dicapai.
Oleh karena itu, ada beberapa tujuaan yang hendak dicapai penulis lewat karya
ini: pertama, tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan tesis ini adalah
untuk memenuhi sebagian dari tuntutan akademis dari Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero, guna memperoleh gelar Magister Teologi (S2) pada program
studi pasca sarjana.
Kedua, Penulis hendak melihat secara lebih cermat kiprah Gereja Katolik dalam menanggapi isu-isu sosial-politik
di Negara ini serta, peran aktif Gereja dalam realitas politik praksis dan
tanggapan profetis Gereja dalam memaknai keberpihakannya dalam bidang politik
serta batasan-batasannya sesuai dengan Magisterium Gereja dan Ajaran Sosial
Gereja (ASG) dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Ketiga,
sebagai sebuah teologi politik sekaligus pemikiran kritis dalam membedah dan
mendobrak kepincangan-kepincangan dalam percaturan dunia politik yang muncul
dalam kalangan para elite politik itu
sendiri maupun seluruh lapisan masyarakat yang terlibat dalam memajukan negara
berdaulat republik demokratik ini, di Timor Leste. Selain itu juga,
penulisan tesis ini bertujuan untuk meneropong
peran serta Gereja
Katolik dan keterlibatannya dalam politik praksis dari sudut pandang teologi politik.
Keempat,
lebih jauh, penulis berusaha sedapat mungkin untuk mengintegrasikan serta
menawarkan solusi alternatif dalam pengejawantahan praktek politik praksis
serta dinamika kepemimpinan para elit politik maupun Gereja sebagai hirarkis dalam membangun sebuah tatanan
hidup menuju bonum commune di bumi Timor Leste.
Keenam, tujuan khususnya ialah
membantu penulis dalam memahami dan menelaah lebih dalam prinsip-prinsip etis politik dan sepak terjang Gereja Katolik dalam
pergunjingan politik di Timor Leste serta memberi catatan kritis atas
keterlibatan Gereja Katolik dalam politik praksis dalam sorotan Teologi Politik.
1.5. Metode dan Teknik Penulisan
Untuk mengerjakan dan menyelesaikan karya tulis ini,
penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan, eksplanatoris, argumentatif
dan reflektif teologis. Penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan kiprah
Gereja dalam dunia politik, etika politik dan teologi politik. Metode
eksplanatoris dan argumentatif dipakai penulis untuk menelaah lebih dalam makna
dan sepak terjang Gereja dalam menanggapi realitas politik praksis di Timor
Leste. Sedangkan metode reflektif teologis dipakai untuk merefleksikan serta
memberi catatan kritis terhadap kenyataan real keterlibatan Gereja
dalam politik praksis dan sistem
perpolitikan yang sedang berjalan di bumi
Lorosa’e ini. Selain itu, untuk mendukung tulisan ini, penulis juga menggunakan
sarana internet, majalah-majalah dan surat kabar terutama artikel-artikel yang
berhubungan dengan Gereja dan
perannya dalam dunia sosial-politik, etika politik, teologi politik dan demokrasi pada
umumnya dan masalah perkembangan dunia
perpolitikan di Bumi Timor Leste
guna melengkapi keterbatasan buku dan sumber-sumber utama yang dipakai penulis.
1.6. Skop dan Batasan
Penulisan
Dalam penulisan tesis ini, penulis hanya membatasi
penulisan pada problematika Gereja dan politik, dengan kajian sejauh mana
kiprah Gereja Katolik dalam realitas politik praksis di Negara Republik
Demokratik Timor Leste (RDTL) dan babatasan-batasan Gereja serta
keberpihakkannya dalam menyuarakan aspirasi politik juga beberapa peninjauan atas
partisipasi aktif politis Gereja dalam kancah perpolitikan menurut pandangan Ajaran-ajaran Sosial Gereja Katolik
(ASG). Selain itu, beberapa tanggapan kritis atas keterlibatan Gereja Katolik
di Timor Leste dalam ranah politik praksis dalam sorotan Teologi Politik. Selain
itu juga, di dalam penulisan karya ilmiah ini fokus penelitian pada metode
kepustakaan dan analisis serta studi komparatif.
1.7. Terminologi Penulisan
a. Gereja merupakan persekutuan kaum beriman, atas dasar kesatuan dengan
Kritus yang wafat dan bangkit dan merupakan tanda yang kelihatan dari kehadiran
nyata Kristus. Gereja secara universal adalah umat Allah yang terhimpun dalam collegialitas.
Gereja adalah communio, persekutuan dari kaum beriman.
b. Politik pada prinsipnya memiliki tujuan untuk mencapai kebaikan dan
kesejahteraan masyarakat (Bonum Commune).
Politik tidak hanya terbatas pada persoalan kebaikan dan kesejahteraan bersama
melainkan juga berkisar pada legitimasi kekuasaan dalam suatu negara.
Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan demi tujuan pribadi seseorang (private goals).[9] Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk
partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu) dalam suatu
tatanan kehidupan publik. Pada pokoknya sistem politik modern mengandung tiga unsur, (1) demokratis,
(2) konstitusional, dan (3) berlandaskan hukum.
c. Teologi politik lahir untuk melegitimasi secara teologis primat politik
dan klaim-klaim absolut negara. Selain itu, teologi politik juga merupakan
usaha memformulasikan warta eskatologis Kristen dalam realitas politik dewasa
ini. Jadi, teologi politik berorientasi pada aksi nyata-praksis. Teologi
politik memperlihatkan iman Kristen dalam bentuk kebebasan kritis terhadap
masyarakat dan Gereja sebagai tanah air kebebasannya, kepada orang-orang
Kristen bahwa ia dipanggil untuk menanggapi warta eskatologis Allah dalam
realitas sosio-politik.
d. Peranan dan keterkaitan antara Gereja dan politik. Gereja dan politik merupakan dua instansi yang berbeda
secara struktural dan pola sistem-sistem penerapannya. Tetapi, antara keduanya
terdapat relasi saling keterkaitan yang sama-sama memiliki tujuan hakiki yang
sama yakni menjamin bonum commune dan summum bonum dalam suatu
negara.
e. Telaah kritis kiprah Gereja dan politik dalam terang teologi politik merupakan suatu
pengkritisan atas keterlibatan Gereja dalam politik praktis, serta memberikan
batasan-batasan atas kiprah Gereja dalam probematika sosio-politik di Timor Leste.
f. ASG (Ajaran Sosial Gereja), merupakan dokumen Gereja yang menaruh minat
serta perhatian serta keprihatinan terhadap realitas sosial, ekonomi, budaya
dan ekonomi dunia, khususnya terhadap kaum tertindas, kaum pinggiran serta kaum
marginal yang terdepak dari realitas sosialnya. ASG merupakan dokumen sekaligus
seruan keberpihakan Gereja atas realitas kaum kecil yang tereliminasi dari
kekuasaan yang menindas hak-hak mereka.
1.8. Sistematika penulisan
Untuk mempermudah pembahasan karya ini, maka penulis perlu
memetakan dan merincikan uraian dalam beberapa bab yang mempunyai kesinambungan
isi. Oleh karena itu, karya tulis ini akan terdiri dari enam (6) bab dengan
mengikuti sistematika penulisan yang sangat sederhana sebagai berikut: Bab I
adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang penulisan, pokok permasalahan
dan penegasan judul, tujuan penulisan, metode dan teknik penulisan, Hipotesis
dan asumsi, terminologi, dan terakhir sistematika penulisan.
Dalam bab II, penulis mengulas tentang landasan teoritis
dan pemikiran-pemikiran yang berbicara secara khusus tentang Gereja, Ajaran
Sosial Gereja (ASG), teologi politik, etika politik dan serta beberapa catatan
tentang sistem politik dan demokratisasi. Selain itu juga dalam bab ini penulis
menguraikan secara rinci pokok permasalahan dan landasan teoritis tentang kiprah
Gereja dalam politik
praksis. Tujuan, maksud, skop dan
batasan, terminologi penulisan, sistematika dan hipotese awal. Landasan teoritis dan pemikiran-pemikiran yang diangkat
di sini dilihat sebagai kerangka awal untuk masuk pada persoalan yang
sesungguhnya yang akan lebih rinci diuraikan secara sistematis dalam bab III
dan seterusnya.
Dalam Bab III, penulis akan
mengkaji secara cermat pokok persoalan tentang Realitas Perpolitikan dan kiprah
Gereja Katolik di Timor Leste dalam politik praksis.
Sedangkan dalam Bab IV,
pembahasan lebih terarah pada Gereja dan Politik dalam mengentaskan
kesejahteraan bagi masyarakat Timor Leste, serta batasan-batasan legitimasi
Negara terhadap Gereja Katolik dan Tinjauan dari beberapa dokumen Gereja yang
membahas Partisipasi Gereja Katolik dalam realitas politik praksis.
Pada Bab V, sebagai sebuah garis simpul, dimana penulis memberi beberapa catatan
kritis tentang kiprah Gereja Katolik dalam realitas politik praktis dalam
sistem pemerintahan di Timor Leste: Suatu pola penawaran alternatif dalam
perspektif teologi politik atas keterlibatan Gereja Katolik dalam ranah politik praksis
Bab VI, merupakan Penutup (Kesimpulan dan Saran) serta Bibliografi yang dipakai sebagai sumber penunjang dalam penyelesaian
karya tulis ini.
[1]Rikard Rakhmat (Ed.), Gereja itu
Politis Dari Manggarai - Flores Untuk Indonesia, (Jakarta: Justice Peace
and Integrity of Creation (JPIC), 2012), p. 27.
[2]Ibid.
[3]Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan
Memoria, (Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008), p. 48.
[4]Ibid., P. 41.`
[5]Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat:
Politik dan Budaya Dalam Terang Teologi, ( Maumere: Penerbit Ledalero,
2003), p.205.
[6] Ibid., p. 206-207.
[7] Ibid.,
p. 214.
[8]
Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat Politik dan Budaya Dalam Terang Teologi,
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), pp. viii-ix.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar