Senin, 23 September 2019

DEMOKRASI VERSUS KORUPSI: MENEROPONG FENOMENA KORUPSI DARI SUDUT PANDANG MORAL POLITIK


DEMOKRASI VERSUS KORUPSI:
MENEROPONG FENOMENA KORUPSI DARI SUDUT PANDANG MORAL POLITIK


Carlito d’ Costa Araujo, OCarm
Alumni Pasca-Sarjana STFK Ledalero-Maumere. Tinggal di Dili - Hera




Lord Acton dalam sebuah wacana terkenalnya pernah mengatakan Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Kekuasan cenderung korup dan kekuasaan absolut (niscaya) korup secara absolut pula. Menegaskan bahwa kekuasaan sering memainkan peran manipulatif dan cenderung untuk menindas. Berbicara politik selalu berkaitan dengan kekuasaan. Dalam konsep Aristoteles, politik dipahami sebagai tatacara mengelola kota (negara) untuk kesejahteraan bersama seluruh warganya (polites). Bagi Aristoteles, politik merupakan seni mengelola kekuasaan dengan konstitusi (politeia) demi kepentingan umum. Sayangnya, terma politik yang suci tersebut kadang disalahterjemahkan oleh segelintir elitis dalam kancah politik dewasa ini. Politik lebih cenderung dialami sebagai cara-cara meraih kekuasaan dengan cara apapun dan menyala-gunakannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Ketika kekuasaan berada di tangan orang yang salah karena diraih melalui cara-cara yang salah, pastilah akan digunakan secara salah (abuse of power) pula. Maka politik akan kehilangan makna; dari politik kepentingan bersama menjadi politik kepentingan partial (kepentingan pribadi atau segelintir orang).
Menyimak berita dalam negeri beberapa pekan terakhir di beberapa media massa Timor Leste, korupsi menjadi trand topic yang dibahas, dipersoalkan dan diwacanakan terus-menerus di samping beberapa topik yang lagi “senter” dalam beberapa hari belakangan ini. Korupsi seakan-akan sudah menjamur di berbagai aspek kehidupan bahkan menjadi wacana publik yang tidak lagi asing di telinga masyarakat Timor Leste. Korupsi (bahasa latin: courruptio dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harafiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun siapa saja, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Fenomena politik demikianlah yang sering menghiasi panorama politik di negara yang mengusung demokrasi sebagai pilar politiknya.
Beragam aktus korupsi di Timor Leste sering dilakonkan dan tidak jarang pula beberapa orang elit politik yang sudah terjerat ke dalam tindakan korupsi. Meskipun demikian perilaku korupsi semakin menjadi-jadi. Sehingga muncul beragam interpretasi tentang korupsi. Korupsi bukan lagi suatu pelanggaran hukum, akan tetapi korupsi sudah sekedar menjadi suatu kebiasan, hal ini dikarenakan korupsi berkembang dan tumbuh subur terutama di kalangan para pejabat dan elit politik dari level tertinggi sampai ke tingkat yang paling rendah. Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat publik di bumi Lorosa’e ini. Namun apakah korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka? Setidaknya terdapat beberapa asumsi yang menjadi dasar terjadinya perilaku korupsi, antara lain lemahnya kesadaran akan kepentingan kolektif, bobroknya mental para pejabat publik, mengabaikan kepentingan orang lain serta lemahnya kesadaran moral serta ketamakan dan kerakusan akan kekayaan (mental materialistik dan hedonistik) yang mengabaikan bonum commune.
Pada umumnya, korupsi adalah benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan dan menjadi penghambat utama terhadap pemerintahan dan mematikan pembangunan negara. Selain itu, Korupsi merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang (negatif), karena merupakan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan konsensus yang berdasar pada keadilan, kesejahteraan serta pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Tindakan korupsi ini merupakan produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat atau perorangan yang memakai uang sebagai jaminan kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati bahkan jauh dari sentuhan hukum dan konstitusi. Mereka ini juga akan menduduki strata sosial yang tinggi di mata masyarakat dengan mengabaikan apa yang menjadi hak orang lain secara khusus mereka yang menjadi korban dari tindakan korupsi.
Jika kita menyimak perhelatan politik negara ini dalam beberapa periode terakhir, korupsi sangat tumbuh subur, bahkan menjadi ladang bagi para koruptor untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan dan harta benda. Aktus korupsi terjadi hampir di seluruh bidang kehidupan, bahkan korupsi sudah menjadi suatu yang lumrah bahkan dianggap sebagai suatu hal yang biasa bagi siapa saja yang mendapat peluang untuk memperkaya diri. Aktus korupsi yang semakin merebak di negara ini mengindikasikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi belum mendapat tempat dalam perhelatan politik di negara ini. Dengan semakin maraknya parilaku korupsi maka secara otomatis pengabaian terhadap prinsip-prinsip demokratisasi yang dijadikan tonggak pemerintahan negara ini yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas mengalami pengerdilan makna dan wajah demokrasi bangsa ini menjadi suram dan tak bermakna.
Jika kita menelisik korupsi dari optik moral politik maka, korupsi adalah suatu perilaku para elit politik yang mengabaikan kepentingan bersama (bonum commune). Korupsi adalah suatu tindakan mengambil (menghilangkan, mencuri dan merampas) apa yang menjadi hak-hak orang lain secara khusus orang kecil, miskin dan kaum lemah. Korupsi merupakan suatu tindakan amoral yang merusak integritas bangsa Timor Leste sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi bangsa ini. Jika aktus korupsi dibiarkan terus-menerus maka hukum yang menjadi pilar bangsa ini dinodai dan dinistai oleh para elitis bangsa ini yang memanfaatkan kebaikan negara demi kepentingan dirinya dengan memperkaya diri dan memiskinkan mereka yang kecil dan tak berdaya baik secara politis maupun secara hukum.
Sebagai bangsa bermartabat yang menjadikan demokrasi sebagai pilar bangsa ini maka, moralitas politik hendaknya dijadikan primat utama dalam membangun bangsa ini dari keterpurukan dan kemiskinan. Sebagai bangsa yang baru merdeka sudah semestinya perjuangan demi kepentingan bersama harus menjadi komitmen bersama, sehingga semua orang mendapat hak yang sama di depan konstitusi dan undang-undang. Jika prinsip-prinsip demokrasi diabaikan maka pengerdilan moralitas bangsa niscaya menjadi suatu yang mungkin, dengan demikian kebobrokan serta degradasi moral menjadi mungkin terjadi di berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Dengan demikian pembangunan dan pemberdayaan demokrasi di bumi Lorosa’e ini akan terhambat bahkan terabaikan sebagai akibat dari pengabaian kepentingan bersama.
 Moralitas dalam ranah politik ditentukan oleh kesanggupannya untuk secara konsekuen mencari jalan yang terbaik untuk membawa masyarakat seluruhnya kepada sebuah kehidupan yang mencerminkan martabat luhur manusia. Kalau politik mencerminkan kesesuaian dengan cita-cita ini, maka politik dapat menjadikan etika politik sebagai kompas untuk memandu jalannya demokrasi di bumi Lorosa’e ini. Berkaitan dengan ini etika politik harus menempatkan dirinya sebagai pijakan dalam menempatkan kebijakan-kebijakan politik di bawah satu penilaian moral, khususnya kalau hal itu dituntut oleh penghormatan terhadap hak-hak asasi pribadi manusia atau demi kepentingan masyarakat. Di sini moralitas politik berperan memberikan penilaian moral terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik.
Politik dalam dirinya mengandung nilai-nilai positif, sebagaimana prinsip fundamental dari politik itu yang mengarah kepada manusia sebagai subjek dan pelaku dari politik. Tujuan politik ialah kesejahteraan dan penataan hidup bersama dalam masyarakat. Maka yang menjadi tugas politik adalah menempatkan kekuasaan di bawah kontrol hukum dan dengan demikian menata pelaksanaannya secara terstruktur sehingga mekanisme dari praksis politik dapat dikontrol. Norma-norma hukum ini mutlak diperlukan sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan politik karena kepentingan-kepentingan partikular yang turut memainkan andil di dalam perhelatan politik.
Bukan suatu yang tabu lagi bahwa para politisi sering menggunakan arena politik sebagai sarana untuk memperjuangkan intensitas-intensitas pribadi maupun kelompok-kelompok tertentu dengan mengabaikan prinsip dasariah dari politik, yang memperjuangkan bonum commune. Karena itu, etika politik harus menjadi suatu norma sekaligus sebagai pemandu arah dan penentu kualitas pelaksanaan sistem politik demi terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka, politik pertama-tama harus dipahami sebagai suatu pergerakan untuk membangun dan menciptakan tatanan hidup yang sejahtera, serta memperjuangkan masyarakat yang adil dan makmur. Perjuangan demi kesejahteraan bersama ini hanya akan tercapai jika kesadaran akan kepentingan bersama demi bonum commune telah tertanam dalam nurani setiap orang, maka dengan demikian perjuangan demi kepentingan partial dan kelompok dapat direduksi sehingga aktus korupsi dan malpolitik lainnya bisa diminimalisir bahkan diberantas.
Hannah Arendt, seorang filsuf keturunan Yahudi menegaskan bahwa politik merupakan ekspresi kebebasan yang termanifestasi melalui komunikasi di dalam ruang publik. Sehingga ketika ruang publik politik disalahartikan maka, politik akan berubah dari prinsip fundamentalnya menjadi politik pencarian profit dan kepentingan diri. Politik tidak lagi memperjuangkan kesejahteraan bersama melainkan kepentingan dan pemuasan para elit politik. Ruang publik politik dihipnotis menjadi lumbung untuk penumpukan harta benda, KKN, money politic, intrik-intrik politik kepentingan, politik manipulatif, dan beragam kesenjangan politik akan turut menghiasi panorama politik kepentingan tersebut. Politik deliberasi rasional dikikis menjadi politik kepentingan orang perorangan maupun kelompok, “demos politik” menjadi sunyi-senyap karena kemampuan rasionalitas kritis politik kehilangan daya taringnya ketika kepentingan dan pemuasan diri telah mendominasi realitas politik di bumi Lorosa’e ini.
Realitas kebobrokan politik yang nampak dalam aktus korupsi, politik uang dan beragam aktus malpolitik lainnya semakin marak berkembang dalam pentas politik karena moralitas politik tidak lagi mendapat perhatian dari para elit politik. Setiap orang berjuang demi memuaskan kepentingan-kepentingannya dan mengsubordinasikan kepentingan bersama, sehingga mereka yang apatis terhadap politik akan terus-menerus tergerus dan menjadi korban dari politik kepentingan kaum elit. Dan mereka yang “beruang” segala upaya dilakukan untuk mencapai apa yang menjadi target dan ambisi mereka dalam kancah politik. Maka, tepatlah apa yang menjadi kecemasan Thomas Hobbes bahwa manusia akan menjadi mangsa bagi yang lain (homo hamini lupus). Dengan kekuasaan orang dapat mengorbankan yang lain; mereka yang kecil dan tak berdaya di hadapan hukum dan konstitusi akan menjadi korban dari politik kepentingan yang dilakonkan oleh kaum elit dan para birokrat di negara ini.
Kekerasan politik telah menjadi realitas yang tidak pernah lepas dari panggung perpolitikan bangsa Timor Leste saat ini. Dimensi violatif politik ini tampak dalam kenyataan pembiaran secara serius kerusakan-kerusakan tatanan sosial, tindakan manipulatif, teror, pencemaran lingkungan hidup dan kejahatan-kejahatan lainnya yang secara masif dan terstruktur dilakonkan. Bentuk kekerasan politik yang paling fatal saat ini adalah aktus korupsi yang tak henti-hentinya menghiasi panorama politik di negara yang menjadikan demokrasi sebagai sistem dan wadah politiknya. Politik demokratisasi sering diterjemahkan secara salah oleh kaum berkepentingan dalam pentas politik. Politik seakan menjadi ruang pembenaran orang melakukan tindakan anarkis dan naif demi tujuan menghalalkan segala cara, dengan mengorbankan pihak yang lemah dan tak berdaya secara politis maupun secara hukum. Politik yang kelihatan suci, pada waktu yang sama bisa berubah menjadi politik kotor dan jahat ketika kepentingan pribadi (partikular) turut serta memainkan perannya.
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan atau peraturan yang keluar dalam suatu negara, merupakan produk politik dari rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah titik krusial dari politik itu. Sebab, subjektivitas tidaklah dengan sendirinya hilang, bahkan sering dapat mencuat manakala kekuasaan membesar pada seseorang atau sekelompok orang. Paling tidak, para penguasa akan mempengaruhi rumusan dan muatan dari suatu kebijakan publik atau peraturan yang keluar pada masa pemerintahannya. Hukum menjadi jinak dan kehilangan daya taringnya ketika kekuasaan dan jabatan dijadikan tameng untuk membentengi diri dan bebas dari hukum dan undang-undang. Pada tataran inilah moralitas politik memainkan perannya. Moralitas politik menjadi sangat penting dan urgent ketika politik dan kekuasaan politik serta kebijakan-kebijakan politik tidak lagi berjalan sesuai norma-norma politik yang ada sebagaimana politik dalam perspektif demokrasi di bumi Lorosa’e yang termanifestasi di dalam Konstitusi RDTL 2002.
Etika politik menjadi sangat penting dalam sebuah negara yang menjadikan demokrasi landasannya. Perang etika (moralitas)  politik menjadi sangat penting karena berbicara pada tataran nilai tentang negara dan proses-proses yang manusiawi di dalamnya. Moralitas politik menjadi tonggak pengambilan kebijakan-kebijakan politik serta membuka kesadaran akan pentingnya batas-batas etis menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata karena jika demikian kekuasaan politik akan korup dan mendistorsi perjuangan demi kepentingan bersama yang di dalamnya turut membuka ruang untuk para koruptor memainkan perannya, yakni menguras dan mengambil apa yang menjadi hak orang lain.
aktus korupsi menjadi tantangan dalam membangun bangsa yang demokaratis ini. Jika korupsi tidak diberantas maka nahkoda bangsa ini akan diarahkan ke mana. Membawa Timor Leste ke arah pembangunan dan kesejahteraan atau sebaliknya? Jika korupsi tidak dikikis dan dipangkas maka praksis politik menjadi permainan kotor, tanpa moralitas dan etiket berpolitik yang sehat. Maka keindahan politik berubah menjadi bau amis yang menyengat dan keagungan kekuasaan menjelma menjadi medan yang menakutkan. Gelagat permainan politik para politisi yang korup akan menodai perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaannya. Jika perilaku korupsi terus berkembang maka etika politik yang dibangun di negara demokrasi ini tidak lebih hanya sebuah ambisi untuk mendapatkan kursi kekuasaan tanpa sadar bahwa mereka dipilih oleh rakyat, untuk rakyat dan kepada rakyat. Tetapi, hal yang harus disadari adalah kebijakan publik politik  di dalam politik yang bersih dan jujur adalah  orientasi utama perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaannya. Kepentingan dan kesejahteraan bersama menjadi jaminan kemerdekaan bangsa Timor Leste.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar