Senin, 23 September 2019

GEREJA SEBAGAI BUDAYA TANDING DENGAN POLA REKRUTMEN TENAGA PASTORAL GEREJA

GEREJA SEBAGAI BUDAYA TANDING DENGAN POLA REKRUTMEN TENAGA PASTORAL GEREJA
(Suatu Refleksi Kritis Atas Kiprah Pastoral Gereja Di NTT)




I.       Pendahuluan
Membangun Gereja di NTT merupakan suatu panggilan untuk semua manusia yang mendiami bumi NTT ini. Sebagai satu propinsi dengan mayoritas warganya beragama Kristen-Katolik maka sudah sewajarnya membangun Gereja di NTT menjadi tanggungjawab semua warganya, meskipun tidak dipungkiri bahwa selain kekristenan sebagai mayoritas di dalamnya juga terdapat beberapa pemeluk agama lainnya meskipun dengan jumlah minoritas. Gereja merupakan persekutuan umat beriman Kristiani yang beriman kepada Yesus Kristus yang mewartakan kabar keselamatan kepada semua orang. Sebagai persekutuan, Gereja terbentuk dari berbagai kalangan umat dengan berbagai macam latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Latar belakang itu sedikit banyak mempengaruhi dinamika Gereja yang terbentuk, bertumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, Gereja yang mau mendarat, hidup dan berkembang harus mampu menyentuh kebutuhan umat yang dilayaninya, termasuk berkaitan dengan latar belakang politik, sosial, budaya dan ekonomi. Termasuk bagaimana Gereja menghidup dirinya sendiri dalam menghadapi realitas global yang semakin maju dalam segala aspek kehidupannya.[1]
Sebagaimana teologi yang berkembang di Asia berhadapan dengan tiga realitas, yaitu keagamaan, kebudayaan, dan kemiskinan. Demikian pula Gereja di NTT ini dihadapkan kepada tiga realitas ini. Berhadapan dengan tiga realitas itu, dapat menjadi mungkin dan baik jika Gereja bisa menempatkan diri dengan baik dengan ketiga realitas itu, sedapat mungkin Gereja mampu mensejajarkan ketiga aspek ini dalam raksa pastoralnya maupun dalam mewartakan iman akan Yesus Kristus. Dalam mensintesiskan ketiga aspek ini fungsi tenaga pastoral berperan penting untuk bisa mengenal budaya dan tradisi setempat dengan baik sehingga tidak terjadi perbenturan antara realitas sosial, budaya dan agama itu sendiri. Hendaknya tenaga pastoral, mampu menempatkan diri, merasuk dan melebur dengan mereka untuk mengenalkan mereka pada Kristus, “masuk melalui pintu mereka, keluar melalui pintu kita”- sebab iman tumbuh dari kebudayaan setempat bukan dipaksakan dari luar. Sehingga eksistensi Gereja di NTT tidak menjadi asing dan baru bagi warganya. Tenaga pastoral juga memegang andil penting untuk mendaratkan Gereja ke dalam realitas masyarakat NTT. Maka, salah satu prasyarat terpenting adalah Gereja harus mengkontekstualisasikan diri. Gereja harus bertumbuh dan berakar dalam budaya dan realitas sosial masyarakat di NTT ini.

II.    Gereja Sebagai Budaya Tanding?
2.1. Apa itu Budaya Tanding?
Budaya tanding dapat didefinisikan sebagai sebagian dari populasi suatu masyarakat yang secara kuat menganut atau memeluk satu atau lebih nilai-nilai budaya yang berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan yang dominan. Perbedaan kebudayaan seperti ini dapat saja menimbulkan konflik atau pertentangan dalam masyarakat. Dalam banyak kebudayaan masyarakat selalu dihubungkan dengan beragam kebiasaan, isu-isu sosial dan politik serta tradisi dan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar dalam suatu konteks. Akan tetapi di lain pihak budaya tanding yang biasanya dilihat sebagai hal yang dapat mengganggu kemapanan suatu kebudayaan justru bisa membantu membarui suatu kebudayaan daerah maupun nasional. Bagaimanapun, kita tidak mungkin mengalami suatu proses sejarah tanpa budaya tanding, baik dalam level rasional, organisasional bahkan dalam wajah politik paling kasar ataupun sekedar pemunculannya dalam tingkat naluriah atau alamiah. Demikian populer istilah itu sehingga Oxford English Dictionary menambahkannya sebagai idiom Inggris sejak akhir kurun itu atau awal 1970-an. Kamus tersebut merumuskan counter-culture, atau counterculture dalam ejaan Anglo-Amerika, sebagai mode of life deliberately deviating from established social practices.[2]

2.2. Kiprah Gereja Berhadapan Dengan Budaya NTT?
Kiprah perjalanan Gereja Katolik di NTT berjalan seiring dengan masuknya para misionaris asing Dominikan pada paruh abad XVI, lebih intensif lagi pada masa pasca Perang Dunia I oleh para misionaris dari Serikat Sabda Allah (SVD).[3] Agama Katolik (Gereja) mendapat tempatnya dalam ruang lingkup masyarakat NTT karena dilihat sebagai suatu kepercayaan yang mengarahkan manusia dalam relasi keakrabannya dengan yang transenden. Sebelum masuknya Gereja di NTT, manusia NTT sudah mengenal kepercayaan akan sesuatu yang lain, yang berada di luar kemampuan rasionalnya. Karena adanya kesamaan ini maka, agama Katolik dengan cepat berkembang dan diterima oleh masyarakat NTT. Realitas ini nampak dalam perkembangan religiositas tradisional di wilayah ini, meskipun dalam perjalanan sejarahnya agama Kristen Protestan juga mendapatkan tempat yang istimewa dalam masyarakat di wilayah ini, di samping agama-agama lainnya.
Sepak terjang gereja di NTT juga tidak jarang sering dipertentangkan dengan kebudayaan yang telah melekat kuat dalam diri masyarakat pada umumnya. Berhadapan dengan budaya dan tradisi setempat, Gereja perlu hati-hati agar tidak terbawa dalam arus sinkretisme atau juga sebaliknya, pengaburan tradisi kebudayaan masyarakat yang sudah diyakini sejak zaman nenek moyang masyarakat NTT. Bahwa, dalam tradisi dan budaya setempat masyarakat sudah mengenal dan mengakui adanya Tuhan dalam konteks budaya dan adat setempat, sehingga kecemasan bahwa kehadiran Gereja menjadi pengabur iman dan kepercayaan umat yang telah tertata dengan mapan.[4]  Berhubungan dengan realitas ini maka, Konsili Vatikan II  membawa Gereja merubah pandangannya. Di luar gereja juga bisa ada keselamatan.
Karena itu Gereja meninggalkan sikapnya yang memerangi budaya dan agama  NTT, dan mulai terbuka mengakui bahwa di dalam budaya dan agama NTT juga bisa ada kebenaran, ada yang baik. Segala kebaikan dalam hati dan budi orang serta dalam ibadat dan kebudayaan bangsa-bangsa tidak dihilangkan tetapi diutuhkan. (Bdk. NA No. 2). Maka Gereja juga menunjukkan sikap bersahabat kepada budaya dan agama orang  NTT ketika menyatakan bahwa dengan segala usaha pewartaan, Gereja (juga) beriktiar agar hal-hal yang baik yang ada tertabur dalam hati dan benak manusia atau dalam upacara serta budaya khas NTT, bukan saja tidak binasa melainkan disegarkan, ditingkatkan, dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi penghinaan setan dan kebahagiaan manusia. (Bdk. LG No. 17). Karena itu Gereja di sini mulai memperlihatkan sikap  rendah hati untuk menghormati budaya dan agama orang NTT, dan tidak tergoda untuk mengambil kewenangan untuk mengadili. Maka, dengan jeli Enio Mantovani, SVD, seorang misiolog berpendapat bahwa keanekaragaman nilai pada berbagai budaya dan agama adalah cara Allah berbicara kepada orang-orang di sini melalui segala yang ada di sekitar mereka, seluruh lingkungan budaya.[5]
Pola pemikiran senadapun dinyatakan dalam sidang para Uskup dalam pertemuan FABC yang menggagaskan cita-cita tentang membangun Gereja berwajah Asia. Penekanan yang sama juga untuk kiprah Gereja di NTT juga diharapkan menyapa manusia NTT dalam seluruh konteks kehidupannya. Peran Gereja dan pola Pastoral kita harus bisa menangkap seluruh situasi kehidupan manusia NTT itu sendiri sehingga bisa terbuka kemungkinan terjadi proses pembaharuan, pemurnian iman dan agama manusia NTT, proses menjadi Gereja NTT. Teologi yang dibangun hendaknya menjadi refleksi atas kehidupan manusia NTT, liturgi menjadi perayaan kehidupan manusia NTT, yang menginspirasi perilaku di tengah dunia. Dan Gereja NTT menjadi saksi tentang yang benar dan suci.


