DEMOKRASI VERSUS KORUPSI:
MENEROPONG FENOMENA KORUPSI DARI SUDUT
PANDANG MORAL POLITIK
Carlito d’ Costa Araujo, O’Carm
Alumni Pasca-Sarjana STFK Ledalero-Maumere. Tinggal di Dili - Hera
Lord Acton dalam sebuah wacana terkenalnya pernah mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts
absolutely”. Kekuasan cenderung korup dan kekuasaan
absolut (niscaya) korup secara absolut pula. Menegaskan bahwa kekuasaan sering memainkan
peran manipulatif dan cenderung untuk menindas. Berbicara politik selalu
berkaitan dengan kekuasaan. Dalam konsep Aristoteles, politik dipahami sebagai
tatacara mengelola kota (negara) untuk kesejahteraan bersama seluruh warganya (polites). Bagi Aristoteles, politik
merupakan seni mengelola kekuasaan dengan konstitusi (politeia) demi kepentingan umum. Sayangnya, terma politik yang suci
tersebut kadang disalahterjemahkan oleh segelintir elitis dalam kancah politik
dewasa ini. Politik lebih cenderung dialami sebagai cara-cara meraih kekuasaan
dengan cara apapun dan menyala-gunakannya untuk kepentingan pribadi dan
kelompok. Ketika kekuasaan berada di tangan orang yang salah karena diraih
melalui cara-cara yang salah, pastilah akan digunakan secara salah (abuse of power) pula. Maka politik akan
kehilangan makna; dari politik kepentingan bersama menjadi politik kepentingan
partial (kepentingan pribadi atau segelintir orang).
Menyimak berita dalam negeri beberapa pekan terakhir di
beberapa media massa Timor Leste, korupsi menjadi trand topic yang dibahas, dipersoalkan dan diwacanakan
terus-menerus di samping beberapa topik yang lagi “senter” dalam beberapa hari
belakangan ini. Korupsi seakan-akan sudah menjamur di berbagai aspek kehidupan
bahkan menjadi wacana publik yang tidak lagi asing di telinga masyarakat Timor
Leste. Korupsi (bahasa latin: courruptio
dari kata kerja corrumpere, yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harafiah,
korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun siapa
saja, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Fenomena politik demikianlah yang sering menghiasi
panorama politik di negara yang mengusung demokrasi sebagai pilar politiknya.
Beragam aktus korupsi di Timor Leste sering dilakonkan dan
tidak jarang pula beberapa orang elit politik yang sudah terjerat ke dalam
tindakan korupsi. Meskipun demikian perilaku korupsi semakin menjadi-jadi.
Sehingga muncul beragam interpretasi tentang korupsi. Korupsi bukan lagi suatu
pelanggaran hukum, akan tetapi korupsi sudah sekedar menjadi suatu kebiasan,
hal ini dikarenakan korupsi berkembang dan tumbuh subur terutama di kalangan
para pejabat dan elit politik dari level tertinggi sampai ke tingkat yang paling
rendah. Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya,
merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat publik di bumi Lorosa’e ini. Namun apakah korupsi hanya
diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka? Setidaknya terdapat beberapa
asumsi yang menjadi dasar terjadinya perilaku korupsi, antara lain lemahnya
kesadaran akan kepentingan kolektif, bobroknya mental para pejabat publik, mengabaikan
kepentingan orang lain serta lemahnya kesadaran moral serta ketamakan dan
kerakusan akan kekayaan (mental materialistik dan hedonistik) yang mengabaikan bonum commune.
Pada umumnya, korupsi adalah benalu sosial yang merusak
struktur pemerintahan dan menjadi penghambat utama terhadap pemerintahan dan mematikan
pembangunan negara. Selain itu, Korupsi merupakan bagian dari gejala sosial
yang masuk dalam klasifikasi menyimpang (negatif), karena merupakan perilaku
sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan konsensus
yang berdasar pada keadilan, kesejahteraan serta pembunuhan karakter terhadap individu
itu sendiri. Tindakan korupsi ini merupakan produk dari sikap hidup satu
kelompok masyarakat atau perorangan yang memakai uang sebagai jaminan kebenaran
dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya
dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan
elit yang berkuasa dan sangat dihormati bahkan jauh dari sentuhan hukum dan
konstitusi. Mereka ini juga akan menduduki strata sosial yang tinggi di mata
masyarakat dengan mengabaikan apa yang menjadi hak orang lain secara khusus
mereka yang menjadi korban dari tindakan korupsi.
Jika kita menyimak perhelatan politik negara ini dalam
beberapa periode terakhir, korupsi sangat tumbuh subur, bahkan menjadi ladang
bagi para koruptor untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan dan harta benda.
Aktus korupsi terjadi hampir di seluruh bidang kehidupan, bahkan korupsi sudah
menjadi suatu yang lumrah bahkan dianggap sebagai suatu hal yang biasa bagi
siapa saja yang mendapat peluang untuk memperkaya diri. Aktus korupsi yang
semakin merebak di negara ini mengindikasikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi
belum mendapat tempat dalam perhelatan politik di negara ini. Dengan semakin maraknya
parilaku korupsi maka secara otomatis pengabaian terhadap prinsip-prinsip
demokratisasi yang dijadikan tonggak pemerintahan negara ini yakni
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas mengalami pengerdilan makna dan
wajah demokrasi bangsa ini menjadi suram dan tak bermakna.
Jika kita menelisik korupsi
dari optik moral politik maka, korupsi adalah suatu perilaku para elit politik
yang mengabaikan kepentingan bersama (bonum
commune). Korupsi adalah suatu tindakan mengambil (menghilangkan, mencuri
dan merampas) apa yang menjadi hak-hak orang lain secara khusus orang kecil,
miskin dan kaum lemah. Korupsi merupakan suatu tindakan amoral yang merusak
integritas bangsa Timor Leste sebagai negara yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip demokrasi dan menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi
bangsa ini. Jika aktus korupsi dibiarkan terus-menerus maka hukum yang menjadi pilar
bangsa ini dinodai dan dinistai oleh para elitis bangsa ini yang memanfaatkan
kebaikan negara demi kepentingan dirinya dengan memperkaya diri dan memiskinkan
mereka yang kecil dan tak berdaya baik secara politis maupun secara hukum.
Sebagai bangsa bermartabat yang
menjadikan demokrasi sebagai pilar bangsa ini maka, moralitas politik hendaknya
dijadikan primat utama dalam membangun bangsa ini dari keterpurukan dan
kemiskinan. Sebagai bangsa yang baru merdeka sudah semestinya perjuangan demi
kepentingan bersama harus menjadi komitmen bersama, sehingga semua orang
mendapat hak yang sama di depan konstitusi dan undang-undang. Jika
prinsip-prinsip demokrasi diabaikan maka pengerdilan moralitas bangsa niscaya
menjadi suatu yang mungkin, dengan demikian kebobrokan serta degradasi moral
menjadi mungkin terjadi di berbagai aspek kehidupan bangsa ini. Dengan demikian
pembangunan dan pemberdayaan demokrasi di bumi Lorosa’e ini akan terhambat bahkan terabaikan sebagai akibat dari pengabaian
kepentingan bersama.
Moralitas dalam ranah politik ditentukan oleh kesanggupannya
untuk secara konsekuen mencari jalan yang terbaik untuk membawa masyarakat
seluruhnya kepada sebuah kehidupan yang mencerminkan martabat luhur manusia.
Kalau politik mencerminkan kesesuaian dengan cita-cita ini, maka politik dapat menjadikan
etika politik sebagai kompas untuk memandu jalannya demokrasi di bumi Lorosa’e ini. Berkaitan dengan ini etika
politik harus menempatkan dirinya sebagai pijakan dalam menempatkan
kebijakan-kebijakan politik di bawah satu penilaian moral, khususnya kalau hal
itu dituntut oleh penghormatan terhadap hak-hak asasi pribadi manusia atau demi
kepentingan masyarakat. Di sini moralitas politik berperan memberikan penilaian
moral terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik.
Politik dalam dirinya
mengandung nilai-nilai positif, sebagaimana prinsip fundamental dari politik
itu yang mengarah kepada manusia sebagai subjek dan pelaku dari politik. Tujuan
politik ialah kesejahteraan dan penataan hidup bersama dalam masyarakat.
Maka yang menjadi tugas politik adalah menempatkan kekuasaan di bawah kontrol
hukum dan dengan demikian menata pelaksanaannya secara terstruktur sehingga
mekanisme dari praksis politik dapat dikontrol. Norma-norma hukum ini mutlak
diperlukan sehingga tidak terjadi kesewenangan dan ketimpangan politik karena
kepentingan-kepentingan partikular yang turut memainkan andil di dalam
perhelatan politik.
Bukan suatu yang tabu lagi
bahwa para politisi sering
menggunakan arena politik sebagai sarana untuk memperjuangkan
intensitas-intensitas pribadi maupun kelompok-kelompok tertentu dengan
mengabaikan prinsip dasariah dari politik, yang memperjuangkan bonum commune. Karena itu, etika politik
harus menjadi suatu norma sekaligus sebagai pemandu arah dan penentu kualitas
pelaksanaan sistem politik demi terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian maka, politik pertama-tama harus dipahami sebagai
suatu pergerakan untuk membangun dan menciptakan tatanan hidup yang sejahtera,
serta memperjuangkan masyarakat yang adil dan makmur. Perjuangan demi
kesejahteraan bersama ini hanya akan tercapai jika kesadaran akan kepentingan
bersama demi bonum commune telah
tertanam dalam nurani setiap orang, maka dengan demikian perjuangan demi
kepentingan partial dan kelompok dapat direduksi sehingga aktus korupsi dan
malpolitik lainnya bisa diminimalisir bahkan diberantas.
Hannah Arendt, seorang filsuf keturunan Yahudi menegaskan
bahwa politik merupakan ekspresi kebebasan yang termanifestasi melalui
komunikasi di dalam ruang publik. Sehingga ketika ruang publik politik disalahartikan
maka, politik akan berubah dari prinsip fundamentalnya menjadi politik
pencarian profit dan kepentingan diri. Politik tidak lagi memperjuangkan
kesejahteraan bersama melainkan kepentingan dan pemuasan para elit politik.
Ruang publik politik dihipnotis menjadi lumbung untuk penumpukan harta benda,
KKN, money politic, intrik-intrik politik kepentingan, politik
manipulatif, dan beragam kesenjangan politik akan turut menghiasi panorama
politik kepentingan tersebut. Politik deliberasi rasional dikikis menjadi
politik kepentingan orang perorangan maupun kelompok, “demos politik” menjadi
sunyi-senyap karena kemampuan rasionalitas kritis politik kehilangan daya
taringnya ketika kepentingan dan pemuasan diri telah mendominasi realitas
politik di bumi Lorosa’e ini.
Realitas kebobrokan politik yang nampak dalam aktus
korupsi, politik uang dan beragam aktus malpolitik lainnya semakin marak
berkembang dalam pentas politik karena moralitas politik tidak lagi mendapat
perhatian dari para elit politik. Setiap orang berjuang demi memuaskan
kepentingan-kepentingannya dan mengsubordinasikan kepentingan bersama, sehingga
mereka yang apatis terhadap politik akan terus-menerus tergerus dan menjadi
korban dari politik kepentingan kaum elit. Dan mereka yang “beruang” segala
upaya dilakukan untuk mencapai apa yang menjadi target dan ambisi mereka dalam
kancah politik. Maka, tepatlah apa yang menjadi kecemasan Thomas Hobbes bahwa
manusia akan menjadi mangsa bagi yang lain (homo
hamini lupus). Dengan kekuasaan orang dapat mengorbankan yang lain; mereka
yang kecil dan tak berdaya di hadapan hukum dan konstitusi akan menjadi korban
dari politik kepentingan yang dilakonkan oleh kaum elit dan para birokrat di
negara ini.
Kekerasan politik telah
menjadi realitas yang tidak pernah lepas dari panggung perpolitikan bangsa
Timor Leste saat ini. Dimensi violatif politik ini tampak dalam kenyataan
pembiaran secara serius kerusakan-kerusakan tatanan sosial, tindakan
manipulatif, teror, pencemaran lingkungan hidup dan kejahatan-kejahatan lainnya
yang secara masif dan terstruktur dilakonkan. Bentuk kekerasan politik yang
paling fatal saat ini adalah aktus korupsi yang tak henti-hentinya menghiasi
panorama politik di negara yang menjadikan demokrasi sebagai sistem dan wadah
politiknya. Politik demokratisasi sering diterjemahkan secara salah oleh kaum
berkepentingan dalam pentas politik. Politik seakan menjadi ruang pembenaran
orang melakukan tindakan anarkis dan naif demi tujuan menghalalkan segala cara,
dengan mengorbankan pihak yang lemah dan tak berdaya secara politis maupun
secara hukum. Politik yang kelihatan suci, pada waktu yang sama bisa berubah
menjadi politik kotor dan jahat ketika kepentingan pribadi (partikular) turut
serta memainkan perannya.
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan atau
peraturan yang keluar dalam suatu negara, merupakan produk politik dari rezim
yang sedang berkuasa. Di sinilah titik krusial dari politik itu. Sebab,
subjektivitas tidaklah dengan sendirinya hilang, bahkan sering dapat mencuat
manakala kekuasaan membesar pada seseorang atau sekelompok orang. Paling tidak,
para penguasa akan mempengaruhi rumusan dan muatan dari suatu kebijakan publik
atau peraturan yang keluar pada masa pemerintahannya. Hukum menjadi jinak dan
kehilangan daya taringnya ketika kekuasaan dan jabatan dijadikan tameng untuk
membentengi diri dan bebas dari hukum dan undang-undang. Pada tataran inilah
moralitas politik memainkan perannya. Moralitas politik menjadi sangat penting
dan urgent ketika politik dan
kekuasaan politik serta kebijakan-kebijakan politik tidak lagi berjalan sesuai
norma-norma politik yang ada sebagaimana politik dalam perspektif demokrasi di
bumi Lorosa’e yang termanifestasi di
dalam Konstitusi RDTL 2002.
Etika politik menjadi sangat penting dalam sebuah negara yang
menjadikan demokrasi landasannya. Perang etika (moralitas) politik menjadi sangat penting karena berbicara
pada tataran nilai tentang negara dan proses-proses yang manusiawi di dalamnya.
Moralitas politik menjadi tonggak pengambilan kebijakan-kebijakan politik serta
membuka kesadaran akan pentingnya batas-batas etis menyangkut proses dan
perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan
berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan
kepada para politisi semata karena jika demikian kekuasaan politik akan korup
dan mendistorsi perjuangan demi kepentingan bersama yang di dalamnya turut
membuka ruang untuk para koruptor memainkan perannya, yakni menguras dan
mengambil apa yang menjadi hak orang lain.
aktus korupsi menjadi tantangan dalam membangun bangsa yang
demokaratis ini. Jika korupsi tidak diberantas maka nahkoda bangsa ini akan
diarahkan ke mana. Membawa Timor Leste ke arah pembangunan dan kesejahteraan
atau sebaliknya? Jika korupsi tidak dikikis dan dipangkas maka praksis politik
menjadi permainan kotor, tanpa moralitas dan etiket berpolitik yang sehat. Maka
keindahan politik berubah menjadi bau amis yang menyengat dan keagungan kekuasaan
menjelma menjadi medan yang menakutkan. Gelagat permainan politik para politisi
yang korup akan menodai perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaannya. Jika
perilaku korupsi terus berkembang maka etika politik yang dibangun di negara
demokrasi ini tidak lebih hanya sebuah ambisi untuk mendapatkan kursi kekuasaan
tanpa sadar bahwa mereka dipilih oleh rakyat, untuk rakyat dan kepada rakyat.
Tetapi, hal yang harus disadari adalah kebijakan publik politik di dalam politik yang bersih dan jujur adalah
orientasi utama perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaannya. Kepentingan
dan kesejahteraan bersama menjadi jaminan kemerdekaan bangsa Timor Leste.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar