Kamis, 13 Agustus 2020

GEREJA DAN POLITIK: KAJIAN KRITIS ATAS PARTISIPASI GEREJA KATOLIK DI TIMOR LESTE DALAM RANAH POLITIK PRAKSIS (SUATU TELAAH DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI POLITIK)

 PROPOSAL TESIS

Carlito da Costa Araujo

NPM/NIRM: 13.353 / 13.7.54.0278R

 

 

 

GEREJA DAN POLITIK: KAJIAN KRITIS ATAS PARTISIPASI GEREJA KATOLIK

DI TIMOR LESTE DALAM RANAH POLITIK PRAKSIS

(SUATU TELAAH DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI POLITIK)

 

 

I.   Latar Belakang Penulisan

Gereja dan politik (dalam hal ini adalah Negara) merupakan dua institusi yang terpisah secara struktural antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi di antara keduanya terjalin relasi saling mengasalkan, hal ini nampak dalam realitas konkrit perjalanan kedua institusi ini yang sama-sama memperjuangkan tatanan hidup manusia secara lebih baik.  Dalam posisi ini Gereja sebagai satu institusi religius yang hanya menemukan hak status quo-nya pada sebuah teritorial dalam negara. Meskipun antara Gereja dan politik saling mengasalkan tetapi, secara eksplisit terdapat perbedaan tujuan antara kedua institusi ini, bahwa Gereja berjuang demi kesejahteraan spiritual umatnya, sedangkan Negara berjuang demi kesejahteraan ekonomi, sosial dan politik dari warganya. Kesamaan perjuangan ini nampak dalam perjuangan kedua institusi ini dalam memperjuangkan keadilan, kesejahteraan dan terjaminnya hak-hak hidup warganya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Gereja berada di dunia dan serta merta berhadapan dengan otoritas Negara. Gereja yang otonom mempunyai warga yang sekaligus juga sebagai warga negara. Konsili Vatikan II juga menyadari eksistensi dari hakikat Gereja sebagai umat Allah yang hadir di tengah-tengah dunia dan untuk dunia, yang mana antara keduanya terjalin hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan (GS. 40).

Relasi antara Gereja dan politik (kekuasaan) telah menjadi salah satu topik yang sudah dipersoalkan sejak lama. Terdapat beragam afirmasi terhadap dua lembaga ini, ada pihak yang melihat sebagai problem politis “biasa” yang memuat perbedaan legitimasi kekuasaan antara Gereja (agama) dan politik, namun ada juga yang berpendapat bahwa antara keduanya sebagai problem filosofis-teologis. Perdebatan antara Gereja dan politik menjadi wacana yang hangat diperdebatkan berhubungan dengan realitas dunia yang semakin sekularisasi, demokratisasi dan liberalisasi yang mana menuntut kedua institusi ini untuk menentukan dasar kebijakannya secara lebih tajam dan terarah. Gereja meengafirmasi dirinya serta keberadaannya di tengah-tengah dunia sebagai sakramen-tanda dan sekaligus sebagai sarana persekutuan Allah dengan seluruh umat manusia di dunia (LG. 1). Dalam tataran ini menandaskan secara eksplisit tentang eksistensi Gereja yang secara hakiki ada dan berkembang di dunia bukan untuk dirinya sendiri, tetapi demi kepentingan seluruh umat manusia. Sebab rencana serta tindakan keselamatan Allah terjadi di dalam dunia, dan Gereja sendiri diutus ke tengah-tengah dunia untuk mewujudnyatakan tindakan keselamatan Allah tersebut.[1] Karena itu, sejarah keselamatan Allah pertama-tama mengena pada realitas manusia. Gereja menjadi sarana dan tanda kehadiran Sakramen keselamatan Allah di dalam dunia, Gereja menjadi mediator untuk menghubungkan rencana penyelamatan tersebut dengan realitas manusia. Di dalam Gereja keselamatan Allah itu hadir serta dialami: diamini secara eksplisit, diwartakan secara profetis dan dirayakan secara liturgis.[2]

Pasca Konsili Vatikan II, Gereja memiliki legitimasi untuk berkiprah dalam kancah dunia politik. Hal ini didukung oleh beberapa eksiklik, yang diantaranya Mater et Magistra (1961), Rerum Novarum (1891) , Quadregsimo Anno (1931) yang mewacanakan tentang keberpihakkan Gereja terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh Gereja pada umumnya. Bahkan dokumen-dokumen dalam Konsili Vatikan II secara tegas memberikan pendasaran-pendasaran teologis keterlibatan Gereja yang lebih menyeluruh dalam realitas sosial politik dengan memperjuangkan hak dan kemerdekaan bagi kaum buruh, kaum kecil dan kaum tertindas. Harus diakui bahwa, Gereja secara hirarkis tidak melibatkan diri secara penuh dalam realitas politik praksis, yakni dalam perjuangan negosiasi maupun kompetisi untuk mendapatkan status quo dalam bidang politik.[3] Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja Katolik tidak dapat bersikap apatis terhadap realitas politik praksis, dan menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor (duniawi), karena sesuatu yang tidak bersifat politik pun tidak dapat menghindari dampak dan akibat dari politik itu sendiri.[4] Dalam persoalan inilah Gereja harus secara cermat menanggapi realitas politik yang ada, karena Gereja bukanlah sebuah institusi religius yang berdiri di luar realitas dunia. Gereja mendapat makna eksistensi di dalam realitas, hanya di dalam dunialah Gereja mendapat eksistensinya sebagai Allah yang mengumat, Allah yang terlibat dalam realitas hidup manusia.

Berhadapan dengan realitas mondial yang semakin kompleks sebagai akibat dari modernisasi dan globalisasi, Gereja tidak dapat menarik diri dari pola perubahan dunia yang semakin maju dan modern dalam segala bidang kehidupan manusia. Seiring dengan modernisasi ini eksistensi Gereja ditantang untuk mengambil sikap. Apakah Gereja tetap nyaman dalam ajaran-ajaran, tradisi dan dogma-dogmanya yang telah tersusun dengan rapih, atau Gereja harus mengambil sikap untuk masuk ke dalam realitas modernisasi ini? Persoalan-persoalan inilah yang menjadi diskusi yang hangat pasca-Konsili Vatikan II. Dalam Konsili ini Gereja dipanggil untuk membuka mata dan terlibat dalam realitas dunia ini, dengan tetap pada prinsip-prinsip hakiki dari Gereja itu sendiri, yakni menjadi sakramen keselamatan Allah yang hadir secara nyata di tengah-tengah dunia. Menghadapi persoalan dan pertanyaan datang dari modernisme dan sekularisasi  ini, sikap Gereja adalah menolak kompetensi politik para warga dan menempatkan diri sebagai suatu instansi religius yang dapat menjamin dan menjadi mediator bagi terjaminnya hak-hak politis para warganya. Pola perjuangan politis Gereja adalah menjalin sebuah relasi bebas konflik dengan kekuasaan politik, serta menitikberatkan pemakluman ideal dan rambu-rambu moral tanpa menuntut bagi dirinya kompetensi  untuk melibatkan diri secara mutlak dalam realitas politik.[5]

Gereja tidak hanya menunjukkan pentingnya dirinya dalam kehidupan publik dan politik, tetapi Gereja juga harus menyadari arti penting politik bagi dirinya sendiri, bagi perwujudan tatanan kehidupan yang ideal menuju masyarakat yang sejahtera dan tenteram serta bebas dari tekanan-tekanan politis yang membatasi hak dan kebebasan warganya. Keterlibatan politis Gereja hendaknya lahir dari inti pewartaannya bahwa kebebasan dan pemberian nilai respek yang tinggi  terhadap luhurnya martabat manusia. Hal ini dikarenakan, inti pembebasan manusia itu terletak pada pencitraan yang luhur terhadap martabat manusia sebagai makhluk Tuhan sekaligus sebagai makhluk sosial di dalam realitas dunianya.[6] Kenyataan bahwa, dalam realitas politik Gereja tidak memiliki kuasa mutlak-otonom yang menentukan tuntutan bagi warganya, kesadaran ini lahir dari pemahaman akan prinsip politik sebagai seni untuk mengatur legitimasi kekuasaan manusia dalam politis. Karena dalam politik terdapat prinsip kompromi-negosiasi, politik adalah pilihan, penentuan prioritas menuju pencapaian cita-cita dan idealisme dari masyarakat sebagai warga politik. Pilihan politik senantiasa ditentukan oleh pengetahuan akan sejarah sebuah masyarakat, akan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi masyarakat tersebut dan akan tendensi-tendensi lokal maupun global yang mencuat seiring dengan perkembangan politik itu sendiri dalam sebuah dinamika perpolitikan.[7]

Sebagai sebuah institusi religius Gereja dipanggil untuk melibatkan diri dalam realitas politik kaum beriman. Keterlibatan Gereja ini bukan dalam arti sebagai bagian dari haknya sebagai warga negara, bukan dalam arti pula bahwa keterlibatan Gereja tanpa sebuah kuasa magisterial Gereja yang melegitimasi hak-hak politis sejauh mana warganya terlibat dalam realitas politis. Penentuan keterlibatan Gereja dalam bidang politis bukanlah tanpa suatu pendasaran demi kepentingan privatisasi, tetapi penekanan ini ditandaskan karena melihat pada tugas perutusan dan panggilan Gereja sebagai warta keselamatan Allah, bahwa Gereja dipanggil untuk menjadi sakramen dan tanda kehadiran Allah yang nyata bagi manusia dan dunianya. Bukan dalam arti menentukan batasan otoritatif dari Gereja terhadap dunia politis tetapi, menunjukan suatu batasan yang jelas terhadap kiprah Gereja dalam dunia politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa antara Gereja dan politik sama-sama memperjuangkan tercapainya kesejahteraan masyarakat (Bonum Commune), di samping perjuangan dalam menegakkan keadialan, perdamaian dan tatanan hidup yang aman, adil serta kondusif bagi warganya. Pada tataran ini Gereja dipanggil untuk mengambil sikap kritis terhadap realitas politik yang terkadang melenceng dari prinsip-prinsip politik itu sendiri. Gereja harus menjadi rambu-rambu politik yang dapat mengarahkan politik pada tujuan dan hakikat dari politik yang sesungguhnya, yakni terciptanya kesejahteraan dan kebaikan bersama warganya.

Sebagai negara yang bermayoritaskan agama Katolik, Gereja mendapatkan tempat yang istimewa dalam perhelatan politik di bumi Timor Leste. Keterlibatan Gereja, diartikan sebagai sebuah Teologi Terlibat karena Gereja sejak awalnya senantiasa ada dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Tetapi, sangat disayangkan bahwa, sebagai sebuah negara yang bermayoritas agama Kristen Katolik, masyarakat bangsa ini belum hidup seturut hakikat dan prinsip dari Gereja itu sendiri. Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan bahwa selama satu dekade setelah kemerdekaannya, Timor Leste masih dililiti oleh beragam kompleksitas problem yang tidak pernah mencapai finalitas penyelesaiannya. Setiap problematika selalu menimbulkan problematika yang lainnya, sehingga muncul suatu sikap ambigu dalam menemukan solusi yang tepat sasar dalam penyelesainnya. Kiprah politik para politisi dan elitis bangsa ini sering memainkan peran ganda dalam kancah perpolitikannya. Perjuangan demi kesejahteraan bangsa ini serta demi kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu masih berjalan beriringan dalam peta politik bangsa ini.

Menyimak kembali perhelatan politik yang terjadi menimbulkan kerisauan dan kecemasan tersendiri akan eksistensi Gereja Katolik di Negara ini. Karena sebagai negara yang bermayoritaskan agama Katolik, kiprah politis di negara ini masih menimbulkan problematisasi yang mencekam warganya. Sebagaimana Gereja dipanggil untuk menyuarakan kebenaran, keadilan dan perdamaian maka sudah semestinya Gereja bertindak dan terlibat secara praksis pastoral dalam membahasakan serta menyuarakan kaum tertindas yang dibungkam dan dikekang hak-hak politisnya. Sepak terjang Gereja dalam memperjuangkan nilai-nilai humanitas, kebenaran, keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan dengan keterlibatan para aktivis dan tokoh-tokoh Gereja Katolik. Keberpihakan Gereja dalam memperjuangkan hak-hak umatnya merupakan sebuah “teologi terlibat”[8], dimana keberpihakan dalam menyuarakan suara kaum tertindas menjadi lebih nyaring bergema keluar, dan gaungnya bisa terdengar di seluruh pelosok mundial.

Ketimpangan politik Timor Leste juga sering menampakkan momok kejahatannya dalam rupa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), deskriminasi dan pembedaan golongan dan etnis serta beberapa ketimpangan politik lainnya yang sering kita jumpai dalam panorama perpolitikan negara ini. Dinamika politik di Timor Leste pada belakangan ini, sering menampilkan beragam persaingan yang ketat antara para politisi dan elitis di Negara ini. Persaingan politik antar partai politik dengan calon pemimpin yang diusung setiap partai politik dipentaskan secara gamblang di hadapan publik. Wacana dan tawaran-tawaran politis dikumandangkan dengan tujuan mendapat dukungan penuh dari warga bumi Lorosa’e ini; meskipun tawaran-tawaran dan janji-janji kampanye tersebut hanyalah obrolan hampa yang sering tidak dikonkritisasikan ketika kaum elitis sudah memperoleh apa yang telah diperjuangkan dengan kekayaan janji-janji hampa yang takterealisasikan. Selain itu, politik juga sering berujung pada tindak kekerasan, ancaman, teror dan membungkam kebebasan dan lain sebagainya, politik menampilkan momok negatifnya; dimensi violatif politik mengangkangi realitas politik yang pada dasarnya bertujuan demi tercapainya masyarakat Timor Lorosa’e yang Bonum Commune.

Tidak dapat disangkal bahwa, perhelatan politik di negara ini, memaksa Gereja Katolik juga ikut terlebur dalam situasi politik ini, karena sebagai negara yang bermayoritaskan Katolik peran Gereja sangat memegang andil dalam membentuk mentalitas dan karakter para politisasi maupun para elitis sebagai umat Gereja itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah tinjauan kritis dalam sorotan Teologi Politik perlu dikumandangkan untuk mengembalikan prinsip-prinsip etika politik yang baik dan tetap menjaga terjadinya moralitas politik dari para pemimpin bangsa ini. Tinjauan teologi politik terasa amat perlu untuk mentransformasi dan membentuk peran serta Gereja dalam membangun sebuah tatanan hidup masyarakat yang lebih utuh, sehingga disintegrasi bangsa ini tetap terarah dengan baik menuju kesejahteraan dan keadilan bangsa ini. Berdasarkan realitas di atas maka, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam peran Gereja dalam pentas politik di bumi Timor Leste ini, maka penulis memilih judul, “GEREJA DAN POLITIK: KAJIAN KRITIS ATAS PARTISIPASI GEREJA KATOLIK DI TIMOR LESTE DALAM RANAH POLITIK PRAKSIS (SUATU TELAAH DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI POLITIK)” untuk meneropong tugas panggilan Gereja dalam memperjuangkan etika politik dan teologi politik yang tepat dalam perhelatan politik di negara ini.

 

1.2.  Pokok Permasalahan

Realitas mondial era postmodern dalam dunia globalisasi masa kini telah mengubah wajah dunia ini menjadi sistem yang tertata dan terpola menurut sistem-sistem dan norma-norma yang menjamin keanekaragaman dan pluralitas dunia. Tanpa disadari Gereja pun ikut terlebur dan terbentuk dalam pluralitas dunia yang tertata menurut sistem-sistem tersebut. Kehadiran Gereja tidak dapat dilepaspisahkan dengan keberadaan dunia sebagai locus dari segala sesuatu yang tercipta dalam ketiadaan “Nothingness” atau dalam terjemahan Kitab Suci Creatio ex Nihilo. Dunia, manusia dan Gereja dijadikan dalam proses penciptaan dari ketiadaan tersebut.

Sebagai Negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Katolik maka, tidak asing lagi bahwa keterlibatan Gereja dalam memberdayakan bangsa yang berkualitas dalam bidang sosio-politik menjadi tanggungjawab Gereja pada umumnya. Salah satu jalan yang harus ditempuh untuk mewujudnyatakan cita-cita bangsa ini adalah melalui keterlibatan Gereja dalam meperjuangan bonum commune serta summum bonum bagi masyarakat Negara ini. Kurang lebih satu dekade telah berlalu dan Timor Leste telah menemukan wajah perpolitikannya di dunia Internasional, tetapi realitas yang masih menjadi harapan yang belum terlaksana adalah terciptanya Negara yang adil, sejahtera dan kondusif dari segala ketimpangan-ketimpangan sosial maupun politik. Kenyataan inilah yang mengundang keprihatinan Gereja Katolik di tanah air ini untuk tidak hanya berpaku tangan dan diam seribu bahasa. Tetapi, dengan melihat kebobrokan perpolitikan di Negara ini, Gereja terpanggil untuk terlibat dan berperan aktif dalam menyuarakan seruan-seruan profetisnya serta terlibat dalam memberdayakan bangsa ini.

Terdapat adanya prinsip bahwa, antara politik dan Gereja harus dipisahkan. Dan pernyataan ini tidak dapat disangkal karena secara struktural antara politik dan Gereja merupakan dua lembaga yang berbeda, tetapi suatu kenyataan bahwa locus perjuangan antara keduanya memiliki korelasi yang erat, sehingga dalam realitas prakteknya keduanya saling mengasalkan dan saling mendukung dalam merealisasikan masyarakat dan negara yang sejahtera. Dalam peziarahannya antara politik dan Gereja juga pernah mengalami situasi kelam yang secara tegas menampakkan distingsi yang kuat karena dalam praksisnya keduanya memainkan peran penting sesuai dengan hakikat dan prinsipiil dari tugas-tugasnya. Secara profetis Gereja dipanggil untuk menyuarakan ke permukaan publik realitas yang terjadi, sedangkan di pihak lain politik sering memainkan peran ganda. Perjuangan antara kepentingan privat dan  perjuangan demi kesejahteraan bersama sering menemukan kebuntuan. Pada tataran inilah Gereja terpanggil untuk menyuarakan seruan profetisnya sebagai pejuang kebenaran dan keadilan umat Allah.

Keberpihakan Gereja terhadap realitas politik bangsa ini, tidak semata terbatas pada seruan profetis semata, tetapi lebih dari itu perutusan Gereja dituntut aksi konkritnya, sehingga secara eksplisit Gereja cenderung untuk terlibat dan ikut campur dalam urusan politik sebagai tanggungjawab panggilannya. Tetapi, tidak disangkal bahwa, terkadang Gereja melangkah terlalu jauh dalam menjalankan tanggungjawabnya, sehingga perlu adanya rambu-rambu yang dapat mengatur dan membatasi keberpihakan dan keterlibatan Gereja yang terlampau masuk dalam politik praksis. Pada tataran inilah teologi politik memainkan perannya sebagai marcusuar untuk menerangi dan memangkas sepak terjang Gereja dalam politik praksis. Titik tolak teologi politik adalah eksaminasi atas cara-cara, dalam mana politik dan Gereja (agama) telah secara keliru memainkan perannya. Teologi politik hendaknya menjadi titik acuan bagi keterlibatan Gereja Katolik dalam realitas politik sehingga Gereja tetap diarahkan pada tugas perutusannya untuk memaklumkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia dengan seruan-seruan profetisnya dan kebijakan-kebijakannya yang tidak melampaui batasan keterlibatannya dalam politik praksis. Mengindikasikan bahwa melalui teologi politik ini kiprah Gereja dalam realitas politik praksis dapat terkontrol dan terarah dengan baik sehingga politisasi Gereja Katolik dalam politik dapat dicegah dan diantisipasi.

 

1.3.  Hipotesis dan Asumsi

Gereja dan politik (Negara) merupakan dua lembaga yang secara struktural berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Secara sistematis struktural keduanya menjalankan peran yang berbeda pula. Gereja bertugas menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia, dan mengusahakan agar iman Kristiani menjadi berakar dan mengena sesuai dengan konteks melalui dialog-dialog profetis komunikatif Gereja. Sedangkan politik (pemerintah) bertujuan untuk menyejahterakan dan menciptakan suatu realitas dunia yang aman dan kondusif sehingga manusia sedapat mungkin dapat hidup dan bertumbuh sesuai dengan faham-faham kebebasannya, baik sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial dalam realitas dunianya. Meskipun secara struktural berbada namun, secara hakiki di antara kedua instansi tersebut terdapat adanya tujuan yang sama yakni menciptakan tatanan hidup yang bonum commune maupun summum bonum.

Sehingga antara Gereja dan politik harus memiliki komitmen yang sepadang dalam memajukan humanitas manusia Timor Leste dalam segala aspek kehidupannya, baik itu dalam bidang politik, sosial, ekonomi maupun budaya, serta terjaminnya hak-hak hidup seluruh warganya. Meskipun keduanya saling mengasalkan, perlu adanya batasan-batasan yang dapat membatasi ruang gerak antara keduanya, sehingga Gereja tidak terlampau masuk dan mendominasi realitas praksis politik, demikian pun politik tidak terlalu mendominasi hak-hak prinsipiil dari Gereja itu sendiri, maka sikap kritis terhadap keduanya diperlukan untuk meneropong secara cermat pertautan antara kedua lembaga struktural tersebut. Di sinilah teologi politik memainkan perannya dalam menghubungkan antara politik dan Gereja sehingga tidak terjadi kepincangan-kepincangan yang dapat mengaburkan relasi timbal-balik antara keduanya. Dalam arti bahwa, melalui teologi politik kecenderungan untuk politisasi Gereja dapat dibendung dan terkontrol sehingga Gereja tidak terlalu jauh melangkah dan terjebak dalam arus kungkungan politik praksis di Negara ini.

 

1.4.  Tujuan Penulisan

Segala sesuatu yang  dilakukan entah apa pun itu tentu memiliki tujuan. Tujuan itu yang karapkali terus memacu seorang penulis untuk memperjuangkan apa yang ingin dicapai. Tanpa kesadaran akan sebuah perjuangan untuk menggagas makna dari sebuah tujuan, maka sesuatu itu hanya akan membawa kemandegan rasio dalam mengulas seperangkat kata-kata untuk membangun ide di dalam sebuah permasalahan yang mau ditampilkan di depan publik. Dalam menggagas sebuah pokok permasalahan amat mutlak dibutuhkan niat dan komitmen yang kuat akan apa yang mau dicapai. Oleh karena itu, ada beberapa tujuaan yang hendak dicapai penulis lewat karya ini: pertama, tujuan yang hendak  dicapai melalui penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi sebagian dari tuntutan akademis dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, guna memperoleh gelar Magister Teologi (S2) pada program studi pasca sarjana.

Kedua, Penulis hendak melihat secara lebih cermat kiprah Gereja Katolik dalam menanggapi isu-isu sosial-politik di Negara ini serta, peran aktif Gereja dalam realitas politik praksis dan tanggapan profetis Gereja dalam memaknai keberpihakannya dalam bidang politik serta batasan-batasannya sesuai dengan Magisterium Gereja dan Ajaran Sosial Gereja (ASG) dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Ketiga, sebagai sebuah teologi politik sekaligus pemikiran kritis dalam membedah dan mendobrak kepincangan-kepincangan dalam percaturan dunia politik yang muncul dalam kalangan para elite politik itu sendiri maupun seluruh lapisan masyarakat yang terlibat dalam memajukan negara berdaulat republik demokratik ini, di Timor Leste. Selain itu juga, penulisan tesis ini bertujuan untuk meneropong peran serta Gereja Katolik dan keterlibatannya dalam politik praksis dari sudut pandang teologi politik.

Keempat, lebih jauh, penulis berusaha sedapat mungkin untuk mengintegrasikan serta menawarkan solusi alternatif dalam pengejawantahan praktek politik praksis serta dinamika kepemimpinan para elit politik maupun Gereja sebagai hirarkis dalam membangun sebuah tatanan hidup menuju bonum commune di bumi Timor Leste.

Keenam, tujuan khususnya ialah membantu penulis dalam memahami dan menelaah lebih dalam prinsip-prinsip etis politik dan sepak terjang Gereja Katolik dalam pergunjingan politik di Timor Leste serta memberi catatan kritis atas keterlibatan Gereja Katolik dalam politik praksis dalam sorotan Teologi Politik.

 

1.5.  Metode dan Teknik Penulisan

Untuk mengerjakan dan menyelesaikan karya tulis ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan, eksplanatoris, argumentatif dan reflektif teologis. Penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan kiprah Gereja dalam dunia politik, etika politik dan teologi politik. Metode eksplanatoris dan argumentatif dipakai penulis untuk menelaah lebih dalam makna dan sepak terjang Gereja dalam menanggapi realitas politik praksis di Timor Leste. Sedangkan metode reflektif teologis dipakai untuk merefleksikan serta memberi catatan kritis terhadap kenyataan real keterlibatan Gereja dalam politik praksis dan sistem perpolitikan yang sedang berjalan di bumi Lorosa’e ini. Selain itu, untuk mendukung tulisan ini, penulis juga menggunakan sarana internet, majalah-majalah dan surat kabar terutama artikel-artikel yang berhubungan dengan Gereja dan perannya dalam dunia sosial-politik, etika politik, teologi politik dan demokrasi pada umumnya  dan masalah perkembangan dunia perpolitikan di Bumi Timor Leste guna melengkapi keterbatasan buku dan sumber-sumber utama yang dipakai penulis.

 

1.6.  Skop dan Batasan Penulisan

Dalam penulisan tesis ini, penulis hanya membatasi penulisan pada problematika Gereja dan politik, dengan kajian sejauh mana kiprah Gereja Katolik dalam realitas politik praksis di Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dan babatasan-batasan Gereja serta keberpihakkannya dalam menyuarakan aspirasi politik juga beberapa peninjauan atas partisipasi aktif politis Gereja dalam kancah perpolitikan menurut  pandangan Ajaran-ajaran Sosial Gereja Katolik (ASG). Selain itu, beberapa tanggapan kritis atas keterlibatan Gereja Katolik di Timor Leste dalam ranah politik praksis dalam sorotan Teologi Politik. Selain itu juga, di dalam penulisan karya ilmiah ini fokus penelitian pada metode kepustakaan dan analisis serta studi komparatif.

 

1.7.  Terminologi Penulisan

a.     Gereja merupakan persekutuan kaum beriman, atas dasar kesatuan dengan Kritus yang wafat dan bangkit dan merupakan tanda yang kelihatan dari kehadiran nyata Kristus. Gereja secara universal adalah umat Allah yang terhimpun dalam collegialitas. Gereja adalah communio, persekutuan dari kaum beriman.

b.     Politik pada prinsipnya memiliki tujuan untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan masyarakat (Bonum Commune). Politik tidak hanya terbatas pada persoalan kebaikan dan kesejahteraan bersama melainkan juga berkisar pada legitimasi kekuasaan dalam suatu negara. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan demi tujuan pribadi seseorang (private goals).[9] Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu) dalam suatu tatanan kehidupan publik. Pada pokoknya sistem politik modern mengandung tiga unsur, (1) demokratis, (2) konstitusional, dan (3) berlandaskan hukum.

c.     Teologi politik lahir untuk melegitimasi secara teologis primat politik dan klaim-klaim absolut negara. Selain itu, teologi politik juga merupakan usaha memformulasikan warta eskatologis Kristen dalam realitas politik dewasa ini. Jadi, teologi politik berorientasi pada aksi nyata-praksis. Teologi politik memperlihatkan iman Kristen dalam bentuk kebebasan kritis terhadap masyarakat dan Gereja sebagai tanah air kebebasannya, kepada orang-orang Kristen bahwa ia dipanggil untuk menanggapi warta eskatologis Allah dalam realitas sosio-politik.

d.     Peranan dan keterkaitan antara Gereja dan politik. Gereja dan politik merupakan dua instansi yang berbeda secara struktural dan pola sistem-sistem penerapannya. Tetapi, antara keduanya terdapat relasi saling keterkaitan yang sama-sama memiliki tujuan hakiki yang sama yakni menjamin bonum commune dan summum bonum dalam suatu negara.

e.     Telaah kritis kiprah Gereja dan politik dalam terang teologi politik merupakan suatu pengkritisan atas keterlibatan Gereja dalam politik praktis, serta memberikan batasan-batasan atas kiprah Gereja dalam probematika sosio-politik di Timor Leste.

f.      ASG (Ajaran Sosial Gereja), merupakan dokumen Gereja yang menaruh minat serta perhatian serta keprihatinan terhadap realitas sosial, ekonomi, budaya dan ekonomi dunia, khususnya terhadap kaum tertindas, kaum pinggiran serta kaum marginal yang terdepak dari realitas sosialnya. ASG merupakan dokumen sekaligus seruan keberpihakan Gereja atas realitas kaum kecil yang tereliminasi dari kekuasaan yang menindas hak-hak mereka.

 

1.8.  Sistematika penulisan

Untuk mempermudah pembahasan karya ini, maka penulis perlu memetakan dan merincikan uraian dalam beberapa bab yang mempunyai kesinambungan isi. Oleh karena itu, karya tulis ini akan terdiri dari enam (6) bab dengan mengikuti sistematika penulisan yang sangat sederhana sebagai berikut: Bab I adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang penulisan, pokok permasalahan dan penegasan judul, tujuan penulisan, metode dan teknik penulisan, Hipotesis dan asumsi, terminologi, dan terakhir sistematika penulisan.

Dalam bab II, penulis mengulas tentang landasan teoritis dan pemikiran-pemikiran yang berbicara secara khusus tentang Gereja, Ajaran Sosial Gereja (ASG), teologi politik, etika politik dan serta beberapa catatan tentang sistem politik dan demokratisasi. Selain itu juga dalam bab ini penulis menguraikan secara rinci pokok permasalahan dan landasan teoritis tentang kiprah Gereja dalam politik praksis. Tujuan, maksud, skop dan batasan, terminologi penulisan, sistematika dan hipotese awal. Landasan teoritis dan pemikiran-pemikiran yang diangkat di sini dilihat sebagai kerangka awal untuk masuk pada persoalan yang sesungguhnya yang akan lebih rinci diuraikan secara sistematis dalam bab III dan seterusnya.

Dalam Bab III, penulis akan mengkaji secara cermat pokok persoalan tentang Realitas Perpolitikan dan kiprah Gereja Katolik di Timor Leste dalam politik praksis.

            Sedangkan dalam Bab IV, pembahasan lebih terarah pada Gereja dan Politik dalam mengentaskan kesejahteraan bagi masyarakat Timor Leste, serta batasan-batasan legitimasi Negara terhadap Gereja Katolik dan Tinjauan dari beberapa dokumen Gereja yang membahas Partisipasi Gereja Katolik dalam realitas politik praksis.

            Pada Bab V, sebagai sebuah garis simpul, dimana penulis memberi beberapa catatan kritis tentang kiprah Gereja Katolik dalam realitas politik praktis dalam sistem pemerintahan di Timor Leste: Suatu pola penawaran alternatif dalam perspektif teologi politik atas keterlibatan Gereja Katolik dalam ranah politik praksis

            Bab VI, merupakan Penutup (Kesimpulan dan Saran)  serta Bibliografi yang dipakai sebagai sumber penunjang dalam penyelesaian karya tulis ini.

 



[1]Rikard Rakhmat (Ed.), Gereja itu Politis Dari Manggarai - Flores Untuk Indonesia, (Jakarta: Justice Peace and Integrity of Creation (JPIC), 2012), p. 27.

[2]Ibid.         

[3]Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria, (Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008), p. 48.

[4]Ibid., P. 41.`         

[5]Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat: Politik dan Budaya Dalam Terang Teologi, ( Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), p.205.

[6] Ibid., p. 206-207.

[7] Ibid., p. 214.

[8] Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat Politik dan Budaya Dalam Terang Teologi, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), pp. viii-ix.

       [9]Felix Baghi (Ed.), Kewarganegaraan Demokratis Dalam Sorotan Filsafat Politik (Maumere: Penerbit STFK Ledalero, 2009) p. xvii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar