GEREJA SEBAGAI BUDAYA TANDING DENGAN
POLA REKRUTMEN TENAGA PASTORAL GEREJA
(Suatu Refleksi Kritis Atas Kiprah
Pastoral Gereja Di NTT)
I. Pendahuluan
Membangun Gereja di NTT
merupakan suatu panggilan untuk semua manusia yang mendiami bumi NTT ini.
Sebagai satu propinsi dengan mayoritas warganya beragama Kristen-Katolik maka
sudah sewajarnya membangun Gereja di NTT menjadi tanggungjawab semua warganya,
meskipun tidak dipungkiri bahwa selain kekristenan sebagai mayoritas di
dalamnya juga terdapat beberapa pemeluk agama lainnya meskipun dengan jumlah
minoritas. Gereja merupakan persekutuan umat
beriman Kristiani yang beriman kepada Yesus Kristus yang mewartakan kabar
keselamatan kepada semua orang. Sebagai persekutuan, Gereja terbentuk dari
berbagai kalangan umat dengan berbagai macam latar belakang sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Latar belakang itu sedikit banyak mempengaruhi dinamika
Gereja yang terbentuk, bertumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, Gereja yang
mau mendarat, hidup dan berkembang harus mampu menyentuh kebutuhan umat yang
dilayaninya, termasuk berkaitan dengan latar belakang politik, sosial, budaya dan
ekonomi. Termasuk bagaimana Gereja menghidup dirinya sendiri dalam
menghadapi realitas global yang semakin maju dalam segala aspek kehidupannya.[1]
Sebagaimana teologi yang
berkembang di Asia berhadapan dengan tiga realitas, yaitu keagamaan,
kebudayaan, dan kemiskinan. Demikian pula Gereja di NTT ini dihadapkan kepada
tiga realitas ini. Berhadapan dengan tiga realitas itu, dapat menjadi mungkin
dan baik jika Gereja bisa menempatkan diri dengan baik dengan ketiga realitas
itu, sedapat mungkin Gereja mampu mensejajarkan ketiga aspek ini dalam raksa
pastoralnya maupun dalam mewartakan iman akan Yesus Kristus. Dalam
mensintesiskan ketiga aspek ini fungsi tenaga pastoral berperan penting untuk
bisa mengenal budaya dan tradisi setempat dengan baik sehingga tidak terjadi
perbenturan antara realitas sosial, budaya dan agama itu sendiri. Hendaknya
tenaga pastoral, mampu menempatkan diri, merasuk dan melebur dengan mereka
untuk mengenalkan mereka pada Kristus, “masuk melalui pintu mereka, keluar
melalui pintu kita”- sebab iman tumbuh dari kebudayaan setempat bukan
dipaksakan dari luar. Sehingga eksistensi Gereja di NTT tidak menjadi asing dan
baru bagi warganya. Tenaga pastoral juga memegang andil penting untuk
mendaratkan Gereja ke dalam realitas masyarakat NTT. Maka, salah satu prasyarat
terpenting adalah Gereja harus mengkontekstualisasikan diri. Gereja harus
bertumbuh dan berakar dalam budaya dan realitas sosial masyarakat di NTT ini.
II. Gereja Sebagai Budaya Tanding?
2.1. Apa itu Budaya Tanding?
Budaya tanding dapat
didefinisikan sebagai sebagian dari populasi suatu masyarakat yang secara kuat
menganut atau memeluk satu atau lebih nilai-nilai budaya yang berbeda dengan
nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan yang dominan. Perbedaan kebudayaan seperti
ini dapat saja menimbulkan konflik atau pertentangan dalam masyarakat. Dalam
banyak kebudayaan masyarakat selalu dihubungkan dengan beragam kebiasaan,
isu-isu sosial dan politik serta tradisi dan nilai-nilai budaya yang sudah
mengakar dalam suatu konteks. Akan tetapi di lain pihak budaya tanding yang
biasanya dilihat sebagai hal yang dapat mengganggu kemapanan suatu kebudayaan
justru bisa membantu membarui suatu kebudayaan daerah maupun nasional.
Bagaimanapun, kita tidak mungkin mengalami suatu proses sejarah tanpa budaya
tanding, baik dalam level rasional, organisasional bahkan dalam wajah politik
paling kasar ataupun sekedar pemunculannya dalam tingkat naluriah atau alamiah.
Demikian populer istilah itu sehingga Oxford English Dictionary
menambahkannya sebagai idiom Inggris sejak akhir kurun itu atau awal 1970-an.
Kamus tersebut merumuskan counter-culture, atau counterculture
dalam ejaan Anglo-Amerika, sebagai mode of life deliberately deviating from
established social practices.[2]
2.2. Kiprah Gereja Berhadapan Dengan Budaya NTT?
Kiprah perjalanan Gereja
Katolik di NTT berjalan seiring dengan masuknya para misionaris asing Dominikan
pada paruh abad XVI, lebih intensif lagi pada masa pasca Perang Dunia I oleh
para misionaris dari Serikat Sabda Allah (SVD).[3]
Agama Katolik (Gereja) mendapat tempatnya dalam ruang lingkup masyarakat NTT
karena dilihat sebagai suatu kepercayaan yang mengarahkan manusia dalam relasi
keakrabannya dengan yang transenden. Sebelum masuknya Gereja di NTT, manusia NTT sudah mengenal kepercayaan
akan sesuatu yang lain, yang berada di luar kemampuan rasionalnya. Karena
adanya kesamaan ini maka, agama Katolik dengan cepat berkembang dan diterima
oleh masyarakat NTT. Realitas ini nampak dalam perkembangan religiositas tradisional di wilayah ini, meskipun
dalam perjalanan sejarahnya agama Kristen Protestan juga mendapatkan tempat
yang istimewa dalam masyarakat di wilayah ini, di samping agama-agama lainnya.
Sepak terjang gereja di NTT
juga tidak jarang sering dipertentangkan dengan kebudayaan yang telah melekat
kuat dalam diri masyarakat pada umumnya. Berhadapan dengan budaya dan tradisi
setempat, Gereja perlu hati-hati agar tidak terbawa dalam arus sinkretisme
atau juga sebaliknya, pengaburan tradisi kebudayaan masyarakat yang sudah
diyakini sejak zaman nenek moyang masyarakat NTT. Bahwa, dalam tradisi dan budaya setempat masyarakat sudah mengenal dan
mengakui adanya Tuhan dalam konteks budaya dan adat setempat, sehingga
kecemasan bahwa kehadiran Gereja menjadi pengabur iman dan kepercayaan umat
yang telah tertata dengan mapan.[4] Berhubungan dengan realitas ini maka, Konsili Vatikan II
membawa Gereja merubah pandangannya. Di luar gereja juga bisa ada
keselamatan.
Karena itu Gereja
meninggalkan sikapnya yang memerangi budaya dan agama NTT, dan mulai
terbuka mengakui bahwa di dalam budaya dan agama NTT juga bisa ada kebenaran,
ada yang baik. Segala kebaikan dalam hati dan budi orang serta dalam
ibadat dan kebudayaan bangsa-bangsa tidak dihilangkan tetapi diutuhkan. (Bdk.
NA No. 2). Maka Gereja juga menunjukkan sikap bersahabat kepada budaya dan
agama orang NTT ketika menyatakan bahwa
dengan segala usaha pewartaan, Gereja (juga) beriktiar agar hal-hal yang baik
yang ada tertabur dalam hati dan benak manusia atau dalam upacara serta budaya
khas NTT, bukan saja tidak binasa melainkan disegarkan, ditingkatkan, dan
disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi penghinaan setan dan kebahagiaan
manusia. (Bdk. LG No. 17). Karena itu Gereja di sini
mulai memperlihatkan sikap rendah hati untuk menghormati budaya dan agama
orang NTT, dan tidak tergoda untuk mengambil kewenangan untuk mengadili. Maka,
dengan jeli Enio Mantovani, SVD, seorang misiolog berpendapat bahwa
keanekaragaman nilai pada berbagai budaya dan agama adalah cara Allah berbicara
kepada orang-orang di sini melalui segala yang ada di sekitar mereka, seluruh
lingkungan budaya.[5]
Pola pemikiran senadapun
dinyatakan dalam sidang para Uskup dalam pertemuan FABC yang menggagaskan
cita-cita tentang membangun Gereja berwajah Asia. Penekanan yang sama juga
untuk kiprah Gereja di NTT juga diharapkan menyapa manusia NTT dalam seluruh
konteks kehidupannya. Peran Gereja dan pola Pastoral kita harus bisa menangkap
seluruh situasi kehidupan manusia NTT itu sendiri sehingga bisa terbuka
kemungkinan terjadi proses pembaharuan, pemurnian iman dan agama manusia NTT,
proses menjadi Gereja NTT. Teologi yang dibangun hendaknya menjadi
refleksi atas kehidupan manusia NTT, liturgi menjadi perayaan kehidupan manusia
NTT, yang menginspirasi perilaku di tengah dunia. Dan Gereja NTT menjadi saksi
tentang yang benar dan suci.
2.3. Gereja Sebagai Budaya Tanding Suatu Kontekstualisasi?
Model
budaya tandingan adalah salah satu model yang digunakan dalam teologi
kontekstual yang berusaha terlibat dan relevan dengan konteks yang
pada satu sisi tetap setia pada Injil, dan di lain sisi juga berani untuk
menantang dan mengubah konteks. Model ini berani memberikan
sebuah tawaran yakni kekristenan harus menjadi penolakan radikal dan
menawarkan budaya tandingan terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Model kontekstual menyadari bahwa manusia dan ekspresi teologis hanya dapat hidup dalam situasi yang
dikondisikan secara historis dan kultural, sambil juga kritis dan curiga
terhadap konteks yang terjadi dalam masyarakat.[6]
Tanpa bergeser keluar dari kenyataan di atas, satu hal yang tidak boleh
dilupakan adalah bahwa model budaya tandingan bukanlah model anti-budaya,
tetapi ia melihat bahwa Injil harus dikomunikasikan dalam budaya dan tidak
melihat budaya sebagai sesuatu yang jahat. Dalam hal ini Injil dan nilai
teologis berkompromi dengan situasi kultural dan tidak menghilangkan nilai
budaya yang sudah menyatu dengan masyarakat.[7]
Sebagai sebuah model yang
menawarkan kemungkinan asimilasi antara nilai injili dan teologis dengan budaya
setempat, muncul juga beberapa tendensi yang menjadi keresahan apabila model
ini dimengerti secara keliru. Kecenderungan dari tidak setianya terhadap nilai
asali model ini adalah, adanya bahaya untuk menjadi anti-budaya, apabila para
praktisi model ini terlalu menganggap budaya itu jahat, kafir, sehingga dapat
terjadi pemusnahan budaya seperti yang pernah terjadi pada awal masuknya
penyebaran Injil di wilayah NTT pada awal masuknya kekristenan di Indonesia
pada umumnya. Realitas ini terjadi karena kecenderungan adanya rasa
superioritas Gereja yang terlalu memusatkan
perhatian untuk membangun indentitasnya, tanpa terlibat ke tengah dunia, akan
budaya yang menjadi corak hidup manusia NTT sebelumnya. Sehingga pada awal
masuknya kekristenan di NTT khususnya, para misionaris menganggap budaya dan
tradisi hidup masyarakat NTT sebagai kafir sehingga mereka harus ditobatkan
dari kekafiran mereka. Padahal nilai-nilai budaya dalam masyarakat NTT
menampilkan suatu paham religiusitas yang kuat dan sangat berakar yang telah
diwariskan secara turun-temurun.[8]
Gereja menjadi model budaya
tandingan adalah sebuah model perjumpaan atau keterlibatan, karena model ini hendak
menegaskan perutusan Gereja yang sungguh-sungguh masuk menjumpai dan melibatkan
konteks dalam pewartaannya namun, tetap dengan sikap menaruh sikap hormat atas
nilai-nilai luhur dari kebudayaan yang sudah dihidupi oleh masyarakat dalam
konteksnya. Model ini juga sungguh-sungguh mengindahkan semangat profetis yang
menubuatkan kebenaran dalam konteks. Gereja diwartakan kepada manusia yang
hidup dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu, dalam pewartaannya Gereja
haruslah mengindahkan dengan seksama konteks kebudayaan dari masyarakat yang
menjadi tujuan pewartaannya. Dalam arti ini apabila para agen pastoral maupun
gereja itu sendiri harus mengaitkan antara pewartaan mereka dengan konteks
budaya tempat di mana mereka mewartakan, maka mereka mesti serentak menempatkan
pewartaannya dalam bahasa pendengar dan sesuai dengan konteks budaya masyarakat
NTT itu sendiri.[9]
Kalau kita menyimak konteks
hidup beriman zaman ini, tak dapat disangkal lagi bahwa penghayatan iman umat
kristiani sekarang berangsur-angsur menurun, jikalau dibandingakan dengan pola
hidup beriman umat yang belum tersentuh oleh kemajuan teknologi atau
perkembangan zaman. Dalam banyak situasi, komunitas Kristen terancam
eksistensinya karena pengaruh “dunia modern” antara lain lewat modern technology (yang membawa pergeseran
nilai-nilai), sistem pendidikan (terarah pada prestasi pribadi), pasar bebas
(yang mengalahkan yang lemah) dan digitalisasi (segala-galanya diatur dari
belakang komputer, tanpa melihat wajah orang) telah masuk ke dalam kehidupan
umat dewasa ini. Kenyataan ini, tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri
bagi umat kristiani, yang juga adalah komunitas zaman ini. Tantangannya yang
mungkin cukup berat dihadapi yakni apakah kehadiran gereja di NTT secara
khususnya bisa menjadi tanda dan sakramen kehadiran Kerajaan Allah di
tengah-tengah dunia saat ini? Tanda-tanda itu adalah hidup dalam persekutuan
seperti para rasul atau jemaat perdana, berkumpul bersama, berdoa bersama dan
saling mengasihi satu sama lain (bdk. Kis 2: 41-47). Menghadapi realitas
modernitas ini maka, tantangan bagi Gereja yang sekaligus menjadi budaya
tandingnya adalah dengan penambahan dan formasio yang lebih serius dalam
mendidik para agen pastoralnya untuk secara lebih jeli dan tanggap terhadap
realitas gereja yang ada zaman ini.
Menyimak kenyataan yang ada sekarang, panggilan bagi kaum
beriman untuk membentuk sebuah komunitas Gereja yang benar-benar kristiani
tidak selalu mudah dan juga tidak selalu berjalan lancar. Dalam hal ini, selalu
saja ada dinamika jatuh-bangunnya, untuk membangun Gereja yang benar-benar
kristiani dan memiliki kualitas religius dan moral yang kokoh menjadi tantangan
bagi para agen pastoral di NTT ini. Kesadaran Gereja ini, kiranya juga menjadi
kesadaran seluruh umat kristiani, dan tidak hanya menjadi kesadaran Hierarki
Gereja semata. Gereja di NTT harus menyadari bahwa panggilan untuk mewujudkan kerajaan
Allah menjadi tantangan tersendiri pada zaman sekarang ini. Dari sebab itu,
kesaksian hidup –sebagai hasil dari apropriasi (penginternalisasian)
nilai-nilai Injili amat diperlukan untuk mengendalikan arus-arus besar zaman
ini, terutama arus globalisasi, modernisasi, politik, ekonomi dan budaya yang
begitu merasuki setiap lini kehidupan manusia dewasa ini. Kesaksian hidup
Injili ini peratama-tama harus dimiliki oleh seorang agen pastoral, baik
sebagai klerikal maupun sebagai awam yang dipersiapkan secara khusus dalam
pewartaannya. Realitas kesaksian hidup ini yang menjadi tantangan dan sekaligus
harus menjadi komitmen dasar bagi hierarkis Gereja NTT saat ini untuk
menyingkapi tuntutan Gereja sekaligus tuntutan zaman yang semakin sekuler ini.
Spiritualitas Injili harus
sedapat mungkin dihayati dan dikonkritisasikan secara nyata dalam praktek hidup
para agen pastoral maupun oleh umat itu sendiri. Penghayatan hidup seperti di
atas dalam arti bahwa penghayatan semangat Injil mesti menjiwai umat Kristen
sekarang. Dan hanya dengan cara penghayatan demikian, umat Kristen telah
memulai apa yang disebut dengan membangun budaya tandingan yakni mengokohkan
iman akan Kristus di tengah kemajuan zaman dengan berkumpul bersama, berdoa
bersama, atau mengikuti kegiatan-kegiatan lingkungan lainya atau bahkan
mengadakan suatu kegiatan karitatif (karya sosial) dalam hidup bersama. Citra
diri seperti ini, perlu selalu dijaga dan ditingkatkan sehingga akhirnya
menjadi sebuah way of life bagi Gereja di NTT, bahkan menjadi budaya
baru dalam mengokohkan iman Kristen di tengah-tengah arus perubahan dunia yang
selalu menawarkan nilai-nilai baru, yang kadang-kadang berseberangan dengan
nilai-nilai Kristiani.
III. Refleksi Kristis Tentang Gereja Sebagai Budaya Tanding
Dengan Pola Rekrutmen Tenaga Pastoral Gereja Di NTT
Gereja adalah sebuah misteri,
rencana, karunia serta tidakan Allah yang mengambil bentuk historis dan
konkrit di dalam realitas sosio-budaya
dan sosio-politik manusia.[10]
Pergeseran nilai-nilai sosio-budaya dan politik menuju demokratisasi dan
modernisasi telah merubah pandangan manusia menuju suatu dunia yang lebih
kompleks dan terbuka. Pemahaman seperti ini turut mempengaruhi penghayatan iman
agama seseorang. Iman akan Allah dianggap sebagai sesuatu yang dinamis, seiring
dengan perkembangan zaman. Tantangan dan pemahaman iman seperti inilah yang
menjadi keprihatinan Gereja secara umum, Gereja di NTT khususnya. Bahwa,
manusia NTT dewasa ini telah mengalami pola perubahan yang berarti, dimana
mental dan pemahaman manusia tidak lagi terkungkung dalam asas kekeluargaan
yang mengikat, tetapi berangsur-angsur mengalami pengikisan menuju pola
individualisasi, kenyataan yang sama pula dalam bentuk penghayatan iman
kekristenannya. Iman dianggap sebagai suatu yang bersifat private dan personal,
bukan lagi menyangkut kolektifitas atau kolegialitas sebagaimana iman Jemaat
Perdana. Realitas inilah yang menjadi persoalan Gereja di NTT yang harus
ditemukan solusi alternatifnya, bagaimana Gereja dihidupkan kembali sesuai
dengan konteks zaman sekarang ini.
Kenyataan bahwa, Gereja di
NTT masih pada tataran Hierarkis dimana kiprah dan sepak terjang Gereja masih
dikomando oleh Takhta Suci Vatikan.[11]
Meskipun dalam perjalanannya adanya tendensi pembaruan dalam diri Gereja
melalui Konsili Vatikan II tetapi perubahan Gereja belum signifikan dan
menampilkan wajah yang baru dalam pewartaannya. Dapat dikatakan bahwa salah
satu pengikisan dan perubahan dalam penghayatan iman umat juga disebabkan karena
Gereja yang terlalu menjalankan peran hirarkisnya, dimana Gereja menjadi milik
kaum klerikal (kaum tertahbis) sementara umat hanya menjadi objek dari
pewartaan Gereja itu. Pola pewartaan iman Gereja seperti ini sudah tidak bisa
diteruskan lagi dalam konteks dunia zaman sekarang ini secara khusus dalam
penghayatan iman umat di NTT. Karena jika Gereja menuntut untuk mempertahankan
ciri hirarkis yang bersifat top-down atau vertikal ini maka tidak dapat
dipungkiri pula umat yang datang ke Gereja pun dari waktu ke waktu akan
mengalami penurunan jumlah.[12]
Tuntutan Gereja dewasa ini ialah bahwa, Gereja harus mampu membangun sebuah
“dialog-komunikatif-partisipatif yang horizontal”, bahwa harus adanya
keterlibatan dan relasi yang akrab dalam penghayatan iman antara kaum awam dan
kaum tertahbis.
Sebelum Gereja mewartakan
Injil di Bumi NTT ini hampir di semua tempat, masyarakat sudah erat dan kuat
mengakarkan tatanan hidupnya pada budaya dan tradisi setempat. Kultur dan
budaya mendapat tempat penting dalam setiap masyarakat yang sekalipun sedikit
demi sedikit bergeser nilainya karena kemajuan dan perkembangan zaman, namun hal ini juga berubah menjadi
gaya hidup. Kuatnya akar pada budaya ini menyebabkan selalu ada sikap curiga
terhadap segala sesuatu yang memiliki unsur kebaruan. Kecurigaan yang sama pula
terhadap kehadiran Gereja di NTT ini yang sering menganggap Gereja lebih
superior terhadap nilai-nilai dan corak kebudayaan dalam masyarakat, kecenderungan
seperti ini harus disikapi oleh Gereja dalam usaha pewartaan sehingga tidak
berbenturan antara nilai luhur penginjilan dan nilai budaya. Maka sangat
diharapkan agar Teologi dan nilai Injil sedapat mungkin dapat mengupayakan
sebuah keselarasan dengan unsur-unsur positif yang terdapat dalam berbagai
kebudayaan namun juga pada saat yang sama bersikap kritis terhadap nilai-nilai
destruktif dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Panggilan profetis untuk
menjadi Garam dan Terang orang Kristen untuk menjadi lensa dalam hidup
sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh Yesus dalam warta Injil dan kemudian
diteruskan oleh tradisi kelihatannya adalah sebuah ideal yang cukup sulit untuk
direalisasikan. Banyak orang bahkan orang-orang Kristen sendiri sudah
sedemikian terpengaruh oleh budaya sekular. Dibutuhkan di sini sebuah komitmen
dan kesetiaan terhadap komitmen panggilan rahmat Allah tersebut. Adalah tugas
dan fungsi para gembala dan agen pastoral lainnya untuk bekerja keras terus
menyadarkan umat dalam hal ini. Bertolak dari realitas ini maka, agen pastoral
memegang peran penting dalam pewartaan Gereja di tengah-tengah masyarakat NTT.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa, meskipun hampir setiap tahunnya
Gereja menghasilkan sejumlah imam tertahbis tetapi kendala yang sama bahwa
masih terdapat kekurangan dalam pelayanan-pelayanan dari agen pastoral,
khususnya dari kaum klerikal. Kekurangan agen pastoral menjadi kendala tersendiri
bagi Gereja dalam pewartaan dan pelayanannya terhadap kebutuhan iman umat.
Menjadi satu pertanyaan yang menantang, apakah NTT kekurangan agen pastoral
atau tidak adanya agen pastoral sama sekali? Sedangkan hampir setiap tahunnya
selalu ada sejumlah agen pastoral yang ditahbiskan dalam beberapa keuskupan
yang tersebar di seluruh NTT.
Selain kendala pada
kekurangan agen pastoral, Gereja juga dihadapkan pada kemunculan dari
denominasi-denominasi kekristenan yang bermunculan dalam beberapa tahun terakhir
ini, yang kiranya cukup mengganggu kemapanan Gereja di NTT ini. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten
Sikka, mencemaskan tentang adanya beberapa aliran sesat yang menjamur dan
berkembang di daerah ini dan dianggap menyesatkan serta menganggu kerukunan antarumat
beragama di daerah di NTT. Ada beberapa denominasi aliran gereja yang diduga
menyesatkan karena belum diakui keberadaannya di Negara ini.[13]
Denominasi atau aliran yang dianggap menyesatkan umat beriman di NTT khususnya
di Maumere, Kabupaten Sikka itu sangat mengganggu kerukunan antarumat
beragama di daerah itu. Dari persoalan ini, muncul beragam pertanyaan yang
tentu sangat mengusik kenyamanan para agen pastoral, bahwa meskipun umat NTT
adalah mayoritas beragama Kristen (Katolik dan Protestan) dengan jumlah agen
pastoralnya yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi dalam beberapa kurung tahun
terakhir ini sering muncul keresahan umat akan kehadiran dari
denominasi-denominasi yang kehadirannya mengganggu bahkan meresahkan masyarakat
NTT.
Menyimak problematika di atas
dapat dikatakan bahwa, tidaklah cukup menghasilkan puluhan agen pastoral tiap
tahunnya tanpa karya-karya pelayanan yang nyata dalam menanggapi dan menyikapi
problematika iman umat yang ada, tetapi Gereja harus mampu menghasilkan
kader-kader dan agen pastoral yang berkwalitas dalam segala aspek, dan bersedia
untuk menjadi Terang dan Garam dunia, aspek ini harus menjadi budaya tanding
Gereja NTT saat ini dalam menentukan dan menghasilkan agen-agen pastoralnya. Bersedia untuk menjadi gereja-gereja
yang hidup dan mau berkorban dalam melayani dan merayakan sakramen bersama umat. Di sisi lain, Gereja harus melawan setiap bentuk
kebijakkan yang tidak adil seperti kebijakan tata ruang dan tata kelola sumber
daya alam serta ekonomi dan
politik yang cenderung korup dan tidak adil. “Gereja harus
aktif mempromosikan nilai moral kristiani, mengkampanyekan budaya hidup anti
korupsi. Namun Gereja juga harus mempengaruhi kebijakan publik yang lebih berpihak pada
keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.” Gereja harus keluar dari kemapanannya dan terlibat dalam realitas
umatnya, sehingga Gereja dapat memberdayakan dan membangun umatnya dalam
tatanan hidup yang sejahtera, adil dan makmur tanpa harus menanggalkan jubahnya
dan dogma-dogma yang melekat dalam tubuh Gereja itu sendiri.
Wajah Gereja NTT dewasa ini
dihadapkan pada tantangan yang turut mempengaruhi kiprah Gereja ialah bahwa
para agen pastoral khususnya para Klerus yang dipanggil untuk melayani umat
Tuhan sering membingungkan umat. Hal ini dikarenakan sebagian agen pastoral
bekerja antara demi kepentingan personal atau bekerja untuk karya keselamatan
Allah. Peran ganda inilah yang menjadi tantangan Gereja NTT zaman sekarang ini,
bahwa banyak agen pastoral yang dihasilkan setiap tahunnya selalu tidak
mencukupi kebutuhan dan pelayanan Gereja. Kenyataan ini diakibatkan karena
sebagian kaum klerus selalu mencari titik aman, kenyamanan yang mereka miliki
membuat mereka lupa akan karya perutusan dan panggilan mereka dalam melayani
Gereja Kristus dan umat Allah. Kenyataan ini menjadi keluhan umat Gereja di
tempat-tempat pedalaman, di mana mereka jarang mendapat pelayanan sakramen,
dari para agen pastoral (kaum tertahbis). Atau dipihak lain, para agen pastoral
ini hanya mau melayani umat yang berada atau yang mapan dalam hal ekonomi (bisa
beri stipendium yang besar jumlahnya), sedangkan umat yang miskin dan sederhana
kurang mendapat perhatian dan pelayanan-pelayanan sakramen.[14]
Pengalaman ini sering kita jumpai dalam realitas kehidupan umat Gereja.
Gereja perlu cermat dan
tanggap terhadap kenyataan ini, bahwa tidak cukup hanya menghasilkan kaum
tertahbis setiap tahunnya dengan jumlah yang banyak, tetapi sekiranya Gereja
mampu menghasilkan agen-agen pastoral yang profesional, yang siap untuk
melayani, berkorban dan hidup terlibat dalam realitas umat Allah di bumi NTT
ini. Seorang agen pastoral dipanggil untuk
mengabdi dan terlibat dalam realitas hidup umat Allah, ia mengambil bagian dan
berpihak kepada kaum kecil, kaum tertindas, mereka yang terpinggirkan dan tidak
diperhatikan dalam masyarakat serta mereka yang diperlakukan secara diskriminatif oleh
sesamanya. Sebagaimana tugas perutusan Yesus adalah suatu proses keberpihakan
maka, kita juga (agen pastoral) dipanggil dan diutus untuk menjadi pewarta yang handal dan dapat diandalkan
oleh Gereja. Dengan demikian, jumlah yang banyak tidak menentukan kwalitas
serta bobot dari keberpihakan dan kebersediaan untuk melayani dan terlibat,
tetapi ketulusan dan keiklasan untuk melayanilah yang menjadi tuntutan dan
harapan dari Gereja dan umat Allah di NTT ini. Jadi, tugas Gereja bukanlah
menghasilkan agen pastoral secara kwantitas, tetapi yang terpenting adalah
menghasilkan agen pastoral yang berkwalitas dalam pengabdian terjadap Gereja.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Gereja
dewasa ini adalah, modernisasi dan globalisasi yang merebak ke permukaan, dan
sangat memberi efek bagi umat Gereja di NTT ini. Realitas kemajuan dalam bidang
teknologi, sains dan globalisasi turut mengubah pola pikir dan pemahaman
penghayatan iman umat, sehingga Gereja NTT harus mampu merefleksi dirinya dalam
pelayanan dan karya-karya pastoralnya. Karena kecenderungan umat dewasa ini
untuk melihat iman (agama) sebagai persoalan private, maka soal beriman atau
tidak itu menjadi urusan setiap orang, kendala seperti ini yang menjadi
tantangan pastoral Gereja. Tidak heran pula bahwa dengan perkembangan ini pula
sebagian kecil agen pastoral pun turut terlebur dalam pemikiran yang hampir
sama, bahwa persoalan iman adalah suatu yang bersifat private dan Gereja tidak
mesti memaksa umat untuk beriman karena umat bebas untuk menentukan sendiri
imannya. Ada pula yang karena realitas modernisasi ikut terlebur dan sibuk
dengan persoalan dunia, dengan lupa akan identitasnya sebagai agen pastoral
yang harus menjadi Terang dan Garam bagi Dunia sehingga pola pastoral menjadi
mandeg dan tidak terjalankan. Kenyataan ini yang harus secara jeli ditanggapi
oleh Gereja, di mana Gereja di NTT dipanggil untuk mampu menghasilkan para agen
pastoralnya yang bersedia dengan sungguh-sungguh melayani dan terlibat dalam
proses pembentukan iman umat, bersedia untuk terlibat dalam karya pastoral dan
pelayanannya meskipun modernisasi dan globalisasi memberi tuntutan yang sangat
menantang. Gereja harus mampu terlibat dalam konteks dengan agen-agen
pastoralnya yang berkwalitas dalam melayani serta memberi diri secara total
dalam karya pastoral maupun pelayanan Gereja demi terwujudnya Kerajaan Allah di
tengah-tengah dunia yang semakin sekular dan global dalam segala bidang
kehidupannya. Maka, yang harus menjadi budaya tanding Gereja NTT saat ini
adalah bagaimana menghasilkan agen pastoral yang berkwalitas dalam iman,
pelayanan pastoral dan bersedia untuk terlibat dan siap untuk menghadirkan
Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia, khususnya di NTT.
IV. Penutup
Sudah saatnya Gereja Katolik NTT
membaharui komitmennya untuk sungguh-sungguh mewartakan harapan akan keadilan
di tengah dunia yang ditandai oleh berbagai isu-isu sosial-pastoral yang
dialami oleh Gereja, baik itu terhadap para agen pastoral maupun Gereja sebagai
umat Allah itu sendiri. Tentu saja hal ini perlu didorong oleh sikap sadar akan
apa yang menjadi tujuan penciptaan dan maksud inkarnasi Allah dalam diri Yesus
Kristus. Gereja Katolik Indonesia, khususnya di NTT mesti membiarkan diri dan
terbuka terhadap bimbingan Roh Kudus agar dapat membaharui komitmennya agar terbentuk
gereja yang sungguh-sungguh terlibat dan berpihak dalam pelayanan-pelayanan dan
tugas perutusan-pastoral Gereja itu sendiri. Prinsip ini dapat terealisasi
jika, Gereja memiliki para agen pastoral yang benar-benar merasa terpanggil
untuk mengabdi dan melayani Allah dalam diri Gereja Allah itu sendiri. Maka,
kwalitas dan bobot yang proporsional dari seorang agen pastoral sangat
dibutuhkan. Kecenderungan Gereja di NTT menghasilkan agen pastoral dari segi
kwantitasnya saja, sedangkan kwalitas dan bobot masih jauh dari cita-cita
Gereja itu sendiri. Oleh karena itu, sikap yang perlu ditumbuhkan untuk
mencapai usaha ini adalah pertobatan, metanoia, transformatif, termasuk di
dalam tubuh Gereja sendiri.
Panggilan profetis setiap orang Kristen
untuk menjadi lensa dalam hidup sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh Yesus
dalam warta Injil dan kemudian diteruskan oleh tradisi kelihatannya adalah
sebuah ideal yang cukup sulit untuk direalisasikan. Banyak orang bahkan
orang-orang Kristen sendiri sudah sedemikian terpengaruh oleh budaya sekular.
Dibutuhkan di sini sebuah komitmen dan kesetiaan terhadap komitmen tersebut.
Adalah tugas dan fungsi para gembala dan agen pastoral lainnya untuk bekerja
keras terus menyadarkan umat dalam hal ini. Cara berteologi kontekstual dengan
model ini membutuhkan sebuah komitmen yang kuat dari Gereja, agen pastoral
maupun dari umat Allah itu sendiri. Maka, budaya tanding di sini adalah bukan
soal menghasilkan jumlah agen pastoral yang banyak, tetapi bagaimana Gereja
secara institusional mampu menghasilkan agen-agen pastoral yang benar-benar
merasa terpanggil untuk melayani, berpihak dan terlibat dalam realitas Gereja
itu sendiri.
Daftar Pustaka
Kamus Oxford English Dictionary, 2001.
Franz Magniz-Suseno, Beriman Dalam Masyarakat:
Butir-butir Teologi Kontekstual. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.
John Mansford Prior, Dari Pemenggalan Kepala Menuju Kembalinya
Si Anak Hilang: Misi Dalam Perjumpaan Dengan Agama-agama Asli. Dalam
Majalah Sawi, Edisi 10 Oktober 1995. Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI dan
Missio, 1995.
…………, Antara
Monarki dan Demokrasi: Melacak Jejak Laku Hirarki Gereja 40 Tahun Terakhir.
Dalam buku. Paul Budi Kleden, cs (Ed.), Allah Menggugat Allah Menyembuhkan.
Maumere: STFK Ledalero, 2012.
Emanuel Gerrit
Singgih, Berteologi Dalam Konteks:Pemikiran-pemikiran Mengenai
Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.
Mantovani, Enio, SVD, Memahami Dialog. Dalam Teologi Misi di
kawasan AsiaPasifik, Nusa Indah.
Kuncheria Pathil, Teologi Gereja Lokal. Dalam Seri Verbum Kirbat
Baru Bagi Anggur Baru. Maumere: Penerbit Nusa Indah, 2000.
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Konstekstual. Maumere: Penerbit Ledalero, 2002.
https://kristenisasi.wordpress.com,
diakses pada 02 Mei 2012.
Dalam sharing pengalaman bersama umat di stasi Baok Krenget, Paroki
Halihebing Maumere, Desember 2013.
[8]John Mansford Prior., Loc.cit.
[9]Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam
Konteks:Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2000), pp. 45-46
[10]Kuncheria Pathil, “Teologi Gereja Lokal”. Dalam Seri Verbum Kirbat Baru Bagi
Anggur Baru, (Maumere: Penerbit Nusa Indah, 2000), p. 141.
[11]John M. Prior, Antara Monarki dan Demokrasi:
Melacak Jejak Laku Hirarki Gereja 40 Tahun Terakhir. Dalam buku. Paul Budi
Kleden, cs (Ed.), Allah Menggugat Allah Menyembuhkan (Maumere: STFK
Ledalero, 2012), p. 107.
[14]Dalam sharing pengalaman bersama umat di stasi
Baok Krenget, Paroki Halihebing Maumere, Desember 2013.