2.3. Gereja Sebagai Budaya Tanding Suatu Kontekstualisasi?
Model budaya tandingan adalah salah satu model yang digunakan dalam teologi kontekstual yang berusaha terlibat dan relevan dengan konteks yang pada satu sisi tetap setia pada Injil, dan di lain sisi juga berani untuk menantang dan mengubah konteks. Model ini berani memberikan sebuah tawaran yakni kekristenan harus menjadi penolakan radikal dan menawarkan budaya tandingan terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat. Model kontekstual menyadari bahwa manusia dan ekspresi teologis hanya dapat hidup dalam situasi yang dikondisikan secara historis dan kultural, sambil juga kritis dan curiga terhadap konteks yang terjadi dalam masyarakat.[6] Tanpa bergeser keluar dari kenyataan di atas, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa model budaya tandingan bukanlah model anti-budaya, tetapi ia melihat bahwa Injil harus dikomunikasikan dalam budaya dan tidak melihat budaya sebagai sesuatu yang jahat. Dalam hal ini Injil dan nilai teologis berkompromi dengan situasi kultural dan tidak menghilangkan nilai budaya yang sudah menyatu dengan masyarakat.[7]
Sebagai sebuah model yang menawarkan kemungkinan asimilasi antara nilai injili dan teologis dengan budaya setempat, muncul juga beberapa tendensi yang menjadi keresahan apabila model ini dimengerti secara keliru. Kecenderungan dari tidak setianya terhadap nilai asali model ini adalah, adanya bahaya untuk menjadi anti-budaya, apabila para praktisi model ini terlalu menganggap budaya itu jahat, kafir, sehingga dapat terjadi pemusnahan budaya seperti yang pernah terjadi pada awal masuknya penyebaran Injil di wilayah NTT pada awal masuknya kekristenan di Indonesia pada umumnya. Realitas ini terjadi karena kecenderungan adanya rasa superioritas Gereja yang terlalu memusatkan perhatian untuk membangun indentitasnya, tanpa terlibat ke tengah dunia, akan budaya yang menjadi corak hidup manusia NTT sebelumnya. Sehingga pada awal masuknya kekristenan di NTT khususnya, para misionaris menganggap budaya dan tradisi hidup masyarakat NTT sebagai kafir sehingga mereka harus ditobatkan dari kekafiran mereka. Padahal nilai-nilai budaya dalam masyarakat NTT menampilkan suatu paham religiusitas yang kuat dan sangat berakar yang telah diwariskan secara turun-temurun.[8]
Gereja menjadi model budaya tandingan adalah sebuah model perjumpaan atau keterlibatan, karena model ini hendak menegaskan perutusan Gereja yang sungguh-sungguh masuk menjumpai dan melibatkan konteks dalam pewartaannya namun, tetap dengan sikap menaruh sikap hormat atas nilai-nilai luhur dari kebudayaan yang sudah dihidupi oleh masyarakat dalam konteksnya. Model ini juga sungguh-sungguh mengindahkan semangat profetis yang menubuatkan kebenaran dalam konteks. Gereja diwartakan kepada manusia yang hidup dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu, dalam pewartaannya Gereja haruslah mengindahkan dengan seksama konteks kebudayaan dari masyarakat yang menjadi tujuan pewartaannya. Dalam arti ini apabila para agen pastoral maupun gereja itu sendiri harus mengaitkan antara pewartaan mereka dengan konteks budaya tempat di mana mereka mewartakan, maka mereka mesti serentak menempatkan pewartaannya dalam bahasa pendengar dan sesuai dengan konteks budaya masyarakat NTT itu sendiri.[9]
Kalau kita menyimak konteks hidup beriman zaman ini, tak dapat disangkal lagi bahwa penghayatan iman umat kristiani sekarang berangsur-angsur menurun, jikalau dibandingakan dengan pola hidup beriman umat yang belum tersentuh oleh kemajuan teknologi atau perkembangan zaman. Dalam banyak situasi, komunitas Kristen terancam eksistensinya karena pengaruh “dunia modern” antara lain lewat modern  technology (yang membawa pergeseran nilai-nilai), sistem pendidikan (terarah pada prestasi pribadi), pasar bebas (yang mengalahkan yang lemah) dan digitalisasi (segala-galanya diatur dari belakang komputer, tanpa melihat wajah orang) telah masuk ke dalam kehidupan umat dewasa ini. Kenyataan ini, tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi umat kristiani, yang juga adalah komunitas zaman ini. Tantangannya yang mungkin cukup berat dihadapi yakni apakah kehadiran gereja di NTT secara khususnya bisa menjadi tanda dan sakramen kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia saat ini? Tanda-tanda itu adalah hidup dalam persekutuan seperti para rasul atau jemaat perdana, berkumpul bersama, berdoa bersama dan saling mengasihi satu sama lain (bdk. Kis 2: 41-47). Menghadapi realitas modernitas ini maka, tantangan bagi Gereja yang sekaligus menjadi budaya tandingnya adalah dengan penambahan dan formasio yang lebih serius dalam mendidik para agen pastoralnya untuk secara lebih jeli dan tanggap terhadap realitas gereja yang ada zaman ini.                                                                         
Menyimak kenyataan yang ada sekarang, panggilan bagi kaum beriman untuk membentuk sebuah komunitas Gereja yang benar-benar kristiani tidak selalu mudah dan juga tidak selalu berjalan lancar. Dalam hal ini, selalu saja ada dinamika jatuh-bangunnya, untuk membangun Gereja yang benar-benar kristiani dan memiliki kualitas religius dan moral yang kokoh menjadi tantangan bagi para agen pastoral di NTT ini. Kesadaran Gereja ini, kiranya juga menjadi kesadaran seluruh umat kristiani, dan tidak hanya menjadi kesadaran Hierarki Gereja semata. Gereja di NTT harus menyadari bahwa panggilan untuk mewujudkan kerajaan Allah menjadi tantangan tersendiri pada zaman sekarang ini. Dari sebab itu, kesaksian hidup –sebagai hasil dari apropriasi (penginternalisasian) nilai-nilai Injili amat diperlukan untuk mengendalikan arus-arus besar zaman ini, terutama arus globalisasi, modernisasi, politik, ekonomi dan budaya yang begitu merasuki setiap lini kehidupan manusia dewasa ini. Kesaksian hidup Injili ini peratama-tama harus dimiliki oleh seorang agen pastoral, baik sebagai klerikal maupun sebagai awam yang dipersiapkan secara khusus dalam pewartaannya. Realitas kesaksian hidup ini yang menjadi tantangan dan sekaligus harus menjadi komitmen dasar bagi hierarkis Gereja NTT saat ini untuk menyingkapi tuntutan Gereja sekaligus tuntutan zaman yang semakin sekuler ini.
Spiritualitas Injili harus sedapat mungkin dihayati dan dikonkritisasikan secara nyata dalam praktek hidup para agen pastoral maupun oleh umat itu sendiri. Penghayatan hidup seperti di atas dalam arti bahwa penghayatan semangat Injil mesti menjiwai umat Kristen sekarang. Dan hanya dengan cara penghayatan demikian, umat Kristen telah memulai apa yang disebut dengan membangun budaya tandingan yakni mengokohkan iman akan Kristus di tengah kemajuan zaman dengan berkumpul bersama, berdoa bersama, atau mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan lainya atau bahkan mengadakan suatu kegiatan karitatif (karya sosial) dalam hidup bersama. Citra diri seperti ini, perlu selalu dijaga dan ditingkatkan sehingga akhirnya menjadi sebuah way of life bagi Gereja di NTT, bahkan menjadi budaya baru dalam mengokohkan iman Kristen di tengah-tengah arus perubahan dunia yang selalu menawarkan nilai-nilai baru, yang kadang-kadang berseberangan dengan nilai-nilai Kristiani.        


III. Refleksi Kristis Tentang Gereja Sebagai Budaya Tanding Dengan Pola Rekrutmen Tenaga Pastoral Gereja Di NTT
Gereja adalah sebuah misteri, rencana, karunia serta tidakan Allah yang mengambil bentuk historis dan konkrit  di dalam realitas sosio-budaya dan sosio-politik manusia.[10] Pergeseran nilai-nilai sosio-budaya dan politik menuju demokratisasi dan modernisasi telah merubah pandangan manusia menuju suatu dunia yang lebih kompleks dan terbuka. Pemahaman seperti ini turut mempengaruhi penghayatan iman agama seseorang. Iman akan Allah dianggap sebagai sesuatu yang dinamis, seiring dengan perkembangan zaman. Tantangan dan pemahaman iman seperti inilah yang menjadi keprihatinan Gereja secara umum, Gereja di NTT khususnya. Bahwa, manusia NTT dewasa ini telah mengalami pola perubahan yang berarti, dimana mental dan pemahaman manusia tidak lagi terkungkung dalam asas kekeluargaan yang mengikat, tetapi berangsur-angsur mengalami pengikisan menuju pola individualisasi, kenyataan yang sama pula dalam bentuk penghayatan iman kekristenannya. Iman dianggap sebagai suatu yang bersifat private dan personal, bukan lagi menyangkut kolektifitas atau kolegialitas sebagaimana iman Jemaat Perdana. Realitas inilah yang menjadi persoalan Gereja di NTT yang harus ditemukan solusi alternatifnya, bagaimana Gereja dihidupkan kembali sesuai dengan konteks zaman sekarang ini.
Kenyataan bahwa, Gereja di NTT masih pada tataran Hierarkis dimana kiprah dan sepak terjang Gereja masih dikomando oleh Takhta Suci Vatikan.[11] Meskipun dalam perjalanannya adanya tendensi pembaruan dalam diri Gereja melalui Konsili Vatikan II tetapi perubahan Gereja belum signifikan dan menampilkan wajah yang baru dalam pewartaannya. Dapat dikatakan bahwa salah satu pengikisan dan perubahan dalam penghayatan iman umat juga disebabkan karena Gereja yang terlalu menjalankan peran hirarkisnya, dimana Gereja menjadi milik kaum klerikal (kaum tertahbis) sementara umat hanya menjadi objek dari pewartaan Gereja itu. Pola pewartaan iman Gereja seperti ini sudah tidak bisa diteruskan lagi dalam konteks dunia zaman sekarang ini secara khusus dalam penghayatan iman umat di NTT. Karena jika Gereja menuntut untuk mempertahankan ciri hirarkis yang bersifat top-down atau vertikal ini maka tidak dapat dipungkiri pula umat yang datang ke Gereja pun dari waktu ke waktu akan mengalami penurunan jumlah.[12] Tuntutan Gereja dewasa ini ialah bahwa, Gereja harus mampu membangun sebuah “dialog-komunikatif-partisipatif yang horizontal”, bahwa harus adanya keterlibatan dan relasi yang akrab dalam penghayatan iman antara kaum awam dan kaum tertahbis.
Sebelum Gereja mewartakan Injil di Bumi NTT ini hampir di semua tempat, masyarakat sudah erat dan kuat mengakarkan tatanan hidupnya pada budaya dan tradisi setempat. Kultur dan budaya mendapat tempat penting dalam setiap masyarakat yang sekalipun sedikit demi sedikit bergeser nilainya karena kemajuan dan perkembangan zaman, namun hal ini juga berubah menjadi gaya hidup. Kuatnya akar pada budaya ini menyebabkan selalu ada sikap curiga terhadap segala sesuatu yang memiliki unsur kebaruan. Kecurigaan yang sama pula terhadap kehadiran Gereja di NTT ini yang sering menganggap Gereja lebih superior terhadap nilai-nilai dan corak kebudayaan dalam masyarakat, kecenderungan seperti ini harus disikapi oleh Gereja dalam usaha pewartaan sehingga tidak berbenturan antara nilai luhur penginjilan dan nilai budaya. Maka sangat diharapkan agar Teologi dan nilai Injil sedapat mungkin dapat mengupayakan sebuah keselarasan dengan unsur-unsur positif yang terdapat dalam berbagai kebudayaan namun juga pada saat yang sama bersikap kritis terhadap nilai-nilai destruktif dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Panggilan profetis untuk menjadi Garam dan Terang orang Kristen untuk menjadi lensa dalam hidup sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh Yesus dalam warta Injil dan kemudian diteruskan oleh tradisi kelihatannya adalah sebuah ideal yang cukup sulit untuk direalisasikan. Banyak orang bahkan orang-orang Kristen sendiri sudah sedemikian terpengaruh oleh budaya sekular. Dibutuhkan di sini sebuah komitmen dan kesetiaan terhadap komitmen panggilan rahmat Allah tersebut. Adalah tugas dan fungsi para gembala dan agen pastoral lainnya untuk bekerja keras terus menyadarkan umat dalam hal ini. Bertolak dari realitas ini maka, agen pastoral memegang peran penting dalam pewartaan Gereja di tengah-tengah masyarakat NTT. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa, meskipun hampir setiap tahunnya Gereja menghasilkan sejumlah imam tertahbis tetapi kendala yang sama bahwa masih terdapat kekurangan dalam pelayanan-pelayanan dari agen pastoral, khususnya dari kaum klerikal. Kekurangan agen pastoral menjadi kendala tersendiri bagi Gereja dalam pewartaan dan pelayanannya terhadap kebutuhan iman umat. Menjadi satu pertanyaan yang menantang, apakah NTT kekurangan agen pastoral atau tidak adanya agen pastoral sama sekali? Sedangkan hampir setiap tahunnya selalu ada sejumlah agen pastoral yang ditahbiskan dalam beberapa keuskupan yang tersebar di seluruh NTT.
Selain kendala pada kekurangan agen pastoral, Gereja juga dihadapkan pada kemunculan dari denominasi-denominasi kekristenan yang bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini, yang kiranya cukup mengganggu kemapanan Gereja di NTT ini. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sikka, mencemaskan tentang  adanya beberapa aliran sesat yang menjamur dan berkembang di daerah ini dan dianggap menyesatkan serta menganggu kerukunan antarumat beragama di daerah di NTT. Ada beberapa denominasi aliran gereja yang diduga menyesatkan karena belum diakui keberadaannya di Negara ini.[13] Denominasi atau aliran yang dianggap menyesatkan umat beriman di NTT khususnya di  Maumere, Kabupaten Sikka itu sangat mengganggu kerukunan antarumat beragama di daerah itu. Dari persoalan ini, muncul beragam pertanyaan yang tentu sangat mengusik kenyamanan para agen pastoral, bahwa meskipun umat NTT adalah mayoritas beragama Kristen (Katolik dan Protestan) dengan jumlah agen pastoralnya yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi dalam beberapa kurung tahun terakhir ini sering muncul keresahan umat akan kehadiran dari denominasi-denominasi yang kehadirannya mengganggu bahkan meresahkan masyarakat NTT.
Menyimak problematika di atas dapat dikatakan bahwa, tidaklah cukup menghasilkan puluhan agen pastoral tiap tahunnya tanpa karya-karya pelayanan yang nyata dalam menanggapi dan menyikapi problematika iman umat yang ada, tetapi Gereja harus mampu menghasilkan kader-kader dan agen pastoral yang berkwalitas dalam segala aspek, dan bersedia untuk menjadi Terang dan Garam dunia, aspek ini harus menjadi budaya tanding Gereja NTT saat ini dalam menentukan dan menghasilkan agen-agen pastoralnya. Bersedia untuk menjadi gereja-gereja yang hidup dan mau berkorban dalam melayani dan merayakan sakramen bersama umat. Di sisi lain, Gereja harus melawan setiap bentuk kebijakkan yang tidak adil seperti kebijakan tata ruang dan tata kelola sumber daya alam serta ekonomi dan politik yang cenderung korup dan tidak adil.   “Gereja harus aktif mempromosikan nilai moral kristiani, mengkampanyekan budaya hidup anti korupsi. Namun Gereja juga harus mempengaruhi kebijakan publik yang lebih berpihak pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Gereja harus keluar dari kemapanannya dan terlibat dalam realitas umatnya, sehingga Gereja dapat memberdayakan dan membangun umatnya dalam tatanan hidup yang sejahtera, adil dan makmur tanpa harus menanggalkan jubahnya dan dogma-dogma yang melekat dalam tubuh Gereja itu sendiri.
Wajah Gereja NTT dewasa ini dihadapkan pada tantangan yang turut mempengaruhi kiprah Gereja ialah bahwa para agen pastoral khususnya para Klerus yang dipanggil untuk melayani umat Tuhan sering membingungkan umat. Hal ini dikarenakan sebagian agen pastoral bekerja antara demi kepentingan personal atau bekerja untuk karya keselamatan Allah. Peran ganda inilah yang menjadi tantangan Gereja NTT zaman sekarang ini, bahwa banyak agen pastoral yang dihasilkan setiap tahunnya selalu tidak mencukupi kebutuhan dan pelayanan Gereja. Kenyataan ini diakibatkan karena sebagian kaum klerus selalu mencari titik aman, kenyamanan yang mereka miliki membuat mereka lupa akan karya perutusan dan panggilan mereka dalam melayani Gereja Kristus dan umat Allah. Kenyataan ini menjadi keluhan umat Gereja di tempat-tempat pedalaman, di mana mereka jarang mendapat pelayanan sakramen, dari para agen pastoral (kaum tertahbis). Atau dipihak lain, para agen pastoral ini hanya mau melayani umat yang berada atau yang mapan dalam hal ekonomi (bisa beri stipendium yang besar jumlahnya), sedangkan umat yang miskin dan sederhana kurang mendapat perhatian dan pelayanan-pelayanan sakramen.[14] Pengalaman ini sering kita jumpai dalam realitas kehidupan umat Gereja.
Gereja perlu cermat dan tanggap terhadap kenyataan ini, bahwa tidak cukup hanya menghasilkan kaum tertahbis setiap tahunnya dengan jumlah yang banyak, tetapi sekiranya Gereja mampu menghasilkan agen-agen pastoral yang profesional, yang siap untuk melayani, berkorban dan hidup terlibat dalam realitas umat Allah di bumi NTT ini. Seorang agen pastoral dipanggil untuk mengabdi dan terlibat dalam realitas hidup umat Allah, ia mengambil bagian dan berpihak kepada kaum kecil, kaum tertindas, mereka yang terpinggirkan dan tidak diperhatikan dalam masyarakat serta mereka yang diperlakukan secara diskriminatif oleh sesamanya. Sebagaimana tugas perutusan Yesus adalah suatu proses keberpihakan maka, kita juga (agen pastoral) dipanggil dan diutus untuk menjadi pewarta yang handal dan dapat diandalkan oleh Gereja. Dengan demikian, jumlah yang banyak tidak menentukan kwalitas serta bobot dari keberpihakan dan kebersediaan untuk melayani dan terlibat, tetapi ketulusan dan keiklasan untuk melayanilah yang menjadi tuntutan dan harapan dari Gereja dan umat Allah di NTT ini. Jadi, tugas Gereja bukanlah menghasilkan agen pastoral secara kwantitas, tetapi yang terpenting adalah menghasilkan agen pastoral yang berkwalitas dalam pengabdian terjadap Gereja.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Gereja dewasa ini adalah, modernisasi dan globalisasi yang merebak ke permukaan, dan sangat memberi efek bagi umat Gereja di NTT ini. Realitas kemajuan dalam bidang teknologi, sains dan globalisasi turut mengubah pola pikir dan pemahaman penghayatan iman umat, sehingga Gereja NTT harus mampu merefleksi dirinya dalam pelayanan dan karya-karya pastoralnya. Karena kecenderungan umat dewasa ini untuk melihat iman (agama) sebagai persoalan private, maka soal beriman atau tidak itu menjadi urusan setiap orang, kendala seperti ini yang menjadi tantangan pastoral Gereja. Tidak heran pula bahwa dengan perkembangan ini pula sebagian kecil agen pastoral pun turut terlebur dalam pemikiran yang hampir sama, bahwa persoalan iman adalah suatu yang bersifat private dan Gereja tidak mesti memaksa umat untuk beriman karena umat bebas untuk menentukan sendiri imannya. Ada pula yang karena realitas modernisasi ikut terlebur dan sibuk dengan persoalan dunia, dengan lupa akan identitasnya sebagai agen pastoral yang harus menjadi Terang dan Garam bagi Dunia sehingga pola pastoral menjadi mandeg dan tidak terjalankan. Kenyataan ini yang harus secara jeli ditanggapi oleh Gereja, di mana Gereja di NTT dipanggil untuk mampu menghasilkan para agen pastoralnya yang bersedia dengan sungguh-sungguh melayani dan terlibat dalam proses pembentukan iman umat, bersedia untuk terlibat dalam karya pastoral dan pelayanannya meskipun modernisasi dan globalisasi memberi tuntutan yang sangat menantang. Gereja harus mampu terlibat dalam konteks dengan agen-agen pastoralnya yang berkwalitas dalam melayani serta memberi diri secara total dalam karya pastoral maupun pelayanan Gereja demi terwujudnya Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia yang semakin sekular dan global dalam segala bidang kehidupannya. Maka, yang harus menjadi budaya tanding Gereja NTT saat ini adalah bagaimana menghasilkan agen pastoral yang berkwalitas dalam iman, pelayanan pastoral dan bersedia untuk terlibat dan siap untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia, khususnya di NTT.


IV. Penutup
Sudah saatnya Gereja Katolik NTT membaharui komitmennya untuk sungguh-sungguh mewartakan harapan akan keadilan di tengah dunia yang ditandai oleh berbagai isu-isu sosial-pastoral yang dialami oleh Gereja, baik itu terhadap para agen pastoral maupun Gereja sebagai umat Allah itu sendiri. Tentu saja hal ini perlu didorong oleh sikap sadar akan apa yang menjadi tujuan penciptaan dan maksud inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus. Gereja Katolik Indonesia, khususnya di NTT mesti membiarkan diri dan terbuka terhadap bimbingan Roh Kudus agar dapat membaharui komitmennya agar terbentuk gereja yang sungguh-sungguh terlibat dan berpihak dalam pelayanan-pelayanan dan tugas perutusan-pastoral Gereja itu sendiri. Prinsip ini dapat terealisasi jika, Gereja memiliki para agen pastoral yang benar-benar merasa terpanggil untuk mengabdi dan melayani Allah dalam diri Gereja Allah itu sendiri. Maka, kwalitas dan bobot yang proporsional dari seorang agen pastoral sangat dibutuhkan. Kecenderungan Gereja di NTT menghasilkan agen pastoral dari segi kwantitasnya saja, sedangkan kwalitas dan bobot masih jauh dari cita-cita Gereja itu sendiri. Oleh karena itu, sikap yang perlu ditumbuhkan untuk mencapai usaha ini adalah pertobatan, metanoia, transformatif, termasuk di dalam tubuh Gereja sendiri.
Panggilan profetis setiap orang Kristen untuk menjadi lensa dalam hidup sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh Yesus dalam warta Injil dan kemudian diteruskan oleh tradisi kelihatannya adalah sebuah ideal yang cukup sulit untuk direalisasikan. Banyak orang bahkan orang-orang Kristen sendiri sudah sedemikian terpengaruh oleh budaya sekular. Dibutuhkan di sini sebuah komitmen dan kesetiaan terhadap komitmen tersebut. Adalah tugas dan fungsi para gembala dan agen pastoral lainnya untuk bekerja keras terus menyadarkan umat dalam hal ini. Cara berteologi kontekstual dengan model ini membutuhkan sebuah komitmen yang kuat dari Gereja, agen pastoral maupun dari umat Allah itu sendiri. Maka, budaya tanding di sini adalah bukan soal menghasilkan jumlah agen pastoral yang banyak, tetapi bagaimana Gereja secara institusional mampu menghasilkan agen-agen pastoral yang benar-benar merasa terpanggil untuk melayani, berpihak dan terlibat dalam realitas Gereja itu sendiri.













Daftar Pustaka


Kamus Oxford English Dictionary, 2001.

Franz Magniz-Suseno, Beriman Dalam Masyarakat: Butir-butir Teologi Kontekstual. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.

John Mansford Prior, Dari Pemenggalan Kepala Menuju Kembalinya Si Anak Hilang: Misi Dalam Perjumpaan Dengan Agama-agama Asli. Dalam Majalah Sawi, Edisi 10 Oktober 1995. Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI dan Missio, 1995.

…………, Antara Monarki dan Demokrasi: Melacak Jejak Laku Hirarki Gereja 40 Tahun Terakhir. Dalam buku. Paul Budi Kleden, cs (Ed.), Allah Menggugat Allah Menyembuhkan. Maumere: STFK Ledalero, 2012.

Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks:Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.

Mantovani, Enio, SVD, Memahami Dialog. Dalam Teologi Misi di kawasan AsiaPasifik, Nusa Indah.


Kuncheria Pathil, Teologi Gereja Lokal. Dalam Seri Verbum Kirbat Baru Bagi Anggur Baru. Maumere: Penerbit Nusa Indah, 2000.

Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Konstekstual. Maumere: Penerbit Ledalero, 2002.

https://kristenisasi.wordpress.com, diakses pada 02 Mei 2012.

Dalam sharing pengalaman bersama umat di stasi Baok Krenget, Paroki Halihebing Maumere, Desember 2013.




            [1]Franz Magniz-Suseno, Beriman Dalam Masyarakat: Butir-butir Teologi Kontekstual, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992),  p.113-114.
        [2]Kamus Oxford English Dictionary, 2001.
        [3]John Mansford Prior, Dari Pemenggalan Kepala Menuju Kembalinya Si Anak Hilang: Misi Dalam Perjumpaan Dengan Agama-agama Asli. Dalam Majalah Sawi, Edisi 10 Oktober 1995 (Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI dan Missio, 1995), p. 46.
        [4]Kuliah Teologi Kontekstual.
        [5]Mantovani, Enio, SVD, Memahami Dialog. Dalam. Teologi Misi di Kawasan Asia Pasifik, (Maumere: Penerbit Nusa Indah), p. 139.
        [6]Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Konstekstual, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), pp. 221-222
[7]Ibid., p. 223.
[8]John Mansford Prior., Loc.cit.
[9]Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks:Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), pp. 45-46
[10]Kuncheria Pathil, Teologi Gereja Lokal. Dalam Seri Verbum Kirbat Baru Bagi Anggur Baru, (Maumere: Penerbit Nusa Indah, 2000), p. 141.
[11]John M. Prior, Antara Monarki dan Demokrasi: Melacak Jejak Laku Hirarki Gereja 40 Tahun Terakhir. Dalam buku. Paul Budi Kleden, cs (Ed.), Allah Menggugat Allah Menyembuhkan (Maumere: STFK Ledalero, 2012), p. 107.
[12]Ibid., p. 110.
[13]https://kristenisasi.wordpress.com, diakses pada 02 Mei 2012.
[14]Dalam sharing pengalaman bersama umat di stasi Baok Krenget, Paroki Halihebing Maumere, Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar